Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

KESALAHAN

Dua lilin milik orang-orang yang aku benci, nyaris padam.

Aku berniat mengabaikan,

namun tiba-tiba datang pertolongan melalui uluran tangan seorang teman.

***

Heksa hanya butuh waktu lima belas menit untuk sampai ke rumah Pijar. Rambutnya seperti korban sengatan listrik, awut-awutan mirip orang gila yang sering lewat di pinggir jalan.

"Nina, Nina!" Pijar langsung menghambur ke dalam rumah begitu pintunya berhasil terbuka. "Nina, kamu di mana, Nin? Pa?" Kerongkongan Pijar tercekat ketika mencoba memanggil Papanya.

Tak mendapat jawaban, Pijar berlari ke ruang tengah. Namun nihil, tak ada Nina yang sedang bermain atau pun ayahnya yang sedang menonton TV. Ia bergegas ke kamar Nina, tapi ranjangnya kosong. Lalu ia teringat harus pergi kemana.

"Gimana?" tanya Heksa yang tergopoh-gopoh menyusul Pijar. Setelah mendapati Pijar yang menggeleng dengan wajah lesu, ditarik gadis itu keluar rumah. "Yaudah, kita susul aja ke sana. Buruan naik ke motor gue, eh.. motor lo maksunya."

"Gue tau harus ke mana. Tapi gimana kalau terlambat?" tanya Pijar gelisah. Wajahnya pucat pasi. Sekuat tenaga ia berusaha menghalau reka adegan kematian Papanya yang terus berputar di otak.

Pijar mencengkeram erat pinggang Heksa. Kali ini ia tak banyak protes. Duduk manis dan memberi kesempatan pada Heksa untuk mengemudi, mungkin adalah keputusan yang terbaik. Mengingat sekarang, konsentrasi gadis itu tak akan bisa fokus ke jalanan.

***

"Bener ke arah sini?" Heksa memastikan sebelum berbelok ke kiri.

Pijar memegangi pundaknya, setengah berdiri. "Iya, bener. Habis toko buku itu mungkin lima ratus meter lagi sampai." Telunjuk Pijar diacungkan ke satu arah. "Ya, situ! Eh, Eh.. bentar! Itu kayaknya mobil Papa!" pekik Pijar dengan tak sabar.

Mobil sedan berwarna putih yang terparkir di pom bensin menarik perhatiannya. Ia lantas memberi aba-aba pada Heksa untuk menepi, mendekat pada mobil yang ia maksud. Benar, Papanya sedang mengantre untuk mengisi angin pada roda-roda mobilnya.

"Iya, bener! Itu mobil Papa!"

Belum sempat Heksa mematikan mesin motornya, Pijar melompat cepat dan lari begitu saja tanpa mengawasi situasi jalan. Alhasil, tumitnya terkilir dan membuat gadis itu sedikit merintih.

"Papa!" Teriakan Pijar terjangkau indra pendengaran Papanya. Tapi yang terjadi, pria bertubuh gempal itu hanya mengerling tak peduli. Ia masuk ke mobil, menyalakan mesin bersiap melanjutkan perjalanan.

"Nina.." Lirih Pijar menggumam. Hatinya sakit. Tenggorokannya pun dilanda kekeringan.

Memikirkan bagaimana takdir Nina nantinya, membuat seluruh syarafnya lemas. Namun ia tak boleh menyerah begitu saja. Dipercepat ayunan langkahnya, sambil terus berteriak histeris seperti pasien yang kabur dari rumah sakit jiwa. Ngilu di kakinya pun diabaikan begitu saja.

Dengan gagah Pijar merentangkan tangan. Menjadi tameng di depan mobil papanya yang terpaksa harus berhenti mendadak karena ulah gila anaknya.

Tatapan orang-orang mulai terpusat ke arahnya, tapi tak ada satu pun dari mereka yang mencoba mencari tahu. Beberapa petugas juga sempat menoleh, namun terlalu sibuk untuk mendekat. Mereka pikir, sedang ada drama biasa antar anggota keluarga yang tengah berselisih.

"Minggir!" teriak Papanya sambil menjulurkan kepala keluar jendela. Ia sudah duduk di depan kemudi, tapi putrinya tiba-tiba datang menganggu.

"Pa, jangan pergi, Pa," ucap Pijar setengah terisak. Diabaikan tatapan dari orang-orang yang sedang antre mengisi bensin. Untung saja sore itu suasana di pom bensin sedikit lengang. Walau sebenarnya masih banyak mata yang mengawasi penuh selidik.

"Mana Nina? Nina, Nina!" Menyadari Nina masih ada di dalam mobil, ia menghambur sembari membuka pintu mobil di sisi sebelah kemudi.

"Pijar! Kamu mau bawa Nina ke mana!" pekik Papanya dengan urat-urat leher yang menegang. Ia keluar dari mobil menghampiri Nina yang kini ada di gendongan Pijar. 

"Jangan bikin keributan di sini! Malu-maluin!" Papanya memberi peringatan dengan nada mengancam.

"Sana pergi!" Cepat-cepat ia merebut Nina kembali. Meski Pijar berusaha mempertahankan, toh tenaga Papanya tentu jauh lebih kuat. "Nggak usah ikut campur urusan Papa!"

Tubuh kurus Pijar seketika ambruk ketika Papanya tanpa sengaja mendorongnya dengan kencang. Tak kehabisan akal, Pijar melingkarkan tangannya ke kaki Papanya. Membuat kondisinya tampak mengenaskan di mata orang-orang yang ada di sana.

"Pa... Jangan bawa Nina.." Pijar merengek sembari mencoba menahan langkah Papanya.

"Woi! Rampok!" Papa Pijar tiba-tiba berseru. Kini fokusnya bukan Pijar, melainkan ke arah mobilnya yang masih terparkir dengan pintu terbuka.

"Heksa?" Lirih Pijar menggumam dalam hati. Samar-samar ia mendapati sosok cowok yang melesat cepat keluar dari mobil Papanya.

Kini tatapan Pijar terlempar pada Heksa yang sedang menggoyangkan-goyangkan kunci mobil Papanya ke udara. Tidak hanya itu, Heksa juga merampas ponsel Papa Pijar yang ditinggal di atas dashboard. Secepat kilat cowok berlari tak tentu arah, menjauhi Pijar dan Papanya.

"Rampook! Rampok!" Papa Pijar berteriak panik.

Sambil memeluk erat Nina, tangannya yang bebas menunjuk-nunjuk Heksa. Ia juga ingin berlari menyusul orang-orang yang berusaha mengejar Heksa, tapi kakinya tak bisa digerakkan. Putri sulungnya masih bergelayut di sana. Pijar bahkan tidak peduli ketika gesekan aspal membuatnya lecet di beberapa bagian.

Ciiiiit

Brak

Terdengar suara benturan keras yang membuat Pijar seperti mendengar sambaran petir di siang yang begitu terik. Pom bensin letaknya di jalan raya utama, tentu banyak sekali kendaraan yang melaju kencang. 

Dan sekarang....

Pijar melihat sebuah kecelakaan naas terjadi di depan matanya.

Lutut Pijar lemas. Jiwanya seolah ikut melayang saat menatap tubuh Heksa yang berguling-guling di jalanan yang ramai. Terdengar suara derit roda-roda kendaraan yang di rem paksa. Pijar ingin segera berlari, berteriak minta tolong. Tapi seluruh syarafnya seakan mati rasa.

"Heksa!"

Sekuat tenaga Pijar berusaha mengkokohkan laju kakinya. Sekarang ia tak dapat melihat keberadaan Heksa dengan jelas karena orang-orang juga mulai berkerumun. 

Sampai akhrinya ia sampai di tepi jalan, di mana tubuh Heksa dibaringkan.

"Pak, pak..." Suara Pijar mulai serak. "To...long.. ba..wa," jeda sejenak, Pijar menghirup napas panjang untuk mengumpulkan oksigen, "tolong bawa teman saya ke mobil itu, Pak," katanya sambil menunjuk ke mobil Papanya yang masih berhenti di pom bensin.

Sebelum tubuh Heksa dipindahkan, Pijar menyambar kunci mobil Papanya yang tergeletak di dekatnya. Selama beberapa detik ia membeku, bergidik melihat Heksa yang terbiasa bersemangat itu tampak sangat pucat.

Suara riuh orang-orang yang berkumpul, mulai membuat telinga Pijar berdengung. Si penabrak nyaris dihakimi masa. Beberapa laki-laki mencengkeram lengannya, ada pula yang mencoba menghubungi pihak kepolisian. Sementara yang lainnya membantu mengangkat tubuh Heksa untuk dibawa ke dalam mobil Papa Pijar.

"Sini Pak, sini." Pijar masuk lebih dulu. Gadis itu memberi komando pada orang-orang di sana untuk meletakkan tubuh Heksa di pangkuannya.

Selang beberapa detik, Papa Pijar masih enggan masuk mobil. Pria itu hanya beberapa kali melirik Pijar dengan sorot ragu. Cemas nelihat Heksa yang malah celaka karena berdekatan dengan Pijar.

"Pa, tolong bawa Heksa ke rumah sakit sekarang!" Pijar memang terdengar membentak, namun itu ia lakukan karena terlampau cemas. Bulir-bulir air terus membanjiri pipi gadis itu, lalu turun perlahan sampai membasahi wajah pucat Heksa.

Papa Pijar berdecak sesaat lalu merampas kunci mobil yang disodorkan putrinya. Saat mobil melaju dengan kencang, Pijar yang duduk di belakang kemudi hanya bisa merapal doa.

Sesekali Pijar mengamati wajah Heksa lalu diusap pelan. Berharap jika usapannya bisa membuat cowok itu tersadar.

Ya Tuhan, apa yang sudah aku lakukan? Apa aku baru saja menukar nyawa? Aku berhasil menyelamatkan Papa dan Nina, tapi sebagai gantinya Heksa -"

Air mata Pijar berderai semakin deras ketika tangannya yang menopang tubuh Heksa terasa basah. Bukan, penyebabnya bukan air mata Pijar. Tapi darah segar yang tak berhenti mengalir dari area tubuh Heksa.

Darah? 

Pijar terguncang di kursinya. Tangisan gadis itu makin menjadi. Ia menggoyang-goyangkan kursi kemudi di depannya dengan panik. Berkali-kali ia meneriaki Papanya, meminta pria itu untuk mengemudi lebih cepat.

Tuhan, tolong selamatkan. Aku belum bisa tahu bulan dan tahun kematian Heksa. Apa hari ini? Apa penyebab kematian Heksa karena bantuin aku? 

Nggak.. nggak boleh.. 

"Pa, tolong cepetan, Pa. Paaaaaa!"

***

JENG-JENG

AUTHOR NO COMMENT 

Berhubung besok eliminasi, banyakin doain Happy Birthdie lolos sampai lima besar biar ceritanya nggak ngegantung di sini.


Find me on wattpad and instagram:

Rismami_sunflorist

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro