KENANGAN
Mau modus atau tulus, kalau udah di tangan Andre semua pasti berjalan mulus.
***
Pijar berdiri di teras rumahnya. Teringat kejadian di sekolah tadi, dan penawaran dari Andre yang akhirnya ia terima. Dugaannya benar, Andre menyanggupi apa pun permintaannya tanpa bertanya macam-macam. Walau sebenarnya Pijar sendiri masih tetap ragu akan melibatkan Andre di misinya atau tidak.
Bola mata Pijar kini mengamati pohon mangga peninggalan almarhumah mamanya yang masih terus berbuah. Saat banyak orang menyarankan pohon yang konon katanya angker itu ditebang, Pijar selalu menolak.
Bagi Pijar, dengan menjaga barang-barang yang ditinggalkan seseorang, ia tetap dapat berkomunikasi dengan mereka melalui cara lain.
"Buatin Nina bubur sama sayur bayam." Suara Papanya membuyarkan lamunan Pijar.
Pijar tidak merespon, namun tetap bergerak menuju dapur untuk menyiapkan menu makan malam. Meski kesal, Pijar tetap menurut. Ia tidak menunjukkan reaksi yang berbeda walau kini hatinya ingin menjerit kencang.
Nina lagi, nina lagi? Putrinya kan dua, tapi kenapa yang dianggap cuma satu?
Saat sedang memotong-motong sayur lalu merebusnya, terdengar celotehan Nina yang langsung mengalihkan fokus Pijar dari masakannya.
"Pi...Pi...Ka...Akak.."
Alat pengaduk yang berada di genggaman Pijar seketika terlempar dan jatuh ke lantai. Ia menoleh panik ke arah adik perempuannya yang masih berumur dua tahun. Anak kecil itu berdiri sambil berpegangan pada ujung meja di ruang tengah.
Yang membuat dada Pijar berdegup kencang, memo miliknya entah bagaimana bisa kini berada di tangan Nina yang satunya. Digoyang-goyangkan bocah itu di atas segelas susu yang masih utuh isinya.
"Auw!" Pijar mengaduh. Pergelangannya tak sengaja menyenggol badan panci karena terburu-buru menghampiri Nina.
"Nina! Jangan!"
Pijar berteriak panik. Berlari secepat mungkin menghampiri Nina yang kini menatapnya dengan sorot bingung. Tatapan mereka saling beradu. Namun Nina yang masih polos itu tentu tidak memahami apa kesalahannya.
Kalau sampai memo itu tercebur dan tulisannya tidak bisa lagi dibaca, nyawa puluhan orang yang jadi taruhannya.
"Jangan!" Sekali lagi Pijar menggertak.
Tanpa sengaja tangannya menyenggol ujung meja hingga menyebabkan segelas susu Nina tumpah.
Setelah Pijar berhasil merampas memo miliknya, tangisan Nina malah makin menjadi. Adik perempuannya itu menangis histeris sambil mengibas-ngibaskan tangan.
"Dasar anak bodoh!" Kalimat tajam dari Papanya terdengar dari balik punggung Pijar. "Susunya masih panas. Sekarang lihat kulit Nina jadi melepuh!" Suara Papanya kian melengking.
Melepuh? Orang cuma merah dikit, gitu. Lebay!
Pijar tersenyum sinis, malas menanggapi. Bahkan meski ia sudah menjelaskan panjang lebar jika Nina adalah penyebab kematian Mamanya, tetap saja dirinya yang dijadikan kambing hitam.
"Kamu harusnya bantu Papa buat jagain Nina, bukan malah bikin kacau rumah kayak gini setiap hari," katanya ketus sambil menggendong anak bungsunya.
Papa Pijar berderap cepat menuju tempat Pijar berdiri. Wajahnya dibanjiri amarah. Cukup, anak sulungnya benar-benar sudah keterlaluan. Sebenarnya ia lelah harus berdebat lagi dengan topik yang sama.
Tapi mau bagaimana lagi?
Pijar tidak pernah mau disalahkan dan malah menjadikan Nina kambing hitam atas kematian istrinya.
Sebelum Papanya membuka mulut, Pijar yang biasanya diam akhirnya berontak. "Kalau Papa udah ngerasa capek jagain Nina, titipin aja dia ke panti asuhan," celetuk Pijar seenaknya.
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi Pijar. Perih. Tapi rasa sakitnya belum seberapa dibanding luka di hatinya yang kini semakin menganga. Ia berjanji tidak akan menangis. Wajahnya pun juga masih datar seperti ekspresi sehari-harinya.
Namun siapa yang tahu bagaimana susah payahnya Pijar menahan sakit yang sudah mencapai puncak?
Seandainya tidak berdosa, Pijar ingin sekali membalas tamparan di pipinya.
Tak ada hujan atau pun gemuruh dari langit, tiba-tiba datang angin kencang yang membuat pintu rumah Pijar terbuka sendiri. Foto-foto yang berjejer di lemari ruang tamu juga ikut berguncang.
"Apalagi ini?" tanya Papanya sinis. "Sekarang kamu mau bikin Papa sama Nina celaka?"
Pijar mendengus kasar. "Papa pikir sendiri, aja. Dari dulu kalau ada musibah yang menimpa keluarga kita, emang selalu aku yang disalahin, kan?" sindirnya tajam lalu masuk ke kamar dengan membanting pintu.
Bola mata bening Papanya kini menatap anak sulungnya dengan sorot sendu. Telapak tangannya yang masih terbuka terasa pedas. Sisa tamparan yang ia lesatkan di pipi Pijar, seolah meninggalkan bekas luka juga di sana.
Ia hanya bisa memandangi punggung Pijar yang semakin menjauh dan menjauh...
Seperti jarak di antara keduanya yang kini jauh dari kata keharmonisan antara seorang Ayah dan Anak pada umumnya.
Tuhan, Ayah macam apa aku ini? Aku yakin sebenarnya putri sulungku bukan pembawa kutukan. Tapi anak bungsuku yang belum mengerti apa-apa ini, juga tak pantas disalahkan dan dimusuhi.
"Misi, Om?"
Suara dari arah ruang tamu membuat Papa Pijar terjingkat. Diamati sosok yang sedang berdiri di sana dengan mata tajamnya.
"Eh, maaf, Om. Saya baru dateng," ucap tamu tak diundang itu, merasa datang di waktu yang tidak tepat. "Pintunya kebuka sendiri ya, Om. Bukan saya..."
Papa Pijar mendengus kasar. "Cari siapa?" tanyanya setengah berteriak.
"Saya mau ketemu Pijar," kata suara itu sopan. "Saya baru datang kok, Om. Maaf kalau saya ganggu."
Meski kedatangannya tidak disambut baik, pembawaan tenang cowok itu membuat Papa Pijar sedikit luluh.
"Masuk, biar saya panggilkan dulu."
***
Jujur, ini pertama kalinya Pijar kedatangan tamu. Ia bingung harus menyambut dengan cara apa. Karena sejak dulu, tak ada satu pun teman yang mau mampir ke rumahnya. Kata mereka, rumah Pijar mirip hutan dan lama-kelamaan menyerupai rumah hantu yang ditumbuhi banyak pohon lebat.
"Lo kok bisa tahu rumah gue, Ndre?" Akhirnya, Pijar menemukan topik pembicaraan.
Andre yang awalnya fokus memperhatikan suasana rumah Pijar, langsung menegakkan duduknya. "Lo mau tahu?" tanyanya sambil memajukan tubuh.
Pijar membalas tatapannya tanpa ekspresi. Dan karena gadis itu tak juga bereaksi, Andre mendesah pelan.
"Pake feeling, lah," jawab Andre penuh semangat.
"Ohhh..." Pijar manggut-manggut, lalu diam lagi.
Tak kehabian akal, Andre mengeluarkan jurus-jurus andalannya. "Gue cari tahu, Jar. Tanya ke ruang Tata Usaha, meski ujung-ujungnya gue diomelin. Perjuangan dong, ya."
"Terus ke sini mau ngapain?" Pertanyaan paling polos yang meluncur dari bibir Pijar, membuat Andre menggaruk tengkuknya.
Gilaaa, ini pertama kalinya ada cewek yang bisa bikin gue mati kutu. Bener-bener unik dan bikin penasaran.
"Ya mau main aja, Jar. Nggak boleh?" Andre menaik-naikkan alisnya. Mencoba untuk rileks, ia berniat menyandarkan bahunya lagi ke sofa. Di saat itulah ia teringat sesuatu yang sudah dipersiapkan sebelum datang ke rumah Pijar.
"Tadi gue lewatin toko bunga dan tiba-tiba inget lo." Disodorkan sebuket mawar dengan warna kesukaan Pijar. "Lo suka putih, kan? Soalnya gue sering lihat lo pake baju putih."
Bola mata Pijar seketika berbinar. "Woaaa, thanks, Ndre. Abis ini aku taruh di makam, deh."
Bingung, Andre bertanya dengan terbata. "Ma...kam? Bunganya mau ditaruh di kuburan, gitu?"
Pijar mengangguk semangat. Dipandangi buket mawar putih yang dihiasi pita dengan warna senada. Meski hari sudah menjelang malam, ia berjanji akan menyempatkan diri mengunjungi makam Mamanya yang berada tidak jauh dari rumah.
"Besok gue bawain lagi, ya?" Melihat Pijar yang tampak bahagia, Andre merasa hatinya lega.
Walau sebenarnya Andre agak heran kenapa buket pemberiannya tidak disimpan di rumah Pijar saja, namun ia memilih tidak bertanya. Kini ia asyik memperhatikan wajah cantik Pijar yang sedang tersenyum, sampai akhirnya ia menyadari senyuman itu tidak ditujukan untuknya.
Sialan, udah geer duluan.
Padahal ini pertama kalinya gue lihat Pijar senyum tulus, tapi kok senyumnya ke -?
"Jar, lo senyum ke kamera gue?" Andre memperhatikan arah mata Pijar yang tertuju ke kamera yang tergantung di lehernya. "Kenapa? Ada yang lucu dari kamera gue?"
Diam lagi. Pijar tidak menjawab, hanya merespon dengan sebuah gelengan yang membuat Andre nyaris frustasi. Mendadak ia teringat Heksa yang sepertinya tidak pernah kehabisan topik pembicaraan ketika sedang bersama Pijar.
Hmm, apa gue perlu usil, gila dan geblek kayak Heksa biar bisa bikin Pijar bereaksi?
Bosan sendiri, Andre beranjak dari duduknya lalu berjalan mengitari ruang tamu rumah Pijar.
"Ini foto-foto lo waktu masih kecil?" Tangannya mendadak terhenti di salah satu foto. Ia menatap lekat-lekat sosok gadis kecil berambut panjang dengan poni tebal yang menutupi dahi.
Nggak salah lagi....
Andre kembali duduk di sofa, meneguk habis segelas teh dari atas meja dengan wajah gelisah. "Ini juga lo?" Ia menunjukkan satu bingkai foto ke arah Pijar.
Begitu Pijar mengangguk, Andre tak lagi bisa menahan diri. Di malam yang dingin itu, entah bagaimana bisa tubuhnya dibanjiri keringat dingin.
Cepat-cepat ia pamit, masuk ke mobil lalu mengecek isi folder di kameranya. Seketika tangannya gemetar. Bola matanya yang sebening telaga, tampak berkaca-kaca.
Dari kaca spionnya, samar-samar ia memperhatikan Pijar yang masih menunggunya di teras rumah.
Mereka orang yang sama...?
***
Malam yang mencekam. Pijar tertidur di atas meja belajarnya. Tangannya yang dijadikan bantal untuk menopang kepalanya mengepal erat. Keringat membasahi sekujur tubuh. Gelisah.
Mimpi buruk itu datang lagi. Meski sebenarnya lebih tepat disebut kenangan buruk yang kini menjelma menjadi bunga tidur di hari-hari Pijar.
>>
Saat itu, aku tahu semua akan terjadi. Bulan dan tahun kematian Mama jelas tertulis di memo yang selalu kubawa kemana-mana. Bahkan agar lebih mengingatnya, aku menuliskan di setiap lembar di bagian paling atas. Kutulis dengan huruf besar dan tebal.
Namun ketika hari itu tiba,
Mama tidak mau mendengarkan.
Sejak kecil hanya Mama yang mempercayai mata ajaibku. Tapi ketika kematiannya sendiri tiba, Mama berkata bahwa penglihatanku kali ini salah, dan pasti meleset.
Hari itu Mama mengajakku berbelanja. Sesuatu yang sangat luar biasa bagiku, karena setahuku Mama tipikal wanita yang lebih suka menghabiskan waktu luangnya di rumah bersama keluarga.
Setelah menghabiskan waktu beberapa jam di Mall, hanya dua barang yang dibeli Mama. Sepasang dress cantik berwarna putih yang langsung kami kenakan.
Sebelum pulang ke rumah, Mama meminta sopir taksi berbelok ke studio foto. Mengabadikan wajah kami yang entah sebab apa tampak sendu meski sudah dipoles make up.
Lalu tiba-tiba setelah foto selesai dicetak, Mama pingsan. Sebagian orang-orang berlarian, berusaha mencari bantuan, sedangkan sisanya mencoba menenangkanku yang mulai histeris.
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, aku tidak bisa melepaskan genggaman tangan Mama. Menghitung detik demi detik waktu yang tersisa, sebelum genggaman itu kini menjelma menjadi sebuah kenangan menyakitkan.
Tuhan, kenapa aku tidak diberi kesempatan menyelamatkan nyawa orang yang paling kusayang?
***
Selamat malam minggu readers! Maaf, hari ini kuajak sedikit sendu sebab mengenang masa lalu Pijar. Kalian, punya kenangan yang sendu juga? Eitts, jangan bilang kenangan sama mantan ih :P
*mau jadi bagian yang mengisi kamera Andre? Wajib follow akunnya dulu... Dijamin foto kalian bakal dipajang di kamarnya, bareng ama ratusan foto yang lain:p
Dear Tim Heksa, udah mulai was-was belum sama Andre yang langsung colong start?
**Halo readers yang jomblo, mari merapat... Yang nggak jomblo...hush hush... *canda deh. Pokoknya kalian semua yang dari kemarin udah tanya kapan grup chat dibuka, finally...!
Admin grup chat WHAT'S APP: 0821-1800-9385
Wanna join?
Passwordnya tinggal sebutin kapan ulang tahun kalian. *cuma tanggal dan bulan, nggak perlu pake tahunnya.
Tenang aja, Pijar nggak bakal tahu, kok :D.
Rahasia kalian aman ditangan admin.
Mau cerita mistis? Mau kenalan sama Pijar? Atau mau bully Heksa? Sangat dibolehkan di grup Happy Birth-die.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro