Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 9: ANCAMAN


"Aku tidak bisa menyembunyikan apa pun dari orang yang benar-benar memahami diriku.

Bahkan ternyata, dia jauh lebih mengenal aku, dibanding diriku sendiri."

***

Pijar hanya gemetar, tapi tak mampu bergerak. Sementara di lantai auditorium, terdengar teriakan seorang cowok yang sayangnya tenggelam di antara dentuman musik pesta ulang tahun Ginny.

Bulir-bulir keringat mengucur dari pelipis Andre. Napasnya terengah-engah. Ia benar-benar lelah. Tangannya yang terkepal mulai lecet. Berulang kali ia mencoba menggedor-gedor pintu ruang toilet, tapi masih belum ada bantuan yang datang.

"Ya Tuhan, tolong jaga Pijar."

Brak!

Brak!

Tangan kanan Andre yang mengepal semakin memerah. Ia sudah kehabisan tenaga. Tubuhnya lemas.

Akan tetapi, satu hal yang membuat lelaki itu benar-benar terpukul adalah karena ia merasa tak bisa menjadi pelindung yang baik untuk Pijar.

"Gila, gue udah hampir setengah jam di dalem kamar mandi. Mana mungkin dari tadi nggak ada yang lewat? Aneh ...."

Meski dalam situasi terjepit, Andre tetap mencoba menganalisis lebih dulu, tidak gegabah.

Coba bandingkan jika Heksa yang ada di posisinya. Mungkin sudah jebol pintu toiletnya sejak tadi. Mana tenaga Heksa sebelas dua belas sama Hulk.

"Aisssh, baterai gue abis." Ia mulai kelelahan dan kini hanya bisa duduk di atas WC yang tertutup.

Hopeless. Tak ada pertolongan.

Andre tidak tahu bahwa di luar pintu WC, ada seseorang yang sengaja menempelkan tulisan "WC Rusak", hingga membuat para tamu akhirnya mencari WC lain. Ada yang sengaja mengerjainya dengan mengunci pintu toilet itu.

Mau berteriak sekencang apa pun juga percuma. Teriakannya kalah oleh suara musik yang menggema di aula. Suara Andre kurang toa, kurang melengking, jadi tamu lain tidak mendengar.

Di tempat lain, Pijar hanya bisa mematung saat matanya bersitatap dengan Ginny. Gadis yang sedang berulang tahun itu ada di hadapannya.

Bulan dan tahun kematian Ginny ....

Muncul ... di atas kepala gadis itu.

Deretan angkanya tertulis dengan sangat jelas.

Sorot mata Pijar berubah sendu. Tubuhnya membeku. Ia bahkan tak bisa memberi perlawanan saat Ginny mencoba mendekatinya.

"Lo kenapa, sih? Aneh banget," decak gadis itu sembari mencekal lengan Pijar.

"Singkirkan tangan kotor lo dari Pijar sebelum gue hilang kesabaran."

Suara tegas yang terdengar penuh ancaman itu membuat Ginny membelalak. Ia benar-benar terkejut.

"Heksa?"

Ginny tidak bereaksi, jadi Heksa menyingkirkan tangan gadis itu dari lengan Pijar dengan kasar. Urat-urat wajah Heksa mengencang. Ia tampak sangat geram.

Malam itu, Heksa yang mengenakan blazer hitam beradu tatap cukup lama dengan Ginny. Sepasang mata minimalisnya menyorot tajam pada gadis itu. Seperti menyimpan dendam yang tidak akan pernah berakhir sampai ia punya tujuh turunan kelak dengan Pijar.

Heksa kini beralih menatap Pijar. "Jar, lo lihat gue sekarang. Gue di depan lo, jangan alihin pandangan lo dari gue," ucap Heksa sembari menangkupkan tangan di pipi Pijar. Ia berusaha menarik fokus gadis itu agar hanya terpusat kepadanya.

Dalam situasi-situasi tertentu, Heksa akan memanggil nama kekasihnya itu dengan ejaan yang benar. Bukan lagi Zom atau Zombie seperti hari-hari biasanya.

"Heksa?" mama Andre menegur cowok itu.

Heksa hanya mengangguk sekali sembari tersenyum sekilas ke wanita itu. Tanpa berpamitan, ia segera menarik tangan Pijar dan mengajaknya ke tempat yang lebih sepi.

"Lo nggak lihat apa-apa, kan?" tanya Heksa. Ia mengguncang lengan Pijar agar gadis itu segera meresponsnya. "Lupain, lupain semuanya kalau emang lo udah lihat."

Pijar mengerjap-ngerjap. Kulit putihnya tampak pucat. Ia semakin menyerupai manekin karena hanya mematung dengan posisi tubuhnya berdiri tegak.

"Jar, jawab gue! Kenapa lo diem aja, sih? Baterainya abis?" tanya Heksa, mulai mencoba bergurau. Ia menganggap Pijar seperti boneka mainan yang tidak bisa bergerak jika baterainya habis.

"Zooommm!" teriak Heksa melengking. Ia mulai habis kesabaran.

Bukan, bukannya marah atau emosi. Cowok itu benar-benar khawatir melihat Pijar yang masih tidak memberi respons. Akhirnya, Heksa memilih untuk istirahat sejenak, memberi waktu bagi Pijar untuk mengumpulkan nyawanya.

Saat keduanya masuk lift untuk ke lantai atas, Pijar mencoba meyakinkan Heksa lagi.

"Gue nggak liat apa-apa kok, Sa." Pijar menggeleng lemah. Ia mencoba tersenyum.

Senyum palsu yang tentu membuat Heksa menyipit curiga.

"Kan, Andre masih ada di gedung yang sama, jadi ya ... mata ajaib gue masih normal," ucap Pijar lirih.

Agar lebih meyakinkan, gadis itu memegangi lengan Heksa. "Gue nggak lihat apa-apa, kok. Bulan dan tahun kematian Kak Ginny nggak muncul."

Heksa mendekatkan wajahnya untuk mencari kejujuran dari sepasang mata Pijar yang menatapnya polos. Ia mengulurkan sebelah tangannya sampai ke dinding di belakang Pijar, seolah ingin memojokkan gadis itu.

Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya.

Pijar maju satu langkah hingga membuat Heksa kaget lantas termundur beberapa langkah.

"Apaaa, sih, Zom? Jangan-jangan lo ...." Heksa bergidik. Ia mundur beberapa langkah sampai terpojok di sudut lift. "Coba lo mangap."

Pijar menelengkan kepala. Walau awalnya bingung, ia selalu menuruti apa pun yang dikatakan Heksa. "Aaa ...."

Heksa mengelus-elus dadanya sendiri. "Aman, gue kira ada taring keluar."

"Ha?"

Sepasang mata Pijar mengerjap-ngerjap. Ia tidak tahu apa maksud ucapan Heksa, tapi tetap tersenyum karena menduga cowok itu sedang bergurau. Walau di mata Heksa, jatuhnya bukan tersenyum, melainkan lebih terlihat seperti seringai menakutkan.

Ting!

Baru saja pintu lift terbuka, Heksa langsung menggamit tangan Pijar dan menggandengnya ke luar.

Heksa celingak-celinguk, lalu bertanya, "Andre mana, sih? Nggak tanggung jawab sama omongannya."

Heksa menyipit, kemudian mengomentari hal lain. "Tuh, si Medusa mau tiup lilin. Kenapa nggak sekalian pakai TNT aja, ya. Abis dia niup, meledak, langsung pada kabur. Hehe."

Lampu-lampu meredup. Digantikan dengan satu lampu yang sangat terang menyoroti bintang utama malam itu. Ginny yang tadi ikut turun bersama Pijar, melewati lift khusus yang tidak perlu mengantre dengan pengunjung lainnya. Seluruh mata kini terpusat pada gadis itu. Mengagumi kulit putihnya yang semakin bersinar ketika tersorot lampu.

Pijar tampak antusias menyaksikan setiap proses perayaan ulang tahun Ginny.

Seluruh tamu pesta kini berkumpul di taman belakang. Ada beberapa meja bundar yang menyebar di seluruh sudut, lengkap dengan kursi-kursi yang dilapisi kain mengilat. Di belakang Ginny, terdapat kolam berbentuk persegi. Benar-benar cantik karena kolam itu dihiasi kelopak bunga mawar merah yang mengapung di atasnya. Tentu saja, fotografer dan videografer tetap sibuk mengambil gambar untuk tayang sebagai konten di media sosial Ginny. Momen-momen berharga seperti tiup lilin ulang tahun selalu mengundang like dan comment amat banyak.

Ginny terlihat semringah saat teman-temannya menyanyikan theme song ulang tahun. Ia langsung meniup lilin-lilin kecil berwarna merah muda yang mengitari kue tar tiga tingkat itu begitu teman-temannya menyorakinya sambil bertepuk tangan.

"Udah kayak acara kawinan aja. Tinggi kuenya sampe mau ngelebihin tinggi Monas," komentar Heksa. Ia berbisik di telinga Pijar. Namun, suara bisikannya yang tidak lirih itu ternyata membuat beberapa tamu menoleh ke arah keduanya.

Potongan kue pertama diberikan untuk Papa tercinta. Lalu, Ginny mengitari meja kue untuk memberi potongan berikutnya kepada Heksa. Namun, cowok itu hanya melengos. Meletakkan kuenya ke meja yang berada di dekat Pijar.

"Makan, tuh. Kali aja temen-temen lo laper," ucap Heksa sok berani, padahal juga merinding saat mengatakan "teman-teman Pijar".

Heksa tahu Pijar sangat menyukai kue-kue manis, terutama kue yang berasal dari acara ulang tahun.

Benar, kan? Pijar langsung melahapnya dengan wajah semringah.

"Sa, sini, deh." Mama Andre meminta cowok itu mendekat.

Sejenak, Heksa menoleh ke arah Pijar, enggan meninggalkannya.

"Iya, nggak papa, Sa. Temen-temen gue pada di sini semua, kok. Nemenin gue," ucap Pijar ketika Heksa hendak pergi meninggalkannya.

Gadis itu tersenyum misterius, menatap sekelilingnya. Padahal, para tamu sudah mulai memencar, tak lagi berkerumun di satu titik.

Jadi sebenarnya, secara kasatmata, tak ada satu pun orang yang berada di dekat Pijar.

"Hiii ...." Heksa bergidik sembari meraba-raba lengannya sendiri. "Tenang, Sa .... Tenang, gue nggak takut."

Duk.

"Huaaa!" pekik Heksa. Kakinya tersandung kaki meja karena tidak fokus memperhatikan jalan. "Lo, gimana, sih? Gue mau lewat, kasih jalan, kayak. Malah ngejogrok diem di sini," umpat cowok itu pada meja yang hanya bisa membisu.

Mungkin kalau mejanya bisa bersuara, dia bakal ketawa kenceng sambil nyukurin Heksa.

Salah sendiri banyak tingkah.

"Ada apa, Tante?" tanya Heksa. Ia dan mama Andre berbincang di balik dinding yang membatasi kolam renang dan taman.

"Sebenernya, Andre ke mana, sih? Tante telepon dia dari tadi nggak diangkat. Tapi, kata ...." Mama Andre menunjuk ke sisi kanannya. "Siapa tadi cewek yang sedikit aneh tadi, lupa, dulu udah pernah dikenalin Andre ...."

"Pijar bukan cewek aneh, Tante." Di luar dugaan, Heksa menjawab tegas. "TAPI, ANEH BANGET. HAHAHAHAAA," lanjutnya sambil terbahak.

Mama Andre langsung mundur. Dahinya mengernyit. Sepenglihatan wanita itu atas interaksi Pijar dan Heksa, sepertinya mereka memiliki hubungan yang dekat, alias berpacaran. Jadi, wajar saja kalau mama Andre bingung melihat Heksa yang malah menghina pacarnya sendiri.

Pantesan klop, aneh sama aneh, sih.

"Jadi, Andre ke mana, Sa?" Juwita mengulang pertanyaannya lagi.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro