Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PERHATIAN

Sihir paling mematikan adalah ketika seseorang jatuh cinta.

Tanpa mantra, kau rela menjadi bodoh, penurut dan mengorbankan banyak hal.

***

"Sebenernya gue..." Pijar menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan kekuatan. "Gue tahu kalo Kak Mia bakal kejatuhan lampu dekorasi dan –"

Heksa mendekat, penasaran. "Dan?"

"Dan seharusnya hari ini, hari kematiannya." Pijar sulit sekali berterus terang. Tapi ia yang terbiasa jujur, tentu tidak bisa mencari alasan lain di saat posisinya terjepit.

"Lo tahu kalo dia bakal is dead hari ini dari mana?" tanya Heksa yang masih merasa ragu dengan pengakuan Pijar. "Hahaha.. Lo pikir lo itu Madam? Nggak usah ngaco, Zom!"

Pijar menunduk. Rambut panjangnya yang terurai tersapu angin. Diarahkan bola matanya yang kini menajam ke arah Heksa. "Lo tadi minta gue ngaku, tapi sekarang lo malah ngetawain gue?"

Mulai ketakutan sendiri, Heksa mundur beberapa langkah. Ia sebenarnya takut untuk mengorek lebih jauh mengenai privasi Pijar. Tapi karena dilahirkan dengan naluri kepo yang sudah akut parah, Heksa mencoba mengurung ketakutannya.

"Gue benci ketemu orang yang lagi ulang tahun." Pijar membuka mulutnya lagi. "Intinya satu, kalau ada orang yang lagi ulang tahun, sebisa mungkin gue bakal menghindar."

"Alasannya?" tanya Heksa, masih sulit mencerna ucapan Pijar

"Bulan dan tahun kematian mereka bakal muncul," jawab Pijar lalu menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan. "Gue juga bisa lihat proses kematian mereka, kalau emang gue pengen lihat."

Heksa meneguk ludah, membasahi kerongkongannya yang dilanda kekeringan.

Si Zombie lagi ngibul atau gimana? Dikira gue anak kecil yang bisa dikasih dongeng-dongeng fantasi?

"Kematian Kak Mia, gue bisa tahu karena awal semester kemarin dia ulang tahun." Pijar bercerita dengan sorot mata kosong. "Dan gue akhirnya salaman sama dia. Lo tahu apa yang gue lihat setelah kontak fisik sama dia?"

Gelengan cepat Heksa membuat Pijar mendesah pelan.

"Gue lihat semua kejadian yang sama di hari ini," ucap Pijar dengan suara nyaris habis. "Bedanya, dia nggak jadi is dead." Pijar jadi salah tingkah karena tanpa sadar meniru gaya bicara Heksa.

Meski setengah tak percaya, tapi dari fakta-fakta yang dikumpulkan Heksa memang mengerucut satu hal. 

Dari kejadian di ruang guru saat Bu Ghina ulang tahun, lalu isi memo yang selalu dibawa Pijar kemana-mana.

Dan jangan lupakan ekspresi panik Pijar saat diminta memberi ucapan selamat tahun padanya.

"Kalau emang yang lo bilang ini bener, kenapa kemarin lo nggak langsung ngomong ke Mia aja kalo dia mau mati?" Heksa berusaha menggunakan logikanya. "Kan dia pasti bakal takut, terus mau nggak mau dia nurutin lo akhirnya."

Terdiam sejenak, Pijar tampak berpikir. "Katanya, pamali kalo orang-orang semacam gue ngasih tahu kemampuannya ke orang lain." Entah sebab apa, sorot mata Pijar berubah sendu. "Bisa memperpendek umur gue."

Deg!

Untuk pertama kalinya, Heksa merutuki penyakit keponya selama ini. Baru sadar kalau ternyata rasa penasaran yang berlebihan juga bisa menyakiti hati orang lain. 

Melihat Pijar yang kini sedih, entah kenapa membuat Heksa merasa tak nyaman.

"By the way, lo kenapa juga masih ngotot nolongin Mia padahal dia sendiri nggak percaya sama lo?" tanya Heksa mengubah alur pembicaraan. "Orang nggak tahu terima kasih kayak dia, harusnya biarin mati aja."

"Karena Kak Mia sebenernya baik." Pijar menarik napas panjang, teringat saat menjadi murid baru di SMA Rising Dream. "Cuma dia yang mau nyapa gue waktu pertama kali gue masuk di SMA ini."

Heksa mengerutkan kening, tidak terima. "Oh, jadi lo cuma mau menyelamatkan nyawa orang-orang yang baik sama lo?"

Mengingat trad record-nya selama ini yang tidak pernah berhenti mengusili Pijar, Heksa jadi khawatir. "Karena gue sering jahatin lo, berarti kalo kematian gue dateng, lo nggak bakal mau nolongin gue, kan?"

Pijar ingin membantah. Tapi wajah kesal yang ditunjukkan Heksa sekarang, malah membuat gadis itu berniat mengusilinya.

Astaga, sejak kapan gue ketularan julid kayak Heksa?

"Iya tergantung, sih." Pijar menjawab dengan nada menggantung. "Tergantung gue lagi mood atau nggak."

Bibir Heksa mengatup rapat, semakin geregetan. "Kampret lo, Zom! Oh, iya. Lo berarti juga lihat kematian gue, kan? Waktu itu lo sempet kasih ucapan selamat ulang tahun ke gue."

Karena Pijar tak juga mengiyakan atau menyanggah, Heksa makin nyerocos. "Jadi, kapan? Masih lama, nggak? 

"Kira-kira gue udah nikah, belum? Duhh kalo waktu gue tinggal bentar, kayaknya gue mau nikah muda aja, deh."

Belum apa-apa Heksa sudah mengambil kesimpulan sepihak. Padahal Pijar masih menutup mulut. Gadis itu juga tampak tertegun sejenak saat melihat reaksi Heksa yang berbeda dari kebanyakan orang.

Intinya, mana ada orang yang sesemangat ini saat mencari tahu kapan ajalnya datang? Gila, kan?

"Lo kan bilang kalo kemarin itu bukan ulang tahun lo yang sebenernya," celetuk Pijar, membuat Heksa langsung menatapnya serius. "Jadi ya, nggak ada yang terlihat."

Heksa berdecak. "Dasar paranormal abal-abal. Amatiran, wuuu!"

Pijar tidak terima. "Ya makanya, sekarang lo kasih tahu gue –"

"GUE JUGA NGGAK TAHU, PUAS?!" Jauh di luar dugaan, Heksa tiba-tiba marah. "Nggak ada satu pun orang yang tahu kapan gue dilahirkan, termasuk gue sendiri. PUAS LO?"

Dada Heksa naik turun menahan kesal. Ia sendiri juga heran, kenapa setiap kali disinggung mengenai asal usulnya, kemarahannya masih tidak bisa diredam. Sudah cukup lama, tapi sakitnya masih membekas.

"Ini yang namanya Pijar dan Heksa, Pak."

Sebuah suara dari belakang membuat Heksa dan Pijar menoleh.

Willy sama siapa?

"Ada yang nyariin lo, Sa." Willy mendekat lalu berbisik. "Kayaknya mau kasih lo hadiah."

Mata elang Heksa mengawasi gerak-gerik seorang pria berkacamata yang berdiri di antara Andre dan Willy. Wajah yang familiar, kayaknya mirip sama –

Jangan-jangan bokapnya, Mia? Willy kampret malah di bawa ke sini? Sialan tu anak.

"Jadi kamu yang namanya Pijar?"

Papa Mia maju selangkah, hendak memberi peringatan pada Pijar. Namun untung saja ada Andre di sana. Cowok itu langsung gesit menjadi tameng. Menghadang siapa pun yang berniat menganggu Pijar. 

Baru beberapa menit yang lalu sadar dari pingsannya, tapi udah bisa modus.

"Kamu yang sudah buat Mia celaka?" Telunjuk Papa Mia diacungkan ke Pijar. "Kamu tahu nggak, kalau apa yang kamu lakukan tadi sangat berbahaya?"

Andre yang pembawaannya memang tenang, masih diam saja. Memberi kesempatan Papa Mia menyalurkan amarah. Asal tidak main tangan, Andre juga akan menahan diri.

"Eh, Pak!"

Suara cempreng yang terdengar tidak sopan, membuat Papa Mia memasang wajah garang. Ketika berbalik ia mendapati sosok cowok berwajah arogan tengah menatapnya dengan ekspresi tak kalah garang.

"Masih mending Si Mia jatuh dari panggung yang nggak terlalu tinggi, ya. Mungkin paling parah dia bisa hilang ingatan," kata Heksa tidak peduli siapa yang sedang dihadapi. "Tapi coba bayangin kalo dia kejatuhan lampu, Pak? Bisa hilang nyawanya, alias is dead."

Gemas, Papa Mia mengepalkan tangannya di depan wajah. "Kamu jangan kurang ajar. Saya bisa laporkan kamu ke Kepala Sekolah."

Heksa berdecak sambil memasukkan tangannya ke dalam saku. Meski matanya segaris, tapi nyatanya bisa menghujamkan tatapan setajam elang.

"Silahkan, Pak. Asal Bapak tahu, Kepala Sekolah jabatannya di bawah Pemilik Sekolah, kan? Bapak tahu siapa pemilik sekolah ini?" tanya Heksa dengan ekspresi menantang.

Papa Mia tampak gusar, namun tidak berniat membalas. Ia hanya memandangi Heksa dengan sorot penuh amarah.

Heksa terkekeh dalam hati, merasa menang.

Dia pasti ngira kalo orang tua gue yang punya sekolah ini. Hahaha. Kenal aja kagak...

Willy mengedipkan sebelah matanya ke Andre. Memberi kode pada sahabatnya yang selalu bisa diandalkan dalam situasi dan kondisi apa pun itu.

Paham dengan suasana yang mendadak genting, Andre melangkah menghampiri Papa Mia. Ditarik pelan bahu Heksa agar memberinya ruang untuk bernegosiasi dengan Papa Mia.

"Sebelumnya kita minta maaf, Om. Karena mungkin teman-teman saya tidak sengaja membuat celaka anak Om," ujar Andre lalu melirik Pijar yang tampak tidak terima dengan pernyataannya. 

Tapi untungnya gadis itu hanya diam saja, tak berusaha protes. "Begini saja, Om perlu berapa untuk biaya kesembuhan Mia?" tanya Andre berusaha tetap ramah.

Papa Mia membisu. Setahu Andre, Mia berasal dari keluarga sederhana. Bantuan finansial dari dirinya tentu akan sangat dibutuhkan. Jadi mau berapa pun nominal yang disebut Papa Mia, bagi Andre tidak masalah.

Toh, kalau dipikir-pikir walau statusnya masih pelajar, tabungan Andre sudah mencapai delapan digit. Dan semua ia dapat dari keuntungan membantu bisnis katering Mamanya yang sudah memiliki cabang di mana-mana.

"Noh liat, Sa. Kalo ada masalah selesein pake otak, jangan pake otot." Willy berbisik sambil mengedip-ngedip lalu menyikut lengan Heksa. "Langsung beres, kan?"

"Sialan, lo. Mau ngatain gue bego?" umpat Heksa, memasang posisi ingin menjepit leher Willy ke ketiaknya.

Strategi Andre rupanya berhasil. Papa Mia tidak lagi menyudutkan Pijar dan Heksa. Kata beliau, Mia sudah dibawa ke rumah sakit terdekat. Dugaan sementara, gadis itu patah kaki. 

Setelah Papa Mia beranjak dari sana, Pijar mendesah lemah. Rasanya beban berat yang selama ini dipikulnya sendiri, mulai terangkat sedikit demi sedikit.

"Ndre, gue gantinya nyicil, ya." Pijar menghampiri Andre dengan memelas. "Pasti banyak banget, kan?"

Heksa merentangkan sebelah tangannya, menghalau Pijar yang hendak mendekat. "Banking lo masih yang lama, kan? Gue transfer sekarang, Ndre. Kalo mau lo cek langsung," katanya sembari merogoh ponsel Andre di saku seragamnya, hendak dikembalikan.

"Lo nggak usah geer, Zom." Kini telunjuk Heksa diacungkan ke hidung Pijar. "Gue cuma nggak mau utang budi sama Andre. Lagian tadi itu juga gue salah, mau-maunya nurutin perintah lo. Jadi gue anggap ini utang lo –"

Secepat kilat, Andre merampas ponselnya dari tangan Heksa. "Nggak usah, Sa. Gue ikhlas bantuin Pijar. Nggak usah lo transfer, atau gue balikin lagi ke rekening lo."

Heksa mengeram. Urat-urat lehernya mengencang. Jawaban yang dinadakan enteng oleh Andre itu, malah membuat emosinya terpancing.

Kenapa sih, Pijar sama Andre itu setipe? Sama-sama tenang, tapi bisa bikin gue darah tinggi.

***

Heksa menaiki anak tangga menuju koridor kelas tiga dengan wajah kencang. Napasnya memburu. Sebelah tangannya dikepalkan, diremas-remas seperti sedang pemanasan. Siapa lagi yang mau kena bogemnya?

Brak!

Seluruh pasang mata di kelas 12 IPA 4 terpusat ke sosok yang ada di ambang pintu. Baju yang dikeluarkan sebelah, dasi melorot, dan satu lagi yang membuat murid-murid di sana bergidik. 

Kepalan tangan cowok itu yang dipamerkan ke udara, seolah bersiap menonjok siapa saja yang berani mengusiknya.

"Sini lo, Van!"

Meski duduk di barisan paling belakang, mata awas Heksa berhasil menemukan sosok yang diintainya sejak tadi. "Maju atau lo mau gue yang ke sana?"

Evan meneguk ludah, Ia bangkit dari duduknya sambil bergidik. Buku-buku yang ada di mejanya sampai berserakan karena tangannya gemetar. Sebelum mengentak maju ke depan kelas, ia sempat memutar tatapannya untuk mencari Zico yang entah ada di mana.

"Aish, lama!" decak Heksa lalu melangkah lebar-lebar.

Buk!

Satu bogem meluncur ke pelipis Evan. Heksa menyeringai. Melihat kakak kelasnya itu tidak berdaya. Evan berusaha membalas, tapi Heksa yang sudah jago bela diri sejak kecil, tentu saja mudah berkelit. 

Meski ada di kandang lawan, tampak sekali jika Heksa yang akan mengangkat piala kemenangan.

"Gue ingetin sekali lagi, ya!" bisik Heksa, sembari mencengkeram kerah seragam Evan. "Sekali lagi lo ngefitnah gue, apalagi si Zom–" Heksa terdiam, lalu meralat, "apalagi lo sampe jelek-jelekkin Pijar di depan Kepsek, tamat riwayat lo di sekolah ini."

Setelah membanting tubuh Evan ke lantai, Heksa berdiri di depan kelas sambil berkoar. "Kalian nggak tahu kan siapa pemilik sekolah ini? Macem-macem sama gue, langsung kena drop out kalian!" teriak Heksa lantang, sok berkuasa.

Tak ada yang bereaksi. Murid-murid IPA yang terkenal kutu buku itu hanya diam saja melihat adik kelasnya yang berbuat onar. Belum sempat Heksa bernapas lega, sosok pria berkumis tebal seketika menghadangnya di ambang pintu. Membuatnya tak bisa kabur begitu saja dari sana.

"Ikut Bapak ke ruang BK," kata Pak Broto bersama seorang guru BK yang memandangnya takut-takut.

Heksa mendecak. Ia mengekori Pak Broto dengan ekspresi muak. Saat berjalan melewati koridor kelas tiga, matanya menangkap sosok Pijar dan Andre di parkiran bawah. Mereka terlihat berbincang sesaat di samping mobil Andre. Lalu bak sopir pribadi, Andre membuka pintu mobilnya dan mempersilakan Pijar masuk.

Baguslah, gue nggak perlu repot-repot anterin dia balik. Ndre..ndre.. lama-lama jadi kacungnya lo.

***

HAPPY SERATUS RIBU READERS!

Eh, udah lebih, ya? 

Makasih banyak buat kalian semua yang udah baca Happy Birth-die. Yang selalu nyemangatin gue, ingetin gue buat jaga kesehatan dan jangan telat makan *gue jadi berasa nggak jomblo.

Ehem, gimana para hatersnya Heksa? Udah mulai jatuh cinta belum sama dia? 

Dan kira-kira si kaleng rombeng bakal jaga rahasianya Pijar nggak, ya? 

Btw, buat para jomblowati.... gue saranin masuk GC Happy Birth-die biar nggak kerasa jomblonya. :P

Open member? Selalu dong. Tinggal chat admin aja, passwordnya... Ssssst, ultah kalian bisikin pelan-pelan ke admin. Jangan sampai Pijar tahu


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro