Track 1. Dark Circles
Goresan pena dan suara keyboard yang ditekan memenuhi indra pendengaranku. Di saat orang-orang terlelap demi mengisi energi untuk hari baru, aku masih berkutat dengan pekerjaan. Kalau tidak selesai sekarang, rasanya aku tidak bisa tidur dengan nyenyak. Begitulah, aku dan tuntutan ekspektasi yang kubangun pada diriku sendiri. Meski memang, waktu malam sangat cocok untukku berfokus untuk melakukan kegiatan.
Menyiksa diri karena perfeksionis dan sering mengorbankan diri. Dalam hati menggerutu, berpikir kapankah bagian ini akan selesai? Sedari tadi, aku terus saja terjebak dalam narasi yang panjang dan tak kunjung terlihat akhirnya.
"Kumiko-chan, kamu tidak lihat jam?"
Sebuah suara yang menginterupsi heningnya ruangan, membuat tanganku berhenti. Lantas, aku menoleh pada sosok yang mengangkat suaranya dengan nada merajuk. Mataku mengerjap, bingung.
"Kafka?"
"Mou, kamu tuh terlalu bekerja keras, tahu. Tidak ada yang salah dengan menjadi pekerja keras, tapi kesehatanmu perlu dijaga. Hentikan sekarang kerjaanmu dan pergi istirahat sana! Tentunya, ini perintah dari Sachou," titahnya dengan iris kuning yang menyipit tajam.
"Ah."
Sejenak, pandanganku mengedar pada ruangan yang telah sepi, hanya bersisa diriku dan Kafka saja. Melirik ke arah jam, menunjukkan pukul dua malam lewat tiga puluh menit. Bukan waktu yang tepat untuk membuka mata.
"Kafka sendiri, bagaimana? Kok bisa di sini?" tanyaku, mulai membereskan barang-barang dan mematikan komputer perlahan. Lalu, ia menghela napas dan membalas, "Kumiko-chan tidak ada di kamarmu. Dari situ saja, aku bisa tahu, kalau kau sibuk lagi dengan kerjaan."
"Hm, kamu ke kamarku tengah malam begini?"
Memiringkan kepala dengan bingung, tatapanku terlempar lurus padanya. Ia yang sebelumnya serius, sontak dipenuhi rona merah pada pipi. Entah apa yang membuatnya terlihat salah tingkah seperti itu, "S-soalnya, kamu sering mimpi buruk, 'kan? Aku hanya datang memeriksa saja dan Shuunin-chan memberitahuku."
"Huh, aku masih, ya?"
Ia mengangguk.
Tidak heran.
Memori buruk, kenangan tidak menyenangkan, rasa gundah dan gelisah yang sulit untuk aku keluarkan. Semua hal itu menumpuk menjadi satu, terpendam di alam bawah sadar dan mempengaruhi pikiranku, terbawa ke mimpi. Tetapi, aku masih tidak menyangka saja, kalau hal itu masih terus berlanjut hingga aku menginjak dewasa. Masih banyak yang belum damai.
"Terima kasih, ya, Kafka," ujarku seraya tersenyum. Yang dibalasnya dengan dengkusan kecil dan ulasan tipis yang dibentuk oleh lengkungan bibirnya. Ia mengelus kepalaku, mengacaukan helaian rambut yang memang sudah tidak begitu rapi. Tipikal khas saat berusaha menenangkanku.
"Jadi, kau akan beristirahat, 'kan?"
"Hm, tapi sudah mau pagi, sih." Irisku menatap ke arah jendela yang masih gelap gulita, berusaha mencari alasan agar bisa tetap di ruangan ini, "agak sayang saja kalau waktunya kupakai tidur."
"Belum, ini masih jam setengah tiga. Jangan kerja lagi. Kumi-chan masih bisa tidur. Aku juga akan balik tidur, kok."
"Di kamarku dan Kae-nii?"
Refleks, ia melepaskan elusannya dan menutupi wajahnya yang lebih merah dari sebelumnya. Kenapa dia bersikap seperti itu? Dulu 'kan, sudah biasa aku tertidur di sampingnya saat dia masih berada di rumah sakit. Apa dia tidak mau ya, menemaniku sampai terlelap pulas agar tidak terkena mimpi buruk?
"Bercanda. Nanti aku minta Kae-nii buat menemaniku saja, bila aku kesulitan untuk memejamkan mata," balasku sembari mengendikkan bahu.
Dengan cepat, Kafka mengangkat suara untuk merespon, "Tidak perlu, aku akan menemanimu sampai kau tertidur. Sampai pagi pun, aku pasti bakal berada di sisimu."
"Haha, beneran, kok. Aku hanya bercanda. Nanti Kafka jadi repot kalau sampai menemaniku."
Aku kembali tertawa kecil, mengibaskan telapak tangan guna menolaknya. Ia menghela napas, memilih untuk menyerah dan mengambil tempat di sampingku, duduk dan bersandar di kursi putar.
"Jangan paksakan dirimu. Aku tidak mau kau jatuh sakit, Kumiko."
Tanpa embel chan seperti biasanya, diiringi nada pelan dan lembut. Pertanda serius. Suaranya entah mengapa mengingatkanku akan momen rintik hujan, kala menikmati momen berdua di rumah sakit. Di ruangan yang sama, serba putih, tercium bau obat-obatan, hanya mampu melihat dunia dari balik kaca jendela yang semu itu. Embun dingin terasa, namun sensasi hujan dan petrichor tersebut terasa samar-samar.
Senyuman tipis terpasang di wajahku. Sungguh, orang-orang di sekitarku terlalu baik. Aku tidak tahu harus merespon apa selain lengkungan manis yang terukir di muka ini. Ah, aku lemah dan tak pantas.
"Berhenti memikirkan hal yang negatif sendirian, ya," sahut Kafka seolah mampu membaca pikiranku. Tersigap, aku memalingkan wajah dan meloloskan gelak tawa.
"Mana ada! Meskipun aku pesimis, aku tidak akan berani berpikir begitu saat bersamamu!"
"Hmm, benarkah?"
Ia menyipitkan mata, membuatku mengangguk berulang kali dengan cepat dan kikuk. Kali ini, gilirannya yang tertawa. Kedua tangannya menyilang di depan dada, lalu ia tersenyum.
"Kalau kau masih bekerja berlebihan begini dengan kantung mata hitam itu, walau tidak sedang pesimis, tetap saja membuatku merasa aku tidak memperhatikanmu dengan baik. Tidak enak kedengarannya kalau ada rumor beredar. Padahal, kau selalu menjagaku. Izinkan aku untuk membalasnya, ya."
Pemuda yang lebih tinggi dariku itu bangkit, mengulurkan tangannya kepadaku. Iris kuning penuh percaya diri itu menatap lurus, seolah berusaha menembus diriku. Mau tidak mau, aku menerima tawarannya.
Dengan santai, ia mendorongku. Kami berdua berjalan, ia mengantarku hingga ke kamar. Sebuah ruang istirahat dan pribadi, ah, tidak begitu pribadi juga. Di bangunan ini, hanya terdapat dua kamar untuk kasur tunggal, kamarku dan Kaede. Tidak ada yang tahu, kenapa Kafka sangat ketat soal masalah kamar kami berdua. Toh, aku tidak masalah jika harus sekamar dengannya, Kakak, atau yang lain.
Di ambang pintu, kami kembali bertatapan. Ia melambaikan tangan, mengucap perpisahan untuk hari ini, "Oyasumi, Kumiko-chan."
"Oyasumi, Kafka!"
Masih ada hari esok, tetapi perpisahan seperti ini selalu membuatku sedih. Tak ada yang tahu mengenai masa depan. Karena itu, terkadang, aku menutup rapat-rapat keegoisanku agar suatu hari tidak tersakiti.
Manusia itu, sungguh merepotkan. Hanya ingin merasakan kebahagiaan yang tidak ada akhirnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro