PERJANJIAN
*yang pada nanyain visual Pijar dari kemarin, ini gue kasih versi kartunnya.
Penampakan aslinya tinggal scroll paling bawah aja.
***
Di penerangan yang minim, Pijar berkedip tak percaya
Ini mata gue ngga rabun, kan? Beneran Heksa?
Keseimbangan Pijar seketika goyah. Heksa yang pingsan dadakan tanpa memberi aba-aba, membuat keduanya jatuh bersamaan dengan posisi awkward.
Posisi yang sering jadi sasaran empuk para paparazzi untuk menyebarkan berita hoax.
Pijar mendengus kasar saat mencoba menahan tubuh Heksa yang kekar.
Astaga, berat amat kayak dosanya...
Sepasang tangan Pijar terus menggoyang-goyangkan punggung Heksa. Sesekali dilirihkan namanya. Mungkin saja dengan cara itu, suara Pijar yang seram sampai ke alam bawah sadar Heksa.
Namun sayang, ditunggu berapa lama pun masih tak ada reaksi.
Kemarin baru aja ngatain gue, katanya dikit-dikit pingsan. Tanpa gue ikut campur, ternyata karma datang lebih cepat..
Walau dengan susah payah, Pijar mencoba meloloskan diri dari tubuh kekar Heksa yang menindihnya. Pijar yakin mampu mengatasinya sendiri. Ia tak berminat minta tolong dan merasa tak butuh pertolongan teman-temannya.
Akhirnya...
Sedikit demi sedikit tubuh Heksa berhasil digerakkan.
Buk
Tanpa disengaja Pijar, adegan selanjutnya adalah tubuh kekar itu terguling sampai membentur lantai.
Sumpah demi apa pun, kalau sampai Heksa tahu badannya yang selalu dibangga-banggakan diperlakukan mirip karung semen, doi pasti udah mencak-mencak nggak karuan.
Sambil berjongkok, Pijar mengamati wajah Heksa yang biasanya cerah ceria kali ini tampak sepucat mayat.
Jackpot! Dobel karma.
Sering ngatain gue mayat hidup, sekarang muka lo malah lebih pucat dibanding gue.
Lalu kening gadis itu berkerut sesaat. Mencari cara bagaimana memindahkan seonggok tubuh yang terbujur lemas di depannya itu ke tempat yang lebih aman.
Ide spontan melintas di otak Pijar yang sudah buntu. Sedikit nekat, tapi apa salahnya mencoba dulu?
Dan percobaan pertamanya yang paling tidak masuk akal adalah menarik-narik tangan Heksa sambil diseret dengan paksa.
"Pijar!!"
Dani muncul dari lorong lain disertai teriakan panik. "Lo bawa mayat siapa?"
Bibir Pijar mengerucut bingung. Bola matanya yang bening menampakkan sorot tanpa dosa.
"Hmm, dia masih hidup, kok." Pijar meletakkan telunjuknya di depan lubang hidung Heksa. "Nih, masih napas."
Dani menggaruk tengkuknya. Mulai frustasi meladeni tingkah Pijar.
"Kalo lo butuh bantuan, lo bisa panggil kita semua yang bisa lo andalin," sungut Dani sembari berjongkok lalu melingkarkan lengan Heksa ke pundaknya.
Pijar tersenyum canggung. Membuat Dani tak yakin jika ceramah panjang lebarnya meresap ke otak cewek mistis itu. Sembari berjalan dengan langkah terseok memapah Heksa, Dani tanggap menghubungi teman-temannya meminta bala bantuan.
Kalau Dani nggak buru-buru datang, gimana nasib Heksa, ya?
***
"Akhirnya bangun juga," ucap Pijar saat mendapati bulu mata Heksa berkedip-kedip. Ia khawatir bukan main.
Masalahnya dalam kasus ini Pijar yang jadi tersangka utama. Kalau sampai Heksa ingat kejadiannya sebelum pingsan, ia pasti diamuk habis-habisan.
Tahu sendiri gimana pedasnya mulut Heksa, kan?
"Lo pingsan apa mati, sih?" Pijar sengaja menirukan kalimat yang ditanyakan Heksa di UKS kemarin.
Meski dinadakan datar, sapaan itu membuat Heksa terjingkat. Apalagi saat kesadaranya benar-benar kembali, Pijar ada di hadapannya dengan riasan make up hantu yang belum sempat dihapus.
Yaa, meski kenyataannya sebelas dua belas dengan wajah asli Pijar sehari-hari, sih.
"Wah, si ganteng udah bangun?" Susi tergopoh-gopoh menghampiri Heksa. Walau wajah masih dipenuhi riasan make up suster ngesot, naluri genitnya malah makin menjadi. "Kenalan, dong!"
Bukannya balik menjabat, Heksa spontan bangkit dan tanpa sadar langsung melompat ke balik punggung Pijar. Menutupi wajahnya dengan helaian rambut Pijar.
"Nggak usah takut, mereka semua temen-temenku," jelas Pijar, yang malah membuat Heksa makin bergidik.
Sekarang giliran Dani yang penasaran. "Lo itu takut sama hantu, tapi lo sembunyi di belakang zombie. Mentang-mentang zombienya cantik, pinter aja lo milihnya!"
Sadar jika tangannya masih berpegangan pada pundak Pijar, refleks Heksa langsung menjaga jarak.
Kok gue bisa di sini?" Ditatap satu per satu hantu yang mengerumuninya. Badannya sudah panas dingin.
Mimpi apa semalam sampe gue bisa kejebak di sarang hantu kayak gini?
"Lo tadi pingsan." Pijar yang merasa paling bersalah, menyodorkan segelas teh hangat pada Heksa. "Nih, diminum, Sa."
Heksa sebenarnya sangat haus. Tapi ia memilih diam, tak berniat menerima minuman dari Pijar.
"Tenang, nggak beracun, kok." Niatnya mau bikin Heksa jadi lebih tenang. Tapi ekspresi Pijar yang seperti punya maksud lain, malah membuat imajinasi Heksa berkeliaran kemana-mana.
Setelah setengah dipaksa, Heksa menerima minuman dari Pijar dengan tangan gemetar. "Kok gue bisa pingsan?"
Tak ada yang menjawab. Lalu setelahnya semua telunjuk dari para hantu tertuju ke Pijar.
Disalahkan begitu Pijar langsung tak terima. "Eh, kan emang kerjaanku nakut-nakutin orang," katanya membela diri dan menjawab dengan santai.
Setelah mengumpulkan keberanian, Heksa meneliti situasi di sekelilingnya. Tenggorokannya makin kering. Mau pingsan dua kali tapi malu. Jadi akhirnya Heksa hanya bisa menarik napas panjang sambil merapal doa dalam hati.
Kalau lagi kepepet gini, doi baru inget Tuhan.
"Iya, iya. Gue yang salah." Pijar melempar tatapannya pada Heksa. "Lo mau gue anterin balik?"
"Nggak," tolak Heksa mentah-mentah. "Nggak level naik motor."
"Dasar nggak tahu terima kasih!" Dani sewot. "Udah untung lo kita tolongin. Lain kali kalo sampe kejadian lagi, kita tinggalin lo di sana biar dimakan zombie beneran."
Susi terkekeh. Karena kebiasaan ketawa ala suster ngesot, suara tawa aslinya jadi kedengaran horor.
"Lagian Pijar juga mau pulang bareng gue."
Suara dari ambang pintu membuat seluruh kepala menoleh bersamaan. "Oke, Pijar?" Wisnu melirik Heksa sejenak lalu berganti menatap Pijar.
"Maaf Mas, aku tadi bawa motor. Nggak mungkin motornya aku tinggal, kan? Hehe." Pijar tersenyum garing. "Besok-besok aja berangkat bareng sama kamu, Mas."
Heksa membatin. Telinganya gatal mendengar kalimat yang baru saja diucapkan Pijar.
Ha? Aku, kamu? Sok manis banget, sih.
Farhan, Susi dan hantu-hantu yang lain pun melongo. Udah nggak kehitung jari Mas Wisnu lagi-lagi gagal PDKT. Entah memang Pijar yang terlalu polos, pura-pura tidak tahu, atau sebenarnya Pijar tahu tapi tidak memiliki rasa yang sama.
Mungkin bagi Pijar, daripada terang-terangan menolak lebih baik digantung dulu, ya?
"Kalau gitu aku balik duluan ya." Pijar membenahi letak tasnya lalu berhenti tepat di depan Wisnu.
"Aku tadi udah makan malam sebelum berangkat ke sini, Mas." Tanpa ditanya lebih dulu, Pijar seolah menebak jalan pkiran Wisnu.
Kadang kalau ditolak mengantar Pijar pulang, Wisnu beralibi mengajak gadis itu makan malam.
Walau ternyata hasilnya sama saja, juga ditolak. Ngenes.
Setelah Pijar melenggang pergi, Heksa berniat menyusulnya. Namun sepasang kaki Heksa tertahan saat melewati Wisnu. Naluri jahilnya muncul.
Jangan panggil dia Heksa, kalau cuma diem aja melihat ada mangsa terbully di depannya.
"Yang sabar ya, Bro." Heksa menepuk-nepuk punggung Wisnu, sok kenal. "Lain kali coba lagi," lanjutnya diiringi seringai mengejek.
Sepeninggal Heksa dari tempat itu, Wisnu melangkah ke tengah-tengah anak buahnya dengan dahi berlipat.
"Cowok badung tadi bukan pacarnya Pijar, kan?" tanya Wisnu, yang direspon kompak dengan gelengan kepala sekumpulan hantu di depannya.
***
Seram. Penerangan di sepanjang lorong rumah hantu benar-benar minim. Heksa meneguk ludah. Mau minta Pijar jangan berjalan terlalu cepat, tapi rasa gengsinya masih setinggi langit.
Apalagi penglihatannya memang tidak setajam ketika berada di tempat-tempat yang penuh cahaya. Ia jadi panik dan menubruk beberapa pengunjung yang baru saja datang dari arah lain.
Ditambah ornamen boneka menggantung yang dipasang di sudut-sudut tertentu, membuat Heksa nyaris menjerit histeris.
"Lewat sini, Sa."
Tangan sedingin es yang tiba-tiba menyentuh kulitnya, membuat Heksa memekik kencang. "Anjiiir, lo bukannya tadi agak jauh di depan gue?"
"Lewat jalan pintas, kok." Pijar menjawab asal. "Tapi yang tahu cuma penghuni sini."
"Nggak usah pake acara gandeng gue segala, bisa?" Heksa sewot tapi juga takut.
Pijar mendesah lemah. "Yaudah kalo gitu, lo gandengan sama yang di samping lo aja."
Heksa mulai merasa mulas. "Ya kan cuma lo yang disamping gue bego."
"Maksud gue, di samping lo yang sana," kata Pijar dengan suara seram di tengah-tengah kegelapan.
Sialan, Pijar malah semakin menakuti-nakuti. Jelas-jelas di samping kanan gue kosong. Lalu maksudnya siapa?
Heksa ingin berteriak. Terlebih lagi, belakang telinganya sejak tadi seperti ditiup-tiup seseorang. Merinding.
Ia menoleh kaku ke arah Pijar. Memperhatikan wajah pucat gadis itu dari samping. Sungguh tampak sangat menyeramkan dibawah pencahayaan lampu remang-remang.
Tuhan akhirnya menyudahi penyiksaan tengah malam pada Heksa. Begitu sampai di area parkir, cahaya terang dari lampu-lampu jalan membuat Heksa dapat menghela napas lega.
"Yakin nggak mau bareng gue?" Sekali lagi Pijar menawari.
"Ogah," balas Heksa singkat.
Jujur saja, ia ingin Pijar segera menjauh dari pandangannya.
Namun baru sepersekian detik mereka berpisah, Heksa kembali menghampiri Pijar yang sudah bersiap di atas jok motor. Ada hal penting yang hampir saja dilupakan.
Menyangkut harga dirinya sekaligus mempertaruhkan imagenya sebagai maskot ketampanan sekolah selama ini.
"Kenapa?" Pijar menatapnya ragu-ragu.
Sok berani, Heksa menunjuk Pijar sambil melotot. "Gue peringatin, ya. Awas aja kalau sampe temen-temen di sekolah tahu kejadian ini."
"Kejadian ini?" Pijar masih tidak mengerti. Ekspresinya yang terlampau polos membuat Heksa kesal setengah mati. "Oh, maksudnya kejadian lo pingsan karena takut hantu?"
Nah, sekarang malah diperjelas. Bikin dongkol.
Heksa memundurkan wajahnya, tidak terima. "Siapa yang takut hantu?"
"Kalau lo nggak takut hantu, kenapa bisa pingsan?" Pijar menggodanya.
Heksa meneguk ludah. Kesal bercampur gemas. "Tadi gue cuma kaget. Orang kalau kaget wajar aja kan, pingsan?"
Gelengan kepala Pijar membuat Heksa makin frustasi. "Nggak. Gue kalau kaget cuma gue batin dalam hati," ucap Pijar singkat.
Mendapati wajah Heksa yang setengah tak berdaya, Pijar manggut-manggut sok prihatin.
Ini dia klimaksnya.
Pijar mengulum senyum licik.
"Oke, oke. Gue janji bakal tutup mulut, asal..." sengaja, Pijar menggantung kalimatnya, "lo mau terima tawaran dari Bu Seli. Deal?"
Heksa mengamati tangan Pijar yang menjulur di depannya.
Kalau nggak diterima, nama baiknya yang terancam. Tapi kalau diterima, jelas setelah kesepakatan ini hidup Heksa nggak akan tenang.
Jadi demi mewujudkan cita-citanya menjadi seorang selebgram, maka Heksa harus totalitas. Mengorbankan apa pun asal imagenya di depan para netizen tidak hancur hanya karena phobia konyolnya ini yang bisa saja terbongkar.
"Oke deal!" ucap Heksa lantang lantas menjabat cepat tangan Pijar.
***
*Selamat malam minggu para jomblowati. Hari ini temanya Heksa yang terbully.
Jadi, silahkan puas-puasin hujat gue. Meski gue yakin, Lo Lo pada nggak akan tega menghujat cowok tampan ciptaan Tuhan yang paling sempurna ini.
*dan yang ini, penampakan Pijar dari versi kartunnya tadi
*maapkan author yang sudah menipu kalian di foto awal tadi :p
silahkan kalo mau nampol Heksa, bisa minta tolong sama emaknya
lewat wattpad atau instagram, rismami_sunflorist
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro