PENENTUAN
30 Maret 2019
Gimana? Perasaan kalian enak, nggak? Jantung aman? Sebelum baca part ini, tarik napas panjang dulu.
Silahkan menerka-nerka apa yang terjadi, mungkin saja kalian benar.
***
"Tolong! Tolong!"
Suara murid perempuan saling bersahutan.
Deg
Rasanya dunia berhenti berputar. Jantung Pijar terguncang, berdegup terlampau kencang ketika mendengar teriakan beberapa siswi.
Tenaganya mendadak menipis. Ia mulai pesimis. Bahkan untuk melangkahkan kaki saja rasanya tidak sanggup. Tinggal beberapa meter lagi ia sampai di tempat yang ia tuju. Sumber teriakan berasal dari sana. Dan kalau sampai apa yang ia takutkan benar-benar terjadi, Pijar tidak tahu lagi akan seremuk apa hatinya nanti.
"Bu Ghi..."
Bibir Pijar berhenti mengeja. Dari tempatnya berdiri sekarang, di bawah anak tangga ia melihat tubuh Bu Ghina yang sudah dikerumuni beberapa siswi. Mereka tentu tidak kuat mengangkat tubuh Bu Ghina dan hanya bisa berteriak minta tolong.
"Woy, diangkat, dong. Malah cuma ditonton! Lo pikir lagi di bioskop, apa?"
Terdengar suara nyaring yang membelah kerumunan. Di sana Heksa sigap bertindak. Mungkin karena orang tuanya dokter, paling tidak ia sedikit paham harus memberi pertolongan seperti apa untuk Bu Ghina.
"Zom..."
Saat hendak mengangkat tubuh Bu Ghina, tatapan Heksa terangkat. Ia mengerjap-ngerjap sesaat, tak mempercayai apa yang dilihatnya sekarang.
Zombie nangis? Beneran dia nangis? Ya Tuhan, kenapa perasaan gue jadi nggak enak, ya.
Tanpa mengeluarkan suara, Heksa melempar kode pada Pijar seolah ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dibantu dua petugas rumah sakit yang rupanya berhasil ditahan Heksa, tubuh Bu Ghina segera digendong menuju ambulans.
"Bu Ghina.."
Masih berusaha menenangkan batinnya yang terkejut, Pijar menuruni anak tangga sambil berpegangan. Kepalanya pening. Seolah ada suara-suara yang saling bersahutan, menyalahkan dirinya atas kejadian yang menimpa Bu Ghina.
"Pijar?"
Suara lembut menyapa Pijar yang sedang menutup matanya dengan kedua tangan.
"Jar, semua bakal baik-baik aja. Lo harus yakin. Karena selain ucapan, keyakinan adalah doa," ujar Andre mencoba menenangkan Pijar.
Akhirnya, Pijar mengangkat wajahnya yang sudah dibanjiri air mata. Diusap-usap matanya yang tak bisa melihat sosok di depannya dengan jelas.
"Andre?" tanya Pijar memastikan walau masih terisak. "Tolong anterin gue ke rumah sakit."
***
Heksa memacu langkah dengan kencang. Ia berteriak pada orang-orang di kanan kirinya untuk segera menyingkir dan memberinya ruang berjalan. Beberapa perawat yang berjaga di koridor depan, langsung tanggap menghampirinya.
"Cepetan, woy! Sus, bawa ke IGD, panggil Dokter Handoko," perintah Heksa menyebutkan nama dokter senior di RS Medika Cahya. Sok kenal aja sama susternya, biar dikira kalau Heksa itu orang penting di sana.
Suster bernama Yulia itu mengangguk cepat. Ia memanggil dua rekan kerjanya yang kebetulan melintas.
"Heksa! Kamu anaknya Anthony, kan?"
Suara familiar dari sisi kanannya membuat Heksa menoleh cepat. "Iya, Pak. Maaf tolong pasien ini segera ditangani."
Handoko berjalan terburu-buru lalu mengikuti perawatnya yang mendorong ranjang milik Bu Ghina.
"Ini siapa, Sa?" tanya Handoko tanpa menoleh ke arah Heksa.
"Guru saya. Jadi tadi sebelum jatuh dari tangga, ada yang saksi mata yang bilang kalo Bu Ghina pegangin jantungnya. Itu berarti kemungkinan kena serangan jantung, Pak. Tapi abis itu -"
"Kamu tunggu di sini, berdoa sama temen-temenmu," potong Handoko lalu menepuk sekilas pundak Heksa.
Dokter senior itu masuk ke ruang UGD diikuti dua perawat di belakangnya. Serta beberapa tenaga medis yang sudah menunggunya di dalam.
Tubuh Pijar merosot. Di depan ruang UGD ia berjongkok sambil terisak. Pemandangan yang tak pernah sekali pun terlihat oleh Heksa dan Andre, karena selama ini mereka mengenal Pijar sebagai sosok gadis yang kuat. Kebal saat dikucilkan teman-temannya dan tetap tenang walau seringkali dicaci banyak orang.
"Woy, Bro. Gue baru denger kabar kalo Bu Ghina -"
Willy yang baru datang langsung dibekap mulutnya dari belakang oleh Heksa.
"Duh, sorry. Gue tadi lagi basket," lanjutnya setelah Heksa mengancamnya melalui tatapan. "Katanya tadi lo kekunci di ruang musik? Kok bisa?"
Heksa mengangkat bahunya. "Gue bakal selidikin nanti," jawab Heksa singkat, karena sekarang konsentrasinya sedang terbelah. Tatapannya kini fokus mengamati Andre yang duduk di samping Pijar.
Willy mendekati Heksa lalu berbisik. "Mulai jealous?"
Heksa menyikut lengannya dengan kasar. "Lo diem atau gue panggilin satpam buat ngusir lo?"
Willy langsung mengunci mulut. Daripada Heksa tambah ngamuk, lebih baik ia bergabung dengan Pijar dan Andre saja yang sejak tadi duduk bersebelahan tanpa berbincang.
Heksa yang masih berdiri di depan pintu ruang UGD, tampak bersungut-sungut karena ditinggalkan sendiri.
"Lagian tadi kalian berdua kemana, sih?" Heksa bertanya ketus. Teringat saat terkunci di ruang musik bersama Pijar, kedua sahabatnya tak bisa dihubungi. "Giliran dibutuhin malah pada ngilang. Sahabat, bukan?"
"Gue lagi main basket. Pas gue telepon lo balik, nggak lo angkat, Sa." Walau sebenarnya malas menanggapi, Willy tetap membela diri. "Kalo Andre..." Dikedipkan sebelah matanya untuk memberi kode pada Andre yang tampak tak berminat berdebat dengan Heksa.
"Gue ada urusan, penting." Jawaban Andre yang singkat namun menggantung, membuat Heksa berdecak kesal.
Pak Gustav yang tadi turut mengantar Bu Ghina, baru saja kembali setelah memberi kabar pada beberapa pegawai sekolah. Ia duduk di kursi panjang di seberang Pijar, menatap murid perempuannya itu dengan mata sendu.
Sejak mereka sampai di rumah sakit, Pijar enggan bicara. Ia hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam, menyembunyikan wajahnya yang sudah dibanjiri air mata.
Tak lama kemudian, pintu ruang UGD terbuka. Heksa yang berada paling dekat dengan pintu, langsung melenggang menghampiri Handoko.
"Pak?" tanya Heksa dengan jantung berdebar setelah melihat raut wajah Handoko. "Bu Ghina mau dipindah ke ruang rawat biasa, kan?"
Handoko tidak langsung menjawab. Ia mengawasi satu per satu murid SMA di sekelilingnya yang tampak menanti kabar kondisi pasiennya di dalam sana. Ia lantas menepuk-nepuk pundak Heksa sambil berbisik, "Tuhan lebih sayang beliau."
Petir seperti baru saja menyambar telinga Heksa. Tubuhnya kaku. Handoko bersama beberapa petugas medis lainnya sudah beriringan beranjak dari sana. Tapi Heksa masih tetap membatu di tempatnya.
"Bu Ghina nggak ter...to...long, Sa?" Andre bertanya dengan gagap."Iya?"
Heksa menganggukkan kepalanya yang terasa kaku.
"Nggak..nggak mungkin!" teriak Pijar histeris sambil menunjuk-nunjuk ke arah ruang UGD. "Bu Ghina udah dibawa ambulans tepat waktu. Gue nggak mungkin gagal kali ini, Sa!" Ia menatap Heksa dengan bola matanya yang terbuka lebar. "Lo tahu sendiri gue udah berusaha mati-matian buat nolongin Bu Ghina, kan?"
Tak sadar ada orang lain yang mendengar, Pijar memekik kencang pada Heksa. "Bilang ke dokter itu sekarang, suruh cek lagi kondisi Bu Ghina. Gue nggak percaya, Sa. Gue nggak percaya!"
Pak Gustav tersedu di tempatnya. Ia langsung memberi kabar ke beberapa guru yang ia ingat masih berada di sekolah. Sambil berusaha menahan isak, dikeluarkan ponselnya dengan tangan gemetar.
"Jar, udah..Lo harus menerima semua ini." Andre berkata selembut mungkin. Ia menepuk-nepuk pundak gadis itu untuk menenangkannya.
Pijar yang terlampau histeris tak menggubris. Ia berteriak kencang seperti orang gila. Frustasi, bahkan mungkin setelah ini ia menderita depresi karena merasa dirinyalah yang bertanggung jawab atas kematian Bu Ghina.
"Gue mau mastiin sendiri. Dokter itu pasti salah," ucap Pijar singkat, memaksa masuk ke ruang UGD yang masih tertutup.
Andre mengentak maju, menghadang gadis itu karena ia tahu jika pintu ruang UGD belum terbuka, itu berarti pihak keluarga belum diijinkan masuk.
"Sabar, Jar. Tunggu di sini dulu, ya." Meski sudah berusaha berbicara selembut mungkin, usaha Andre menenangkan Pijar berakhir sia-sia.
Gadis itu masih memaksa masuk, memanggil-manggil nama Bu Ghina dengan setengah berteriak meski suaranya sudah terdengar parau. Sampai akhirnya Heksa memutuskan untuk bertindak lebih keras pada gadis itu.
"Pijar!"
Ini pertama kalinya Heksa memanggil nama gadis itu dengan benar.
"Lo liat gue sekarang!" Heksa yang punya sifat bossy sejak lahir, selalu berhasil membuat siapa pun orang tanpa sadar menuruti perintahnya. "Ini takdir dan lo nggak bisa ngelawan kalo emang Tuhan nggak ijinin lo buat menyelamatkan nyawa Bu Ghina."
Pijar mengibaskan pundaknya yang dicengkeram Heksa. "Kalo aja tadi kita nggak kekunci di ruang musik, gue bisa lebih awal nolongin Bu Ghina."
"Kalo kita nggak kekunci di ruang musik, lo mungkin aja malah nggak liat Bu Ghina." Heksa mengurutkan kejadiannya. "Lo nggak sengaja liat Bu Ghina lewat lapangan waktu tadi lo ngintip suasana di luar lewat jendela ruang musik. Bener, kan?"
Pijar tidak bisa membantah. Tapi jelas ia masih saja terus menyalahkan dirinya sendiri. Sia-sia sudah apa yang ia perjuangkan sejak tadi.
Menelepon ambulans lebih awal, mengotori anak tangga kelas dua belas, dan sekarang apa hasilnya?
Ia gagal. Bu Ghina tidak bisa diselamatkan.
Dan Pijar merasa semua ini karena kecerobohannya.
Kesalahannya...
"Bu Ghina nggak tertolong, emang karena takdirnya hari ini. Kematiannya memang hari ini, bukan gara-gara lo nggak berhasil menyelamatkan nyawanya. Paham?" Heksa mengguncang-guncang kencang tubuh Pijar agar ucapannya didengar.
Willy diam saja. Ia menatap Heksa dan Pijar bergantian karena bingung. Tidak paham dengan kalimat yang baru saja dilontarkan Heksa untuk menenangkan Pijar. Ia nyaris menepuk pundak Andre, namun ternyata sahabatnya itu sedang memperhatikan Pijar dan Heksa dengan saksama.
"Kita bawa Bu Ghina langsung ke rumahnya." Pak Gustav muncul dengan mata sembab. "Pijar, kamu harus menerima semua ini, Nak "
Suara-suara asing mendadak muncul di kepala Pijar. Membuat gadis itu semakin berontak.
Kalo emang ini takdir, kenapa Tuhan harus memperlihatkannya padaku? Kenapa?Akan lebih baik jika aku tidak tahu sejak awal, dan biarkan semua berjalan sesuai skenario-Nya.
Diam-diam Heksa mengamit tangan gadis itu lalu menggenggamnya. Bukan genggaman yang lembut, karena rasanya lebih menyerupai cengkraman. Untuk menyadarkan orang yang sedang lepas kendali seperti Pijar, mau tak mau Heksa harus bersikap lebih keras.
"Lo kuat, Zom." Heksa berbisik ketika seorang perawat membuka pintu ruang UGD. "Kalo lo nggak kuat terus pingsan, nanti nggak ada yang gendong," ujarnya lagi masih bisa melontarkan lelucon.
Andre bergeser sampai menyebelahi Pijar. Ia ingin mengulurkan tangannya untuk merangkul gadis itu. Tapi kemudian diurungkan niatnya karena tanpa sengaja Heksa memergokinya.
"Sebentar, Sus." Pijar melangkah maju ketika dua orang suster keluar ruangan bersama tubuh Bu Ghina yang tertutupi kain putih di kasur dorong. "Saya boleh lihat?"
Saat penutup berupa kain putih itu dibuka oleh perawat, tubuh Pijar membeku. Ia merasa seperti sedang bermimpi. Berharap jika kali ini ia sedang masuk ke dimensi lain, menyaksikan kematian Bu Ghina dengan mata ajaibnya, lalu bisa kembali ke dunia nyata seperti yang biasanya terjadi.
Namun ia sadar, kali ini Tuhan memang tidak memberinya kesempatan
"Maafin saya, Bu."
Pijar berkata dengan sangat lirih. Air matanya menetes. Jatuh ke pipi Bu Ghina lalu diusapnya pelan sambil memandangi wajah guru kesayangannya itu dengan mata nanar.
Perawat yang berada paling depan segera memberi kode pada rekannya untuk segera membawa jasad Bu Ghina ke ruang jenazah sebelum diambil pihak keluarga.
Pijar enggan beranjak. Tangannya masih menggenggam erat ranjang Bu Ghina, mempertahankan diri dari para suster yang mencoba menyingkirkannya.
"Pijar, sudah." Kali ini Pak Gustav yang ambil tindakan. "Udah, Nak. Yang ikhlas biar Bu Ghina tenang."
Tubuh Pijar melemas. Ia jatuh terduduk di tempatnya sambil menatap nanar jasad Bu Ghina yang sudah di bawa menjauh darinya.
Andre terlihat mencoba merajuknya, sedangkan Heksa menyandarkan bahunya ke dinding dengan tangan terlipat di depan dada. Melihat Pijar yang merintih seperti itu, membuat hatinya turut meringis. Menangis pilu.
Dan sejak saat itu Heksa tidak menyadari, jika sihir yang dibilang orang-orang paling ampuh, mulai merasuki alam sadarnya.
***
"Lo ke rumah Bu Ghina bareng mobil gue aja," kata Heksa saat Pijar termenung di teras rumah sakit. Menanti jasad Bu Ghina siap di bawa pulang.
"Nggak bisalah," tahu-tahu Andre memprotes, "tadi dia ke sini sama gue. Otomatis kalo dia kemana-mana, juga harus sama gue. Sekalian nanti gue antar pulang juga."
Willy menengok ke samping kanan kirinya. Mulai merasa telinganya berdengung karena dua lebah sedang berdebat. "Aishhhhh, kalian ribet amat sih!" tukas Willy setengah emosi.
"Pijar biar ikut ambulans sekalian aja, dia pasti pengen nemenin Bu Ghina buat yang terakhir kali. Gimana? Setuju, kan?" tanya Willy sambil menatap Pijar.
Walau Pijar diam saja, Willy sudah mengambil kesimpulan.
"Nah, biasanya kalo cewek diem itu artinya iya." Willy memberi kode pada Pijar untuk menyusul Pak Gustav yang kebetulan melintas.
Sepeninggal Pijar, tinggalan dua cogan yang terlihat bad mood satu sama lain. Willy menaikkan sebelah alisnya, mulai malas.
"Sekarang, di antara kalian berdua siapa yang mau gue tebengin?" tanya Willy percaya diri.
Dua sahabatnya masih menutup mulut. Lama menunggu, tak ada yang menawarkan diri untuk memberinya tumpangan. Andre mengentak sambil mengibaskan tangannya ke belakang, sedangkan Heksa berdecak malas lalu melenggang tak peduli ke area parkir.
"Woy! Dasar lo temen-temen laknat, ya!"
Sadar sedang ada di rumah sakit, Willy menunduk tak enak ketika beberapa pasang mata menatapnya tajam. Ia lalu berlari kecil menyusul Heksa dan Andre yang berbarengan menuju tempat parkir.
***
Mobil ambulans yang ditumpangi Pijar akhirnya sampai di kediaman Bu Ghina. Sudah ada tenda hitam dan tikar yang digelar di teras rumah Bu Ghina. Pijar yang merasakan badannya lemah, berjalan tertatih-tatih mengikuti petugas rumah sakit yang sedang mengangkat peti jenazah.
"Eitsss." Andre tanggap menahan tubuh Pijar yang sempoyongan. "Lo mending duduk aja deh, Jar."
Willy melengos. Kesal karena kalau sudah urusan cewek, Andre jadi mengabaikannya. Ia mengedarkan tatapan, mencari-cari keberadaan Heksa yang tiba-tiba saja menghilang ketika mereka hampir sampai di kediaman Bu Ghina. Padahal jelas-jelas tadi di perjalanan, mobil mereka saling beriringan.
"Lo liat Heksa nggak, sih?" tanya Willy yang langsung ditanggapi Andre dengan mengangkat bahu.
Baru sedetik menutup mulut, Willy mendapati sesosok cowok berseragam sedang bersembunyi di balik pagar tinggi kediaman Bu Ghina. Ia mendengus jengah, memperhatikan sosok familiar itu yang tampak sesekali mengintai suasana rumah duka.
"Lo ngapain ha, ngumpet di sini?" Setelah berjalan mengendap-ngendap, Willy berhasil menangkap basah Heksa yang sedang bersembunyi." Ayo masuk. Cemen banget dah, lo." Willy mencoba menariknya.
Heksa menggeleng-gelengkan kepalanya. Sambil bersembunyi di balik pagar, ia menahan mati-matian pegangannya agar tidak terlepas.
"Gue nggak mau!" Heksa masih keras kepala. "Gue nunggu di sini aja."
Punya ide lain, Willy mengedikkan dagunya ke arah Andre dan Pijar. "Lo mau mereka berduaan lebih lama? Kalo gue jadi lo, ya -"
Belum tuntas bujukan yang dilontarkan Willy, cowok penakut itu sudah melangkah melewatinya. Willy mengulum senyum, menyadari jika usahanya berhasil.
"Wil, balik aja, deh." Heksa yang sudah ingin beranjak, diseret Willy sampai ke tempat Pijar dan Andre berada.
"Sssst, diem lo." Andre berbisik ketika prosesi pemakaman sudah dimulai. "Lo kalo masih ribut, gue panggilin petugas ambulans biar dikunciin di sana," ancamnya sambil mendelik ke Heksa.
Atmosfer di kediaman Bu Ghina seketika sunyi. Matahari yang mulai tenggelam, digantikan dengan langit yang semakin gelap. Semilir angin terasa berputar-putar di sekitar tubuh Heksa. Membuat bulu kuduk di lengannya semakin meremang.
Tepat saat jasad Bu Ghina hendak diangkat, Pijar merasa pijakannya melemah. Ia nyaris limbung kalau saja Willy tidak tanggap menahannya.
"Lo kuat, Jar," ucap Willy singkat lalu membantu Andre yang sedang menuntun Pijar.
Sementara di belakang ketiganya, Heksa sendiri kesulitan berjalan. Karena terlalu dihantui ketakutannya sendiri, ia merasa badannya kaku seperti robot. Tak bisa digerakkan, macet seolah kehabisan baterai.
Ia ingin berteriak memanggil kedua sahabatnya, namun kerongkongannya terasa kering. Baru ketika Pak Gustav muncul dari belakang sambil menepuk pundaknya, Heksa mulai berani melangkah. Gengsi kalau sampai Pak Gustav tahu phobianya kambuh.
***
Part ini lebih panjang dari kemarin, tahu apa sebabnya? Karena ini malam minggu, author paham kalo kalian bakal gabut setelah selesei baca part ini. Maka dari itu, mari gabung di grup Happy Birth-die *karena sebenarnya author pun abis posting ini juga kagak kemana-mana :D
Gimana? Ngiler kan liat notifnya?
GC1 sama GC2 udah full. GC3 udah 130 an isinya. Yuk buruan join sebelum close member.
Chat aja ke admin 0821-1800-9385
Jangan lupa add instagram rismami_sunflorist, heksaHb, PijarHb, AndreHb9 dan WillyHb9
Dan mari malam mingguan bareng sama kita di Grup ya. ^.^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro