Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PENYELESAIAN

Rumah Sakit Medika menjadi saksi bagaimana remuknya hati Pijar sekarang. Sejak tubuh Heksa dibawa oleh perawat dengan menggunakan ranjang beroda, Pijar terus mengekori di belakang sambil berlari kecil.

"Heksa? Ya Tuhan, anakku -" Anthony datang bersama dua perawat laki-laki yang tampak lebih berumur dibanding perawat lainnya. "Kenapa bisa?" Ia lalu melirik Pijar dengan tatapan tak suka. "Kamu lagi?"

Pijar berhenti melangkah di depan pintu ruang IGD. Anthony sudah memperingatkan melalui tatapan sinis, seolah ingin mengusir gadis itu jauh-jauh dari sana. Jangankan untuk bisa ikut masuk ke ruang IGD, melangkah pun Pijar rasanya takut setengah mati.

"Kamu buat ulah lagi," celetuk Papa Pijar di depan ruang IGD. Kini tinggallah sepasang ayah dan putrinya itu. Nina juga masih ada digendongan Papa Pijar. Tapi balita itu tampak tertidur pulas, tak terusik dengan suara-suara gaduh di sana.

"Papa udah bilang, nggak usah pernah ikut campur urusan orang lain." Karena Pijar tak bereaksi, ia kembali mengomel. "Jadinya kayak gini, kan?"

Pijar membalas tatapan pria itu dengan sorot sendu. "Orang lain? Papa bilang orang lain? Aku lihat Papa sama Nina yang ada di kejadian itu, tapi Papa minta aku pura-pura nggak tahu? Pura-pura anggap kalian ini orang lain di hidup aku?"

Dada Pijar naik turun menahan sesak. Bibirnya hendak terbuka lagi, namun sosok wanita yang baru saja melintas di depannya membuat fokus Pijar teralihkan.

Tante Anita..Ya Tuhan, Papa Mama Heksa pasti marah banget sama aku. Kalau sampai keadaan Heksa memburuk -

"Orang tuanya bisa nuntut kamu. "Papa Pijar belum puas menghakimi putrinya. "Kalau kita disuruh bayar ganti ru-"

Deg!

Telah terjadi sebuah ledakan di Taman Bermain Kiddos' Kid. Menurut informasi salah satu saksi, ledakan berasal dari restoran seafood ternama yang selalu ramai dipenuhi pengunjung. Berdasarkan data yang kami terima, saat ini jumlah korban mencapai lima orang..

Headline news itu terpampang dengan jelas di layar televisi. Pijar mendongak, mendengus kasar lalu menoleh ke Papanya yang tampak terkejut menyimak berita yang ada di televisi rumah sakit itu.

Restoran itu...

Restoran yang ada di Taman Bermain Kiddo's Kid, menjadi tempat kenangan Papa Pijar yang mempertemukannya dengan sang istri.

Setiap ada moment penting, ia selalu menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya di sana. Bahkan sore ini, Papa Pijar juga berniat merayakan ulang tahun bersama Nina, sekalian mengajak putri bungsunya itu untuk bermain di Kiddo's Kid.

"Kenapa? Kaget?" tanya Pijar sinis. Ia beranjak dari duduknya lalu melangkah menghampiri Papanya yang kini dibanjiri keringat dingin. "Kalo sampe terjadi sesuatu sama Heksa, aku nggak bakal maafin Papa."

Raut wajah Papa Pijar seperti tak beraura. Pucat sebadan. Antara kaget, kecewa, bercampur lega. Kalau tadi ia nekat ke taman bermain bersama Nina, mungkin sekarang bapak dan anak itu sudah tinggal nama.

"Dari dulu kalau ada kekacauan, Papa selalu nyalahin aku tanpa cari tahu dulu kebenarannya." Pijar menatap lurus ke depan, enggan melihat Papanya. "Kematian, Mama?"

Karena Papanya hanya diam saja, Pijar berani mengorek kenangan yang paling menyesakkan seumur hidupnya.

"Gara-gara Mama sempet ngajak aku jalan berdua ke Mall, Papa mikir kalo Mama jadi telat di bawa ke rumah sakit dan akhirnya nggak bisa tertolong," ucap Pijar dengan suara parau.

Ini kali ketiga Pijar membahasnya lagi. "Padahal Papa juga denger kalo dokter bilang, tekanan darah Mama yang tiba-tiba naik, buat proses kelahiran Nina jadi banyak masalah. Itu penyebab Mama nggak bisa ditolong, Pa. Bukan karena kesalahan aku."

Bibir Papa Pijar terkunci rapat. Ia tampak tertegun, tak percaya jika Pijar bisa menebak isi hatinya selama ini.

"Sampai sekarang Papa menjadikan aku pelampiasan dari rasa sedih Papa kehilangan Mama." Pijar merosot ke lantai, duduk berjongkok di depan ruang IGD.

"Papa egois, nggak pernah mikirin gimana perasaan aku. Udah bertahun-tahun aku diperlihatkan sama kematian Mama. Tapi Mama bahkan nggak mau dengerin aku, dan malah tetep ngotot buat lahirin Nina. Siapa yang harusnya disalahkan, Pa?" tanya Pijar dengan napas ngos-ngosan menahan amarah yang memuncak.

Papa Pijar terguncang di duduknya. Tubuhnya gemetar. Ia memeluk Nina yang tertidur sambil terisak. Akhirnya pria itu sadar, jika selama ini putri sulungnya tak pernah mendapat kasih sayang semenjak kepergian sang istri.

"Maafin Papa, Nak," ucap Papa Pijar di sela-sela isakannya. "Maafin, Papa..." Di depannya Pijar melihat air mata Papanya jatuh menetes.

Apa Papa bener-bener menyesal? Tapi apa gunanya Papa sadar, kalo sadarnya dia harus ditukar dengan orang lain yang terkapar di dalam sana?

Pijar meremas-remas tangannya dengan gelisah. Sudah beberapa menit berlalu, tapi Heksa masih ditangani dokter di dalam IGD. Belum ada kabar bagaimana kondisinya, parah atau tidak lukanya, dan apa nyawanya bisa diselamatkan atau -

Ceklek .

Pintu ruang IGD terbuka otomatis. Bersamaan dengan itu, muncul sepasang dokter yang sangat familiar di mata Pijar. Papa Mama Heksa menatapnya dalam diam. Seolah ingin menyampaikan sesuatu yang tak terbaca di mata Pijar.

"Heksa udah ditangani, dan kondisinya udah membaik." Anthony berkata dengan suara dingin. "Tapi dia masih harus istirahat, jadi kamu bisa pulang sekarang."

Kepala Pijar menunduk dalam-dalam, enggan beranjak dari sana.

"Pah, tapi dari tadi Heksa ngelindur manggil-manggil nama anak ini." Anita berbisik ke suaminya. "Namanya Pijar, kan? Udah biarin masuk sebentar aja." Wanita itu mencoba membujuk suaminya yang lebih protektif pada Heksa.

Anthony mengerling pada Pijar, tampak menimbang-nimbang. "Yaudah, terserah Mama aja," ucapnya sebelum berderap pergi ke arah lain, tanpa mengucap sepatah kata pun pada Pijar.

Anita mengusap pelan lengan Pijar. "Maafin suami Tante, ya. Kalo udah urusan Heksa, dia jadi lebih galak. Kamu nggak perlu khawatir, Heksa tadi cuma pingsan. Dia kaget lihat darah keluar dari tangannya yang sobek kena batu tajam waktu kecelakaan."

Bola mata Pijar mengerjap-ngerjap. Lega bukan main. Hatinya terasa hangat, seperti sedang dipeluk oleh seseorang yang sangat ia rindukan. Pelukan hangat seorang ibu, yang lama tak ia rasakan.

Terima kasih Tuhan, terima kasih.

***

Pijar membuka pintu ruang rawat Heksa dengan hati-hati. Cowok itu sudah dipindahkan ke ruang rawat VVIP, sesuai pesan Anthony kepada perawat-perawatnya tadi.

"Lo ngapain berdiri diem di situ? Dikira lagi tugas jadi pagar ayu di acara nikahan tetangga?" Suara menyebalkan itu membuat sudut bibir Pijar tertarik.

"Bokap lo mana?" tanya Heksa yang melihat Pijar hanya seorang diri.

Baru saja Pijar hendak membuka mulut, terdengar suara derit pintu di belakangnya. Papa Pijar melangkah masuk bersama Nina yang sudah berceloteh setelah terbangun dari tidurnya.

"Om? Baik-baik aja, kan?" tanya Heksa dengan wajah sumringah. Meski tangan kanan cowok itu diperban, nyatanya ia masih tampak bersemangat. "Berarti kita berhasil kan, Zom?" bisiknya, meminta persetujuan gadis itu.

Pijar hanya mengganguk lemah, masih merasa bersalah karena sudah membuat Heksa celaka.

"Terima kasih banyak. Saya nggak tahu harus bilang apa lagi ke kalian, terutama buat kamu Heksa. Saya bukan siapa-siapa kamu, tapi kamu mau bantu anak saya sampai mengorbankan nyawa kamu sendiri," ucap Papa Pijar tulus.

Pria itu lantas berdiri di tepi ranjang Heksa. "Ini yang buat mata saya terbuka. Ketika orang lain bisa percaya sama anak saya, kenapa malah saya sebagai ayah kandungnya selalu menyalahkan dia atas semua musibah yang datang."

Heksa terkekeh pelan. "Santai, Om. Superhero cidera kayak gini udah biasa, kok."

Papa Pijar tersenyum lega kemudian memandang putri sulungnya dengan tatapan penuh kasih sayang. "Papa pulang ya, kalo kamu masih mau di sini nggak papa. Nanti Papa jemput."

Tak ada reaksi, Heksa menyenggol pelan Pijar dengan tangan kirinya. Melihat Pijar yang masih berusaha mengontrol emosi, membuat Heksa tanggap menetralkan situasi.

"Nanti gampang, Om. Biar diantar sopir saya," ucap Heksa yang langsung ditanggapi Papa Pijar dengan ucapan terima kasih.

Sepeninggal Papa Pijar, wajah ramah yang ditunjukkan Heksa mulai pudar. Kini ia sibuk menyusun rencana untuk mengusili Pijar yang masih terdiam sejak masuk ke ruang perawatannya.

"Zom, tolong ambilin kaca, dong. "Heksa mulai mengeluarkan sifat bossynya.

Pijar mendongak, menatap Heksa dengan wajah bingung. "Buat apa?"

"Buat sikat gigi," jawab Heksa sekenanya. "Ya buat ngaca lah, Zom. Hiiih..itu di dalem rak biasanya ada. Soalnya ini kan kamar VVIP, jadi komplit."

Tanpa tunggu diperintah lagi, Pijar bergegas ke lemari kecil berwarna putih yang ada di bawah televisi. Benar, ada cermin kecil berbentuk lingkaran yang langsung ia serahkan ke Heksa.

"Ah, bener kan ada lecet sedikit di deket hidung gue." Heksa berdecak sebal. "Kadar ketampanan gue berkurang 3%."

Tak ada respon dari Pijar. Gadis itu hanya diam saja sambil meremas-remas tangannya yang menopang di tepi ranjang Heksa.

"Maafin gue ya, Sa," ucap Pijar parau. Air matanya mulai berderai. "Harusnya gue nggak libatin lo."

Di sampingnya Heksa mendengus kasar. "Gue udah pernah bilang kan sebelumnya? Kalo lo nangis muka lo makin nyeremin."

Pijar menghela napas panjang. "Gue takut kalo tadi lo..."

"Is dead?" potong Heksa cepat. "Nggak lah. Lagian niat gue bantuin lo itu, sekalian buat latihan nanti kalo gue casting jadi aktor film action. Ciaaaaaat!"

Tanpa sadar Heksa menggerakkan tangan kanannya seperti hendak melayangkan pukulan menohok. Namun sedetik kemudian ia mengaduh ngilu.

"Gue janji bakal nemenin lo tiap kali ada misi penyelamatan kayak tadi. Yah, berhubung gue ini baik hati dan punya jiwa penolong yang kuat." Lagi asyik-asyiknya narsis, Heksa tiba-tiba meringis menahan sakit.

"Sa! Mau gue panggilin dokter?" tanya Pijar dengan wajah panik.

Heksa mengibas-ngibaskan kepalanya lalu menatap Pijar dengan intens. "Kayaknya gue nggak bisa nemenin lo tampil di acara PENSI. Tinggal dua hari lagi dan gue malah cidera gini," ucap Heksa sembari melirik tangannya. "Lo cari partner lain, Zom."

Kening Pijar berkerut tak suka. "Lo kecelakaan gara-gara bantuin gue, Sa. Kalo gitu, gue juga nggak mau tampil. Gue mau nemenin lo di sini sampe lo sembuh."

"Lo pengen gue cepet sembuh?" tanya Heksa sambil menaik-naikkan sebelah alisnya. Begitu Pijar mengangguk tiga kali, ia mendekat dan menatap serius gadis itu.

"Sekarang lo balik ke Andre. Jangan jauh-jauh dari dia. Biar catetan di memo lo itu nggak nambah, dan gue juga nggak makin repot," ucapnya seolah tanpa beban.

***

CIEEE, yang udah pada bisa senyum setelah galau dua malam digantung sama Heksableng. Katanya pada pengen hujat tu cowok, tapi abis mau dibikin is dead, empat grup chat pada nangis masal.

#TimPijarHeksa, makin yakin dong ini? Eitsss, jangan seneng dulu. Udah tahu author suka bikin kalian TerJeng-Jeng, kan? :P

WOY, BABAK ELIMINASI TINGGAL SEKALI LAGI. Semoga Pijar dkk tetep dapat pertahanin peringkat satu, di hati pembaca dan hati juri ya. Amin,,,

Makasih semuanyaaaa, sampai ketemu besok selasa. Buat yang menjalankan ibadah puasa dan tarawih, semangat dong ya :*

Puasa kalian nggak bakal sepi, karena bisa ngabuburit sama anak-anak member grup chat happy birthdie dong. Paling nggak, nanti ada yang ucapin selamat buka dan selamat sahur buat kalian :D

Salam sayang,

Rismami_sunflorist (on wattpad and instagram)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro