KEBERSAMAAN
Aku pantang mengaku kalah,
aku juga alergi dicap lemah.
Tapi kali ini aku sadar sedang berada di batas kemampuanku sendiri.
Karena takdir udah nunjuk orang lain buat jadi malaikat pelindungnya, mana mungkin aku bisa melawan?
***
Untungnya saat jam istirahat tadi, Pijar buru-buru melesat ke perpustakaan. Kalau sampai terlambat sedetik saja, Andre pasti sudah menyusulnya ke kelas.
Sampai bel pulang sekolah berbunyi pun, panggilan masuk dari Andre juga masih terus meneror ponsel Pijar.
"Kenapa gue malah kabur dari orang yang bisa jadi penyelamat hidup gue, sih?" Pijar mendesah lemah sembari menatap pantulan dirinya di kaca spion.
Saat masih melamun, tiba-tiba pandangannya terhalang punggung tangan seseorang yang menutupi spionnya.
"Woy, Zom!"
Belum sempat Pijar berbalik, telinganya sudah berdengung setelah diteriaki seseorang. Siapa lagi kalau bukan suara toa Heksa?
"Motornya tinggal sini." Kunci yang sudah menempel di motor Pijar, dilepas begitu saja lalu dimasukkan ke saku. "Lo naik mobil gue," tukas Heksa yang hanya direspon Pijar dengan helaan napas panjang.
Pijar yang sejak tadi masih mematung di samping motornya, terpaksa menurut karena tak ada pilihan lain. Kunci motor sudah di tangan Heksa. Mau kabur pun juga susah.
Masa harus lari dulu ke pinggir jalan terus cegat angkot?
"Buruan, Zom!" Heksa sudah menepikan mobilnya di dekat area parkir motor. Walau beberapa murid kini memandang keduanya, Heksa yang populer itu tampak tidak peduli. "Santai, napa? Motor lo nggak bakal ilang di sini."
Heksa berlari mengitari mobilnya lalu membuka salah satu pintu untuk Pijar. Kelihatannya romantis, padahal ia sebenarnya sudah gemas menunggu Pijar yang tidak segera masuk mobilnya.
"Dari tadi lo diem kayak orang yang udah nggak punya harapan hidup." Heksa mulai mengomel ketika Pijar mengenakan sabuk pengaman. "Oh..oh..atau jangan-jangan lo sedih setelah tahu kalo ternyata Andre yang bisa bikin mata ajaib lo jadi normal? Bukan gue?"
Pijar menarik napas panjang lalu menatap Heksa beberapa saat. Malas menanggapi walau Heksa terus mengoceh.
"Zom, lo sejak kapan bisa lihat kematian orang yang lagi ulang tahun?" tanya Heksa, mulai kepo. Hanya saja kali ini nada bicaranya lebih sopan dan terdengar menaruh empati.
Pijar yang awalnya ragu bercerita, akhirnya berterus terang. "Udah lama, sih. Dan kayaknya gue kena karma, Sa."
Jantung Heksa berguncang. Degupnya kencang seperti biasanya saat berdekatan dengan Pijar. Hanya saja kali ini, debarannya tidak menakutkan. Malah membuatnya betah berlama-lama di sana.
"Kena karma maksud lo?" Heksa menoleh dan mendapati wajah Pijar yang berubah sendu.
Pijar mulai berkisah tanpa sadar. "Waktu kecil dulu, gue sering iri liat temen sekelas gue yang pada bisa rayain ulang tahunnya di sekolah atau di restoran mewah."
Heksa tidak berkomentar, ia khusyuk mendengarkan.
"Karena emang Papa Mama gajinya pas-pasan, tiap hari ulang tahun gue, mereka cuma bisa beliin susu kemasan di minimarket. Karena bagi kita, susu kemasan kayak gitu aja udah termasuk mewah. Boro-boro beli kue tart, buat makan aja kita harus irit."
Jeda sejenak, Pijar menarik napas panjang.
"Sampai tiba-tiba suatu hari badan gue panas dan menggigil. Gue nggak sadarkan diri selama beberapa hari di rumah sakit. Bangun-bangun mata gue udah berubah jadi kayak gini." Pijar menjelaskan dengan dada menahan sesak. "
Pijar mendesah lemah. "Gue sempet syok dan nggak bisa terima dengan semua ini. Apalagi semenjak kepergian Mama, hidup gue jadi makin ancur."
"Sebelum hari itu, lo nggak bisa lihat tahun dan bulan kematian Mama lo? Nyoba nolongin dia? Eh, tapi kan lo belum kenal gue. Pasti nggak ada yang bantuin lo, ya?" tanya Heksa malah narsis.
"Gue udah nyoba, tapi Mama lebih sayang Nina." Suara Pijar terdengar penuh emosi. "Mama tetep aja ngotot buat lahirin Nina."
Baru kali ini Heksa merasa iri dengan kehidupan Pijar. "Lo seharusnya bangga sama Mama lo. Bandingin sama nyokap kandung gue."
Walau tidak mengalami sendiri, tapi rasanya sungguh menyesakkan melihat Heksa yang biasanya ceria, kini tampak merana. Ternyata bisa sedih juga.
"Gue jamin nyokap kandung gue pasti nyesel banget, udah buang bayi laki-laki yang ternyata gedenya setampan ini. HAHAHA, RASAIN DIA!" celetuk Heksa heboh, yang seketika mengacaukan momen haru di antara keduanya.
Ajaibnya, Pijar yang selalu berwajah datar itu kini tampak susah payah menahan tawa.
"Ketawa bayar!" tukas Heksa masih dengan tatapan fokus ke jalanan.
"Siapa yang ketawa?" Pijar mengalihkan tatapannya ke luar jendela.
"Lo kalo ketawa serem, Zom. Kasihan pengendara yang lewat pasti kaget liat muka lo dari jendela." Niatnya mengusili Pijar, tapi malah Heksa yang kena batunya.
"Kalo gitu gue liat ke sini aja, ya?" Nah, benar kan. Sekarang Heksa yang tidak tenang ditatap Pijar dengan sorot tajam seperti itu. Nantangin, sih.
Mobil Heksa sudah melaju selama dua puluh menit, ketika perlahan roda-rodanya melambat. Pijar menyipit sesaat. Berharap kali ini penglihatannya sedang terganggu atau mungkin Heksa yang salah ambil jalur.
Rumah sakit milik orang tua Heksa?
"Lo kenapa bawa gue ke sini?" Pijar menatap Heksa dengan ekspresi bingung bercampur kesal.
Tidak langsung menjawab, Heksa hanya tersenyum simpul. "Hari ini bokap gue ulang tahun. Dan gue minta, lo cek tahun dan bulan kematiannya. Oh, juga jangan lupa cari tahu apa penyebab kematiannya," ucapnya diiringi seringai picik.
"Lo gila, ya? Gue kan udah pernah bilang sebelumnya. Kalo gue sampe bersentuhan sama orang yang berulang tahun, gue bisa aja pingsan karena masuk ke dimensi lain." Pijar tak habis pikir dengan jalan pikiran Heksa yang selalu mementingkan diri sendiri.
Bukannya merasa bersalah, Heksa hanya mendecak santai. "Ya itu sebabnya gue bawa lo ke sini. Seandainya lo pingsan, lo bisa dapet pertolongan secepatnya. Secara ini kan rumah sakit," jawabnya sambil mencebik bangga. "Pinter kan gue?"
Pijar mendengus kasar. Bola matanya menyorot nanar pada Heksa yang masih menunjukkan wajah tak bersalah.
"Gue pikir lo udah berubah dewasa, Sa." Dengan kasar Pijar membuka pintu mobil dan turun dari sana secepatnya.
Heksa buru-buru mengunci mobilnya dan mengentak menyusul Pijar. Ia ingin minta tolong, tapi tidak tahu bagaimana menyusun kata-katanya agar terdengar lebih sopan.
Kini yang terjadi, Pijar malah salah paham dengan sikapnya.
"Zom!" panggil Heksa dengan nada memelas.
Saat Pijar menoleh ke belakang, sosok Heksa mendadak lenyap. Dan betapa terkejutnya gadis itu ketika di depannya Heksa tengah berlutut sembari menatapnya penuh harap.
"Lo tahu kan kalo harga diri gue setinggi langit?" tanya Heksa dengan tangan mengatup rapat.
"Lo tahu kan, kalo selebgram hitz kayak gue, seharusnya nggak mempermalukan diri di depan umum seperti ini?" Ia mendongak memperhatikan Pijar yang tampak bimbang. "Please.."
"Gue sayang banget sama Papa Anthony. Cuma ini yang bisa gue lakuin buat bales kebaikan dia. Please bantu gue, Zom."
Bongkahan es yang membekukan hati Pijar perlahan mencair. Kalau sudah dimintai tolong dengan cara mengiba seperti itu, ia tidak akan sampai hati untuk menolak.
"Yaudah, Sa. Kita temui bokap lo," ucap Pijar sambil mendesah lemah.
"Serius?" Heksa yang masih berlutut, langsung melonjak kegirangan. Tanpa sadar ia nyaris memeluk Pijar karena terlampau senang. "Sorry, Zom," katanya sambil memasang wajah cool agar tidak terlihat salah tingkah.
"Bokap lo dimana?" tanya Pijar segera meminta Heksa untuk membawanya bertemu dengan Anthony.
Heksa baru akan berderap ke arah ruang praktek Anthony, ketika tiba-tiba sosok yang ia cari tampak berjalan santai dengan dokter lain di salah satu koridior.
"Itu dia, Zom. Jadi nanti gue pura-pura jorokin lo biar nabrak bokap gue, ya." Heksa memberi aba-aba secara spontan. Sementara Pijar masih mengamatinya dengan saksama.
"Nanti kan berkas-berkas di tangan bokap gue jatuh. Nah itu waktunya lo curi-curi kesempatan cari penyebab kematiannya. Tapi nggak usah pake adegan tatap-tatapan kayak di FTV ya," katanya malah melantur.
Kalau tidak buru-buru dipelototin Pijar, cowok itu pasti tetap terus mengoceh.
"Udah ayo, keburu pergi bokap lo." Pijar segera menarik tangan Heksa dengan paksa. Keduanya berderap cepat menuju Anthony yang sibuk berbincang dengan rekan sesama dokternya.
Satu.. dua...tiga...
Heksa memberi aba-aba lalu mendorong Pijar sampai menubruk lengan Papanya.
Bruk
"Ah, aduh.. Maaf, Om. Maaf banget." Pijar berjongkok. Memunguti satu per satu kertas yang berceceran di bawahnya. Saat ia bangkit dan menatap Anthony dengan saksama, muncul deretan angka yang menyesakkan dada.
0221
Dua tahun lagi?
Pijar masih terkejut. Tapi ia tak bisa berlama-lama lagi mengabaikan wajah Anthony yang terlihat kesal karena merasa terusik dengan kedatangannya.
"Om, Maaf saya nggak sengaja nubruk, Om." Pijar menjulurkan tangannya. Menjabat Anthony sambil menunduk.
Bak sedang berada di jam pasir, waktu untuk jiwanya terbang ke dimensi lain telah dimulai.
Di rumah Heksa.
Semua orang berkumpul di suatu ruangan.
Tangisan pecah.
Dokter ahli bedah di sana.
Teriakan Mama Heksa semakin kencang.
Pijar merasa lehernya tercekik. Oksigen yang mengisi paru-parunya semakin menipis. Tubuh gadis itu dibanjiri keringat dingin. Sesak tak tertahan membuatnya terjepit dari segala arah. Ia ingin keluar.
"Zom!"
Wuzzz
Bersamaan dengan tangan Pijar yang terlepas dari tangan milik Anthony, adegan kematian pria itu pun turun lenyap. Pijar seakan tidak diijinkan untuk bersentuhan dengan Papa Heksa yang sedang berulang tahun itu.
Kenapa Heksa main tarik-tarik tangan gue, sih?
"Sa, temanmu ini memang kelihatan aneh dari pertama Papa ketemu, kan?" bisik Anthony pada anaknya. "Kamu jangan sering-sering sama dia. Papa takut kamu kenapa-kenapa."
Setelah mengusap punggung putranya beberapa kali, Anthony melenggang begitu saja tanpa menegur Pijar yang masih mematung.
"Kok lo tarik tangan gue sih, Sa? Gue kan belum selesai lihatnya," protes Pijar yang menatap Heksa dengan sorot bingung. "Tadi kata lo, gue disuruh nyari penyebab kematian Papa lo, kan?"
"Gue nggak tega, Zom," jawab Heksa tanpa sadar. Sedetik kemudian ia buru-buru meralat. "Maksudnya, gue nggak tega sama perawat-perawat di sini kalo sampe lo pingsan, mereka jadi repot angkat lo."
Pijar mencoba berpegangan pada pilar-pilar kayu yang ada di sepanjang koridor. Tenaganya seperti terkuras habis. Suara Heksa bak dengungan lebah yang tak tertangkap jelas indra pendengarannya.
"Lo duduk di sini dulu. Jangan kemana-mana."
Heksa berpesan sebelum melesat entah kemana. Tapi ekspresi panik cowok itu seolah menunjukkan jika ia sungguh merasa bersalah pada Pijar. Selang beberapa menit, ia kembali dengan kantong plastik di tangan kirinya.
"Susu kemasan di kantin rumah sakit gue borong semua," kata Heksa dengan napas tersengal. "Noh, kudu dihabisin semua. Mahal soalnya."
Anehnya, Pijar masih tidak bereaksi. Gadis itu hanya diam di kursinya, fokus menatap Heksa dengan sorot sayu.
"Sa..."
Pijar ingin menceritakan apa yang dilihat mata ajaibnya ketika bersalaman dengan Anthony, tapi Heksa tidak memberinya kesempatan.
"Lo balik sendiri bisa, kan? Gue ada urusan," ucap Heksa lalu beranjak meninggalkan Pijar. Cowok yang biasanya tampak bersemangat itu tiba-tiba seperti kehilangan arah hidup. Sungguh di dalam hati, ia sangat merasa bersalah.
Tanpa sepengetahuan gadis itu, diam-diam Heksa mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana. Sambil berderap menjauh, ia menulis chat pada seseorang.
To: Andre
Pijar di R.S bokap nyokap gue.
Lo nggak dateng dalam waktu 10 menit, gue yang anter dia balik.
Heksa mendengus kasar. Ia berhenti di salah satu ruangan, tidak benar-benar pergi meninggalkan Pijar. Masih bisa mengintai gadis itu dari celah jendela yang terbuka, sudah cukup baginya.
Sambil menunggu kedatangan Andre, cowok itu hanya mengamati Pijar dari tempatnya duduk sekarang.
Lo beda dan lo spesial. Buat bisa jagain lo, nggak cuma modal sayang doang. Gue harus berjuang. Lebih tepatnya berjuang relain lo buat orang lain yang bisa bikin hidup lo normal dan bahagia seperti keinginan lo.
Pijar masih termenung di tempatnya sampai beberapa menit berlalu. Ia berusaha mengurutkan kepingan-kepingan kejadian kematian Anthony yang masih tampak mengabur. Gara-gara tadi Heksa membuat genggaman tangannya dan Anthony terlepas, adegan kematian pria itu lenyap.
Tanpa terasa waktu terus berjalan. Andre datang dari arah berlawanan dan tampak sbuk mencarinya. Cowok itu menoleh ke kanan dan kiri, menyusuri tiap koridor sampai akhirnya terhenti di salah satu sudut.
Di sana ia mendapati Pijar sedang duduk sendiri dengan sorot mata kosong dan wajah yang sedikit pucat.
"Jar? Lo kenapa?" tanya Andre yang langsung berjongkok agar dapat memandang Pijar dengan lebih jelas. "Mau gue anter balik?"
Pijar tahu ia tidak bisa menolak. Setelah sekian lama ia mengeluh akan hidupnya yang terasa tidak adil, Tuhan mengirimkan seorang malaikat pelindung dalam sosok Andre.
"Thanks, selama ini lo selalu bantuin gue." Pijar menyunggingkan senyuman.
Andre bangkit lantas mengulurkan tangannya untuk menuntun Pijar yang terlihat lemas. "Apa pun itu, Jar. Gue siap dua puluh empat jam penuh. Itung-itung latihan jadi suami siaga. Hahaha."
Pijar tersenyum kikuk mendengar gurauan Andre. Tak tahu harus bereaksi seperti apa karena sebelumnya tidak pernah digombali cowok.
Tanpa disadari keduanya, Heksa menatap kepergian Pijar dengan menahan sesak yang bergumul di dada. Mungkin hari ini, Tuhan ingin membuatnya sadar jika keberadaannya sudah tidak lagi dibutuhkan.
Seharusnya Heksa senang, seharusnya pula cowok itu merasa bebas.
Tapi kenapa ada secuil perasaan sesal yang lancang menelusup ke hatinya?
***
>>Halo semua readers Happy Birthdie yang malam minggu nanti bakal gabut parah. wkwkw. Maafkan Pijar yang hari ini munculnya siang hari, bukan malam hari seperti namanya.
Buat yang masih nggak terima sama kenyataan Andre yang ternyata bikin mata ajaib Pijar jadi normal, tenang... part masih panjang. Masih ada kejutan-kejutan lain yang bikin kalian terJENG-JENG. Masih ada pula sesuatu yang nggak terduga, yang bisa merubah keadaan :D, mungkin?
Intinya cuma satu, SABAR :D
Udah biasa sabar nunggu doi yang nggak peka-peka, kan? Nah, masa nunggu cerita HBD yang bakal kelar dua minggu lagi aja nggak bisa?
>>Oh, iya gaiz. Kemarin kalian lihat postingan Bentang, kan? Happy Birthdie ada di peringkat satu berdasarkan popularitas di wattpad belia writing marathon.
RASANYA PENGEN PELUK ONLINE KALIAN SEMUAAA. SAMBIL UCAPIN TERIMA KASIH BANYAK BUAT DUKUNGANNYA SELAMA INI :)
SEMOGA NANTI, KITA BISA PELUK BENERAN PIJAR DKK DALAM BENTUK NOVEL YA. SYUKUR-SYUKUR BISA DIVISUALISASIKAN DALAM BENTUK FILM *aminin barangkali ada produser yang baca. Hahaha
Find me on wattpad and instagram :
Rismami_sunflorist
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro