Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

KESEPIAN


Saat lilin milik orang lain padam, pijarnya tidak akan lagi tampak. Jiwanya ikut menguap bersama sisa-sisa asap yang melayang menembus awan.

***

Di kamar yang tirainya tertutup rapat itu, Pijar memandangi layar ponselnya dalam kegelapan. Ia duduk di lantai sambil menyandarkan bahu di tepi ranjang. Seolah baru saja memikul beban yang sangat berat hingga membuatnya tak bisa lagi menegakkan tubuh. Ia mengamati satu per satu foto Bu Ghina yang ia simpan di galeri ponsel.

"Bu Ghina..." Pijar berkata dengan sangat lirih, tatapannya nanar.

Foto pertama, saat ia hendak mengikuti lomba di sekolah lain. Sebelum masuk ke ruang kompetisi, pihak penyelenggara lomba mengabadikan fotonya bersama Bu Ghina.

Foto berikutnya, tampak Pijar yang menggenggam piala kemenangan setelah dinobatkan menjadi juara favorit di lomba bulan bahasa kala itu. Tentu saja, ada sosok Bu Ghina di sampingnya yang mengarahkan jempol ke kamera.

Tepat ketika gadis itu sedang mengusap-usap foto Bu Ghina, tampilan layar ponselnya tiba-tiba berganti. Satu panggilan masuk dari seseorang yang ternyata sejak pagi tadi mencari keberadaannya di sekolah.

"Pijar? Lo kok nggak masuk, sih?" Sebelum Pijar menyapanya, Andre lebih dulu bertanya tidak sabar.

"Iya, Ndre. Gue butuh waktu," jawab Pijar tidak semangat. "Rasanya masih nyesek."

Andre mendesah lemah. "Bentar lagi balik sekolah. Gue mampir, ya. Mau gue bawain apa?"

Jujur saja, untuk saat ini Pijar malas bertemu siapa pun. Tapi karena ia merasa masih memiliki utang budi dengan cowok itu, Pijar terpaksa diam. Apesnya, para kaum adam seringkali menganggap diamnya cewek berarti 'mengiyakan.'

"Halo?" sapa Andre setelah menunggu suara Pijar muncul. "Lo tidur lagi, ya?" Niat Andre bergurau, tapi malah terasa garing dan makin canggung.

"Kalo mau ke sini boleh kok, Ndre. Nggak usah bawa apa-apa." Pijar yang sedang kehilangan semangat, semakin bingung menanggapi Andre.

"Gini aja, lo minta apa, deh? Nanti gue -"

"Kalo gue minta lo ke sini sama Bu Ghina, bisa?" tanya Pijar, memotong ucapan Andre. "Nggak kan, Ndre?"

Dari seberang sana, terdengar Andre menghela napas lemah. "Jar, lo nggak boleh gitu."

"Sorry, Ndre." Hanya itu yang bisa diucapkan Pijar. Ia tahu, sekeras apa pun orang-orang mencoba menghiburnya, semangat hidupnya tidak akan kembali lagi dalam waktu dekat.

Setelah sambungan telepon terputus, Pijar mengangkat wajahnya. Tatapannya menelusuri sekeliling kamar. Hanya ada jendela berukuran kecil yang selalu ditutupi tirai tebal. Tidak ada sedikit pun penerangan. Dan karena letaknya di ruang paling belakang, sinar matahari tidak bisa menelusup sampai ke dalam kamarnya.

***

Karena putri sulungnya tidak bisa diganggu untuk sementara waktu, Papa Pijar terpaksa membeli makan siang di warung dekat rumahnya. Sejak pagi ia sudah mencoba mengetuk pintu kamar Pijar, memaksa gadis itu keluar untuk membuat sarapan.

Tapi yang terjadi gadis itu bahkan tidak menjawab teriakannya dari depan pintu kamar. Merasa ada yang tidak beres, Papa Pijar terpaksa mengalah. Membiarkan putri sulungnya itu berdiam diri di dalam kamar untuk waktu yang tidak ia ketahui secara pasti.

Mungkin kalau lapar, nanti dia keluar.

Sambil menggendong Nina, pria itu menjinjing sebungkus kantong plastik hitam di tangan kiri. Ia hampir sampai rumah, tapi matanya menemukan sosok asing yang tampak mencurigakan sedang berdiri di depan pagar rumahnya.

Siapa, ya?

Papa Pijar berjalan mengendap-endap. Ia memeluk Nina dengan erat. Dari jangkauan pandangnya sekarang, ia mengawasi sosok cowok yang sedang mengintai rumahnya dari balik pagar.

Jangan-jangan mau maling?

Panik, Papa Pijar mengedarkan tatapan ke sekelilingnya. Sepi. Kalau masih siang begini para tetangga sibuk bekerja, atau yang berada di rumah pasti sedang sibuk menyiapkan makan malam sambil mengasuh anak.

"Siapa kamu!" teriak Papa Pijar sambil memukul pantat cowok asing itu dengan sapu yang teronggok di luar pagar rumahnya. "Maling, kan? Maling...maling ...!

"Aduh..aduh!" Cowok itu mengerang kesakitan. Bukan sakit, sih. Geli lebih tepatnya saat bulu-bulu sapu menyentuh kulitnya. "Aduh, Om. Saya bukan maling."

Dalam sekali tangkap, cowok itu berhasil mencekal gagang sapu yang masih digenggam Papa Pijar.

"Saya ini selebgram, Om. Jadi nggak bakal saya jatuhin image saya cuma buat maling rumah." Heksa mulai melancarkan senjata pamungkasnya, SONGONG.

Ia melirik sebal ke arah Papa Pijar. Orang kalo mau, bisa gue beli ini rumah sampe seisi-isinya sekalian.

Papa Pijar mengeratkan pelukannya pada Nina. "Terus kamu mau apa?"

"Ehem." Heksa bersiap memperkenalkan diri. "Nama saya Heksa, Om. Teman satu sekolah Pijar."

Papa Pijar memandang ragu. Ia memperhatikan penampilan Heksa dari ujung kaki sampai ujung kepala cowok itu yang ditutupi topi. Setelah melihat pakaian bebas yang dikenakan Heksa, matanya semakin memicing. 

"Kok nggak pakai seragam?" tanya Papa Pijar dengan ekspresi ketus. "Katanya teman sekolah Pijar?"

"Oh, ini tadi saya bawa baju ganti, Pak." Heksa menjawab asal.

"Terus kenapa tadi nggak langsung masuk? Malah longak-longok di sini?" Masih curiga, Papa Pijar menatapnya dengan mata memicing.

Gelagapan, Heksa menggaruk tengkuknya. Menghadapi orang yang tidak ramah bukan perkara mudah. Apalagi orang yang baru pertama kali ia temui. Maka dari itu, Heksa berusaha bersikap selow. Walau rasanya sudah ingin mencak-mencak karena terus dinterogasi.

"Takutnya saya salah alamat, Pak. Nanti jadinya kayak lagu Ayu Ting Ting, Alamat palsu. Hahahaha." Heksa tertawa garing. "Kesana kemari membawa alamat. Jeng! Jeng!" Lalu dengan tidak tahu malu, ia berlagak seolah-olah sedang memainkan gitar.

Padahal sebenarnya, Heksa hanya ingin lewat rumah Pijar untuk memastikan gadis itu ada di rumah. Ia tidak berniat mampir, apalagi setelah melihat rumah Pijar yang tampak suram. Eh, malah kepergok terang-terangan sama Papa Pijar kalau dia lagi menguntit.

Apes bener gue..

Mulai pening menghadapi remaja di depannya, Papa Pijar memijit-mijit dahi. Nina yang terbangun, tiba-tiba berceloteh sendiri ketika melihat ada orang asing di depannya. Namun tak lama kemudian balita itu mulai terisak. Tangisannya makin kencang saat Heksa mencoba akrab dan bergurau dengannya.

"Eh, liat cowok ganteng kok malah nangis, sih?" tanya Heksa tanpa wajah bersalah. Lalu tatapannya terlempar ke arah Papa Pijar sambil membatin, "pantes aja orang setiap hari ketemunya sama singa."

"Yasudah, silahkan masuk," ucap singkat Papa Pijar lalu membuka pagarnya.

Namun baru beberapa langkah kakinya masuk ke halaman rumah, pria itu merasa situasi di belakangnya hening. Tak aja jejak kaki lain yang terdengar. Ia lantas menengok ke belakang dan memandangi Heksa yang masih terdiam dengan kening berkerut.

"Kenapa masih di situ?" Papa Pijar bertanya heran. "Mau masuk nggak?"

Heksa menggoyang-goyangkan kakinya, bimbang. Dari tempatnya berdiri, bangunan rumah Pijar terpampang dengan jelas. Pohon lebat di halaman, suasana di teras yang suram karena dipenuhi pot-pot berwarna putih dan tanaman yang tinggi, serta cat rumah yang sudah pudar.

"Hmm, saya tunggu di sini saja, Om. Sekalian mau berjemur biar sehat. Hahahaha." Lagi-lagi Heksa tertawa sendiri.

Bukannya sehat, yang ada malah gosong gue. Tapi daripada gue harus masuk rumahnya, sih.

"Kalau mau tunggu di luar ya, terserah. Biar teman-teman Pijar yang nemani kamu di situ," tukas Papa Pijar lalu membuka pintu rumahnya.

Glek.

Heksa merasa kerongkongannya kering. Setelah ditinggal sendirian oleh Papa Pijar, ia mengedarkan tatapannya ke situasi di sekitar rumah Pijar. Sepi. Tak ada satu pun kendaraan yang lewat. Ia menggenggam erat ujung pagar di depannya untuk menghalau rasa takut yang mulai menelusup ke dada.

Saat tiba-tiba ranting pohon di halaman rumah Pijar patah lalu terjatuh, Heksa yang kaget langsung melesat cepat menyusul Papa Pijar sambil berteriak ngeri.

"Ommmmmm, saya ikuuutttt!"

***

HALO KALIAN SEMUAAAAAA. *Nyapanya langsung ngegas, soalnya lagi seneng karena GC3 penuh dalam waktu tiga hari.

*Oh iya, buat yang masih chat ke admin buat gabung grup, ini aku SS in yak isi member per grup nya

*Ternyata cuma muat sampai 256 member, Gaiz. Mau masukin lagi udah nggak bisa. Huhu. Masih ada beberapa yang mau gabung dan chat admin.

>>>Otw GC4, boleh? Atau jangan? :D

Yang masih nunggu antrian bisa gabung grup, boleh kok ngobrol sama aku di instagram atau wattpad rismami_sunflorist

Makasih banyak kalian readers setia Happy Birth-die! Buat siders, ayo muncul, komen dan jangan lupa klik bintang ya. Dukungan kalian sangat berarti banget buat aku :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro