KEMAMPUAN
Udah tahu gue playboy, tapi kalo dimodusin masih aja nge-fly.
Salah siapa, coba?
***
Semua yang ada di ruang serbaguna panik. Mereka berbondong-bondong menghampiri Mia. Yang terlihat paling histeris tentu saja Bu Ghina. Karena menjadi pengampu Mia dan Pijar, otomatis beliau yang bertanggung jawab besar terhadap mereka berdua.
"Bawa ke UKS," perintah Bu Ghina ketika beberapa murid cowok mulai mengangkat tubuh gadis itu. "Oh, atau ke rumah sakit sekalian aja?"
Heksa yang berlari kecil bersama Pijar, tahu-tahu menyahut. "Ke UKS aja, Bu. Dia paling juga pura-pura pingsan! Dasar drama queen!"
Bu Ghina menoleh. Ia berbalik, menahan langkah Pijar dan Heksa yang berniat mengikutinya. Sementara Mia sudah dibawa menuju ruang UKS oleh anggota OSIS, ia merasa perlu memberi peringatan pada dua muridnya yang baru saja membuat onar.
"Pijar," panggil Bu Ghina, membuat Pijar langsung mengangkat wajahnya. "Dan kamu, Heksa. Ibu nggak tahu apa yang sebenarnya kalian rencanakan. Tapi jelas, kejadian ini pasti sampai ke telinga Kepala Sekolah."
Pijar terdiam. Ia menunduk, namun sorot matanya masih berani menatap Bu Ghina yang terlihat marah besar.
"Ibu mau pastikan keadaan Mia dulu. Kalian tunggu di sini, sampai Ibu berhasil kabarin orang tua Mia juga." Meski kecewa berat, namun ia merasa sulit sekali memarahi Pijar. Jadi, ia akan meminta Guru BK saja yang memberi hukuman untuk mereka berdua.
Mati-matian Heksa menahan mulutnya untuk tidak mengoceh. Kalau hanya dirinya saja yang tersangkut masalah ini, masa bodoh mau dihukum seperti apa pun sudah biasa.
Namun situasinya saat ini berbeda, ada Pijar yang ia ketahui sangat respect dan menyayangi Bu Ghina.
"Lo sedih?" tanya Heksa sepeninggal Bu Ghina. Kini hanya ada mereka berdua di ruang serbaguna. "Kok nggak nangis kayak cewek-cewek pada umumnya?" Berniat mengusili Pijar, Heksa hanya mendapat lirikan tajam dari gadis itu.
Bola mata Pijar tampak kosong. Ia duduk bersila sambil menyandarkan kepalanya ke tembok. "Kira-kira keadaan Kak Mia gimana, ya?"
Heksa mendecak sebal. "Yaelah, Zom. Gue jamin Si Miapah itu baik-baik aja. Paling mentok juga lecet dikit."
"Kok lo yakin banget?" Pijar menatapnya tak percaya.
"Tahun lalu waktu PENSI, gue bahkan loncat dari panggung ke penonton." Heksa pamer dengan penuh semangat. "Lihat gue sekarang? Baik-baik aja, kan? Masih tetep ganteng?"
Tak tahu harus menanggapi bagaimana, Pijar hanya melengos. Kini otaknya sibuk memikirkan sesuatu. Tentang misi penyelamatan Kak Mia yang mungkin berhasil, meski sebagai gantinya musibah lain menimpa kakak kelasnya itu.
Dan satu yang perlu dicatat, sejak ia memiliki mata ajaib, ini pertama kalinya ada campur tangan orang lain di dalam misinya.
Sreek
Tiba-tiba Heksa menendang pelan kaki Pijar yang baru saja diluruskan. Niatnya ingin mengusili agar suasana hening di antara keduanya tidak semakin berlarut. Tapi ternyata ada tujuan lain yang membuat Heksa melakukan itu.
"Aduh!" Pijar mengerang lirih.
Heksa melirik diam-diam.
Benerkan kakinya sakit gara-gara nolong Si Miapah tadi? Cihh, apa gunanya dia menyelamatkan orang lain kalo malah bikin dirinya sendiri dalam bahaya? Bego.
"Hobi kok keseleo," ujar Heksa terdengar pedas. Ia bahkan sampai heran karena tadi Pijar masih berusaha mengejar Mia saat dibawa menuju ke ruang UKS padahal kaki gadis itu sedang terkilir. "Hobi tu main bola, basket, nyanyi, atau –"
Heksa sengaja menggantung ucapannya lalu mengamati Pijar yang masih menunjukkan wajah datar.
"ATAU NAKUT-NAKUTIN ORANG!" lanjutnya dengan suara toa. "Iya bener, hobi lo kan itu! HAHAHA."
"Bisa diem nggak, sih?" Suara serak Pijar membuat cowok berisik itu seketika bungkam. "Kalo lo masih terus ngo –"
Otomatis, Heksa membekap mulutnya sendiri. Ia baru menyadari jika korban keusilannya kali ini adalah cewek mistis yang kabarnya punya kekuatan magis. Sisa-sisa tawanya yang lirih masih terdengar, sampai akhirnya fokus Heksa teralihkan dengan sosok yang muncul dari kejauhan.
"Aish, Si Kepsek," decak Heksa, bukan takut tapi bosan. "Dia pasti kangen gue, nih."
Pijar mendesah lemah. Setelah enam bulan ini berhasil membangun citranya sebagai murid yang baik, kenyataannya semua akan rusak dalam sekejap.
"Eh, Pak Broto..." Heksa menjulurkan tangannya, sok jadi murid teladan. "Loh, kok ada lo berdua juga? Sejak kapan jadi bodyguardnya Pak Broto?" tanya Heksa begitu melihat Evan dan Zico di belakangnya.
"Mereka seksi perlengkapan di acara lomba baca puisi besok," kata Pijar dengan suara selirih mungkin.
"Oh, mereka jadi sie perlengkapan?" Heksa malah mengulang kalimat yang baru diucapkan Pijar dengan lantang. "Mereka sekalian mau dihukum, Pak? Pasang lampu kok nggak becus, sih?"
Evan dan Zico tidak merespon. Tapi Heksa tahu, diamnya mereka bukan berarti kalah dan pasrah. Bisa saja sebelum menemuinya, mereka sudah meracuni isi kepala Pak Broto agar menjadikannya tersangka utama dalam kasus ini.
"Mereka berdua sudah cerita ke Bapak. Dan barusan sebelum Mia dibawa ke rumah sakit, dia bilang kemarin Pijar sempat memintanya mundur menjadi pengisi acara besok." Pak Broto mengabaikan Heksa, dan kini beralih menatap Pijar. "Betul, Pijar?"
Tanpa rasa takut, Pijar menjawab tegas. "Benar, Pak." Di dalam hatinya, Pijar merasa bersyukur karena meski terluka, nyawa Mia terselamatkan.
"Lalu tujuannya apa? Kata Mia kamu juga mengancam dia?" Pak Broto memang hanya bertanya, namun ia juga ingin menyudutkan Pijar. "Dia bilang –"
"Kalau Kak Mia nggak mundur dari acara itu, dia bakal celaka." Pijar memotong cepat. "Ya, saya bilang seperti itu."
Heksa yang baru mendengar fakta itu, langsung membulatkan mata.
Zombie gila, pake acara ngaku segala?
"Memangnya kenapa, Pak?" tanya Pijar seakan-akan tidak memahami ia sedang di jadikan kambing hitam.
Pak Broto mendesah lemah. Ia lalu menoleh ke belakang, pada dua muridnya yang sejak tadi bersembunyi dari Heksa. "Kalian yakin sudah pasang lampunya dengan benar?"
"Yakin, Pak!"
Evan dan Zico menjawab kompak.
"Saya jadi sie perlengkapan bukan cuma sekali ini, Pak." Evan memberanikan diri bersuara. "Tahun lalu sama Zico jadi partner sie perlengkapan, semua baik-baik aja?"
Heksa nyaris membuka mulut, namun Pijar lebih dulu tanggap membela diri.
"Jadi lo mau nyalahin gue?" tanya Pijar sambil menatap Evan dan Zico bergantian. Tatapan kosong yang menyorot keduanya itu tampak mengancam.
Di balik punggung Pak Broto, Evan mencoba membalikkan situasi."Anak-anak banyak yang cerita, semenjak Pijar datang di sekolah ini, banyak kejadian-kejadian aneh diluar nalar, Pak."
"Hahaha. Lo percaya ama yang begituan?" tanya Heksa, menjiplak perkataan Andre tempo hari.
"Itu kenyataan, Sa," tukas Zico dengan suara bergetar. Takut kalau setelah Pak Broto pergi, akan dapat bogem dari Heksa. Walau begitu, Evan dan Zico harus tetap membela diri agar lolos dari hukuman Pak Broto.
"Sebentar lagi orang tua Mia datang. Kalian minta maaf yang benar," kata Pak Broto lalu mengedik ke arah Heksa.
"Terutama kamu, Heksa. Kalau kamu masih bikin masalah, Bapak nggak segan-segan telepon orang tuamu. Asal kalian tahu, saat perjalanan ke rumah sakit tadi Mia mengeluh kakinya nggak bisa digerakkan. Kepalanya juga sakit. Kalian harus tanggung jawab!"
Bukannya mengomeli Pijar, Pak Broto malah melampiaskan amarahnya pada Heksa. Karena jujur setelah mendengar perkataan Evan kalau Pijar itu mistis, Pak Broto jadi sedikit parno.
"Kalian tunggu di sini sampai orang tua Mia datang,"katanya setengah berteriak.
Pak Broto beranjak dari tempatnya dengan gusar. Diikuti Evan dan Zico yang masih sempat-sempatnya menoleh ke arah Heksa.
Heksa mengarahkan dua jari ke matanya lalu diacungkan dari jauh ke Evan dan Zico. Seakan-akan memberi warning, jika perselisihan mereka masih akan terus berlanjut.
Mereka ngajak perang, siapa takut?
"Hei, Zom." Heksa melirik Pijar yang masih memandangi Pak Broto dari kejauhan. Ia mengikuti ke arah pandang Pijar, lantas terkejut begitu tiba-tiba Pak Broto tersandung sesuatu lalu terpeleset sampai pantatnya membentur tanah.
Kok bisa kebetulan Pak Kepsek kesandungnya pas diliatin si Zombie?
"Sa..."
Pijar yang tiba-tiba mengusap pelan pundaknya, membuat Heksa seketika terjingkat. "Apaan, woy? Nggak usah ngagetin bisa? Gue di sini, panggil doang juga gue denger keleees!"
Heksa langsung menjaga jarak, sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke pundak. "Nggak usah pegang-pegang."
"Thanks, udah bantu," ucap Pijar tulus. "Kalo nggak karena bantuan lo, mungkin Kak Mia nggak tertolong."
Meski awalnya ragu, Heksa memutuskan mencari tahu. "Thanks, doang? Nggak ada yang gratis di dunia ini." Heksa menggeser tubuhnya untuk berbisik. "Lo tahu kalo lampu itu bakal jatuh dari mana?"
Sungguh, Pijar merasa jantungnya ingin melompat. Kaget sekaligus bingung. Harus menjawab apa? Kalau pun terpaksa jujur, ia juga ragu. Apa Heksa dapat dipercaya?
"Lo nggak mau ngasih tahu? Padahal lo udah janji, bakal nurutin apa pun permintaan gue kalo kita berhasil menjalankan misi tadi," sambung Heksa, semakin ingin meyudutkan Pijar.
Sekeras mungkin, Pijar mencoba tidak bereaksi. Ia hanya mengerling pada Heksa yang menatapnya penuh rasa penasaran.
"Lo mau minta apa?" Akhirnya, Pijar membuka mulut. Menunggu Heksa menjawab pertanyaannya dengan perasaan was-was.
Senyum culas menyimpul di sudut bibir Heksa. "Gue cuma minta lo jawab jujur pertanyaan gue yang tadi. Ada hubungannya sama catetan di memo lo itu, kan?"
Tangan Pijar terkepal. Otaknya mendidih.
Heksa cari mati saja. Katanya kemarin dia tidak sempat melihat isi catatan Pijar? Tapi kenyataannya cowok yang punya penyakit kepo akut itu berani membongkar sesuatu yang menjadi privasinya.
"Nggak mau ngaku?" Punya ide lain, Heksa tersenyum menantang. "Kalau nggak, gue bisa laporin Pak Kepsek, bilang ke dia kalau lo udah merencanakan kejadian tadi sejak semalem. Lo minta bantuan Andre, kan?" Sekarang ponsel milik Andre dikeluarkan dari dalam saku lantas digoyang-goyangkan di depan wajah Pijar.
Pijar yang akhirnya menunjukkan ekspresi ketakutan, membuat Heksa semakin gencar menyerangnya.
"Oke, gue bakal serahin hp ini sebagai barang bukti. Yaah, meski isinya nggak terlalu detail lo minta bantuan apa, tapi pasti Pak Kepsek paham kalo kalian berdua merencanakan sesuatu di ruang serbaguna," pancing Heksa, lalu berpura-pura ingin beranjak menyusul Pak Broto.
Pijar sungguh tidak ingin mengaku, tapi nasib Andre jadi taruhannya. Seandainya Pijar egois, mungkin ia akan tetap bersikeras menutup mulut. Hanya saja, bayangan wajah Andre yang murah senyum dan suara ramah cowok itu kini terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Andre nggak tahu apa-apa. Kalau sampai Heksa lapor ke Pak Kepsek, Andre pasti juga kena hukuman.
Sambil berjalan memunggungi Pijar, Heksa menghitung di dalam hati.
Satu...
Dua...
Ti....
"Tunggu!" teriak Pijar dengan suara yang terdengar frustasi. "Gue bakal ngaku! Gue bakal cerita semuanya ke lo. Tapi tolong, nggak usah sangkut pautin Andre di masalah ini."
Dari balik punggungnya, Heksa menyeringai puas.
Kena lo, Zom.
***
Malam minggu kalian gimana? Masih sendiri? Coba telepon Pijar biar diajak jalan-jalan cuci mata ke komplek sebelah. Barangkali ketemu teman satu spesiasnya yang tampan.
Dear #TimAndre garis keras, gue sengaja munculin doi di awal, biar kalian bisa nahan kangen sampai di next part.
*Dan coba tebak, Pijar kira-kira bakal ngaku ke Heksa nggak ya, kalau dia punya mata ajaib?
>>Oh iya! Siapa yang belum masuk grup chat? FYI, masih open member ya grupnya. Silahkan chat admin.
Terimakasih readers supportnya. Pokoknya setelah baca, jangan lupa klik bintang ya!
Salam sayang,
rismami_sunflorist
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro