Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

CHAPTER 5: MUSUHAN



"Doa dan harapan akan selalu menjadi senjata di setiap permasalahan."

***

Tempat nongkrong Heksa dan dua cogan lainnya saat jam istirahat, bukan di kantin. Bukan juga di ruang ekskul klub basket.

Perpustakaan? Apalagi itu, sungguh mustahil.

Walau Heksa masih terus mengeluh kepanasan dan gerah, nyatanya ia tetap bergabung dengan dua sahabatnya itu. Nongkrong di bawah ring basket. Padahal, siang itu sedang terik-teriknya. Dan, posisi Heksa tertuju pas dengan arah matahari.

Untuk bercakap-cakap dengan Willy dan Andre ia harus menyipit. Silau. Matanya yang minimalis sampai nyaris tidak terlihat.

"Sa! Lo denger gue kagak, sih? Malah tidur ni bocah," tukas Willy. Ia terbahak melihat Heksa yang harus bersusah payah membuka mata.

"Bacot, lo, Wil. Nongkrong tu di perpus, sekalian ngadem." Heksa menyambar bungkus ciki dari tangan Willy. Namun, setelah melihat isi di dalamnya, Heksa langsung misuh-misuh. "BUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA!" sembur Heksa. Dengan sadisnya, bungkus ciki itu diraupkan ke wajah Willy.

Andre terkekeh. Ia sampai memegangi perutnya. Geli bercampur takjub melihat tingkah konyol sahabatnya.

"Eh, Bro. Itu Si ... Ginny, oh, Ginny, kan?" Willy merangkul bahu Andre. Keduanya kini menghadap ke arah koridor kelas X.

Gadis berkulit putih dengan rambut panjang bergelombang, tampak mencolok di antara murid lainnya. Selain karena seragamnya yang berbeda, penampilan gadis itu juga terlihat "wah". Ia mengenakan jaket model pemain bisbol yang dililitkan di pinggang.

"Lho, itu Yudha, kan?" tunjuk Heksa ke arah dua lelaki yang duduk bersama Ginny di koridor kelas X.

"Sekarang mereka satu geng?" Urat-urat leher Heksa mengencang. Setiap kali ia melihat Yudha, kenangan buruknya dengan terputar kembali. Ia jadi kesal sendiri.

Willy mendecak. "Cih, gue kira si Yudha udah tobat. Nyatanya masih aja nindas anak-anak kelas X yang cupu." Ia menggeleng-geleng melihat Yudha yang baru saja menyeret seorang murid kelas X berkacamata.

Sudah bisa ditebak, Yudha memalak siswa itu. Niatnya cuma buat hiburan. Willy tahu Yudha anak orang tajir dan sebenarnya tidak membutuhkan uang milik siswa itu.

"Salah siapa dia cupu? Seharusnya dilawan, jangan cuma diem. Cupu udah bukan takdir, tapi pilihan orang-orang lemah yang cari aman doang," tukas Heksa tak peduli. Selama dirinya tak diusik, ia malas berurusan lagi dengan Yudha.

Lain dengan Andre yang tatapannya menyorot penuh iba. Namun, Andre juga males nolongin kalau yang jadi korban murid cowok, nggak bisa sekalian tebar pesona dan cari muka soalnya.

"Hmmm, cuma dirinya sendiri yang tahu dia bener-bener udah tobat atau nggak," tanggap Andre, masih terdengar bijak. "Ucapan maafnya ke Pijar waktu itu, pasti nggak dari hati."

"Wah, Ndre. Lo udah cocok ngisi kultum, Ndre. Atau, kuliah Ahad pagi gitu." Willy menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu.

"Kuliah Ahad pagi? Ya nggak bisalah. Dia kan masih SMA," celetuk Heksa yang langsung membuat kedua sahabatnya memijit-mijit kening.

"Terserah lo, Sa. Kenorakan lo udah nggak ada obatnya." Saat Willy hendak menoyor jidat cowok itu, ia melihat seorang wanita melangkah mendekati mereka bertiga dari belakang punggung Heksa.

"Heksa?" panggil Bu Seli begitu sampai di pinggir lapangan. "Ikut saya ke Ruang Guru. Ada yang harus saya bicarakan sama kamu."

Heksa mencebik. Ia hanya merespons dengan anggukan, lalu menoleh ke arah dua sahabatnya, minta ditemani.

"Apaan sih, lo, kayak anak cewek kalau ke toilet harus rame-rame. Udah, buruan sana!" Andre menendang pantat Heksa dengan lututnya. "Bu Seli pasti ngamuk gara-gara tadi lo nyulik si Pijar dari kelasnya.""Lho, orang dia sendiri yang ngusir Pijar dari kelasnya, kok. Karena gue baik hati, jadi gue tampung di kelas kita. Coba aja kalau—"

Tak sadar intonasi bicaranya terlalu tinggi, suara Heksa sampai terdengar ke telinga wali kelas Pijar itu.

"Heksa ...," tegur Bu Seli yang kembali ke lapangan setelah menyadari Heksa belum beranjak.

Sepeninggal Heksa, dua cogan yang tersisa masih melanjutkan perbincangan di bawah ring basket.

Kedua cowok itu tak menyadari sedang terjadi keributan kecil di koridor kelas X. Ginny dan Yudha mengolok-ngolok anak kelas X yang kebetulan melintas di koridor. Sampai tiba-tiba dari arah berlawanan, sesosok gadis beraura suram tanpa sengaja menubruk Ginny yang berdiri di tengah koridor.

"Ahh, kenapa ada yang ulang tahun lagi, sih? Gue kira cuma Bulan. Ternyata, di kelas lain juga ada?" gumam Pijar.

Kalau tidak cepat-cepat menghindar, Pijar nyaris berpapasan dengan Caroline, anak kelas X yang mengenakan topi ulang tahun dan sedang digiring teman-temannya keluar kelas. Pijar terpaksa begini karena jika sampai tahu tanggal kematian seseorang, ia tidak bisa tidak campur tangan.

Tidak memperhatikan jalan setelah menghindari anak-anak kelas X, Pijar jadi menubruk seseorang. Matanya masih terus mengawasi pergerakan adik-adik kelasnya itu, Sampai-sampai ia tidak menyadari di depannya Ginny yang sudah terlampau emosi.

"Eh? Maaf, ya." Pijar mengulurkan tangan dengan sopan. Namun, Ginny hanya melengos, mengabaikan tangan Pijar yang masih terangkat. "Kamu anak baru? Kelas XII, ya?" tanya Pijar ramah.

Ia menilik ke balik punggung Ginny dan menemukan Yudha ada di sana bersama beberapa siswa yang langsung menjaga jarak dengan Pijar. Begitu pula reaksi Yudha, cowok itu berusaha menghindarkan tatapannya dari Pijar.

"Kalian kenapa?" tanya Ginny saat melihat keanehan teman-temannya. Ia bangkit. Mengabaikan tangan Pijar yang terulur di depannya.

"Maaf, ya." Pijar berdiri sembari menepuk-nepuk roknya, lalu menunduk sekali sebelum berpamitan. "Sekali lagi maaf, Kak."

"Eits." Yudha mencekal lengan gadis itu. "Lo kalau jalan pake mata, dong." Meskipun teman-temannya ketakutan, tapi Yudha memberanikan diri. Biar bagaimanapun, dulu Pijar bekerja di rumah hantu milik keluarga Yudha.

Bukannya takut atau merasa bersalah, Pijar tampak kebingungan. "Lho, kalau jalan kan, pake kaki, Kak? Kalau mata buat melihat, kalau hidung buat mengendus," ucap Pijar sembari menunjukkan senyuman seringai khasnya."

"Eh, bentar, deh. Pijar?" Ginny menggumam saat mengeja name tag di seragam Pijar, lalu tersenyum sinis. "Oh, dia yang katanya punya mata ajaib itu, ya? Gue barusan denger dari anak-anak kelas gue," tanyanya kepada Yudha.

Aura Pijar yang suram dan tatapan kosongnya ternyata tidak membuat nyali Ginny menciut.

"Gue jadi penasaran, sesakti apa, sih, lo? Kali bisa gue jadiin konten di Instagram gue," kata Ginny. Ia melangkah maju, memangkas jarak antara dirinya dan Pijar.

"Bisa sihir juga kali, Gin! Sekolah di Hogwarts sana, jangan di Rising Dream," tukas Yudha yang berani ikut mengintimidasi Pijar karena melihat keberanian Ginny.

Lingkaran hitam di bawah mata Pijar tampak semakin jelas saat gadis itu mendongak.

"Misi, Kak." Tak ingin masalahnya jadi lebih besar, Pijar berusaha melewati Yudha. Namun, cowok itu justru mencengkeram lengan Pijar. Tak tahan diperlakukan seperti itu, Pijar tanpa sadar menyentak lengannya dengan kencang, membuat Yudha terlempar jauh sampai ke ujung koridor.

Ginny melongo. Kaget bukan main. Namun, ia tidak mau menunjukkan rasa terkejutnya dan berusaha bersikap biasa saja.

"Wah, parah! Jadi bener apa kata anak-anak selama ini kalau lo juga punya kekuatan sihir?" tanya Winda, anak kelas XII yang telah menobatkan diri sebagai sahabat Ginny dalam waktu singkat. Maklum, semua juga mau jadi sahabat selebgram kayak Ginny. Siapa tahu bisa ikutan muncul di reels-nya Ginny, terus ikut terangkat popularitasnya.

"Bukan main, dah. Lo ternyata masih dendam sama gue ya, Jar?" seru Yudha yang telah berlari kembali dari ujung koridor. Pijar hanya sendiri, sementara ia membawa banyak masa, jadi Yudha berani menyerang gadis itu.

Pijar bolak-balik menoleh ke Yudha, lalu menatap telapak tangannya sendiri. Ia bingung, sekaligus terkejut. Mana mungkin kekuatan gadis ringkih sepertinya mampu membuat seorang cowok mental sejauh itu?

Pijar yang masih shock, tidak menyadari kini ia mulai menjadi pusat perhatian dari murid-murid yang menontonnya di pinggir koridor.

Ginny tak tahan lagi. Ia sudah berusaha menahan diri agar tidak banyak bertingkah di awal bersekolah di SMA Rising Dream. Namun, melihat bagaimana Pijar yang sok polos dan sok ramah itu, ia jadi terpancing. Apalagi, Ginny sudah terbiasa berkuasa di mana pun ia berada. Baiklah, mulai hari ini ia menobatkan Pijar sebagai musuhnya.

"Heh, lo mau main-main sama gue? Oke! Gue ladenin," tukas Ginny. Ia menunjuk-nunjuk kasar bahu Pijar dan menatapnya dengan mata membelalak. "Kebetulan banget, besok gue ulang tahun."

Ginny merogoh sesuatu dari dalam sakunya lantas menyerahkan kertas kecil bergambar pada Pijar. "Kasih tahu gue kapan dan gimana gue bisa mati."

Pijar mengamati undangan ulang tahun Ginny yang ada di genggamannya. Wajahnya seketika memucat. Pijar yang dianugerahi mata ajaib yang bisa melihat kematian dari orang-orang yang berulang tahun itu, seketika menunduk.

"Kalau lo nggak dateng, berarti lo loser." Ginny menarik lengan Pijar sampai nyaris membuat gadis itu tersungkur sebelum sepasang tangan dengan sigap menjadi penopangnya.

"Gue pastiin Pijar bakal dateng," tukas cowok itu. Ia menoleh ke samping, menatap Pijar dengan penuh keyakinan. "Dia bukan cewek penakut.

bersambung....

***

100 komen, besok up?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro