BERANTAKAN
Suatu saat, rasa penasaranmu yang berlebihan akan membuatmu menemui malapetaka.
***
"Kok diem?" Heksa mendekatkan bibirnya ke telinga Pijar. "Ada sesuatu yang beda?"
Heksa sebenarnya tidak tahu apa-apa. Tapi melihat wajah Pijar yang benar-benar tertekan, membuatnya semakin semangat untuk mengintimidasi.
"Bingung?" tanya Heksa sambil berbisik. "Gue kasih tahu ya, hari ini bukan ulang tahun gue yang sebenernya."
Pijar menelan ludah, merasa dibodohi Heksa.
Maksudnya apa? Bukan ulang tahun dia yang sebenarnya? Jadi dia punya tanggal lahir double gitu? Omong kosong.
Heksa mendekatkan bibirnya lagi. "Dan asal lo tahu, nggak ada satu orang pun yang tahu kapan dan dimana tepatnya gue dilahirkan di dunia ini."
Tubuh Pijar membeku. Tak terasa napasnya tertahan selama beberapa detik.
"Jadi kalo lo mau tahu ulang tahun gue yang sebenernya, lo harus cari tahu sendiri," sambung Heksa, yang masih dinadakan dengan sangat lirih.
Sebisa mungkin, Pijar mengendalikan dirinya. Namun kalau sudah menyangkut soal kematian, tentu sulit untuk pura-pura tidak peduli.
Ekspresi datar yang biasa ditunjukkan Pijar mendadak lenyap. Ia bahkan terlihat gugup dan mencari-cari sesuatu pada diri Heksa.
"Lo nyari apa?" tanya Heksa dengan mata memicing.
Rasa penasaran membuat Heksa melupakan rasa takutnya sesaat. Semakin Pijar panik, semakin Pijar tersiksa, senyum puas semakin mengembang di bibirnya.
"Om, Tante, Pijar pulang dulu, ya." Pijar menyalami keduanya dengan terburu-buru.
"Bentar." Heksa langsung menghadang dengan mencekal lengannya.
Spontan, Pijar menjerit histeris. Tanpa sadar tangan lemahnya mendorong kencang tubuh Heksa sampai cowok itu terpental.
Entah mendapat kekuatan darimana, tapi yang jelas tiga pasang mata di depan Pijar kini menatapnya penuh selidik.
Sorot mata Pijar seketika sayu. Sendu. Perasaan bersalah membanjiri hatinya.
Ya Tuhan, mereka pasti mikir kalau aku ini cewek kasar...
Pijar menunduk sopan. Merasa terpukul sendiri dengan apa yang terjadi saat ini. Tak ada yang bisa ia lakukan, selain mengucapkan maaf berkali-kali pada Heksa lalu bergantian menyalami Anita dan Anthony.
Secepat kilat ia kembali duduk di motor dengan tangan gemetar. Dan ketika motornya mulai bergerak, Pijar tak ingin lagi menoleh ke belakang.
"Pijar tunggu!" Anita berusaha memanggilnya. Sedikit cemas, ia memberi kode pada sopirnya untuk menyusul Pijar. "Pak, tolong ikuti anak tadi sampai rumahnya. Jangan sampai ketahuan, pastikan dia selamat selama di perjalanan."
Anthony yang sedikit mengerutkan dahi, bergerak mendekati anaknya. "Kamu nggak apa-apa, Sa? Temenmu itu kok agak aneh, ya. Kamu hati-hati kalau pilih temen."
"Dia bukan temen aku kok, Pah." Heksa meringis ketika mengusap siku lengannya yang lecet. "Nebeng dia juga karena terpaksa."
Jauh dari kediaman Heksa, Pijar menahan air matanya yang hendak tumpah. Kini perasaannya berkecamuk. Mulai merengek, mengeluh bahkan sesekali tanpa sadar mencaci maki mata ajaib yang diberikan Tuhan untuknya.
Mama, tolong... Aku mulai putus asa.
Dan untuk pertama kalinya di sepanjang hidupnya, Pijar terisak di atas motor. Ia tidak mengerti kenapa kali ini hatinya terasa sakit sekali.
Meski sering ditatap dengan cara yang sama oleh orang lain, sakitnya kali ini begitu membekas. Rasanya malah masih lebih baik diperlakukan semena-mena oleh Heksa seperti biasanya daripada harus ditatap penuh hina seperti tadi.
***
Esok paginya, Pijar terbangun dengan mata sembab. Ia terlambat berangkat sekolah beberapa menit dari waktu yang biasanya. Napasnya memburu. Berlari kencang menuju gerbang sekolah yang nyaris ditutup. Setumpuk kertas tugas hasil lemburan semalam kini ada di pelukannya.
Karena semalam harus mengantar Heksa dulu, Pijar jadi terlambat pulang dari tempat kerja. Apalagi sebenarnya rumahnya dan Heksa bak Sabang-Merauke. Pojok ke pojok.
Memang sedikit menyusahkan, tapi Pijar tidak pernah berpikir dua kali ketika ingin membantu seseorang.
Setelah merapikan tatanan rambutnya dengan asal-asalan, Pijar menarik napas panjang. Bersiap berlari kecil meniti satu per satu anak tangga menuju ruang multimedia yang ada di lantai dua.
"Eits!"
Fyuh, nyaris. Pijar memegangi dadanya.
Walau kertas-kertas yang dibawa Pijar jatuh dan menyebar di anak tangga, tapi paling tidak kakinya bisa direm.
Masih mending kalau yang ditubruk Andre. Lah, sekarang? Belum kena aja Heksa udah melotot ngeri ke Pijar.
"Yah, jatuh semua, deh." Pijar menyesalkan tumpukan kertasnya yang berserakan sampai ke lantai bawah. Bukannya panik, gadis itu merespon kesialannya dengan wajah datar seperti biasa. "Sorry, Sa. Nggak sengaja."
Tak membuang-buang waktu, Pijar menuruni lagi anak tangga yang tadi dilewatinya.
"4L," ucap Heksa membuat Pijar yang sedang memunguti kertasnya berhenti dengan kening berkerut. "Lo lagi Lo lagi." Heksa terbahak dengan suara lantang.
Meski diabaikan Pijar, nyatanya cowok itu masih terus mengomel. "Kayaknya mulai hari ini, lo harus ambil kursus terbang deh sama hantu-hantu lain."
Heksa sok berani. Padahal ketika mengabsen nama-nama hantu Indonesia di benaknya, bulu kuduknya langsung menegang.
Saat Heksa berniat melangkah menuruni anak tangga, kakinya mendadak terhenti di udara. Ada kertas milik Pijar yang ternyata jatuh di dekat sepatunya. Dan kemungkinan besar, Pijar tidak menyadari ada satu yang tertinggal di antara kertas-kertas yang berceceran lainnya.
Aha!
Senyum culas mengembang di sudut bibir Heksa. Sontak ia berjongkok, memungut selembar kertas yang berisi penuh tulisan itu, lalu dilipat menjadi empat bagian.
Dan adegan klimaksnya, dimasukkan kertas tugas Pijar ke saku seragamnya.
"Itu di kanan lo, Zom." Sok-sokan Heksa menunjuk ke sembarang arah, memberi aba-aba pada Pijar.
"SURPRISE!"
"Happy Birthday To You..."
"Happy Birthday To You..."
Tangan Pijar mendadak kaku. Tumpukan kertas yang berhasil ia kumpulkan, jatuh dan menyebar di bawahnya. Ia mendongak, mendapati murid-murid kelas satu berbondong-bondong keluar kelas bersamaan.
Mereka menhampiri sosok cewek berambut pendek yang tampak terkejut begitu kedatangannya disambut heboh teman-temannya.
"Bela?" Pijar menggumam lirih. "Itu Bela, kan? Anak IA?"
Mata Pijar menyipit. Deretan angka di atas kepala Bela, samar-samar mulai terlihat.
Sedetik,
Dua detik,
Sepuluh detik, Pijar masih menunggu. Matanya mengerjap-ngerjap.
Buram, tulisannya benar-benar tidak jelas.
Ini mata gue jadi minus apa gimana, sih?
"Woy!" Heksa menyadarkan lamunan Pijar dengan suara cemprengnya. "Lo liatin apaan, sih? Nggak mungkin ada cowok ganteng lewat, kan? Orang gue ada di sini."
Pijar diam saja. Ia menoleh dan mendapati Andre beserta Willy datang menuruni anak tangga.
"Lo pasti ganggu Pijar lagi, ya?" Andre mengetuk kepala Heksa dengan gulungan kertas.
Heksa melengos. Masih kesal dengan kejadian semalam.
"Jar, pergi sana. Biar gue yang urus," ucap Andre dengan gaya sok heroik.
Baru saja Pijar akan melangkah meniti anak tangga, Heksa menahannya. "Lo kenapa diem aja dari tadi? Masih marah sama gue soal semalem?"
Willy yang punya naluri kepo tingkat akut, langsung nimbrung. "Semalem ada kejadian apa abis kalian balik bareng, Bro?"
"Semalem kejadiannya di rumah gue," jawab Heksa ambigu. Lupa kalau mereka bertiga masih marahan, ia malah menanggapi pertanyaan Willy.
Mengabaikan Willy dan Andre yang makin melotot, Heksa kembali memperhatikan wajah Pijar. "Gue tahu lo emang jarang ngomong, tapi bukan berarti lo sama sekali nggak ngomong sama gue, kan?"
Ekspresi Pijar masih tetap saja datar. Bukan, diamnya Pijar bukan berarti marah.
Jauh di lubuk hatinya, ia sebenarnya malu dengan kejadian semalam. Ia hanya merasa kecewa dengan dirinya sendiri yang lagi-lagi berulah di kediaman orang lain.
Papa Mama Heksa pasti mikir macam-macam. Gue emang aneh, mistis, dan nggak sedikit orang yang takut deket-deket sama gue karena mereka pikir gue bawa kutukan.
"Heh, Zombie!" Heksa masih memanggilnya ketika Pijar sudah sampai di anak tangga paling atas. "Gue ngomong sama lo, bukan sama mayat hidup beneran. Lo manusia, kan? Woy!"
Semakin diabaikan, Heksa akan semakin mencaci. Karena yang sedang dihadapinya adalah manusia tanpa ekspresi, ia harus terus memancing kekesalan gadis itu.
"Minggir lo," ujar Heksa ketus saat melintasi Andre. "Gue masih nggak minat buat baikan."
Andre mencibir, paham dengan sifat kekanak-kanakan Heksa. "Ntar kalo kesepian juga larinya ke kita, Will," katanya sambil menyikut lengan Willy.
Heksa mendengus kasar. "Heh, Will. Bilangin ke temen lo itu ya. Gue nggak bakal ngerasa kesepian, karena masih ada anak-anak basket yang bisa nemenin gue."
Willy lantas menepuk pundak Andre yang jelas-jelas ada di sampingnya. "Ndre, kata Heksa -"
"Bilangin ke Heksa, cuma kita berdua yang bisa temenan tulus sama dia," potong Andre sebelum Willy menuntaskan kalimatnya.
Hidung Willy kembang kempis. Kepalanya mulai migrain. Bergantian menatap kedua sahabatnya yang seperti sedang PMS massal.
Bukannya menjadi penengah, cowok beralis tebal itu langsung beranjak pergi. Kepalanya dimiringkan, bingung sekaligus curiga.
Mereka marahan gara-gara kejadian semalem, atau gara-gara rebutan cewek mistis itu, sih?
***
Kuis dadakan dari Bu Dewi Ratna, membuat suasana kelas Heksa sesunyi kuburan. Cowok serampangan itu juga tampak gelisah sendiri di bangkunya, meski semua soal dari guru sejarah itu sudah diselesaikan Heksa dalam waktu sepuluh menit.
Bukan sombong, tapi memang Heksa punya ingatan yang tajam. Coba aja kalau Mata Pelajarannya bukan Sejarah, Heksa pasti sudah belingsatan tengok kanan tengok kiri.
"Yang nanti ketahuan mencontek, berbicara dengan temannya, atau main handphone di kelas, silahkan langsung keluar dan berdiri di sana sampai pelajaran selesai," tegas Bu Dewi Ratna sembari membenahi kacamata tebalnya.
Heksa mengangkat pulpennya malas-malasan. Fokusnya terpecah. Bergantian ia melirik saku seragamnya yang berisi kertas tugas Bahasa Indonesia milik Pijar, lalu kembali menatap papan tulis kosong di depannya.
Saat bola mata Heksa bergerak memantau sekitar, tak sengaja ia menangkap sosok yang melintas di jendela kelas.
Bu Ghina, guru yang sering mengelu-elukan nama Pijar ketika mengajar di kelas lain itu, tampak sedang berjalan tergesa-gesa.
Mampus lo, Zombie. Pasti sekarang dia lagi kalang kabut nyariin tugasnya yang gue bawa. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, lo bakal kena hukuman dari guru kesayangan lo itu.
***
*Tugas Bahasa Indonesiaku kemana, ya?*
*Jangan bilang-bilang si Zombie, tugas Bahasa Indonesianya gue umpetin*
>> Selamat Malam Minggu, Mblo. Sengaja author postnya malem-malem, untuk menemani kegabutan readers jomblo yang budiman.
Terimakasih untuk komen-komen, vote dan semangat dari kalian yang selalu minta author buat post part selanjutnya. Silent readers, buruan muncul sebelum Pijar palak kerumah bawa golok. Hee.
Instagram Heksa : HeksaHb
dan Instagram Pijar : PijarHb
Instagram author *walau paling kagak ada yang nanya, rismami_sunflorist
Sampai ketemu lagi Hari Selasa :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro