PERTANYAAN
HAPPY BIRTHDAY AURA :)
***
Terakhir kali makan di restoran ayam cepat saji, Pijar kecil malah membuat kekacauan di sana. Saat itu ia diundang di acara ulang tahun Karina, teman sekelasnya semasa SD. Baru sepuluh menit acara berlangsung, petugas yang menjaga di dalam restoran terpaksa mengusirnya.
Menganggap Pijar terkena gangguan mental karena sejak acara dimulai, gadis kecil itu tak berhenti berteriak menyebutkan deretan angka-angka yang membuat seisi restoran terheran-heran.
Kini di antara deretan kursi yang melingkari meja berpita warna-warni itu, tampaklah Heksa, Willy dan Pijar sedang duduk melingkar di sana.
"Jar?" Sapaan Willy membuat Pijar mengerjap-ngerjap. "Lo mau minum apa? Tuh di sana banyak pilihannya."
"Lo nggak nawarin gue?" tanya Heksa sewot.
Cowok itu melirik Pijar yang sejak tadi sibuk memandang takjub dekorasi ruangan yang disewa Andre untuk pesta ulang tahun Aura. Ada wallpaper kartun sponge bob yang menjadi background panggung utama. Lalu tak ketinggalan, balon berwarna kuning putih yang ditata menyerupai bingkai di kanan kiri pintu masuk.
Heksa memperhatikan dengan serius kue tart berwarna kuning di tengah panggung yang belum dipotong.
"Itu kue tart apa nasi tumpeng? Udah warnanya kuning, tinggi pula." Heksa ngoceh sendiri, mengomentari apa pun yang tertangkap matanya.
"Hush, itu kan ada gambarnya, Sa. Spongebob, kartun kesukaan Aura. Lagian mana ada tumpeng yang digambar kartun gitu?" tanggap Willy geli sendiri.
Lupa kalau sedang bermusuhan, obrolan Willy dan Heksa semakin seru. Mungkin karena Andre belum terlihat batang hidungnya, ia jadi lebih leluasa berbincang berdua dengan Willy. Jangankan bisa ngobrol panjang lebar seperti yang dulu-dulu, ketemu Andre saja Heksa malas.
"Woy, Zom." Heksa menepuk tangannya di depan wajah Pijar. Menyentak lamunan gadis itu dari masa lalu. "Ngapain diem aja? Lama-lama kesambet hantu lo."
Sadar ucapannya terdengar ambigu, Heksa meralat sambil cengengesan. "Tapi masa sesama hantu saling ngerasukin, sih? Zom..bie.. brain..brain.." cerocos Heksa sambil menjulurkan tangan. Menirukan gaya para zombie di game plant vs zombie yang sedang mencari otak manusia untuk dimakan.
Setelah lama terdiam, Pijar akhirnya mengalihkan tatapannya ke Heksa. "Lo bisa diem nggak, sih?" tanya Pijar sambil mencabik-cabik sepotong kue tart di piringnya dengan pisau. "Mau gue bikin kayak gini?"
Willy mengalihkan tatapannya dari ponsel, lalu mengamati Pijar dalam diam. Merasa heran, takjub sekaligus penasaran dengan cara berpikir Pijar yang seringkali membuat banyak orang bertanya-tanya akan sosok gadis misterius itu.
"Liatnya biasa aja, woy!" Heksa yang tampak belingsatan, meraupkan tangannya ke wajah Willy. "Bukannya apa-apa sih, ntar lo bisa kena sihir dia."
Willy mencebik. Alisnya naik sebelah. "Kayak lo sekarang ini, Sa? Udah kena sihir cin - anjir! Uhuk.uhuk."
Dengan semena-mena Heksa memasukkan sepotong besar kue tart ke dalam mulut sahabatnya itu. Bukannya merasa bersalah, ia malah menjulurkan lidah.
Keributan kedua remaja itu tidak berlangsung lama. Dari kejauhan Andre muncul bergandengan dengan Aura. Pijar meneguk ludah. Gelisah. Apalagi kini, kakak beradik itu tampak berjalan menuju mejanya.
Setelah Heksa menyikut lengannya, Pijar akhirnya sadar. Selama ada Heksa, mata ajaibnya akan berubah normal. Terbukti, tak ada deretan angka yang melayang-layang di atas kepala Aura.
Semua tampak normal. Dan Pijar tentu senang karena ini pertama kalinya ia bisa menikmati acara birthday party dengan tenang sampai selesai nanti.
"Halo Kak Heksa." Aura melambai-lambaikan tangan dengan heboh lalu memeluk Heksa.
Cowok itu berjongkok. Mengamati Aura beberapa saat sebelum diangkat tinggi-tinggi tubuh gadis itu. "Bentar lagi satu sekolah sama Kak Heksa, nih!"
Kepala Heksa langsung ditonyor Willy. "Ngawur lo. Putih biru dulu, baru putih abu-abu. Merah putihnya dia aja juga masih tiga tahun lagi."
Willy ngomel sendiri. Ia mengamati Aura yang memang tampak mungil dibanding teman-teman seusia gadis itu. Kalau bersisihan dengannya, mungkin tinggi Aura hanya setara pinggang.
"Aura cantik, Happy Birthday ya!" Willy berseru heboh. Disodorkan kotak kado berwarna kuning ke Aura. "Kesukaan kamu."
Setelah menerima kado pemberian Willy, sorot mata Aura bergeser ke Heksa yang sedang menaik-naikkan alisnya.
"Pasti nunggu kado dari gue, kan?" tanya Heksa lalu mengoyak-oyak kotak kadonya ke samping telinga. "Isinya mainan limited edition."
Aura mengangguk cepat. Tampak senang bukan main. Wajahnya berbinar. Ia tahu Heksa tidak sedang berbohong. Setiap kali ulang tahunnya tiba, hadiah dari Heksalah yang paling dinanti.
"Kalo ini siapa, Kak?" bisik Aura ke Heksa, sambil menunjuk Pijar.
"Panggil dia Zombie aja, Ra." Heksa melirik sekilas ke arah Pijar yang tampak tidak peduli dengan ocehannya. "Tahu apa kerjaan dia? Nakut-nakutin orang! Hahahaha."
Aura tidak tersenyum. Sebagai gantinya, ia malah menatap Heksa dengan wajah sanksi. Merasa baru saja digoda dan dibodohi cowok itu.
"Hai, Kak. Namaku Aura," ucapnya ramah. Diulurkan tangannya, seakan menagih Pijar untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun kepadanya.
Glek
Tatapan menanti dari manik mata Aura, membuat Pijar tidak tega menolak. Ia sempat melirik Andre yang hanya diam saja, namun memberi tatapan penuh arti. Tangan Pijar sudah nyaris terangkat, ketika di detik yang sama Heksa kembali membuat ulah.
"Eitsss, Aura! Gue punya tos baru buat lo!" Tiba-tiba Heksa mengamit tangan Aura, digoyang-goyangkan bersamaan, lalu menciptakan tos dengan gerakan yang sungguh absurd. "Cayo, cayo Aura! Cayo, cayo Aura!" teriaknya lantang. "Hahaha. Bagus kan, Ra?"
Aura yang sebenarnya tidak mengerti, nyatanya tetap tertular semangat Heksa. Gadis itu terkekeh sambil memegangi perutnya. Sementara Andre dan Willy hanya bisa saling tatap, seolah sudah paham dengan tingkah laku menakjubkan sahabatnya itu.
Tak ingin membuang waktu, Heksa segera memberi kode pada Pijar dengan mengedipkan sebelah mata.
"Eh Zom, katanya lo mau ambilin gue minum?" Karena terbiasa bossy, Willy dan yang lainnya tampak tidak curiga. Padahal itu hanya akal-akalan Heksa saja untuk membuat Pijar menjauh dari Aura. "Buruan sana, woy!"
Biasanya Pijar butuh waktu lama untuk peka dengan kode yang ditujukan seseorang padanya. Tapi kali ini ia langsung mengangguk patuh, lalu berderap menuju meja panjang berisi gelas-gelas minuman berbagai rasa.
"Thanks, Sa." Pijar menggumam lirih.
Saat ia asyik memilih beberapa camilan, matanya kembali melirik Heksa.
Cowok itu masih berdiri di tempat semula. Namun kini tampak sibuk berbincang di ponsel dengan satu tangan menutupi mulut.
Tiba-tiba tangan Pijar gemetar. Matanya membulat penuh. Heksa baru saja memasukan ponsel ke saku. Lalu dengan terburu-buru ia seperti berpamitan singkat pada kedua sahabatnya dan Aura.
Tak sadar jika Pijar membutuhkannya, Heksa berderap cepat keluar dari restoran kemudian melenggang menuju area parkir.
"Heksa!" panggil Pijar ingin mengejar. Namun Heksa terlampau cepat. Langkah Pijar baru saja akan sampai ke ambang pintu, ketika suara Andre terdengar memanggilnya berulang kali.
"Jar? Aura mau minta foto bareng."
Kaki Pijar terasa kaku. Seperti terkena lem perekat super, tak bisa digerakkan. Di balik punggungnya suara Andre kembali terdengar. Tubuhnya semakin menggigil.
Belum-belum Pijar sudah membayangkan sesuatu yang buruk akan menimpa dirinya dalam waktu dekat kalau sampai ia nekat bersitatap dengan Aura.
Gue nggak mau buat kekacauan lagi. Gue nggak mau dibayangin angka-angka keramat milik Aura. Ya Tuhan, kenapa Heksa tega banget ninggalin gue di sini?
"Kak Pijar?" Kali ini suara menggemaskan milik Aura yang terdengar. "Ayo foto sama Kak Andre juga."
Jantung Pijar mencelos. Kerongkongannya terasa pahit. Susah menelan bahkan untuk sekedar meneguk ludahnya sendiri. Ia tak bisa lagi berkata-kata. Seluruh kosa kata yang ada di kepalanya mendadak lenyap.
Pelan-pelan ia membalikkan tubuh dengan mata memejam. Tangannya di samping badan mengepal erat. Andre yang mengendus aroma keanehan dari gerak-gerak Pijar, dengan sigap beranjak menghampiri gadis itu.
"Jar? Lo baik-baik aja, kan?" tanya Andre lembut tepat di samping telinganya.
Pijar mengangguk lemah. Setelah menarik napas panjang, perlahan bulu matanya mengerjap-ngerjap. Saat pemandangan di depannya tersaji dengan begitu jelas, kening Pijar seketika berkerut.
Kenapa tahun dan bulan kematiannya masih nggak muncul? Apa Heksa bohongin gue? Dia masih di sini, lagi ngumpet buat ngerjain gue, ya?
Andre yang melihat wajah kebingungan Pijar, berpikir jika gadis itu merasa kikuk di keramaian. Sambil tersenyum maklum, dengan sabar ia menghampiri Pijar lalu menuntun gadis itu kembali duduk di tempat semula.
"Gaiz, foto yok!" Bak fotografer handal, Willy langsung membidikkan kamera ke dirinya sendiri dan tiga orang lainnya. "Satu dua tiga, ciisssss!" Willy memberi aba-aba dengan penuh semangat.
Kamera polaroid itu langsung menyuguhkan hasil dari jepretan gambar Willy.
Di dalam foto itu, semua orang tampak tersenyum ceria. Kecuali Pijar yang hanya menatap lurus ke arah kamera tanpa ekspresi.
"Yaelah, Jar. Lo ini lagi sariawan apa sakit gigi, sih?" Willy berdecak melihat hasil foto jepretannya. "Atau jangan-jangan gigi lo tinggal dua, kayak nenek sudah tua?"
Pijar tidak merespon. Ia sedang fokus menatap Andre yang kini duduk di depannya. Bersebelahan dengan Aura, dua kakak beradik itu tampak asyik membicarakan sesuatu.
Atau jangan-jangan selama ini gue salah duga? Jadi sebenernya siapa yang bisa buat mata ajaib gue jadi normal?
"Oh iya, Kak! Biar fotonya sekalian aku masukin ke album keluarga kita, ya!" pekik Aura penuh semangat, membuat Pijar tersentak dari lamunannya.
Gadis kecil itu masuk ke salah satu pintu yang hanya boleh dilewati oleh pihak keluarga dan penyelenggara acara. Tak lama ia kembali dengan menenteng sebuah album foto berwarna merah lalu memilih duduk di samping Pijar.
Mengabaikan Andre dan Willy yang asyik mengobrol di meja seberang, Aura tampak sibuk memilih tempat yang kosong di lembar albumnya.
"Taruh sini aja ya, Kak?" tanya Aura mengerling pada Pijar untuk meminta persetujuan. "Pas, kan?" Sengaja ia menunjuk wajah Pijar dan Andre yang kini ada di satu frame. "Hihi. Cocok."
Pijar mengulas senyum lalu membuka satu per satu halaman album foto itu. "Ini siapa?". Telunjuk Pijar terhenti di salah satu frame. "Ini Andre waktu kecil?"
Deg
Pijar merasa degup jantungnya semakin kencang saat menanti jawaban dari Aura.
"Iya, Kak. Ini foto Kak Andre waktu kecil," jawab gadis cilik itu dengan santai."Gedenya makin ganteng ya, Kak?"
Memori Pijar terlempar ke beberapa tahun lalu. Mencoba mengulang setiap keping kenangan yang pernah ia lewati secara misterius.
"Terus ini siapa?" Pijar menahan tangan Aura yang hendak membalik lembar foto berikutnya. "Anak perempuan ini? Bukan kamu kan, Ra?" tanya Pijar yang sebenarnya sudah yakin dengan sosok familiar di foto itu.
Aura memicing sesaat. Tak lama kemudian bola matanya melebar. "Ini cewek yang kata Kak Andre pernah ditolong dia waktu masih kecil," jawabnya heboh. Ia lantas berseru memanggil Andre yang tampak kebingungan dengan gerak-gerik aneh adiknya.
"Kenapa, Ra?" tanya Andre setelah memberi kode pada Willy untuk menunggunya sebentar di meja mereka. "Kamu manggil kakak kenapa?" Andre menyentil dahi adiknya lalu mematung sejenak ketika tatapannya terpanah ke salah satu foto yang ditunjuk aura.
"Ini cewek yang waktu kecil pernah ditolongin Kak Andre di rumah sakit, kan? Waktu itu Kak Andre pernah cerita ke Aura, katanya ce -"
Aura tidak dapat menyambung ceritanya karena Andre langsung membekap mulut gadis itu.
"Hahaha. Aura mau main sama temen-temennya dulu, ya." Andre membisikkan sesuatu ke telinga adiknya. "Daaah, baik-baik ya mainnya sama mereka." Ia melambai-lambai pada Aura yang baru saja berlari menghampiri sekumpulan anak di kolam bola.
"Jadi itu sebabnya waktu lo liat foto masa kecil gue di rumah, lo kayak kaget gitu, Ndre?" Pijar tersenyum kikuk."Ternyata lo yang nolongin gue waktu pingsan di gazebo belakang rumah sakit itu."
Bola mata bening Andre menatap Pijar dengan saksama. "Lo akhirnya inget? Sebelum lo pingsan, gue liat lo jalan sendirian di sana. Dan untungnya gue sempet foto lo. Emang hasil fotonya nggak terlalu bagus, sih. Yah, jepretan anak kecil hasilnya seadanya lah ya."
Pijar mengusap-usap fotonya sendiri yang tersimpan di album foto milik keluarga Andre. "Gue juga sempet liat lo sebelum pingsan. Lo teriak-teriak minta tolong karena panik, kan?"
Andre mengangguk tiga kali. "Iyalah, Jar. Di gazebo belakang kan dulu masih sepi. Pengunjung jarang lewat sana."
"Terus akhirnya lo sendiri yang bawa gue sampai ke ruang perawatan?" tanya Pijar yang hanya direspon Andre dengan senyuman. "Wiihh, pasti lo susah payah gendong gue yang waktu itu masih gendut, kan?"
Andre terkekeh lalu mengulas senyum penuh arti. Biar Pijar menyimpulkan sendiri.
"Ndre, gue balik duluan ya," ucap Pijar lalu bangkit dari duduknya. "Masih ada kerjaan."
Meski berat, Andre mencoba bersikap dewasa. "Oke oke. Laundry-an numpuk ya?Yah, padahal gue pengen kenalin nyokap gue. Dia masih ada meeting sebentar sama klien. Nggak bisa tunggu dulu ya, Jar?"
Biasanya kalau Andre yang minta, Pijar tak sampai hati menolak. Masih punya hutang budi jadi harus tahu diri. Tapi karena sebuah dorongan yang membuat hatinya mendadak sesak, Pijar tidak lagi bisa menahan.
Kenapa gue sedih? Siapa pun orangnya, nggak jadi masalah kan buat gue? Toh yang penting ketika ada di deket dia, mata ajaib gue bisa jadi normal. Mau Andre atau Heksa, nggak masalah.
"Sorry, Ndre. Gue titip salam aja sama Mama lo, ya," ucap Pijar yang masih bisa mengulas senyum walau tampak canggung. Ia juga melambai pada Willy yang langsung membalas salamnya.
Melalui sudut matanya, Andre memergoki wajah Pijar yang tampak seperti orang linglung saat keluar dari restoran. Andre tidak tahu apa penyebabnya. Tapi ia senang karena mungkin dengan membuka masa lalunya bersama Pijar, peluangnya untuk mendekati gadis itu akan semakin terbuka lebar.
***
>>Apa kabar kapal Heksa? Semoga masih kuat menangkal badai yang menghadang lajunya. :D
Para bucin Heksa masih yakin kalo Pijar bakalan ngeshipnya sama Heksa? JENG JENG. Semoga di part depan, hati kalian baik-baik saja.
**By The Way, aku mau ngenalin calon adik iparku ke kalian ya. (auto diamuk Bucinnya Awandre)
Buat yang masih nanyain grup chat happy birthdie, maaf banget dari grup chat 1 sampai 4 udah penuh semua. :). Tapi kalian tetep bisa say hallo dan curhat apa pun sama aku, lewat instagram atau wattpadku, kok. Dengan senang hati aku bales selalu karena aku sayang kaliaaaaaaan ^.^
To all readers, makasih supportnya ke Pijar dkk :)
Love you all,
rismami_sunflorist
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro