Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

PENASARAN


Kepada suara-suara yang sering memekik kencang pada Tuhan-Nya,

Mengancam macam-macam,

Bahkan meminta takdirnya dipercepat.


Sekarang, aku menantangmu,

Silahkan pilih lilinmu dan bawa kemari,

Kita nyalakan bersama-sama.


Jangan ragu untuk ditiup,

Akan kubisikan kapan dan bagaimana kau akan mati,

Mungkin dengan cara itu,

Akal sehatmu akan kembali terbuka.

***

Heksa merasa punggungnya diketuk-ketuk. Begitu menoleh ke belakang, jantungnya langsung melompat.

Ngeri.

Lewat kaca spion, Pijar menatapnya sambil menyeringai.

"Berhenti." Meski dinadakan pelan, namun suara Pijar yang serak dan mengancam itu membuat Heksa refleks menekan rem.

"Untung aja, nyaris nabrak tadi." Pijar mengelus dadanya sambil menghela napas lega.

Heksa mengerutkan keningnya. "Nabrak apaan? Orang kagak ada apa-apa di depan."

"Tadi ada yang lewat," ucap Pijar singkat lalu tanpa sebab menunduk seperti mempersilahkan seseorang di depannya.

Pelan-pelan Heksa menggerakkan kepalanya. Penasaran dengan siapa Pijar melempar senyum. Saat tatapannya benar-benar tertuju ke arah yang ditunjuk Pijar, seketika hawa dingin merasuki tubuh Heksa.

Cuma ada pohon sama lampu jalan. Dia senyum sama siapa?

Diamatinya wajah Pijar yang juga sedang menatapnya dengan ekspresi datar. "Lo mulai nggak waras, ya?"

Pijar diam saja. Ia hanya mengamati Heksa yang sedang melirik kesana kemari. Semilir angin malam ditambah dengan lampu jalan yang berkedip-kedip seperti mau mati. Baru kali ini Heksa merasa berada di lokasi syuting film horor lengkap dengan pemeran setannya.

Njiir, tau gitu gue tadi nebeng Willy sama Andre aja. Bodo amat mau lagi marahan sama mereka, daripada gue mati ketakutan di sini.

"Udah yok, jalan lagi." Pijar memberi kode agar Heksa berukar posisi dengannya.

Tanpa diminta lagi, Heksa mundur sampai ke jok belakang. Menyerahkan stang motor pada Pijar agar tidak ada lagi perdebatan. Dengan tidak tahu malu ia berpegangan erat pada cardigan putih milik Pijar yang jadi melar karena ditarik kencang.

Di antara suara mesin motor yang berisik, Pijar ceramah colongan lagi.

"Gue bukannya nggak percaya kalo lo yang bawa motor. Tapi kalo seseorang lagi punya masalah, pasti pikirannya jadi kacau."

Heksa sudah siap membantah. Gengsi kalau dibilang dia tidak fokus sebab memikirkan Willy dan Andre.

Namun begitu akan membuka mulut, Pijar bersuara lagi.

"Kita jadi nggak bisa konsentrasi sama hal lain kecuali sama masalah itu sendiri, kan?" tanya Pijar yang langsung diiyakan Heksa di dalam hati. "Dan yang paling penting, gue nggak mau mati muda."

Saat mengucap kematiannya sendiri, dada Pijar mendadak sesak. Pikirannya bercabang. Melihat kematian orang lain sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Pijar.

Tapi bagaimana dengan kematiannya sendiri?

Pijar sudah mencoba berbagai cara untuk melihat kapan waktu kematiannya tiba. Mulai cara yang paling masuk akal, yaitu menatap dirinya di depan cermin di hari ulang tahunnya.

Atau cara kedua, yang paling konyol dan membuatnya dianggap seperti orang gila.

Ia menempelkan tangan kanan dan kirinya seharian dari pagi sampai malam, seolah sedang bersalaman memberi ucapan selamat ulang tahun.

Tapi tetap saja hasilnya nihil.

"Heh, lo ngomong apa kek." Heksa jadi makin kebelet kalo suasananya sehening kuburan. "Lo itu kalo diem malah lebih serem."

Pijar masih membisu. Mengabaikan suara Heksa yang mulai kedengaran cempreng begitu dinaikkan satu oktaf.

"Lo tahu nggak kalau di sini pernah ada yang mati bunuh diri?" kata Pijar, mulai bercerita.

Jantung Heksa langsung melompat.

Ya ceritanya nggak horor juga kelesssss

Tangannya sudah gemas ingin menjitak kepala Pijar. Tapi Pijar pakai helm, nanti malah tangannya yang sakit sendiri.

"Nggak, lo pasti ngibul, kan?" bantah Heksa, semakin mencengkeram cardigan Pijar.

"Beneran, Sa. Itu di sana." Pijar mengedikkan kepala ke sisi kiri. "Dia gantung diri di pohon itu."

Diamnya Heksa malah membuat Pijar berpikir cowok itu menantikan kelanjutan ceritanya.

"Waktu meninggal, matanya masih kebuka, Sa. Terus mukanya jadi biru-biru. Warga -"

"DIAM!" Heksa memekik kencang, Mungkin teriakan dengan oktaf paling tinggi yang pernah didengar Pijar selama ini.

Saat mulut Heksa sedang asik komat-komit mengumpati Pijar di dalam hati, sesuatu yang mengibas-ngibas datang dari arah depan. Beberapa kali sempat masuk ke mulut. Bagian ini tolong jangan sampai Pijar tahu. Bosan menyingkirkan berkali-kali, Heksa akhirnya melepas gelang karet di pergelangan tangannya.

"Diem dulu kepala lo, ya." Setengah terpaksa, Heksa mengikat rambut Pijar dengan asal-asalan. Jangan salah paham, bukan mau romantis. Tapi paling tidak setelah ini ia bebas ngomel tanpa gangguan.

"Sampe rumah gue nanti, jangan lupa dibalikin," ancam Heksa sambil menunjuk-nunjuk gelangnya yang kini melingkari rambut Pijar.

"Gelang mahal ini. Gelangnya orang tampan kalau dilelang pasti pada rebutan." Heksa mulai narsis.

Kedengarannya ketus. Tapi kebaikan sederhana yang diberikan Heksa barusan, seolah menyiratkan bahwa sebenarnya cowok serampangan itu tidak seburuk yang dibicarakan teman-teman sekolahnya.

***

"Stop!" Heksa menarik ujung rambut Pijar yang masih dikucir saat sampai di sebuah rumah bertingkat di Perumahan Cendrawasih. "Udah sana pulang!" perintahnya ketus begitu turun dari motor.

Seenak jidat Heksa mengusir Pijar dengan sadisnya. Saat hendak membuka pagar rumahnya, Heksa sempat menoleh ke belakang dan mendapati Pijar yang masih terdiam di atas motor.

"Udah sana, nunggu apalagi?" Heksa berpura-pura merogoh sesuatu dari saku celananya. "Nunggu ongkos?"

"Enggak, Sa. Gue ikhlas anterin lo sampai rumah." Dituduh begitu Pijar jadi merasa tak enak hati. "Iya, iya gue balik."

Sebelum memutar arah motornya, sepasang mata Pijar masih menatap kagum bangunan mewah yang ada di hadapannya. "Rumah lo besar banget."

Sama seperti rumah-rumah di sampingnya yang memiliki halaman luas, kediaman Heksa juga dipenuhi pot-pot bunga. Di balik pagar besi yang ujungnya runcing itu, terparkir dua mobil mewah yang sepertinya sering dijumpai Pijar di instagram para artis.

"Udah puas liatnya?" Didorong pelan stang motor yang digenggam Pijar hingga membuat cewek mistis itu tersentak.

Karena kaget dengan sentakan Heksa, siku lengan Pijar tanpa sengaja menyenggol klakson motornya.

Tiiiiiinnnn!

"Aaaarghh! Bikin masalah apalagi, sih?" Rahang Heksa mengeras. Tangannya yang dikepalkan di depan wajah seakan siap menjitak kepala Pijar. Emangnya berani?

"Eh, Heksa udah pulang, Pah!"

Mendengar suara familiar dari teras rumah, Heksa menghembuskan napas kasar.

Habislah gue kalo Papa Mama keluar.

"Arrgh, dasar lo cari masalah aja, ya!"

Heksa kembali berdiri tegap di posisinya. Menunggu suara jejak-jejak kaki di belakangnya yang semakin mendekat. Pawangnya datang. Dan itu sungguh membuat Heksa tersiksa karena harus menjadi si anak penurut ketika berada di dekat orang tuanya.

"Kamu tadi sms Pak Diman, tapi kok tahu-tahu udah di depan rumah," kata Mama Heksa sembari mengelus-elus punggung anaknya penuh kasih sayang.

"Oh, dianter temenmu ini, ya?" Menyadari ada orang lain yang bersama anaknya, Papa Heksa yang bernama Antony, langsung melempar senyum ramah.

Pijar mengangguk beberapa kali. Diulurkan tangannya dengan sopan. "Saya Pijar, Tante, Om."

"Tumben kamu bawa temen cewek." Antony ikut berkomentar ketika mendapat giliran bersalaman dengan Pijar. "Keliatannya juga beda, kalem gimana gitu."

Heksa melengos. Muak mendengar ucapan Papanya yang pasti ujung-ujungnya akan memuji Pijar.

Ya pasti bedalah. Kan Pijar bukan manusia?

Anita terkekeh mendengar ucapan suaminya. Ia lantas menatap Pijar dengan ramah. "Pijar kenapa nggak masuk dulu?"

"Tadi kata Heksa, saya langsung disuruh pulang, Tante." Pijar menjawab dengan sangat sopan.

Walau begitu, jawabannya yang terlampau jujur dari Pijar, membuat orang tua Heksa langsung terkekeh.

"Udah, nggak usah digubris anak nakal ini." Anita mengerling pada anaknya.

"Ayo Pijar, mampir dulu. Tante udah masak banyak menu buat nyicil syukuran ulang tahunnya Heksa," sindir Anita sembari mengerling pada anaknya.

Ulang tahun?

Telinga Pijar mendadak berdengung. Indra pendengarannya menangkap dua buah kata keramat yang mampu mengacaukan hari-harinya.

Tidak! Tidak lagi!

Hari ini Pijar sudah teramat lelah. Ia tidak ingin menutup malamnya dengan bayangan-bayangan buruk yang berkelebatan di sepanjang tidurnya nanti.

"Pijar?"

Panggilan lembut itu menyentak lamunan Pijar. "Iya, Tante? Jadi hari ini Heksa ulang tahun?" Tak tahu harus berkata apa, Pijar hanya bisa meneguk ludah.

"Bukan hari ini," kata Heksa dengan senyumnya yang culas. "Tapi kira-kira lima menit lagi, setelah lewat jam dua belas malam." Sambil melirik jam tangannya, Heksa mengawasi Pijar yang mulai gelisah.

Sengaja, Heksa mengulurkan tangannya untuk melihat perubahan ekspresi Pijar.

Benar, kan? Cewek mistis itu jadi ketakutan.

Apa yang sebelumnya dibayangkan Heksa, benar-benar terjadi. Pijar yang selalu datar dan tampak tenang itu seketika terguncang. Gugup. Gelisah. Kepanikan luar biasa membanjiri wajah Pijar.

"Pijar? Kok diem aja?" Suara Anthoni menegurnya.

Membuat Pijar merasakan jiwanya terbang ke beberapa hari yang lalu. Saat para guru memaksanya memberi ucapan selamat ulang tahun pada Bu Ghina.

"Woi!" pekik Heksa tepat di depan wajah Pijar. "Nggak mau ngasih ucapan selamat ulang tahun ke gue? Sombong amit.

Heksa lagi-lagi mengoceh. "Lo bisa jadi orang pertama yang kasih ucapan ulang tahun ke gue, loh. Biasanya cewek-cewek di sekolah pada rebutan di posisi itu," katanya tersenyum licik.

Semakin disudutkan, ekspresi gelisah Pijar tampak lebih nyata. Heksa sungguh sangat menikmati pemandangan yang kini tersaji di hadapannya.

Ternyata, apa yang dilihatnya di ruang guru beberapa hari yang lalu memang bukan cuma asumsinya saja. Pijar benar-benar ketakutan. Cemas. Panik luar biasa.

Hanya karena diminta memberi ucapan selamat ulang tahun?

Heksa menaikkan sebelah alisnya, penasaran. Ini kedua kalinya ia melihat eskpresi asing yang muncul dari cewek itu.

"Lima.... Empat...." Heksa menghitung mundur detik demi detik yang bergerak di jam tangannya.

"Tiga....Dua...."

Pijar ingin menangis. Tak tahan mendengar Heksa yang sedang mengeja satu per satu angka.

"Satu...."

Tak sabar menanti respon cewek di depannya, Heksa menarik paksa tangan Pijar dan menjabatnya dengan sangat erat.

Sengaja, ia terdiam sesaat memberi jeda untuk membuat Pijar semakin tertekan.

"Kenapa?" Heksa mengedikkan kepalanya. "Muka lo keliatan lebih pucet dibanding biasanya. Sekarang gue jadi nggak bisa bedain mana Pijar mana Zombie beneran."

***

Selamat Malam Jumat. Kemarin yang bener nebak siapa cast Pijar, ayok ronda ke komplek sebelah.

Sebelumnya author mau ucapin terimakasih banyak ke kalian. Karena kemarin banyak banget yang komen buat jad visual Pijar. Dan akhirnya, akun Pijar sekalian Heksa udah mulai bisa diramaikan lapaknya ya malem ini.

Mari kita bully rame-rame ke akun Heksa.

Dan buat akun Pijar, kita bisa saling tukar cerita horor mumpung malam Jumat.

Buat yang lagi perjalanan balik rumah dan lewatin jalanan sepi kayak gini, jangan lupa rapal doa ya..

Kalau mau liat fotonya Pijar sama Heksa, bisa mampir ke akun instagram rismami_sunflorist

atau pijarHb

atau HeksaHb

Terimakasih banyak readers :) Semangat dari kalian, vote, dan komen selalu aku tunggu .

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro