Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PENGADILAN

Apa kalian tahu? 

Lilin milik siapa yang hampir padam ini?

***

Pijar mendengus. Ia enggan mengucap kata "bantu" , "tolong" , dan sebagainya. Apalagi yang memberinya tawaran adalah Heksa, definisi makhluk ciptaan Tuhan yang paling menyebalkan menurut versinya.

"Kalo butuh bantuan bilang." Sekeras mungkin Heksa membuat Pijar terpojok. "Lo bukan Limbad, kan? Dan gue bukan Rommy Rafael. Lo pikir gue bisa nerawang isi kepala lo?"

Batin Pijar berperang. Mau menerima tawaran Heksa, tapi takutnya cowok berisik itu akan bertanya macam-macam. Tapi kalo misi ini dijalankan sendiri, rasanya akan sulit karena orang-orang di sekitarnya cenderung menjaga jarak ketika ia mendekat.

"Mau gue bantuin, nggak?" Heksa mengambil ancang-ancang untuk pergi. "Yaudah gue balik kelas aja."

Sengaja berjalan dengan tempo yang sangat lambat, Heksa menghitung dalam hati.

Dengan kepercayaan diri tingkat akut, ia yakin dalam hitungan ketiga, Pijar pasti memanggilnya lagi.

Satu...

Dua...

Ti....

Hidung Heksa kembang kempis, kesal.

Ga...

Pijar masih tidak bereaksi. Alhasil, Heksa yang malah gemas sendiri. Cowok banyak gaya itu lantas berbalik dan bergegas kembali ke tempat di mana Pijar berdiri dengan wajah cemas.

"Ah, elah.. Lo butuh bantuan apa buruan bilang! Gue penasaran, Zom!" Baru kali ini Heksa merasa penasaran setengah mati. 

Pijar akhirnya menyerah. Mungkin ia harus membuat kesepakatan dulu agar Heksa tidak bertanya macam-macam saat misi dijalankan. Dan yang terpenting cowok itu harus menuruti segala komando yang ia katakan.

"Iya, iya gue janji." Heksa mengacungkan dua jarinya setelah Pijar selesai memberi instruksi. "Biar kata anak-anak gue kaleng rombeng, tapi kaleng gue nggak bocor dimana-mana, kok."

Pijar menyeringai puas. Rupanya Heksa bisa diajak kerja sama. Namun baru sepersekian detik memuji Heksa di dalam hati, tatapan culas di depannya membuatnya seketika berburuk sangka.

"Setelah berhasil bantuin lo nanti, gue mau lo nurutin satu permintaan gue." Heksa mengulurkan tangan, menanti Pijar menyambutnya. "Deal?"

Pijar mengangguk, menyanggupi tanpa rasa takut. "Oke, nggak masalah. Asal lo bisa tutup mulut sampai misi kita selesei nanti."

***

Nyatanya, menyelinap ke dalam gedung serbaguna tidak semudah yang dibayangkan Heksa. Beberapa kali ia bersama Andre dan Willy memang menggunakan gedung serbaguna untuk gladi bersih sebelum tampil di acara sekolah. Jadi ia sudah hafal betul jalur-jalur yang jarang dilewati sekali pun.

Tapi sekarang kasusnya beda.

Apa pun yang dilakukan kalau niatnya buruk, pasti menimbulkan kegelisahan dan kesalahan tak disengaja.

"Aduh!" Pijar mengerang saat dahinya membentur pundak Heksa yang berhenti tiba-tiba.

Refleks, Heksa segera membekap mulutnya. "Heh, lo kalo mau bunuh diri nggak usah ngajak-ngajak, sih? Bu Ghina di sana, kalo kita ketahuan bisa is dead."

Pijar mencondongkan tubuhnya ke belakang, tak terima jika Heksa menyalahkan dirinya. "Siapa yang ngajak-ngajak? Tadi lo sendiri yang sukarela nawarin bantuan ke gue, kan? Pake acara maksa juga."

"Diem," perintah Heksa meletakkan telunjuknya ke bibir Pijar. Tapi karena terlalu kencang, gigi atas Pijar jadi agak tertonjok. "Hahaha, sorry." Heksa masih bisa tertawa dengan suara lirih, mirip desisan.

Bisa-bisanya dia bercanda di situasi genting kayak gini?

"Lo ikutin gue aja," kata Pijar memberi komando.

"Eits!!" Heksa buru-buru menarik kerah belakang seragam Pijar lalu menyeretnya kembali ke belakang. "Gue pemimpinnya di sini."

Pijar langsung bungkam. Mengikuti Heksa yang menjelajah gedung serbaguna yang memiliki tiga pintu utama. Satu di antaranya jarang terjamah. Ada juga lorong kecil berupa jalan setapak yang terhubung dengan ruang persiapan. 

Orang-orang harus bergantian dan mengalah untuk melewatinya. Itu sebabnya ketika keduanya berjalan melalui lorong sempit itu, Heksa yang terdengar paling sering mengeluh.

Ia baru tahu, punya badan kekar nyatanya juga bisa menyusahkan.

"Kenapa?" tanya Heksa begitu melihat Pijar tiba-tiba mematung sebelum sampai ujung. "Ada siapa?"

Heksa mencondongkan tubuhnya, melewati atas kepala Pijar. Tangannya berpegangan pada pundak gadis itu. Setelah menajamkan penglihatan, tampak dua orang anggota OSIS yang sedang berbincang dengan beberapa peserta dari sekolah lain yang bersiap mengikuti gladi bersih.

"Gue mau bawa Kak Mia keluar dari gedung ini, yah paling nggak sembunyiin dia di tempat aman dulu." Pijar berterus terang, tapi tidak menjelaskan secara detail apa yang sebenarnya hendak ia lakukan.

"Anjay, lo ternyata mau nyulik anak orang?" Biasa heboh, Heksa langsung merutuki suara cemprengnya sendiri. "Heh, lo tahu kita bisa kena pasal tindakan kriminal?" tanyanya dengan suara lebih lirih.

Heksa mendecih begitu menyadari Pijar tidak menggubrisnya. Tatapan gadis itu tertuju ke arah Mia yang sedang berlatih sendiri.

Di ruang persiapan yang sangat lebar itu diberi sekat-sekat untuk memberi privasi bagi para penampil. Jadi Pijar akan lebih mudah menyusup karena beberapa murid terlihat sedang bergerombol di sisi lain.

"Lo alihin perhatian yang lain, gue mau bawa Kak Mia keluar gedung." Perlahan Pijar bergerak menuju ruang persiapan.

Baru kali ini Heksa menurut tanpa banyak protes. Cowok itu terlihat bersemangat, membayangkan sedang berakting di film-film action untuk menjalankan sebuah misi rahasia.

Tapi jauh di lubuk hatinya, tanda tanya besar menggantung.

Sebenarnya Si Zombie mau apa?

Heksa tak punya kesempatan lagi untuk menebak-nebak karena sedetik kemudian Pijar mendorongnya keluar.

"Kyaa!"

Seketika segerombolan gadis yang ada di sana berteriak heboh begitu sosok makhluk tampan muncul ke hadapan mereka.

"Heksa?" Jessica, sekretaris OSIS menyapanya dengan nada menyelidik.

"Lo nyariin gue, ya?" Olin menyambut Heksa antusias. Ia bahkan membuat Jessica tergeser dari tempatnya.

Heksa tak kehabisan akal. Dikeluarkan ponselnya lalu  meminta orang-orang di sana berpose dengannya.

"Foto-foto dulu biar nggak panik, gaiz!" Diangkat ponselnya sampai ke atas kepala.

Misi pertama, sukses!

Heksa berhasil mengalihkan fokus orang-orang di sana yang kini menunduk memperhatikan hasil foto di ponselnya.

Di sudut lain, Pijar mengendap-endap menuju tempat di mana Mia berada. Saat sosoknya sampai di ruang persiapan, Mia yang sedang fokus dengan naskahnya seketika melonjak kaget.

"Lo ngapain di sini?" tanya Mia dengan nada tak suka.

"Kak ikut aku sebentar, ya?" Pijar mengamit lengan kakak kelasnya itu, namun langsung ditepis.

Mia maju selangkah, mendongak sambil melipat kedua tangan di depan dada. "Kalo gue nggak mau? Lo mau apa? Maksa banget mau tampil, padahal lo udah ditolak sama Bu Ghina, kan?"

"Bukan, bukannya gitu." Pijar berderap menyusul Mia yang tiba-tiba menghentak keluar ruangan.

Akhirnya, mau keluar juga.

Pijar lega bukan main. Namun sedetik kemudian, wajahnya mendadak pucat. Tanpa ia sadari, langkah Mia malah membawanya menuju tengah panggung.

Ya Tuhan, sekarang aku harus bagaimana?

***

"Pijar!"

Seruan Bu Ghina dari kejauhan, membuat seluruh pasang mata tertuju ke arah panggung. Heksa yang masih ada di dalam ruang persiapan sampai mendengarnya juga.

Menyadari Ezra yang berusaha masuk ke panggung, Heksa buru-buru menahannya.

"Biarin Pijar di sana dulu," perintah Heksa dengan nada tajam.

"Kalau acara ini kacau, kita panitia lomba yang disalahin!" Witan mengumpulkan nyalinya untuk melawan Heksa.

Salah siapa nekat, akibatnya satu bogem meluncur cepat ke pelipis Witan.

"Apa?" Heksa memandang Ezra dengan mata menyalak. "Mau bogem juga?" Ancaman Heksa berhasil membuat cowok kutu buku itu mundur beberapa langkah.

Jessica juga tak ingin mengacaukan emosi Heksa yang sedang mendidih. Maka dari itu, ia memilih diam seribu basa. Menyaksikan dan mengomentari apa yang dilihatnya di dalam hati.

Praaang!

Ada suara benda jatuh. Lalu disusul bunyi khas pecahan kaca yang memekakkan telinga. Heksa menoleh panik ke tengah panggung dan mendapati Pijar ada di sana.

Entah bagaimana bisa gadis itu duduk bersimpuh berhadapan dengan Mia yang berdiri menatapnya syok.

Ezra, Jessica dan Witan berlomba maju sampai bersebelahan dengan Heksa. Mulut ketiganya menganga. Ingin menyudahi keributan di panggung, namun Heksa masih menjadi tameng di depan mereka.

Panggung yang seharusnya menjadi tempat gladi bersih untuk acara lomba musikalisasi puisi besok, kini beralih menjadi panggung drama dua murid perempuan SMA Rising Dream.

"Lo? Semua ini gara-gara lo, kan?" Mia yang terkejut, berlari ke sudut lain. "Barusan lo pasti mau celakain gue. Untung aja, gue sempet minggir." Ditunjuk lampu kaca di depannya yang sudah menjelma menjadi serpihan.

Tim bagian properti panggung mengamankan dirinya masing-masing. Ada yang pura-pura tidak peduli, ada yang berlari keluar gedung, ada juga yang bersembunyi di ruang lain. 

"Syukur, kamu baik-baik aja, Kak," kata Pijar sembari tersenyum lega. Ia mencoba bangkit, tapi tumitnya mendadak ngilu.

Gerakan Mia yang panik, tanpa sengaja menubruk salah satu properti panggung. Rak buku di dekat Pijar berguncang sesaat, seakan kehilangan keseimbangan.

Tepat saat rak buku itu bergoyang dan nyaris ambruk, tanpa berpikir dua kali Heksa refleks melompat ke tengah panggung.

"Heksa? Ngapain?" tanya Pijar dengan suara lemah.

"Lagi renang," jawab Heksa asal. Walau panik, masih bisa bikin dongkol. "Lo nunggu apalagi? Buruan bangun, ini berat kelesss!" Ditahan rak buku itu dengan pundaknya.

Heksa mengedarkan tatapan ke sekeliling, memberi kode pada anak-anak OSIS untuk segera membantunya. Namun yang terjadi, tak ada satu pun dari mereka yang bereaksi.

Sialan, giliran dibutuhin malah nggak ada yang maju. Beraninya di belakang doang.

"Kalian berdua..." Mia berjalan mundur dengan wajah ketakutan. Dari jarak yang tak begitu jauh, Bu Ghina yang sempat terpaku karena terkejut, akhirnya menghentak menuju panggung.

Suasana mendadak hening. Kaca-kaca jendela ruang serbaguna bergetar ketika langit menyuarakan gemuruhnya. Hujan deras yang datang tiba-tiba itu seolah menyuarakan isi hati Pijar.

Di ujung panggung, Mia mulai terisak. Langkahnya yang lemah kini berusaha mencari tempat persembunyian teraman. Cepat-cepat ia menjaga jarak dengan dua juniornya yang baru saja mengacaukan acara gladi bersih. Kakinya mundur beberapa langkah, sampai tak sadar pijakannya habis.

"Aaaa!"

Teriakan Mia membuat seluruh manusia di sana tercengang. Sekuat tenaga Pijar berusaha bangkit dengan mencari pegangan.

"Mia jatuh!"

"Cepat bawa ke UKS!"

"Panggil ambulans aja!"

Suara riuh di sekitar Pijar terdengar seperti dengungan sekumpulan lebah.

Kak Mia jatuh? Dia jatuh dari panggung karena salahku? Aku berhasil menyelamatkannya dari maut, tapi kenapa ada bahaya lain yang tidak aku sadari?

Pijar menatap nanar pada Mia yang mulai dikerumuni orang-orang. Ia ingin berlari dan menolong Mia, tapi ngilu di tumitnya semakin terasa.

Apa itu berarti usahaku sia-sia?

"Awas lo kalo sampe lari. Jangan kabur." Heksa mencengkeram kerah belakang seragam Pijar dan menatapnya penuh waspada. "Ntar gue doang yang diamuk Bu Ghina."

"Lari kemana? Gue tahu kok, sampai kapan pun gue nggak bakal bisa lari," jawab Pijar tampak putus asa, hingga membuat Heksa menatapnya dengan kening berkerut.

***

*Zom, kalau nanti Buk Ghina ngomel, masukin kuping kiri aja, terus keluarin ke kuping kanan. Btw, kalo dari lo lo pada, gue lagi pegang kuping kiri apa kuping kanan? 


>> Quote terbaik dari member grup chat Happy Birth-die

*Dear silent readers, muncullah... jangan lupa vote kasih bintang dan juga komen. Kalo sampe nanti malem masih nggak mau muncul, gue bakal minta Pijar dateng ke rumah lo....

bawa temen-temennya juga!

Dan buat semua readers yang selalu support, author mau ngucapin makasih banyaaaak. Kalo abis baca jangan lupa vote ya. Abis ini kita tukar kisah seram di grup, mumpung malam Jumat :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro