CHAPTER 20: PERTARUHAN
Aku selalu menomorsatukan orang lain. Tetapi, sekali saja aku memperjuangkan apa yang aku mau, mereka menganggapku egois.
***
Dua sosok cowok tampan yang masih berseragam SMA, tampak sangat panik ketika memasuki rumah sakit. Keduanya berlari menghampiri meja resepsionis untuk mengetahui keberadaan Ginny. Tadi, saat dalam perjalanan menuju rumah sakit, Heksa mendapat kabar kondisi Ginny menurun.
"Astaghfirullah!" Heksa melompat mundur bersembunyi di belakang Willy.
"Apa sih, lo. Jangan malu-maluin, dah."
Heksa memalingkan wajah. Ia terjingkat kaget karena baru saja berpapasan dengan beberapa perawat yang mendorong ranjang pasien dengan penutup kain putih.
"IGD belok kanan, Sa." Willy menunjuk papan petunjuk arah.
Keduanya melangkah beriringan menuju Ruang IGD yang ada di dekat gerbang belakang rumah sakit. Begitu sampai di Ruang IGD, Heksa dan Willy mencari-cari Pak Dendy di antara beberapa penunggu pasien yang duduk di pinggir koridor. Guru mereka itu tidak tampak di mana-mana, mungkin sedang mengurus administrasi atau apa. Willy menghampiri seorang perawat yang baru keluar dari IGD.
"Kata perawat, sebentar lagi dipindah ke ICU, Sa. Kudu dipasang alat bantu oksigen ... apa, tuh, namanya ...."
"Ventilator?"
Willy mengangguk memberi informasi yang didengarnya dari perawat. "Terlalu banyak air yang masuk. Jadi, harus ada penanganan khusus. Sampai sekarang Ginny belum sadar."
Heksa berjongkok. Mengacak-ngacak rambutnya dengan frustrasi. "Arrrgh! Acute Respiratory Distress Syndrome!"
Willy cuma diam karena tidak mengerti. Namun, ia urung bertanya. Takut melihat Heksa makin frustrasi.
"Dia kelamaan di dalam air. Lo tahu air kolam renang ada kaporitnya, kan? Kalau banyak yang masuk ke paru-paru, bahaya. Dia kena gangguan pernapasan berat."
"Tapi, masih bisa selamat, kan? Duh, Andre mana, nih, sebagai cowoknya? Mestinya dia nyusul ke sini, kan, meskipun abis ribut sama elo?" tanya Willy karena tak tahu harus berkomentar apa. Willy masih saja kaget dengan kegeniusan Heksa yang tiba-tiba muncul, walau ia juga tahu betul sejak kecil, Heksa sudah terbiasa dengan bahasa-bahasa medis karena orang tuanya dokter.
"Mana gue peduli sama Andre. Soal Ginny, selamat atau nggak?" Heksa mengulang pertanyaan Willy. Sahabatnya itu mengangguk sekali. "Lo kira gue Tuhan? Prediksi dokter aja bisa salah, apalagi gue yang sehari-hari sibuk ngurusin wajah tampan gue ini."
Willy menghela napas panjang. Nyesel tanya Heksa. Tahu gitu, diam saja sambil berdoa agar segera mendengar kabar baik.
"Lo mau ngopi dulu, Sa? Atau, cari udara seger sono. Muke lu stres berat. Kayak ikan cupang ketemu rivalnya."
Karena Heksa masih tak bergerak, Willy mendorongnya pelan. "Jarang-jarang, nih, gue baik. Biar gue di sini aja, kali-kali Andre datang. Sana pergi, sebelum gue berubah pikiran, ya."
"Telepon gue kalau ada kabar terbaru!" Heksa berpesan sebelum beranjak dari Ruang Tunggu IGD.
Sebenarnya, Heksa bukannya tidak mau mencari udara segar. Masalahnya, berjalan sendirian di lorong rumah sakit baginya cukup menegangkan. Apalagi, kalau pas tidak ada barengannya. Kalau lagi apes, salah satu koridor yang ia lewati bisa benar-benar sepi. Lalu, akhirnya Heksa memilih lewat jalur lain meski sedikit lebih jauh.
Tujuan awal Heksa adalah kantin. Niatnya mau beli es kopi vietnam. Namun, ia takut ada yang sirik dengan ketampanannya, lalu menuangkan racun dalam minumannya. Eh, tapi di kantin mungkin tidak tersedia menu kopi vietnam. Heksa mengada-ngada saja.
Faktanya, ia malah berbelok menuju ruang inap Pijar. Rindu dengan aura mistis gadis itu.
Tok tok tok ....
"Astaga dragon!"
Heksa terjingkat sampai mundur beberapa langkah. Baru buka pintu, disambut penampakan Pijar yang duduk di ranjang rumah sakit dengan wajah tanpa ekspresi. Mana rambut panjangnya tergerai sampai menutupi sebelah wajahnya.
"Lo bisa nggak, sih, nggak usah ngagetin?"
"Hihi. Mau ngasih kejutan. Lihat, nih." Pijar menoleh, lalu menyelipkan rambutnya ke belakang telinga sehingga wajahnya terlihat seluruhnya.
Setelah beberapa hari menjalani pengobatan dan terapi, Pijar akhirnya diperbolehkan rawat jalan.
"Wih, mata lo udah nggak diperban?" tanya Heksa sok cool. Padahal, dalam hati senang bukan mati. Ia bahkan mengucap syukur berkali-kali. "Kok nggak ngabarin?"
"Kan, mau ngasih kejutan ke lo."
"Hahaha .... Aku terkejut!" Heksa tertawa garing. Tapi, penyebab gue kaget itu gara-gara lihat muka lo yang mistis dan nggak ada ekspresi itu, Zom.
Pijar diam mengamati Heksa yang melangkah masuk, lalu duduk di kursi sebelah ranjangnya. "Heksa lagi sedih, ya?"
"Sok tahu lo. Mau jadi paranormal?" Heksa merespons jutek.
"Soalnya, biasanya kalau gue ngelucu dan ternyata nggak lucu, pasti bakalan ngatain macem-macem. Tapi, tadi malah ketawa nggak jelas." Pijar menutup mulutnya. "Eh, maaf. Maksudnya bukan nggak jelas, tapi ...."
Heksa yang tiba-tiba cerewet, tiba-tiba membenamkan wajahnya ke tepi ranjang. "Gue masih nggak bisa ngejamin kalau Ginny bakal selamat."
Suara Heksa semakin pelan. "Gue capek banget. Gue ngerasa bertanggung jawab atas nyawa orang lain, tapi gue nggak bisa ngendaliin semuanya."
Jeda sejenak, suara Heksa kembali terdengar. "Gimana bisa selama ini lo ngelakuin semuanya sendiri, Zom? Ternyata, lo ini bukan Zombie, tapi Wonder Woman."
Pijar jadi teringat di awal-awal menjalankan misinya menyelamatkan seseorang. Ia berusaha menjawab dengan hati-hati. "Nggak ada yang bisa menjamin takdir seseorang, Sa. Lama-kelamaan, gue makin ngerti. Kalau gue gagal menyelamatkan nyawa orang lain, ya berarti memang begitu takdir yang seharusnya terjadi."
Pijar melanjutkan, "Selama ini, gue cuma berusaha. Tapi, cuma Pemilik Takdir yang tahu bagaimana akhirnya nanti."
Heksa masih diam saja. Jadi, Pijar mencoba cara lain untuk menghibur cowok itu. Tangannya terangkat, lalu berhenti di puncak kepala Heksa. Mengusapnya lembut dan pelan.
Heksa yang masih membenamkan wajah di bawah tangan dan bersandar pada tepi ranjang, tentu saja kaget. Namun, ia berusaha tetap tenang agar tidak terlihat bahwa sebenarnya jantungnya berdegup sangat kencang. Perasaan hangat juga gelisah bercampur menjadi satu. Namun, sensasi itu lama-kelamaan membuatnya nyaman sehingga berharap Pijar terus mengusap kepalanya.
"Gue cek kondisi Ginny dulu, Zom. Si Willy sendirian juga di sono." Heksa buru-buru bangkit sebelum semakin salah tingkah.
"Ikut, Sa."
Secepat kilat, Heksa memelesat ke luar kamar Pijar. Selang semenit kemudian, ia sudah kembali dengan mendorong kursi roda.
"Duduk di sini daripada ntar lo tiba-tiba pingsan. Bukannya nggak kuat gendong, tapi gue lagi capek banget." Heksa mengedikkan dagu ke kursi roda.
Caranya menunjukkan kasih sayang kepada orang lain memang berbeda. Kelihatannya tidak peduli, padahal diam-diam ia mengamati.
Dengan hati-hati, Heksa mulai mendorong Pijar keluar kamar. Melewati koridor rumah sakit, lalu turun menggunakan lift. Kamar Pijar memang letaknya di lantai dua, khusus kamar VVIP. Begitu sampai di area ICU, Heksa menghentikan langkah. Sedikit terkejut karena rupanya tidak hanya Willy yang ada di sana.
Willy yang melihat kemunculan Heksa, spontan melambai-lambaikan tangan. Orang-orang yang berada di dekat lelaki itu pun turut menoleh. Pak Dendy, Andre, papa Ginny, juga mama Andre.
Perlahan, Heksa melangkah maju sembari mendorong kursi roda Pijar. Namun, belum sempat ia menyapa orang-orang di sana, suasana mendadak tegang ketika dokter tiba-tiba keluar dari Ruang ICU sembari mengabarkan, "Keluarga pasien Eluna Ginny?"
Pijar menepuk-nepuk tangan Heksa agar lelaki itu mempercepat langkahnya.
"Kondisi pasien kembali drop."
Bersambung....
***
Penasaran gimana nasib ginny?
Apa dia bakal baik-baik aja?
Atau, malah....
Nah, yuk, 100 komen buat nambah semangat up part selanjutnya!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro