Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PERTEMUAN

Takdir yang mereka bilang misteri, aku bisa melihatnya.


"Hey, Zombie!!"

Gadis berkulit pucat itu menoleh cepat ke arah ketua kelas yang memanggilnya. Rambut panjangnya yang sedikit bergelombang agak awut-awutan.
Membuat siapa pun yang melihatnya seketika bergidik, tak terkecuali Gigih.

"Lo dipanggil Bu Seli." Gigih langsung to the point begitu sampai di meja Pijar, "kayaknya ada sesuatu yang penting, deh," sambungnya dengan bulu kuduk meremang.

Kenapa tiap kali ada di dekat Pijar, ada semilir angin yang tiba-tiba lewat?

Pijar memiringkan kepalanya, berusaha mengingat. "Apa belakangan ini gue pernah bikin masalah?"

Sontak, Gigih menggeleng-geleng mantap. "Nggaklah, murid anteng kayak lo, mana mungkin buat guru marah?"

Memori Pijar menyusuri kejadian beberapa bulan yang lalu. Situasi masih aman dan terkendali. Label 'murid baru yang baik' berhasil ia pertahankan selama hampir satu semester ini.

Lalu ada angin apa sampai Bu Seli memanggilnya?

Dengan langkah yang sedikit diseret, Pijar menyusuri koridor kelas satu.

Beberapa murid yang sedang mengobrol di luar kelas langsung menepi, memberi ruang pada Pijar untuk berjalan.
Mereka baik hati atau takut sebenarnya?

"Permisi, Bu?" Pijar mengucap salam dengan sopan begitu sampai di ruang guru. Ia mengetuk pintu beberapa kali, tapi tidak ada respon.

Melalui sudut matanya, Pijar menyusuri satu per satu meja guru. Pelan-pelan ia melangkah masuk.

Kemana perginya Bu Seli? Bukannya tadi Gigih bilang kalo ia ditunggu di ruang guru?

Tunggu..sebentar..
Dada Pijar tiba-tiba menyesak. Tatapannya menajam saat mendapati sebuah kerumunan di salah satu meja yang ada di baris belakang.

"Eh, Pijar! Sini, Nak."
Suara yang ditunggu-tunggu akhirnya menyapa.
"Dari sana Ibu nggak kelihatan, ya?" tanya Bu Seli dengan nada bergurau.

Seperti terkena lem perekat super, sepasang kaki Pijar berhenti menghentak. Berat. Seketika sesak menghimpit dada. Indra penciumannya mengendus bau yang khas.

Aroma itu....
Aroma lilin yang baru saja dimatikan. Itu berarti....

Gerak-gerik kebingungan Pijar rupanya terbaca oleh wali kelasnya.

"Guru-guru baru aja kasih kejutan ke Bu Gina. Hari ini Bu Gina ulang tahun," jelas Bu Seli seakan membaca isi kepala Pijar.

"Sana, kamu kasih ucapan dulu ke Bu Gina. Kamu murid kesayangannya, lho."

Deg!
Dada Pijar diguncang gempa dahsyat.

"Eh, Pijar?"
Yang berulang tahun kini melambaikan tangan padanya. Beberapa guru menyingkir.

Ada yang kembali ke meja masing-masing, ada pula yang sibuk menikmati camilan dari Bu Ghina.

Guru Bahasa Indonesia itu tampak bahagia dengan kedatangan Pijar. "Sini dulu, Nak."

Pijar mendongak. Samar-samar muncul bayangan angka-angka yang membentuk kombinasi bulan dan juga tahun.

Ah, Pijar mendesah lemah.
Lagi-lagi pertanda itu.

Kenapa cuma mata ajaibnya saja yang bisa melihat pertanda buruk itu?

0319

Apa? Satu bulan lagi? Tidak mungkin, kan?

Sekarang, tugas Pijar adalah mencari cara untuk tidak melakukan kontak fisik dengan guru yang sedang berulang tahun itu.

Pijar menenggelamkan kepalanya dalam-dalam. Memejam sesaat sebelum sebuah seruan lagi-lagi memanggilnya.

"Pijar cepetan, dong. Kasih ucapan dan doa ke Bu Ghina. Udah nungguin, tuh,"

Bu Seli memanggil lagi karena tak sabar memakan kue tart utuh yang belum dipotong.

Pijar meneguk ludah. Mencari cara untuk keluar secepatnya dari sana.

Aarrgh, apa lebih baik langsung kabur aja?

"Pijar? Kok malah diem aja?"
Pak Gustav yang meja kerjanya di samping Bu Gina sampai mencondongkan bahunya ke belakang. "Tenang aja, Jar. Bu Gina nggak nagih kado, kok."

Perlahan, Pijar menggerakkan tangannya yang dibanjiri keringat dingin. Tegang. Was-was. Desakan itu semakin nyata.

Paksaan dari guru-guru di sekitarnya membuat telinga Pijar berdengung. Pijar mengangkat tangannya yang kaku seperti robot.

Tuhan, haruskah terjadi lagi?

Tok tok tok..

"Permisi!"
Teriakan yang cukup membahana badai itu seketika membuat suasana di ruang guru menjadi lengang. Seluruh tatapan terfokus pada satu titik, ambang pintu.

Gilaaaaa! Suara toa siapa itu?
Yess! Kesempatan kabur!

Spontan Pijar menarik kembali tangannya yang menggantung di udara.

Cepat-cepat ia mengambil langkah seribu untuk meloloskan diri dari ruang guru.

Sebelum kabur dari sana, Pijar sempat kebingungan mencari-cari deretan angka di atas kepala Bu Ghina yang sedikit mengabur.

Aneh. Kenapa tulisannya jadi nggak jelas gitu?

"Pijar, tunggu di sini sebentar," perintah Bu Seli sambil menghadangnya di depan pintu ruang guru.
***
Pijar melirik cowok serampangan yang ada di dekatnya.

Cowok dengan rambut spike, baju setengah keluar, dan dasi yang sudah melorot kendur itu duduk di sofa seberangnya.

Ini cowok yang biasanya bikin heboh cewek-cewek kalau pas lagi lewat depan kelas, kan?

"Jadi ada sesuatu yang harus Ibu bicarakan kepada kalian," kata Bu Seli membuka obrolan. "Lebih tepatnya, kita diskusikan bersama-sama. Kalian udah saling kenal, kan?"

Kalau dilhat sepintas, cowok yang sejak tadi memalingkan wajah dari Pijar itu sedikit mirip dengan Bobby I.kon versi kulit sawo matang.

Ada satu hal yang menarik perhatian, dia juga punya lesung pipi yang mencuat saat bibirnya dimiringkan.

Karena Pijar hanya pernah berpapasan beberapa kali, ia menggeleng cepat. "Tidak, Bu," jawab Pijar datar.

Tak ada rasa canggung atau tak enak hati begitu mendapati muka si cowok yang berubah masam.

"Dia bukan anak sekolah sini, Bu?" sindir cowok itu begitu mendengar pengakuan Pijar. "Masak sih, ada anak sekolah sini yang nggak kenal saya?"

Nada bicaranya memang ketus. Tapi anehnya sejak tadi ia tidak mau menatap wajah Pijar.

Bu Seli mencoba menengahi. "Kamu sendiri kenal nggak sama Pijar?"

Nah, loh! Bu Seli rupanya ada di kubu Pijar.

Cowok bernama lengkap Mahesa Putra Pradana itu hanya bisa mengatupkan rahang. Ingin merespons, tapi ragu.

"Saya pernah dengar namanya, papasan beberapa kali di koridor sekolah, dan ketemu di perpustakaan waktu saya dapat jatah piket." Heksa menjelaskan dengan suara yang sedikit bergetar.

"Saya juga tahu dia, Bu!" potong Pijar cepat sebelum Heksa selesei mengeja namanya.

Pijar yang kembali bersuara, membuat Heksa meliriknya malas. "Saya tahu namanya sering muncul di mading sekolah di kolom rubrik olahraga, saya juga sering dengar teriakan murid-murid perempuan di kelas yang manggil-manggil nama dia waktu kebetulan melintas di koridor."

"Terus, kenapa tadi lo bilang nggak kenal gue?" Heksa jadi nyolot.
Pura-pura galak aja, biar nggak keliatan takut.

"Karena kalau cuma sebatas tahu, belum pasti kenal," jawab Pijar tenang. Berkebalikan dengan Heksa yang sedari tadi menggoyang-goyangkan kakinya, tampak gugup.

Pijar melanjutkan lagi, "makanya kita kenalan dulu yuk!" Ia menyodorkan tangannya ke Heksa yang malah melengos, membuang muka.

Bu Seli yang mulai mengendus aroma peperangan di antara kedua muridnya, seketika tanggap menetralkan situasi.

"Jadi ibu manggil kamu ke sini, karena ibu mau minta kamu buat jadi salah satu pengisi acara Pensi tahun ini."

Sepasang mata jernih Heksa kini tampak berapi-api. "Wah, saya mau banget dong, Bu.

Heksa lalu beranjak dari tempat duduknya dengan wajah menggebu-gebu, "kalau gitu, saya kasih tahu temen-temen band saya dulu, Bu.."

"Eh, tunggu!" Bu Seli buru-buru menahannya bahkan sebelum langkah cowok itu menerobos ambang pintu.

Heksa menoleh sesaat lalu memutuskan kembali duduk. "Ada apa, bu?"

"Ibu mau kamu yang tampil, tanpa anggota bandmu yang lain," jelas Bu Seli lugas yang membuat Heksa menautkan alis tebalnya.

Meski dikenal badung, tukang buat masalah, dan sering keluar masuk BK, Heksa tidak pernah berkhianat pada kawan-kawannya.

Jadi sudah jelas, tawaran dari Bu Seli pasti ditolak mentah-mentah.

"Maaf, Bu. Saya nggak terbiasa tampil sendirian di panggung." Sebisa mungkin Heksa mencari alasan yang masuk akal. "Jadi, maaf. Saya nggak bi -"

"Maka dari itu Ibu juga manggil Pijar ke sini!" tukas Bu Seli cepat, sampai membuat Heksa yang sudah berdiri kembali lagi ke posisinya.

"Kalian tampil duet, jadi partner. Hmm," bola mata Bu Seli berputar lalu dijentikkan kedua jarinya hingga terdengar bunyi cetuk, "ya, kolaborasi!"

Heksa meneguk ludah. Keringat dingin membasahi tangannya.

Kolaborasi? Sama cewek mistis ini? Hiiiiii..
***


Halloooo happy valentine day semua!! Biar Pijar mistis, tapi doi juga suka bunga looohh..
Bunga melatiiiiii😜

Buat salam perkenalan, Pijar mau kasih kalian bunga yaaa.

Mawar putih..Sesuai warna kesukaan Pijar :) Semoga kaliaaan suka ya :).

Author : risma ridha anissa
instagram : rismami_sunflorist
wattpad : rismami_sunflorist

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro