Track 2. Gray Amusement
Hidup itu bagaikan sesuatu yang tak bisa ditolak. Semesta melahirkan dunia, membawa manusia ke dalamnya, membuatku tersadar bahwa aku hanyalah milipersen dari sekian elemen di semesta. Meski begitu, aku tetap menjalankan hidup layaknya orang lain. Sedari kecil, ekspektasi untuk dapat melakukan hal sempurna telah diterapkan padaku. Walau mereka tahu, aku bukanlah sosok yang berbakat.
Aku hanyalah seorang anak yang berusaha lebih dari orang lain. Namun, terlepas dari semua usaha itu, aku masih sangat kurang dan terbelakang. Tidak ada yang peduli seberapa banyak kau berusaha, bila hasilnya tidak memuaskan, maka seperti itulah takdirmu, tidak dibutuhkan dan tidak ada yang tertarik.
Kakak yang berbakat dan pekerja keras. Orang tua yang mempunyai latar belakang dan rekor bagus. Aku tidak bisa mencapai semua itu. Terkadang, Tuhan memberikan takdir yang tidak adil bagi setiap makhluk hidup.
Ah, tidak, bukannya aku menyalahkan keluargaku. Tetapi, mungkin lebih baik jika aku tidak dilahirkan di dunia ini. Aku tidak bisa membawa kebahagiaan pada siapa pun. Hampa dan kosong pada yang lain, meski dulu aku mempunyai mimpi yang besar. Tetapi, itu semua sulit untuk dilakukan bila dalamku terasa membeku dan kelabu. Semua kilauan itu terasa hambar.
Bagai rona langit musim dingin yang tak mempunyai matahari, dadaku setiap hari terasa seperti itu. Detik demi detik, aku belajar menjadi manusia. Ternyata, manusia itu dapat hidup bila mempunyai motivasi. Untukku, tidak begitu jauh layaknya orang-orang pada umumnya. Bisa menitis karir pada hobi yang kusenangi, makan makanan enak, membeli barang yang kuinginkan, dan tidur nyaman tanpa mendengar omelan atau tuntutan dari keluarga.
Sungguh, aku hanya ingin bisa tumbuh besar seperti itu. Kehidupan normal nan bahagia. Melakukan segala hal yang kumau. Tidak memerlukan sorotan perhatian yang banyak, cukup berputar menekuni sesuatu yang kucintai. Namun, hidupku tidaklah mulus.
Aku tidak akan pernah bisa menjadi sosok seperti kakakku atau manusia jenius yang dapat melakukan apa saja. Aku, hanyalah seorang manusia biasa yang punya banyak kekurangan. Aku tidak mampu melepaskan keinginan untuk menekuni dunia seni, karena hanya bidang ini saja yang aku bisa. Hanya ini saja yang terasa hangat.
"Jadikan itu sebagai hobimu saja. Kau hanya perlu menjadi akademisi yang terbaik."
Ah, kacau.
Kenapa malah menentukan tujuan hidupku seperti itu? Aku tidak mau! Aku tidak ingin berhenti berkarya! Aku ingin fokus menghasilkan dengan sesuatu yang kucintai! Kenapa semua orang malah memberikan tuntutan yang bahkan aku sendiri tidak bisa menggapainya?! Apakah ... sebenarnya ... aku tidak layak untuk tersenyum dan merasa senang seperti kalian?
Aku ingin sekali membantah dengan lantang. Tapi, aku tidak punya keberanian. Aku tidak tahu, caranya untuk mengungkapkan perasaanku yang terkekang ini, tanpa menyakiti mereka. Aku takut.
Ah, benar, merekalah yang membuatku lahir ke dunia dan mendidikku. Seharusnya aku paham, eksistensiku di sini tidak seperti kakak yang diagungkan oleh orang lain. Kamina Kumiko hanyalah sosok tambahan di keluarga Kamina. Anak gadis yang tidak mampu di dunia olahraga, mencemari nama baik, menjadi beban bagi semuanya.
Tidak apa. Aku bisa bertahan. Aku dituntut untuk selalu memenuhi ekspektasi mereka sejak dini. Aku bisa melakukannyaーtidak, aku harus melakukannya.
"Kumiko, apa kau ingin ikut kami menjenguk Ayah, besok?"
Oh, ajakan dari kedua sepupuku, Hamasaki bersaudara. Beberapa hari mereka dititipkan bersama kami dan Kakak menjaga mereka dengan sangat baik. Mereka bertiga juga nampaknya cukup dekat. Tidak sepertiku dan Kakak. Kakak terlihat lebih bahagia saat bersama dengan mereka.
Yah, salahku juga karena mendorongnya untuk tidak terlalu dekat denganku. Keluarga kami nampaknya payah dalam berkomunikasi.
Iris hitam mereka yang nampak bersinar dan senyum sehangat mentari jingga. Aku ingin menjadi seperti mereka. Tapi, aku tahu pasti, aku tidak akan pernah bisa menjadi mentari hangat dan angin sejuk, layaknya musim gugur tersebut. Lantas, aku mengangguk, mengiyakan permintaan mereka.
Terimakasih, karena menjadi figur yang baik untukku. Mungkin, aku akan bertahan sedikit lagi di dunia yang kelabu ini.
Maka, kami bertiga beranjak pergi ke rumah sakit untuk keesokan harinya. Kakak entah mengapa tidak ikut. Di sana, aku menemukan seorang anak lelaki dengan helaian rambut ungu muda yang nampak muram. Matanya yang berwarna kuning shade hijau tersebut, terlihat tidak bersemangat dan tentunya ... aku tahu tatapan itu.
Mirip sepertiku.
Lalu, kami berkenalan. Tetapi, ia sangat tidak ramah! Kenapa selalu mengerutkan dahi dan melemparkan pandangan kesal. Apanya yang berteman?! Kalau seperti itu pun, aku juga ingin melakukan hal yang sama!
Namun, aku tidak bisa.
Mencium aroma obat-obatan, membuatku mempunyai dugaan, "Apa kau bahagia?"
"Meskipun aku sakit, keluargaku selalu memastikan agar aku bisa merasa senang. Jadi, untuk jawabanmu ..."
"... aku takut." Ia bergumam, mengeratkan genggamannya pada selimut yang ia kenakan. Membuatku mengerjap.
Ia tidak bisa keluar, tidak pergi ke sekolah, dan tidak mempunyai teman. Kecuali, aku, Momiji dan Kaede. Suatu hari pula, ia bisa saja meninggalkan dunia ini tanpa aba-aba, tak menyisakan apa-apa. Beginikah rasanya, bila di masa depan, aku akan tumbuh besar menjadi manusia tanpa ego? Yang tidak mempunyai apa-apa, karena telah meninggalkan seluruh kecintaanku pada seni.
"Aku akan datang menjengukmu tiap hari!"
"Benarkah?"
"Hm, iya! Nanti aku sekalian ajak Momi-nee dan Kae-nii, ya! Kamu suka bersama mereka, 'kan?"
Semburat merah menjalar di pipi putihnya. Ia mengangguk malu. Sementara, senyumku terulas lebar, tak mampu kutahan. Setidaknya, aku akan berusaha, agar tidak ada lagi orang yang berakhir sepertiku.
Hm, untuk diriku?
Entahlah, aku tidak begitu bisa berbicara dan mengutarakannya. Tetapi, untuk dia, aku bisa mencoba, bukan? Perasaan ini berbeda dengan saat melakukan demi ayah. Mungkin, ini lebih terasa seperti untuk diri sendiri, tetapi dalam bentuk cerminan.
Aku masih ingat dengan begitu jelas, raut bahagia Kafka kala itu. Ia nampak bahagia, bisa menemukan teman bermainnya setelah sekian lama. Ah benar, aku hanya ingin mengharapkan kebahagiaan seperti ini. Dimana, semua orang dapat tersenyum senang, termasuk aku ... di dalamnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro