Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Track 5. Step Down

Meski tidurku terasa tidak cukup, tetapi sebuah kewajiban untuk bangun pagi dikarenakan hari ini adalah jadwalku untuk memasak. Ah, rasanya ingin kabur karena aku tidak begitu pandai di bidang ini. Terakhir kali, Ushio dan Ryui sampai mengomel padaku karena makanannya keasinan. Kalau begitu, minta tolong saja sana pada Kakak.

"Padahal, menurutku garamnya sudah pas," celotehku sendirian setelah bersiap-siap. Kuregangkan badanku sekali lagi agar merasa sedikit bugar. Meskipun, tidak begitu memiliki efek. Masih pegal.

Pagi bukanlah untukku. Berbicara tentang waktu, aku lebih menyukai malam yang tenang. Tidak mengherankan, aku selalu berpikiran negatif. Tengah malam, waktu seperti itu adalah hal terburuk seseorang untuk tetap waras. Tetapi keheningan itu favoritku. Irisku pun bergulir, menatap kasur yang kosong.

"Tch, keluar lagi ya, Yuki-nii dan Kae-nii berdua. Minimal kalau mau jalan-jalan hari ini, bangunkan aku agar aku bisa titip sesuatu!" dumelku, menghela napas. Lalu, berjalan keluar dan membuka pintu kamar.

"Pagi, Shunin-chan."

Sebuah suara yang baru saja kutemui tadi malam menyapa dengan senang. Tepat di depan pintu, bersama seekor anjing putih berbulu. Hanya Shuumai saja lah, anjing yang dapat kutolerir karena kelucuannya. Tanganku melambai, lalu mengelusnya dengan lembut seraya tersenyum, "Pagi juga, Kafka dan Shuumai!"

Kafka merenggut, mengerutkan dahi dan mengerucutkan bibirnya, "Ii na, aku juga mau."

"Perbaiki dulu panggilanmu. Aku Fukushunin, bukan Shunin. Nanti kalau ada Kae-nii, bisa-bisa kami berdua bersamaan menoleh kalau dipanggil dengan satu panggilan yang sama begitu," jelasku.

"Seharusnya 'kan tidak apa-apa kalau hanya kita berdua saja. Fukushunin terlalu panjang, aku ingin menikmati tiap detik bersamamu, Kumiko-chan."

"Haha, kalau begitu, panggil nama saja. Aku juga ingin menikmati waktuku bersama Kafka."

Pemuda di hadapanku mengerjapkan mata, lalu semakin memasang wajah cemberut dengan rona yang memerah. Ia mendengkus kasar, helaaan napasnya terdengar di koridor ruangan. Lalu, wajahnya ia palingkan sembari mengeratkan pelukan pada Shuumai. Anjing putih itu menggonggong, nampak ikut menegur simpati.

"Huh? Kenapa kalian berdua begitu?"

"Tidak, bukan apa-apa. Aku tahu kau tidak bermaksud seperti yang kupikirkan. Tetapi, tetap saja, curang tahu."

"Eh?! Memangnya aku ngapain?!"

"Lupakan."

"O-oke, kalau begitu, aku akan ke dapur buat memasak ...," belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Kafka kembali mengangkat suaranya.

"Oh, tidak perlu. Aku meminta Yukikaze, Shunin-chan dan Sakujiro untuk memasak tadi. Sebagai gantinya, saat shift masak mereka, tolong di back-up ya."

"Lho, kenapa?" tanyaku kebingungan. Memiringkan kepala bentuk tanda tanya. Ia tertawa kecil, menurunkan Shuumai dari dekapannya lalu menatap lurus pada anjing putih tersebut yang kini tengah berlari menjauhi kami berdua. Sudah biasa dengan suasana di mana hanya kami berdua, namun entah mengapa aura lelaki di hadapanku ini terasa serius.

Ia tersenyum, "Semalam kau begadang karena kerja. Terus harus memasak lagi untuk kami? Kau kecapekan, kami juga tidak mendapatkan masakan yang lezat."

"Urgh, Apa memang seburuk itu, ya? Kalau begitu tolong hapuskan saja aku dari daftar masak. Nanti aku bagian belanja saja," jawabku merasa diserang oleh fakta tidak terbantahkan. Firasatku benar, ternyata. Padahal, aku sudah merasa cukup percaya diri dengan nasi gorengku.

"Hahaha, bercanda, kok. Masakanmu tidak seburuk itu. Memang berlebih bumbu sedikit."

Kali ini, aku yang mengembungkan pipi, kesal. Ia mencubit pipiku, lalu mengulurkan tangan, "Sejujurnya, aku hanya ingin jalan-jalan berdua denganmu. Bisa dibilang, hari ini khusus kita berdua saja. Aku sudah membuat Yukikaze sibuk dengan urusan lain, meskipun harus mengorbankan Shunin-chan, tch."

Mendengar pernyataannya tersebut, aku hanya mampu tertawa dalam hati. Dia tidak suka sekali bila Kaede bersama Kakak. Hal ini masih sangat lucu bagiku hingga kami menginjak dewasa. Tangannya yang di pipiku, lantas kubalas dengan genggaman, menyentuhnya dan mengaitkan dengan erat, "Jadi, kita akan kemana?"

"Tadi aku berencana agar kita berjalan-jalan bersama Shuumai. Tapi, kayaknya, Shuumai lebih paham darimu, makanya dia memilih untuk pergi ke Renga. Tuh, lihat."

Benar saja, Shuumai yang tadinya lari menghilang, sekarang telah membawa Renga yang tengah tertawa riang mengikuti Shuumai, terasa seperti Shuumai yang menuntunnya. Bibirku lantas tak mampu menahan untuk berucap, "Wah ... ada dua anjing."

"Haha, kau benar," timpal Kafka, ikut setuju seraya menggenggam tanganku, "ayo kita keluar dulu. Terus kita memancing lagi di tempat yang biasanya."

"Ah, di sana, ya? Boleh, kok."

Kami saling menggenggam tangan satu sama lain. Kehangatan dan suasana yang familiar. Aku tidak bisa membayangkan bila operasi Kafka hari itu gagal. Betapa paniknya diriku bersama Kaede tatkala menemukan ruangan pasien yang kosong tanpanya dan hanya bersisa Sakujiro.

Di tengah perjalanan, masih dalam langkah yang tenang, aku membuka mulut. Melemparkan pertanyaan yang tiba-tiba saja terbersit di pikiran, "Kafka, apa kau bahagia?"

Sebuah pertanyaan berat di tengah pagi hari yang ringan ini. Ia tidak nampak terkejut seperti biasanya saat aku berbicara. Malah, memejamkan mata dengan senyum maklum, "Aku sering berpikir, mengapa aku yang hidupnya bisa saja singkat, namun tetap membara untuk meninggalkan jejak dan terus hidup? Sementara dirimu yang selalu terlihat senang, tetapi terasa jauh untuk digapai meskipun kau ada di sampingku sekalipun."

"Aku tidak bisa memahami pikiranmu. Sebuah teka-teki yang bahkan jawabannya lebih susah untuk kutemukan daripada sedang memecahkan teka-teki mendapatkan hadiah ulang tahun dari mendiang ibuku."

"Sekarang, balik aku yang bertanya, Kumiko-chan."

Langkah kami, entah sejak kapan telah berada di tepi dermaga. Terhampar air laut biru yang luas, diterpa angin pagi Hama yang sejuk. Kala itu, ia tersenyum, namun entah mengapa terasa mengiris hatiku.

"Apa kau bahagia, Kumiko-chan?"

Aku mengerjap, bingung, "Huh, aku? Tentu saja ... aku bahagia." Belum pernah ada yang bertanya seperti ini kepadaku.

"Bohong. Sama seperti di hari itu, kau berjanji padaku untuk selalu bersamaku. Tapi, kau selalu bohong," balasnya, menghela napas namun masih tersenyum. Ah, aku tidak tahu harus membalas apa. Mungkin, karena kami itu 'sama' dan cukup lama bersama, makanya ia dengan cepat membuka topengku.

"Aku tidak bohong, kok, waktu bilang aku akan mempertaruhkan hidupku kepadamu," sahutku, "Tetapi kau benar. Sepertinya, aku tidak bisa ... terlalu lama begini, ya."

"Aku tidak menyalahkanmu, kok. Hanya saja, rasanya, aku ingin kau bisa lebih egois dan jujur lagi. A-aku ingin jadi sosok yang kau rasa nyaman. Aku ... ingin jadi rumahmu."

Pagi hari yang cerah dan suasana penuh biru. Namun, wajahnya nampak memerah. Dadaku berdegub kencang. Aku takut, bila aku membongkar semua isi hati dan pikiranku, akankah kau tetap bersamaku? Akankah kau ... kita akan lagi menanggung nasib yang sama?

Kau telah berubah jauh, tetapi aku masih berdiam diri dalam duniaku. Memandangmu yang penuh warna dari kaca kelabuku. Ah benar, suatu hari, semua orang akan tahu, bahwa aku tidaklah lagi dibutuhkan. Ketika mereka mengetahui betapa kotor dan palsunya diriku ini, maka tak akan lagi yang ingin duduk dan bermain bersamaku.

Pancingan yang ada di dermaga ini, lantas kuambil. Kafka terdiam, memperhatikan dan menunggu respon dariku. Aku akan selalu mengikutinya kemanapun, membuatnya bahagia hanya karena aku juga ingin bahagia. Melihatnya sebagai kaca pantulan dari diriku yang dulu kelabu. Kini, ia sepenuhnya berwarna dengan terang, bagai cahaya mentari dari langit yang telah berhenti hujannya.

"Terimakasih, Kafka. Aku akan memberitahumu nanti ..."

Bahwa aku tidak berguna dan tidak pantas untuk hidup. Mengenai aku yang palsu, berharap agar wahana berputar ini tidak berhenti untukku. Dunia yang seharusnya semakin indah apabila tanpa diriku.

"... Mengenai ketakutanku, kerisauanku, dan semuanya. Bila aku menceritakannya, bisakah kau tidak menghakimiku nantinya dan hanya mendengar kisahku?"

Mendengar permintaanku, ia berjalan ke sampingku, ikut mengambil alat pancing dan duduk bersama, "Memangnya kapan, aku tidak mendengarkanmu, Kumiko?"

"Haha."

Sedikit lagi, aku masih tidak bisa untuk turun. Aku tidak ingin terbongkar. Aku masih perlu waktu untuk menyiapkannya. Sebelum mereka meninggalkanku ... harus aku duluan yang meninggalkan mereka semua, terlebih kamu, Kafka.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #ocxcanon