KETAKUTAN
"Rumah sakit ini, kenapa?" Andre tersenyum penuh arti. "Kenapa, Jar?"
Selama beberapa detik Pijar menatap Andre tanpa berkedip. Lalu setelah lama menanti, akhirnya gadis itu bicara juga. "Nggak...Nggak ada apa-apa, kok. Kita bawa ini kemana, Ndre?" tanya Pijar mencoba mengalihkan topik pembicaraan.
Nggak papa, lain kali gue coba lagi.
Sedetik kemudian Andre menunjukkan wajah ramahnya sambil menunjuk ke satu arah. "Sini, Jar. Ini dapur khusus yang dipakai karyawan. Biasanya gue taruh di sini, terus dibagi-bagiin sama OB ke ruang praktek masing-masing dokter. Waktu awal bikin bisnis, Mama gue banyak kebantu sama dokter-dokter di sini."
"OB-nya nggak dikasih?"
Mendengar kalimat yang dilontarkan Pijar, senyuman terbit di sudut bibir Andre. Tidak salah lagi. Pijar memang punya daya tarik yang berbeda dibanding kebanyakan cewek. Jaman sekarang, mana ada orang yang lebih memprioritaskan hidup orang lain dibanding hidupnya sendiri? Langka!
"Besok gue usul ke nyokap gue, deh." Andre mengedipkan sebelah matanya. "Kalo yang kasih saran calon mantunya, gue jamin nyokap langsung setuju."
Debaran jantung Andre makin terasa kencang ketika ia ingin memastikan reaksi Pijar. Ia menoleh ke belakang, mendapati Pijar malah asyik berjongkok sambil menatap takjub makanan di dalam kotak yang sudah ia buka.
Yaelah, ternyata gue dianggurin.
"Mau yang mana? Ambil aja," ujar Andre. Terlihat tidak keberatan karena sebelumnya Pijar mengabaikannya. "Bentar aku panggilin OB dulu."
Pijar ditinggal di dapur sendirian. Mungkin karena memang dapur khusus jarang digunakan, atsmosfernya jadi terasa mencekam. Kebanyakan koki juga bekerjanya di dapur umum yang letaknya agak berjauhan dengan dapur khusus.
"Nggak boleh, ini buat pelanggannya Mama Andre." Entah berbicara dengan siapa, Pijar dengan sigap juga mengamankan makanan-makanan yang dibawa Andre. "Cari makanan sendiri, jangan mencuri. Karena mencuri itu –"
"Jar?" Andre muncul dari pintu di sisi kanan Pijar, lalu mendekat dan menatapnya penasaran. "Seru banget kayaknya. Gue ganggu, nggak?"
Pijar menggeleng lemah. "Kenapa?"
"Gue ajak ke taman, yuk," kata Andre sambil mengedipkan sebelah matanya.
Ia ingin mengajak Pijar duduk santai di taman dengan maksud tertentu. Andre sungguh penasaran. Namun kalau subjeknya Pijar, apa akan berhasil? Dipancing sekeras apa pun, cewek misterius itu selalu menanggapi dengan datar.
Sesampainya di taman rumah sakit, tubuh Pijar membatu sesaat.
Air mancur, patung ini juga...
Baru setelah Andre menarik tangannya, gadis itu terkesiap sambil mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Lo kenapa, sih?" Andre sengaja memancing Pijar agar bercerita, tapi gadis itu hanya menggumam sendiri.
Andre memilih bangku putih panjang yang langsung berhadapan dengan air mancur kecil di taman rumah sakit lalu mengajak Pijar duduk di sana. "Nih, gue tadi umpetin satu buat lo."
Pie buah yang disodorkan Andre untuknya, membuat bola mata Pijar berbinar. "Woaa, ikhlas, kan?"
"Ntar, gue tanyain nyokap gue dulu." Andre pura-pura hendak mengeluarkan ponselnya. "Hahaha, bercanda Pijar." Sesaat kemudian, ia merasa ada yang berubah dari sorot mata Pijar yang mendadak sendu.
"Kenapa? Waktu gue bilang nyokap, lo kelihatan sedih?" tanya Andre sembari menyandarkan bahunya ke kursi taman. "Kita ini hampir sama, Jar. Lo cuma punya bokap di rumah, dan gue juga cuma punya nyokap. Tapi sebenernya kalo lo hilangkan kata 'cuma', semua bakal tetep terasa utuh, kok."
Tak mengerti kenapa Andre bisa dengan mudah membaca isi hatinya, Pijar hanya terdiam sembari meresapi perkataan cowok itu.
"Gimana pun keadaannya, kita masih lebih beruntung dibanding Heksa."
Andre yang tiba-tiba menyinggung soal Heksa, membuat Pijar menajamkan pendengarannya.
"Heksa kenapa? Dia punya orang tua yang lengkap. Kebutuhannya juga kayaknya selalu terpenuhi sampai bisa songong terus gitu." Sadar kalau salah bicara, Pijar mengatupkan bibirnya. "Eh, sorry."
"Don't worry, my angel," ucap Andre dengan mata genit.
Pijar langsung meralat. "Nama gue Pijar, bukan Angel, Ndre."
Daripada makin dongkol, Andre kembali mengulas topik soal latar belakang Heksa.
"Lo pikir selama ini Heksa seceria itu, karena hidupnya bebas masalah? Kagak, Jar. Biar gimana pun kondisi kita, masih beruntung karena kita punya keluarga kandung."
"Maksudnya Heksa –" Pijar ragu melanjutkan kalimatnya.
"Dia diadopsi sama Papa Anthony dan Mama Anita," jelas Andre yang seketika mengguncang dada Pijar.
"Dari panti asuhan?" tanya Pijar memastikan. "Bener?"
Andre menggeleng pelan. "Bukan dari panti asuhan, tapi dari taman belakang rumah sakit. Jaman dulu kan di sini belum lengkap CCTV-nya. Jadi waktu itu nyokap gue yang pernah jadi tukang masak di rumah sakit ini, akrab banget sama Papa Anthony dan Mama Anita. Eh, waktu mau pulang kerja bareng, nyokap gue denger suara tangis bayi."
Sungguh hati Pijar rasanya teriris. Bagaimana bisa Heksa yang punya latar belakang menyedihkan, selalu terlihat ceria di setiap situasi? Apa topeng songongnya selama ini juga digunakan untuk mengelabui orang-orang di sekitarnya?
"Berhubung waktu itu Tante Anita didiagnosis dokter nggak bisa punya anak, begitu lihat bayi itu dia langsung jatuh hati." Andre menghela napas panjang. Merasa sesak juga ketika mengingat kejadian yang pernah diceritakan mamanya. "Bayi itu ditaruh di semacam keranjang gitu, dan ada kertas di dalam plastik yang isinya tulisan nama si bayi."
Pijar bertanya dengan suara gemetar. "Heksa tahu semua ini?"
"Iya, tahu. Walau kelihatannya manjain Heksa, tapi mereka pribadi yang tegas." Andre memandangi air mancur di depannya dengan mata menerawang. "Mereka nggak mau kalo tiba-tiba ada keluarga kandung Heksa yang dateng, di saat posisinya Heksa belum tahu apa-apa. Nanti berabe, kan?"
Andre kembali berkisah. "Papa Anthony sama Mama Anita itu baik banget. Asal lo tahu ya, Jar. Mereka berdua itu statusnya juga pemilik rumah sakit ini, tapi mereka sama sekali nggak sombong. Nggak kayak –"
"Anaknya?" Pijar memperjelas sambil menahan senyum.
"Ya itu elo udah jawab." Andre menggaruk tengkuknya. "Gue cerita sama lo kayak gini, karena gue tahu lo nggak kayak cewek-cewek hitz di Rising Dream yang mulutnya pada ember. Lo kan nggak punya temen, jadi pasti nggak ada yang diajak nggosip, kan? Hee, peace."
Jeda sesaat, Pijar hanya menanggapi dengan senyum kikuk. Hening melingkupi keduanya. Tak ada yang mengeluarkan suara karena sibuk dengan pikirannya masing-masing. Pijar merasa sangat iba dengan cerita hidup Heksa yang dikisahkan Andre. Sedangkan Andre sibuk mencari topik yang menarik untuk dibahas.
"Ndre, anterin gue pulang aja, ya." Suara Pijar memecah keheningan. Tiba-tiba hatinya tidak nyaman, terganggu setelah mendengar cerita Andre soal Heksa. Pijar merasa sikapnya selama ini ke Heksa kurang baik.
Gue janji, setelah ini gue nggak akan pernah bikin Heksa kesel lagi. Walau sebenernya dia yang lebih sering gangguin gue, sih.
Saat keduanya beranjak dari kursi dan mulai melangkah menjauhi taman, Pijar dikejutkan dengan sosok yang sejak tadi menganggu pikirannya.
Tatapan Andre turut mengekori. Dalam sepersekian detik, sepasang mata bolanya membulat penuh. Syok. Kaget. Posisi ketiganya kini berdekatan. Hanya terpisah beberapa meter dan itu membuat Andre merasakan De Javu.
Gawat, apa Heksa mengingatnya juga?
Heksa termenung sesaat. Menatap Andre dan Pijar bergantian. Lalu tatapannya beralih ke air mancur yang ada di taman, merasa ada sesuatu yang memaksanya mengorek-ngorek ingatan masa lalunya.
Tak lama kemudian, ia mengentak melangkah lebar-lebar menghampiri Pijar dan Andre yang hanya diam membatu.
"Kalian berdua ngapain ke sini?" Heksa meletakkan tangannya ke pinggang, sok bossy. "Terutama lo, Zom. Lo mau bikin pasien-pasien di sini mati ketakutan gara-gara liat lo?"
Andre hanya mengulum senyum. Dimasukkan sebelah tangannya ke saku sembari mengamati tingkah absurd sahabatnya. Untung aja, Heksa nggak inget.
"Lo tahu siapa pemilik rumah sakit ini?" Heksa melipat kedua tangannya di depan dada. "BOKAP NYOKAP GUE!" lanjutnya dengan suara toa tepat di telinga Pijar.
"Gue nggak tanya, Sa." Pijar yang baru mengucap tiga patah kata, seketika membuat Heksa mengatupkan rahang. SKAKMAK!
Kesal sendiri, Heksa membuang napas kasar. Ia sebenarnya penasaran bukan main melihat Andre dan Pijar yang berduaan datang ke rumah sakit milik orang tuanya. Mau tanya gengsi, jadi ia memilih mengusili keduanya agar cepat-cepat out dari sana.
"Selamat ulang tahun, Ezra!"
Di balik punggung Heksa, terdengar seorang wanita berseru. Ia menoleh dan mendapati seorang wanita yang sedang mencium kening anak laki-laki yang sedang duduk di kursi roda.
"Eh, ada yang ulang tahun?" Andre mengamati sesosok wanita yang kini memeluk anak laki-lakinya di kursi roda. Sebelah kaki anak laki-laki itu tampak dibalut perban. "Semoga kadonya dia cepet sembuh, ya."
Pijar tidak ingin diperlihatkan dengan waktu kematian orang lain. Apalagi posisinya sekarang, ia sedang berada di rumah sakit. Banyak orang yang sedang berjuang untuk tetap hidup. Kalau bulan dan tahun kematian mereka muncul, rasa-rasanya hati Pijar ikut patah.
Karena tidak siap mengambil ancang-ancang untuk menutup mata, tanpa bisa dihindari akhirnya Pijar bertatapan langsung dengan bola mata bening anak laki-laki itu.
Beberapa detik menunggu, bulan dan tahun kematiannya belum muncul. Satu menit setelahnya hanya terlihat bayang-bayang angka yang mengabur. Entah sebab apa, tapi Pijar semakin meyakini jika ada sesuatu yang janggal.
Kalo gue nggak salah inget.... waktu ulang tahun Bela, Heksa juga ada di deket gue, kan? Dan waktu gue diminta kasih ucapan ultah buat Bu Ghina waktu di ruang guru? Heksa tiba-tiba dateng lalu tulisannya...
Kenapa? Kenapa tiap kali ada Heksa mata ajaib gue jadi normal?
Heksa yang terlambat menyadari langsung kelabakan. Bergantian ia menatap Pijar dan si anak laki-laki yang terlihat didorong sang Ibu menuju taman rumah sakit. Itu berarti... mereka akan melewati tempat di mana Pijar sedang berdiri dengan wajah gelisah.
Wuzzz..
Tiba-tiba Pijar merasakan tangannya ditarik kencang. Ia bahkan mengira jika angin yang membawanya terbang ke tempat lain.
Oke, gue ngelakuin ini karena nggak mau terjadi masalah di rumah sakit gue. Bukan karena mau nolongin si Zombie gila ini.
"Sa? Ini bukan lapangan, ngapain lari-lari?" tanya Pijar ketika menyadari jika Heksa yang terus mengajaknya memacu langkah.
"Berisik lo, diem."
Merasa Heksa terlalu berlebihan, Pijar mencoba menahan pijakannya. Namun karena tarikan di tangannya terlalu kencang, ia jadi ikut terseret ke arah yang dituju Heksa. Dan setelah sekian lama berlari, Heksa yang tidak memperhatikan situasi di depannya langsung masuk asal ke salah satu ruangan.
"Nah, lo ngumpet di sini dulu aja. Daripada kalo lo jalan di sekitar rumah sakit, terus ketemu orang yang lagi ulang tahun, lo pasti jadi bikin masalah." Heksa nyerocos panjang lebar sambil mengintai situasi di luar dari jendela yang tertutup tirai.
Sadar jika Pijar hanya diam saja, Heksa berbalik. Tangannya seketika mengepal erat. Tiba-tiba oksigen di sekitarnya menipis. Lehernya serasa dicekik saat melihat beberapa orang berbaring dengan ditutupi kain berwarna putih. Mereka tidak bergerak. Tidak juga menyapa kedatangan dua remaja itu.
Orang-orang yang ada di depan Heksa sekarang, terbujur kaku di pembaringannya masing-masing.
"Oh, lo ngajak gue ngumpet di kamar mayat, Sa?" tanya Pijar dengan wajah polosnya. "Di sini bakal aman?"
***
Malam minggu, jomblo pada aman, kan? Hujan dari siang, pasti pada bersyukur....
Pertanyaannya sekarang, kira-kira di next part, apa yang bakal terjadi dengan Heksa?
a. pingsan
b. pipis di celana
c. kabur sambil teriak-teriak kayak orang gila
>>Oh , iya. Sebelumnya makasih banyak buat yang udah mau join ke Grup HB. Tapi maaf banget, dua grup kita udah full. Dan rencananya, akan dibuat grup ketiga buat readers HB.
Pada setuju, nggak? Koment dongs :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro