Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HARAPAN

Lilinmu semakin redup,

dan lama-kelamaan pijarnya akan habis.

Aku menawarkan pemantik,

tapi kau sendiri yang menolak.

Aku memberimu peringatan,

tapi kau malah membuat takdirmu sendiri berantakan.

Jangan salahkan, jika yang kau takutkan menjadi kenyataan.

***

Meski masih ngoceh panjang lebar, Heksa tetap membantu Pijar duduk di kursi depan kelasnya. Ia ingin sekali bertanya, tapi tahu Pijar pasti tidak akan meresponnya.

"Nggak, semoga nggak bener." Pijar menggumam sendiri sembari mengibas-ngibaskan kepalanya. Dengan wajah panik dikeluarkan memo dari dalam sakunya. 

"Nggak...Nggak..." Sambil membuka satu per satu halamannya, Pijar merapal doa dengan bibir gemetar.

"Catetan apaan tu?" Heksa melongo memperhatikan memo kecil di tangan Pijar. "Catetan belanjaan, ya?"

Sibuk mencari-cari sesuatu, Pijar bahkan sampai tidak menyadari jika Heksa masih ada di sampingnya.

Sialan, gue dicuekin.

Bola mata Pijar membulat penuh. Tangannya gemetar. Saat mengeja angka-angka yang tertera di samping nama Kak Mia, genggaman memo di tangan Pijar seketika terlepas.

Bulan ini, ada dua orang?

Gadis itu segera beranjak dari kursinya dengan wajah linglung.

"Bu Ghina, dia udah pergi? Kemana?" tanya Pijar sambil menggoyang-goyangkan lengan Heksa dengan kencang. "Kemana, Sa?"

Heksa kaget bukan main karena seumur-umur baru kali ini ia melihat gadis itu bisa heboh. Telunjuknya yang gemetar mengacung ke sisi kanannya.

Tanpa berlama-lama lagi Pijar segera memacu langkah. Menyusul Bu Ghina yang untung saja sedang berhenti mengobrol dengan seorang murid di depan kelas.

"Bu...Bu Ghina," panggil Pijar dengan napas tersengal. Ditekan kuat dadanya untuk menahan sesak yang serasa mencekik. "Bu, saya mohon."

Bu Ghina mengangguk pelan saat murid kelas satu yang ada di depannya berlalu. "Ada apa, Pijar?"

"Saya mohon, saya aja yang tampil buat acara lusa besok, Bu." Pijar menatapnya dengan mata berair.

Mendengar ucapan Pijar, guru yang terkenal killer itu menggeleng-geleng tak percaya. "Pijar, saya sudah bilang kan, kalau Mia yang saya kasih kesempatan untuk tampil besok. Karena dia sudah kelas tiga, jadi setelah ini –"

"Tapi Bu... Kak Mia nggak boleh tampil di acara besok." Jarang-jarang sekali Pijar berani memotong pembicaraan gurunya. "Kalau Kak Mia sampai nekat tampil, nanti dia –"

Pijar tiba-tiba bungkam. Tidak tahu harus berbicara apa, ia hanya bisa terdiam sembari memainkan jari-jarinya sendiri.

Harus kasih alasan apa yang masuk akal?

"Lo ngapain, sih, Zom?" Heksa muncul di tengah-tengah keduanya. Tanpa disadari Pijar, sejak tadi ia dibuntuti. "Ngapain mohon-mohon kayak gitu, sih?" bisik Heksa tak suka.

Setengah memaksa namun tidak menyakiti, dicekal pergelangan tangan Pijar. Ia lantas melempar senyum palsu pada Bu Ghina, sebelum bergegas membawa gadis itu pergi menjauh.

"Lo sama aja ngerendahin harga diri lo cuma demi tampil di acara nggak penting itu?" semprot Heksa begitu sampai di tempat yang lebih aman.

Pijar mendengus kasar. Wajahnya merah padam. Menahan amarah karena Heksa terlalu mencampuri urusannya.

Harga diri? Gue bahkan udah lupa kalo gue punya harga diri, semenjak gue selalu ngorbanin segalanya untuk menyelamatkan nyawa orang lain.

"Gue peringatin lo, ya." Pijar mengacungkan telunjuknya ke wajah Heksa yang langsung pucat.

Heksa tampak syok, tak percaya. Selama ini dicaci seperti apa pun, Pijar hanya diam saja. Jangankan marah, tersinggung saja tidak. Membentak pun jelas tidak mungkin.

Tapi kenapa kali ini si Zombie kelihatan marah besar?

"Mulai hari ini, nggak usah sok ikut campur sama apa pun yang gue lakuin. Mau gue ngamuk atau gue kayak orang gila, nggak ada urusannya sama lo," jelas Pijar panjang lebar dengan sorot mata mengancam.

Air mata Pijar juga nyaris tumpah. Dan sensasi menyakitkan seperti itu telah ia rasakan selama bertahun-tahun. Sekarang di depannya, Heksa dengan begitu mudah menyinggung soal harga diri yang tak ada apa-apanya dibanding nyawa seseorang?

Heksa bingung sekaligus takjub. Ni cewek kemasukan apa sampai akhirnya bisa marah gini?

Untuk pertama kalinya, Heksa mendapati sosok Pijar yang berbeda. Lebih ekspresif dibanding biasanya.

Namun kalo situasinya seperti sekarang, kenapa Heksa merasa ada yang mengganjal di dalam hatinya?

Pijar marah sama gue? Ini pertama kalinya gue lihat dia marah, dan penyebabnya gue?

"Hei, Zom!" panggil Heksa ketika Pijar hendak melangkah pergi meninggalkannya. "Punya lo jatuh tadi."

Pijar menoleh ke belakang. Memo kecil yang selalu dibawanya kemana-mana, kini ada di tangan Heksa.

"Mau diambil, nggak?" tanya Heksa masih berusaha menggoda Pijar.

Diluar dugaan, Pijar mengangkat kakinya dan melangkah lebar-lebar menuju Heksa. Secepat kilat ia merampas memo itu dan menatap Heksa penuh intimidasi.

"Lo baca isinya?" tanya Pijar yang langsung disambut cepat Heksa dengan gelengan kepala. "Kalo sampai lo baca isinya –"

Ucapan Pijar tertahan. Sebagai gantinya ia mengarahkan tangan ke leher, dan seakan-akan memperlihatkan gerakan hendak memotong kepala Heksa.

Heksa bergidik. Merinding melihat Pijar yang tidak main-main mengancamnya. "Lebaran kurban masih lama, woy. Udah nggak sabar makan daging gratis?"

Pijar melotot. Heksa langsung kabur tanpa berkata-kata lagi. Dari kejauhan cowok itu menjulurkan lidah, menggoda Pijar yang masih menatapnya tajam.

Heksa yang kembali ke kelasnya sambil cengar-cengir, ternyata menyimpan tanda tanya besar di hatinya.

Ternyata itu bukan catatan belanjaan seperti yang gue duga.

***

Begitu mendengar jam istirahat berdenting, Pijar langsung keluar kelas dengan wajah panik. Semakin sesak rasanya ketika melewati aula sekolah, ia melihat banner pembukaan lomba baca puisi sedang dipersiapkan dan digantung.

Sepasang bola matanya terus mengawasi. Rambutnya yang panjang semakin awut-awutan terkena hembusan angin ketika ia berlari kesana kemari.

"Kak Mia!" teriak Pijar begitu menemukan sosok yang ia cari sedang berbincang dengan dua cewek lainnya di belakang kantin.

Melihat Pijar datang, dua sahabat Mia langsung mundur. Memandang Pijar dari balik punggung Mia dengan sorot khawatir. "Ada apa, Pijar?" tanya Mia mencoba ramah.

Pijar bingung merangkai kata-kata. Mia kakak kelas yang baik. Mereka saling mengenal karena sama-sama menjadi murid kesayangan Bu Ghina.

Tapi jujur saja, Pijar takut kalau reaksi Mia sama seperti Bu Ghina yang merasa tidak terima dengan permintaan konyolnya.

"Jadi gini, Kak." Pijar meremas-remas jemarinya gugup. "Jadi buat acara besok, mmm... buat pembukaan lomba baca puisi besok, Kak Mia nggak bisa tampil."

Mia yang awalnya mengumbar senyum ramah pada Pijar, langsung menaikkan bahu. "Maksud lo? Gue udah tanya Bu Ghina, katanya gue yang mewakili sekolah kok. Bukan lo," katanya mulai terdengar ketus.

"Iya, Bu Ghina emang udah kasih izin ke kamu, Kak." Pijar mengalihkan tatapannya dari Mia. "Tapi Kak Mia nggak boleh tampil besok. Atau kalau nggak –"

"Apa?" Mia memajukan tubuhnya. Kepalanya mendongak menantang Pijar. "Lo mau ngancem gue?"

Sambil menarik napas dalam-dalam, Pijar memberanikan diri. "Kalo masih ngotot, besok kamu bisa celaka, Kak."

Secara tiba-tiba setelah Pijar mengucapkan kata "celaka", hembusan angin kencang datang dan menerpa wajah gadis itu. Membuat jendela kaca kantin berderit.

Terdengar pula teriakan-teriakan para murid yang sedang makan di kantin. Hanya sebentar, tapi meninggalkan kesan mencekam.

"Mi, udah tinggal aja. Gue mulai takut nih," bisik Karin, sahabat Mia yang kini saling berpegangan dengan Ayu.

"Lo tau kan image dia di sekolah ini kayak gimana?" timpal Ayu gemetaran.

Apalagi baru saja terdengar gemuruh dari langit, padahal jelas-jelas tidak mendung atau bahkan hujan. Karin meneguk ludah, gemetaran. Jadi apalagi penyebabnya kalau bukan karena kemarahan Pijar?

Meski nyalinya mulai menciut, Mia masih berusaha menunjukkan tampang jutek. "Lo nyumpahin gue? Pliiss, deh. Besok itu penampilan terakhir gue sebelum fokus try out dan lain-lain buat persiapan UN. Lo tega ngambil hak terakhir gue?"

Pijar membisu. Iya, bakal jadi penampilan terakhir lo kalo tetep ngeyel mau tampil.

Tak tahu harus menanggapi apa, Pijar menatap iba kakak kelasnya itu. Selama ini ia sering dipasangkan dengan Mia ketika ada event yang berkaitan dengan puisi. Kalau Mia berhalangan, Pijar yang ditunjuk oleh Bu Ghina.

Jadi pasti kali ini, pikiran negatif Mia ke Pijar sudah sampai kemana-mana.

"Minggir lo sana!" Mulai kesal, Mia mendorong kencang Pijar sampai terdorong beberapa langkah.

Tak sempat memasang kuda-kuda, keseimbangan Pijar goyah. Tubuhnya nyaris ambruk kalau saja sepasang tangan kokoh tidak segera menangkapnya.

"Untung aja ada gue," ucap suara berat itu sambil menunjukkan senyum menawannya pada Pijar.

Pijar mendongak, mendapati Andre yang kini beralih menatap Mia dengan gusar.

"Lo ada masalah apa sama Pijar?" Tanpa basa-basi Andre langsung menyerang Mia. Bodo amat siapa yang salah, yang penting gue keliatan keren di depan Pijar.

"Haish, lo nggak usah ikut campur." Mia mengibas-ngibaskan tangannya, meminta Andre menjauh. "Sana bawa cewek lo pergi dari sini sebelum gue makin emosi."

Setengah terpaksa, Pijar menurut saja ketika Andre membawanya menjauh dari kantin. Beberapa kali Pijar masih sempat menoleh, berharap Mia dapat berubah pikiran.

Namun tanpa diduga, Pijar tiba-tiba berbalik lalu berlari ke tempat di mana Mia berada.

"Apalagi sih, Jar? Masih mau ngemis-ngemis lagi ke gue?" Mia mendecak kesal. "Gue kan udah bi –"

"Aku bukan ceweknya Andre, Kak," ralat Pijar yang sebenarnya tak penting.

Kirain mau bilang apa, tapi ternyata Pijar hanya ingin mengklarifikasi. Mia beserta dua sahabatnya melongo dan memandangnya 'aneh'. Setelahnya, Pijar kembali menghampiri Andre yang masih sabar menunggunya.

"Lo nggak digangguin sama mereka lagi, kan?" tanya Andre lembut.

Beda banget sama suara si 'you know lah.'

Pijar menggeleng lemah. "Nggak, Ndre. Lagian juga tadi gue yang mulai cari masalah."

"Lo ada masalah apa? Kalau gue bisa bantu –"

Kalimat Andre terpotong begitu Pijar menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan serius. Bukan kaget atau takut seperti yang biasanya dirasakan Heksa. Ia malah tak sabar menantikan apa yang akan dikatakan Pijar selanjutnya.

"Lo mau gue buat bantuin lo, ya?" tanya Andre peka. Memastikan dugaannya tidak salah meski Pijar hanya menatapnya dalam diam.

Pijar bingung. Ia memang tidak mudah meminta bantuan orang lain, tapi sorot mata Andre seolah meyakinkannya.

Dan satu yang perlu dicatat, Andre bukan tipikal cowok banyak omong. Ia pasti dengan senang hati membantu Pijar tanpa bertanya macam-macam. Tidak seperti Heksa yang meski sebenarnya penakut, tapi punya penyakit kepo akut.

Setelah memantapkan hati, Pijar menatap Andre dengan wajah serius. "Lo besok ada waktu kosong?"

***

Andre said: Di kamera ini, ada foto Dinda, Chelsea, Fiona, Meika, dan masih banyak cewek-cewek hitz SMA Rising Dream lainnya. Gue janji kalo wajah Pijar udah ada di kamera ini, foto-foto mereka bakalan gue hapus semuanya. *soalnya gue punya salinannya di laptop :p

Dear, Tim Heksa garis keras...

Siapkan hati seandainya besok malam minggu mungkin aja akan ada adegan baper antara Andre dan Pijar. Kuat, kan? Kalo nggak kuat, biar nanti digendong Mbak Kunti.

Oh iya, beberapa readers ada yang minta dibuatin grup. Nanti tentu aja, Heksa sama Pijar juga bakal gabung. Kira-kira kalian pada mau gabung, nggak? Kalo banyak yang mau, malam minggu besok udah siap deh :). boleh komen di sini, boleh dm ke instagram aku 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro