Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 8

"Mereka berkomentar sesukanya, tanpa mengenal diriku yang sebenarnya."


***

Heksayang

Lo nggak boleh jauh-jauh dari Andre, biar lo nggak lihat tahun dan bulan kematiannya Ginny. Tapi, juga jangan terlalu deket, bukan muhrim. Bentar lagi gue dateng. Maklum, orang sibuk, ya, kayak gini, nih. Jadwal padat.


Dari isi chat Heksa ke Pijar, terlihat cowok itu sepertinya ingin cepat-cepat menemui Pijar. Heksa sengaja mengirim pesan tanpa memberi penjelasan lebih rinci. Ia tak mau Pijar khawatir dan menyusulnya ke rumah sakit.

Karena Heksa tahu ... semenjak Pijar menemukan tempat persembunyiannya, gadis itu tidak lagi takut menghadiri perayaan ulang tahun seseorang.

Hal yang sangat diinginkan Pijar sejak kecil, tapi ia tak pernah bisa menikmati perayaan ulang tahun seseorang karena mata ajaibnya itu.

Hingga suatu hari, Pijar akhirnya bertemu Andre, sosok yang bisa menjadi tempat persembunyiannya. Berdekatan dengan Andre, membuat kekuatan istimewanya tumpul. Mereka menyimpulkan hal ini setelah melewati berbagai peristiwa.

"Kita tunggu Heksa di dalem aja." Andre hendak membelokkan kemudinya ke sisi barat area parkir. Namun, tiba-tiba terdengar ketukan di jendela mobilnya.

"Maaf, Kak. Karena parkiran di sini penuh, biar saya yang carikan tempatnya," ucap sosok lelaki berpakaian rapi yang menawarkan jasa vallet.

Andre menyipitkan mata sejenak. Ia mengeja tulisan yang tertera di ID card si lelaki. "Valeron, sie perlengkapan dan peralatan," Andre mencebik sembari berkomentar, "kayak panitia pensi aja, nggak kreatif banget, tuh, si Grindong ngasih nama petugas-petugasnya."

Pijar menatapnya bingung. "Grindong siapa, Ndre?"

"Ginny Grindong," sahut Andre sambil terkekeh. Menurutnya lucu, tapi Pijar hanya mengerjap-ngerjap tak paham. Memberi reaksi datar seperti sebelum-sebelumnya.

Bahkan kadang, gue lihat Heksa udah sampai jempalitan demi bikin Pijar ketawa. Tapi, ending-nya juga sering failed. Jadi, bukan sama gue doang, kan, dia bereaksi kayak gini? Meski repot, tapi rasa cinta gue ke Pijar nggak bisa pudar.

"Eh, bentar, Mas." Andre kembali masuk ke mobilnya sebelum si petugas vallet memarkirnya ke area lain.

Andre membuka pintu mobil di kursi belakang dan mencari-cari sesuatu. Ia tersenyum tipis saat menemukan jaket putihnya yang terlipat rapi di bangku belakang mobil.

"Lo pake ini, Jar." Andre menyampirkan jaketnya di pundak Pijar, lalu termenung sesaat. Dahinya mengerut heran. Masa iya, Heksa yang beliin Pijar model gaun kayak gini? Dia rela gitu ceweknya pakai gaun bahu terbuka yang seksi, terus diperhatiin sama cowok sejuta umat?

"Ada apa, Ndre?" tanya Pijar sedikit bingung melihat Andre yang tampak seperti orang melamun.

Andre mengerjap-ngerjap sembari menggeleng. Hanya karena tangannya tanpa sengaja bersenggolan dengan tangan Pijar, dadanya mendadak sesak. Sarafnya seperti dialiri listrik. Ia seolah bisa mendengar degup jantungnya sendiri yang tak berhenti berdebar-debar kencang.

Setelah melewati bagian pengecekan undangan dan barang bawaan di koridor lantai satu, Andre dan Pijar menaiki lift bersama tamu-tamu lainnya. Namun, ketika melihat gadis itu memasuki lift, beberapa tamu cepat-cepat melompat ke luar. Dua pasang remaja yang masih tertinggal di dalam pun memilih untuk menyingkir sampai ke pojok lift.

Andre menoleh dan mendapati Pijar tertunduk dengan sebagian wajah terhalang rambut. Ia berdeham sekali, seolah memperingatkan orang-orang di dalam lift agar tidak terus mengawasi Pijar.

"Hmmm, Jar. Kenapa rambut lo nggak dikucir atau digulung aja gitu, biar rapi?" tanya Andre, ragu-ragu. Ia takut Pijar merasa tersinggung.

"Kata Heksa, rambut gue boleh dikucir cuma kalau pas jalan sama dia," jelas Pijar, mengulang ucapan Heksa tempo hari saat keduanya ada di dalam mobil menuju sekolah.

"Kenapa gitu?" Walau sudah tahu jawabannya, Andre mencoba memastikan. Heksa pasti nggak mau leher Pijar terekspos.

"Kata Heksa, dia nggak mau ketularan kutuan. Kalau rambut gue digerai, nanti kutunya nyebar ke mana-mana," terang Pijar dengan wajah lugu.

Andre nyaris terbahak. Pipinya sudah menggembung mendengar alasan konyol itu. "Emang lo kutuan?"

Pijar menggeleng dua kali. "Enggak juga, sih. Tapi, kenapa Heksa bilang gitu, ya?"

Tak tahu harus berkomentar apa, Andre hanya menghela napas panjang. "Ya, lo mau aja dikibulin si Sableng, Jar."

Pijar diam lagi. Kalau lagi sama Andre, gadis itu tidak pernah menjadi pihak yang memulai pembicaraan. Jadi, selalu Andre yang berusaha memancing gadis itu agar terus merespons ceritanya.

"Lo seneng banget kayaknya, Jar," bisik Andre. Tanpa Pijar ketahui, sedari tadi lelaki itu memperhatikan sorot matanya yang berbinar-binar.

Pijar mengangguk semangat. "Ini pesta ulang tahun kedua yang bisa gue datengin setelah ulang tahun Aura tahun lalu."

Andre terkekeh kecil. "Kalau tahu lo sebahagia ini, mending Aura gue suruh ulang tahun tiap Minggu, deh."

"Nanti Aura tahu-tahu udah umur seratus tahun, dong. Hihihi," tanggap Pijar.

Sekalinya tertawa, suara gadis itu melengking, mirip kuntilanak lagi stand up komedi.

"Huaaaaaa!"

Suara tawa Pijar membuat heboh seisi lift. Satu pasangan cepat-cepat menekan tombol buka di lift dan berebut mendapat posisi paling dekat dengan pintu. Sementara pasangan lainnya langsung meringkuk di salah satu sudut.

"Yok, Jar," ajak Andre begitu pintu lift terbuka. Ia hanya berdecak saat melihat reaksi berlebihan dari dua pasang tamu undangan yang saling berebut ke luar lift.

Lantai Dua Hotel Rising Dream, yang memang satu grup usaha dengan sekolah, disulap seperti istana bernuansa pink. Balon, taplak meja, serta pernak-pernik lainnya juga berwarna senada. Langit-langit ruangan itu dilapisi kain mengilat yang kalau dilihat sekilas seperti kerlip-kerlip bintang.

Pijar tak dapat menutupi kekagumannya. Matanya menyapu seluruh ruangan.

Benar-benar indah. Dekor yang cantik. Berbeda dengan ulang tahun Aura yang didominasi warna kuning, sesuai dengan kartun kesukaan gadis kecil itu, Ginny meminta tema girly pada pihak EO yang meng-handle pesta ulang tahunnya. Jadilah istana pink girly yang tidak norak dan cocok untuk gadis berkelas seperti Ginny.

"Astagaaa ...." Belinda terjingkat saat mendapati Pijar yang tahu-tahu sudah berdiri di sebelahnya. "Nyari Ginny? Tuhhh, di sana."

Awalnya gadis itu mau nyolot. Namun, ketika melihat Andre ada di samping Pijar, ia segera menurunkan intonasi bicaranya. Meski Andre hanya memberinya peringatan melalui tatapan lembut, Belinda langsung merasa tak enak dengan Pijar.

Pesona Andre memang tidak diragukan lagi. Ia selalu bertutur lembut dan sopan. Jadi, sekalinya lelaki itu terganggu, tentu terbaca oleh orang-orang di sekitarnya.

Dari kejauhan, Ginny yang sedari tadi membuat tayangan live pesta ulang tahun di channel-nya, sudah melihat keberadaan Andre dan Pijar. Senyum piciknya terulas. Ia senang karena Pijar datang bersama Andre, bukan dengan lelaki yang membuatnya tergila-gila.

"Berani juga lo dateng?" Ginny bersedekap begitu Pijar tiba di depannya. "Gimana peramal abal-abal? Kematian gue pasti masih lama, kan?"

Pijar mengangguk dua kali. "Iya," jawabnya sembari tersenyum lega.

Saat berada di dekat Andre, mata ajaibnya tidak berfungsi. Pijar menganggap jawabannya kepada Ginny tadi adalah semacam doa, bukan kebohongan. Doa supaya gadis yang sedang berulang tahun itu berumur panjang.

"Terus, kira-kira apa penyebab kematian gue?" tanya Ginny.

Sebenarnya ia tidak benar-benar penasaran dengan tahun kematiannya. Gadis itu hanya ingin membuktikan kebenaran desas-desus dari murid Rising Dream yang mengatakan Pijar memiliki mata ajaib.

Mana munkin gue percaya? Di zaman modern kayak gini, masih percaya sama peramal? Helllooow. Ginny membatin.

"Gue jadi ragu, mungkin lo cuma caper doang ke anak-anak. Biar diperhatiin gitu, kan? Makanya lo sok-sokan ngaku punya mata ajaib," kata Ginny nyerocos panjang lebar. Ia berharap dapat memancing emosi Pijar, tapi gadis di depannya itu hanya bereaksi datar.

Andre langsung pasang badan saat melihat Ginny hendak melangkah mendekati Pijar.

Ginny mendecih geli. "Andre ... Andree. Lo sad boy banget, ya," tukasnya sembari menepuk-nepuk pundak Andre."

"Sad? Andre kayaknya dari tadi senyum, tuh, Kak, nggak keliatan sedih," sahut Pijar yang membuat Ginny semakin meradang.

Andre mencengkeram lengan Ginny. Cowok yang biasanya lembut dan sabar itu tampak sangat geram.

"Gue masih menghargai lo, meskipun elo anak pria yang berusaha menggoda nyokap gue. Jadi, jangan buat kesabaran gue abis atau kalau nggak, gue bakal bocorin niat busuk bokap lo ke semua tamu di sini," tegas lelaki itu.

Agar keributan itu tidak semakin memanas, Andre membawa Pijar ke sudut lain. Awalnya ia ingin bergabung dengan murid-murid kelas XII yang berkumpul di balkon. Mereka tampak asyik bercakap-cakap sembari menikmati aneka camilan yang disajikan di pesta ulang tahun Ginny.

Akan tetapi, Andre takut membuat Pijar tidak nyaman. Belum mendekat saja, murid-murid kelas XII itu sudah terus mengawasi Pijar. Seolah gadis itu adalah buronan yang harus diwaspadai. Padahal, Pijar sudah hampir tiga tahun satu sekolah dengan mereka, sementara mereka sekarang tampak amat memuja Ginny, yang bahkan belum satu minggu satu sekolah dengan mereka. Semua hanya karena Ginny selebgram dan kaya.

"Lo mau gue ambilin minum? Camilan?" tawar Andre. Ia meminta Pijar duduk di salah satu kursi kosong. "Eh, tapi nanti kalau gue tinggal, lo jadi bisa lihat—"

Pijar menjawab lirih, "Nggak papa, Ndre. Kan, masih satu ruangan. Hihi," ucap gadis itu diiringi suara tawa yang membuat tamu di sekitarnya seketika bergidik ngeri.

Andre segera mengerjap-ngerjap sebelum makin baper. "Ya udah, lo diem di sini, ya. Jangan ke mana-mana kecuali kalu mau main-main ke hati gue, langsung dipersilakan."

Niat Andre menggombal failed karena ketidakpekaan Pijar. Gadis itu hanya bereaksi datar. Berbalik menatap Andre dengan sorot bertanya-tanya.

"Gue akuin Heksa emang sabar ngadepin Pijar. Secara ... si Sableng, kan, sumbu pendek. Dikit-dikit marah, tapi dia juga awet-awet aja sama Pijar," gumam Andre sembari berderap ke meja yang berisi gelas-gelas minuman.

Cowok itu berhenti sesaat di depan meja. Ia bingung memilih minuman untuk Pijar. Soda, jus, smoothies, dalgona, apa Thai tea?

"Upsss, sorry!"

Ucapan maaf yang terdengar tidak tulus itu berasal dari sosok gadis berpakaian ketat. Ia tak sengaja menumpahkan air minumnya ke kemeja Andre.

"Lo bener-bener nggak sengaja?" tanya Andre. Nada bicaranya sangat lembut. Ia tidak terlihat marah. Namun anehnya, sorot mata teduh lelaki itu membuat gadis di depannya tertekan.

"Hmmm, maaf," ucap gadis itu sembari mengalihkan tatapan. Ia memelesat pergi dan bergabung bersama teman-temannya walau sesekali masih terlihat mengawasi Andre.

Mau marah, tapi tidak bisa. Akhirnya, Andre hanya mendesah pelan. Ia menyambar tisu lantas mengusap-usap bagian yang kena minuman. Berharap kemejanya yang basah akan cepat mengering.

"Ah, sial! Ternyata smoothies pepaya," decak lelaki itu. "Kalau nggak pakai sabun, bisa bau ini."

Sebelum berderap ke toilet, Andre melirik Pijar di tempat semula. Aman. Gadis itu masih duduk tenang dan tampak menikmati euforia pesta ulang tahun Ginny. Sepertinya dia asyik menonton Ginny dan teman-temannya sedang live di channel milik yang berulang tahun.

Tanpa memberi tahu Pijar lebih dulu, Andre langsung memelesat menuju toilet karena sudah tak tahan mencium aroma pepaya yang menguar dari kemejanya. Apalagi, ia memang sangat anti dengan buah beraroma khas itu.

Sementara dari arah lift, muncul sesosok wanita glamor yang tampak familier bagi Pijar. Wanita itu melenggang berdampingan bersama seorang pria yang tampak sebaya dengannya. Keduanya menghampiri Ginny, cipika-cipiki, kemudian berbincang seru di dekat panggung.

"Andre nggak jadi dateng?" tanya Juwita, mama Andre, kepada Ginny.

"Nggak, Ma. Padahal, aku berharap banget Andre bisa dateng," jawab Ginny seolah-olah kecewa. Ia ingin menarik simpati wanita itu. Ia ingin membuat Andre tampak buruk di mata mamanya sendiri. "Kenapa ya, Ma, Andre kayak masih nggak bisa nerima aku yang nanti bakal jadi saudara tirinya."

Perbincangan keduanya terdengar sampai ke telinga Pijar, yang memang sedari tadi fokus memperhatikan Ginny. Pada saat-saat tertentu, tak hanya matanya yang ajaib, tapi indra lainnya pun turut menajam. Tanpa terduga, gadis itu melangkah maju, berdiri di antara ketiganya untuk ikut mengobrol.

"Lho, kan, tadi Andre dateng bareng gue, Kak? Tadi juga udah ngobrol sama Kak Ginny, kan?" tanya Pijar dengan polos.

Ginny pura-pura kebingungan. "Apa, si? Lo ngomong apa? Gue nggak ngerti. Kapan gue ngobrol sama kalian? Tadi gue ngumpul sama anak kelas XII di balkon."

Pijar melangkah mendekati Ginny. Menatap gadis itu lekat-lekat. "Jangan-jangan Kak Ginny ...."

Di depannya, Ginny sudah memasang ekspresi waspada.

"Kak Ginny amnesia, ya? Gawat ...." Pijar tampak cemas.

Ginny tersenyum garing. Ia melirik mama Andre dan papanya yang sama bingungnya saat mendengar ucapan Pijar.

"Ma, dia ini sedikit aneh. Jadi nggak usah didengerin, ya," bisik Ginny ke Juwita. Walau suaranya sudah amat lirih, anehnya Pijar tetap bisa mendengarnya. Bahkan, kebisingan dari sound yang menggema di dalam auditorium tidak mengganggu pendengaran Pijar.

"Tadi aku berangkat ke sini sama Andre, naik mobil Andre," kata Pijar meski tidak ditanya.

Mama Andre menelengkan kepalanya. "Berarti di luar ada mobilnya?" tanya wanita itu. Ia melihat kejujuran dari mata Pijar yang terus menatapnya. "Bisa antar saya ke parkiran? Supaya saya tahu, Andre benar-benar datang ke sini atau tidak."

Pijar bingung. Ia menoleh ke kanan-kirinya, mencari Andre di antara tamu-tamu lain. Namun, hasilnya nihil. Cowok itu tidak tampak di sudut mana pun.

Pijar jadi serbasalah. Kalau ia turun bersama Ginny untuk mengantar mama Andre ke parkiran, dia akan semakin berjarak dengan Andre.

Bagaimana jika tahun dan bulan kematian Ginny terlihat? Mata ajaibnya akan berfungsi lagi.

Akan tetapi, jika Pijar menolak permintaan wanita itu, mungkin Andre akan mendapat masalah. Entah apa pun itu, tapi Pijar tidak ingin Andre berseteru dengan mamanya sendiri.

"Hmmm, Belinda!" panggil Pijar saat sesosok gadis melintas di depannya. "Bel, tadi lo lihat gue dateng sama Andre, kan?"

Belinda mendongak. Mengalihkan tatapannya dari Pijar, lalu berpandangan dengan Ginny yang langsung meliriknya penuh peringatan.

"Ah, sorry. Gue nggak tahu, ini tadi gue baru dateng," jawab Belinda. Padahal, jelas-jelas ia sempat ngomong sama Andre saat Pijar dan lelaki itu baru saja datang. Ia cepat-cepat melenggang pergi, tak ingin mendapat masalah.

"Aduh!" Belinda terhuyung karena hak sepatunya tiba-tiba patah.

Gadis itu melirik Pijar yang berdiri tidak jauh darinya. Bulu-bulu di sekitar lengannya meremang. Ia sangat ketakutan begitu menyadari tatapan Pijar menyorot penuh ke arahnya.

"Tuh, kan, Ma. Cewek ini emang agak aneh," bisik Ginny sembari melingkarkan tangannya ke lengan mama Andre. "Ya udah, yuk, Ma. Nggak papa, kok, kalau Andre nggak jadi dateng. Aku ngerti banget."

Juwita tersenyum tipis. Ia kagum dengan keramahan dan kebesaran hati calon putrinya itu. Sembari tetap bergandengan, keduanya melenggang ke sudut lain sebelum suara Pijar kembali terdengar.

"Saya mau temani Tante ke parkiran," ucap Pijar dengan intonasi yang lebih kencang. "Saya bisa buktiin kalau Andre juga ada di sini."

"Benar begitu? Karena dari tadi saya nelepon Andre, tapi nggak nyambung, jadi—"

"Ya, sekarang saya antar Tante ke bawah," tegas Pijar. Jantungnya berdegup semakin kencang saat mendapati Ginny turut mengekori mama Andre sampai di depan lift.

"Kenapa? Aku nggak boleh ikut, ya?" tanya Ginny kepada Pijar. Nada bicaranya berbeda dengan sebelumnya. Di depan mama Andre, gadis itu tak seliar biasanya. "Ma, aku ikut ke bawah, ya?" Ia beralih menatap mama Andre dengan sorot penuh harap.

Sepasang kaki Pijar tertahan di depan lift. Ia takut melangkah.

Ia takut berada di ruang yang sama dengan Ginny.

Ia takut semakin berjarak dengan Andre.

"Ayo, Nak." Mama Andre menegur gadis itu. Ia segera menutup pintu lift begitu Pijar melangkah masuk dan langsung menghambur ke pojok untuk menghindari Ginny.

"Dia kenapa?" tanya mama Andre tanpa suara. Namun, Ginny hanya mengangkat bahu sembari bergidik.

Lift mulai berjalan. Pijar semakin gelagapan. Ia tak berani melirik atau saling tatap dengan Ginny.

Ting!

Suara yang memberi pertanda lift akan segera terbuka, membuat Pijar kehilangan tempat bersembunyi. Ia bergeser sampai ke depan pintu lift, tapi masih tetap berusaha mempertahankan fokusnya pada satu titik.

Pada apa pun itu, asal jangan sampai bersitatap dengan Ginny.

"Di mana mobilnya Andre?" tanya mama Andre begitu ketiganya sampai lobi.

Pijar hanya mengangkat telunjuknya. Tatapan gadis itu menyorot ke arah berlawanan.

"Yang benar di sana atau ...." Mama Andre mengerutkan dahinya. Ia bingung melihat tingkah Pijar yang enggan menatapnya.

Ginny mengentak maju. Gadis itu berdiri tepat di depan Pijar. "Pijar, lo kalau diajak ngobrol sama orang tua, yang sopan, dong. Kenapa malah lihat ke sana? Mama Andre, kan, di sebelah lo, Jar."

Tangan Pijar terkepal di samping badan. Peluh membanjiri dahinya. Gadis itu mundur beberapa langkah. Kalau ia tidak segera mendongak dan merespons Ginny, mungkin keduanya malah akan berkontak fisik.

Dan, itu jauh lebih berisiko.

Pijar sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Ia masih berada di dalam gedung yang sama dengan Andre. Namun, cowok itu sudah berada jauh dari jangkauannya.

Perlahan, Pijar mengangkat wajahnya. Ia memejam sesaat sebelum akhirnya membuka mata begitu mendengar Ginny memanggilnya lagi.

"Di mana mobil Andre?" tanya Ginny.

Di depannya, Pijar hanya mematung. Wajah gadis itu mendadak pucat. Ia gemetaran.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro