Chapter 18: Pengorbanan
"Tak ada yang abadi di dunia ini. Termasuk sebuah persahabatan."
***
Murid-murid kelas Bahasa sontak berlarian keluar kelas. Heksa yang berada paling depan. Ia bahkan tanpa sengaja menubruk lengan Pak Broto sampai guru killer itu tersungkur ke lantai.
"HEKSAAAAAA!"
Teriakan Pak Broto tampaknya tak sampai ke telinga Heksa. Secara ajaib, cowok itu menjadi murid pertama yang sampai di kelas Ginny.
"Lo lihat Ginny?" tanya Heksa kepada salah seorang murid IPA yang ada di lapangan.
Gadis itu tampak linglung. Ia memperhatikan Heksa dari ujung rambut sampai kaki. Tiga tahun ada di sekolah yang sama, ini kali pertama ia melihat Heksa secara dekat. Gadis itu mengerjap-ngerjap tak percaya bisa mengobrol dengan cogan hitz SMA Rising Dream yang selama ini digilai banyak cewek.
"Heh, malah bengong! Apa jangan-jangan lo yang ketimpa atap, terus sekarang mendadak amnesia?"
Tak mendapat jawaban, Heksa akhirnya menerobos kerumunan murid di depan kelas Ginny. Ia celingak-celinguk menatap sekelilingnya sampai tatapannya terhenti di satu titik.
Ginny duduk bersandar pada dinding koridor luar kelas. Ditemani Sylvia dan Winda yang berusaha menenangkan Ginny yang masih terlihat shock.
"Pokoknya, gue bakal aduin kejadian ini ke media. Bisa-bisanya sekolah sekeren ini atapnya roboh?"
Heksa yang mendengar ucapan Ginny spontan menyeletuk, "Njir, baru kena musibah masih aja bisa ngomel."
Dua sahabat Ginny menyikut lengan gadis itu. Ginny terlambat menyadari kedatangan Heksa karena sibuk menenangkan diri karena kejadian di kelas tadi.
"Gue kira lo yang ketimpa atap. Ternyata, baik-baik aja. Ck. Buang-buang waktu dan tenaga aja," gerutu Heksa kemudian berlalu meninggalkan Ginny.
Akan tetapi, Sylvia dan Winda pandai membaca situasi. "Sa! Sa! Ginny pingsan!"
Heksa yang baru saja berbalik, kini melihat Ginny terbaring di pangkuan Winda. Mata Heksa menyipit. Sementara, suara riuh di kanan-kirinya seolah menyudutkan cowok itu agar segera menolong Ginny.
"Drama nggak, nih? Bukannya sekarang dia pacarnya Andre?" gerutu Heksa.
Akan tetapi, Ginny masih tidak bergerak. Heksa mendadak teringat janjinya dengan Pijar. Dengan menahan omelan, dia membungkuk dan menggendong tubuh Ginny yang lemas.
"Gue pacarnya, Sa. Biar gue yang bawa dia ke UKS."
Baru beberapa langkah Heksa berjalan, Andre muncul menahan bahunya. "Lo bisa bikin Pijar salah paham."
Pemandangan itu seketika menjadi pusat perhatian murid-murid SMA Rising Dream. Bahkan, lebih heboh dibanding tragedi runtuhnya atap kelas IPA yang baru saja terjadi. Sampai-sampai, wajah Andre dan Heksa menjadi headline news sosial media "Kabar Hitz SMA Rising Dream" siang itu.
Kembali ke Heksa dan Andre yang beradu tatap, sepasang sahabat itu tampak seperti memperebutkan Ginny.
"Alhamdulillah pacar aslinya dateng. Kebetulan banget, Ndre, tangan gue udah pegel gendongnya. Kayaknya dia banyak dosa. Nih ...." Heksa menyerahkan Ginny begitu saja seolah barang yang bisa dipindahkan kapan pun.
Ginny dongkol setengah mati. Namun, ia masih memejam dan berpura-pura pingsan untuk melanjutkan aktingnya.
Sebagian kerumunan bubar. Terlihat kecewa melihat reaksi Heksa. Seharusnya, ada baku hantam biar seru. Namun, murid-murid yang sudah mengenal Heksa, tentu tidak heran melihat tingkah absurdnya.
"Lo bisa bangun sekarang. Heksa udah pergi. Jadi, nggak usah pura-pura lagi," Andre berucap dengan suara pelan.
Meski kesal dengan Ginny, tetapi Andre tetap bertanggung jawab dan melindunginya agar tidak mendapat ejekan dari murid-murid lainnya. Lihat saja bagaimana Andre masih menggendong Ginny serta membawa gadis itu ke UKS, lalu menurunkannya di ranjang.
"Udah aman?" tanya Ginny dengan suara pelan dan mata yang masih memejam.
Andre tidak menjawab, hanya menatap gadis itu dengan penuh ketidakpercayaan. Ternyata, ada cewek sejenis ini? Dan, cewek itu berstatus sebagai pacarnya?
"Gue balik ke kelas," ucap Andre sembari beringsut keluar UKS.
***
Huru-hara plafon roboh membuat siswa kelas tersebut mengungsi belajar di lab Bahasa. Sementara itu kelas langsung dicek oleh pihak sekolah. Tentu saja para siswa kecewa, kenapa tidak dipulangkan saja atau jam kosong.
Andre sedang berjalan menyusuri koridor kelas XII, saat suara berat seorang guru dari speaker sekolah menghentikan langkahnya.
"Kepada murid-murid yang saya sebutkan di bawah, harap berkumpul di Ruang Olahraga sepulang sekolah nanti: Mahesa Putra Pradana, Willy Wonka, Eluna Ginny, Evan Dimas Suratji, Arhan Aditama, Hansamu Firdaus, Zahra Putri Mariska."
Andre menghela napas. Ginny baru mengalami shock akibat atap kelasnya roboh, mau disuruh olahraga apa lagi? Bisa-bisa pingsan sungguhan, dan Andre lagi yang harus menggendong ke UKS.
Di tempat yang berbeda, Heksa yang mendengar juga pengumuman itu, langsung berdecak kesal. "Ngapain lagi, sih? Balik sekolah nanti gue mau ke RS."
Willy menyahut. "Mau ngapel lagi? Yaelah ... kumpul bentar, paling nggak ada lima menit, Sa. Kalau lo kabur, ntar kena semprot Pak Broto."
Baru beberapa detik Willy menutup mulut, Heksa teringat dengan kejadian di kelas tadi. Heksa berhasil menghindari Pak Broto, tapi sepertinya semesta sedang tidak berpihak kepadanya. Dari arah lapangan menuju kantin, Pak Broto berjalan dengan wajah menahan amarah. Pasti sedang mencari Heksa.
Si tersangka utama yang sedang berada di kantin, langsung kabur untuk mencari tempat persembunyian. Sementara, Willy malah cekikikan dan menjadi si mulut ember yang mengadukan tempat persembunyian sahabatnya.
Dasar cepu lo, Will!
***
Meski sudah kena teguran, Heksa tetaplah Heksa. Yang bandel, tengil, dan tidak pernah takut dengan apa pun, kecuali ....
Hantu.
Terbukti, ia benar-benar langsung kabur begitu mendengar suara bel pulang sekolah berbunyi. Namun, sialnya ia malah berpapasan dengan Ginny ketika berjalan mengendap-endap menuju parkiran.
"Lho, Sa? Lo nggak ikut kumpul siang ini? Kata Pak Dendy, ada seleksi lomba renang. Kita yang disebut tadi, dianggap murid-murid terbaik yang mampu bersaing buat seleksi itu."
Heksa yang merasa tertangkap basah, mencoba mengelabui Ginny dengan berdusta, "Nggak bisa. Gue mau nemenin bokap gue kontrol."
Ginny menaikkan sebelah alisnya. "Oh, ya? Bukannya lo mau nemenin cewek mistis itu di rumah sakit?"
"Namanya Pijar Malam Hari. Jaga mulut lo itu!" sembur Heksa kemudian tanpa peduli masuk ke mobilnya.
Cowok itu mendengus kesal karena Ginny tidak mau minggir dan malah mengetuk-ngetuk jendela mobilnya. Terpaksa, Heksa membuka jendela mobilnya daripada pecah terus diketuk-ketuk Ginny.
"Lo mau tahu, nggak, alasan Andre ngajak gue jadian?" sembur Ginny begitu jendela mobil Heksa turun.
"Hmmm. Biar dia bisa minta tiga permintaan. Kan, lo Jin iprit. Kuberi kau tiga permintaan," ucap Heksa sengaja mengubah suaranya mirip iklan di TV.
Ginny tidak terpancing. Justru sebaliknya, ia dengan percaya dirinya membungkuk, lalu menyandarkan tangan di jendela mobil Heksa.
"Karena dia mau ngasih ruang buat gue, supaya bisa lebih deket sama lo. Kalian, kan, ke mana-mana bareng. Otomatis gue bisa lebih gampang ketemu lo."
Heksa mendadak terdiam. Wajahnya mengencang. Lalu, ia menekan hidungnya sendiri sambil berkata, "Mulut lo bau. Lo gosok gigi pakai Stella Jeruk, ya? Baunya bikin mabuk, Mbak."
Wajah Ginny memerah. Ucapan heksa membuatnya overthinking. Di saat itulah, Heksa menggunakan kesempatannya untuk tancap gas.
Sementara itu, Ginny masih mematung di tempatnya. Sesekali ia meniup-niup ke telapak tangannya untuk memastikan mulutnya tidak benar-benar bau.
"Nggak bau, kok. Kan, tadi gue udah gosok gigi. Pakai pengharum mulut juga, bukan pengharum ruangan."
***
Setelah robohnya plafon kelas XII IPA 1, sekolah memanggil petugas kebersihan dari aplikasi ternama, untuk membantu petugas sekolah. Biayanya tentu tidak sedikit. Namun, untuk sekolah bergengsi SMA Rising Dream, kenyamanan dan citra sekolah menjadi hal paling utama.
Penyebab robohnya langit-langit kelas ternyata kucing hitam yang jatuh tepat di meja Ginny. Beruntungnya, gadis itu sedang menyalin PR teman sebangkunya, posisi Ginny agak bergeser dari bangku. Sehingga, ia tidak mengalami cedera serius. Hanya lecet di lengan. Itu saja Ginny sudah berteriak-teriak heboh melihat goresan di lengannya yang mulus.
"Halo, Will!" Ginny menyapa Willy di kolam renang sekolah.
Willy hanya melengos. Ia sepertinya termakan berita hoaks yang tersebar di media sosial sekolah. Bahwa Ginny-lah yang menyebabkan pertengkaran kedua sahabatnya.
"Andre nggak dipanggil, ya?" tanya Ginny basa-basi. "Oh, iya, lupa. Andre, kan, penyakitan. Mana mungkin ikut seleksi ini."
Willy yang sedang berdiri di pinggir kolam, sengaja menendang airnya ke arah Ginny. "Ups, sorry. Gue kepeleset."
Ginny mengusap wajahnya yang terkena percikan air. Hidungnya kembang kempis. Kesal bukan main. Tiga cogan hitz SMA Rising Dream tak ada yang bisa ia taklukkan. Namun, kenapa Pijar akrab banget sama mereka?
Guru Olahraga meniup peluit untuk mengumpulkan murid-murid yang mengikuti seleksi. Ketika mengabsen, ia sempat terhenti karena mencari keberadaan Heksa.
"Lagi ngebucin, Pak. Jadi dia absen." Willy membuka aib sahabatnya sendiri.
"Oh, Pijar belum masuk, ya. Tadi pagi kelasnya ada jam Olahraga. Saya juga nggak lihat Pijar. Masih di rumah sakit, Wil?"
"Ho-oh, Pak."
Pembawaan Pak Dendy yang santai membuat murid-muridnya tidak canggung membicarakan hal lain di luar topik pelajaran.
"Ah, dasar. Padahal, Heksa jago juga kalo renang."
"Lho, tapi di sini malah ada atlet beneran loh, Pak!" sahut Willy sembari menyikut lengan Hansamu.
"Atlet bola tapi ...," Pak Dendy menimpali. "Ya udah. Pokoknya, kalian tunjukkan aksi terbaik kalian. Biar nanti saya yang menilai."
Murid-murid yang terpilih untuk seleksi mulai melakukan pemanasan di pinggir kolam, termasuk Ginny. Willy menatap Ginny tidak suka. Entah sebab apa Willy enggan menaruh respek kepada Ginny. Padahal, yang punya masalah Heksa sama Andre. Namun, ia juga ikut kesal. Ginny cuma napas dan diem aja pun, Willy serasa ingin mites.
"Yuk, Hansamu mulai!"
Satu per satu murid menunjukkan aksinya. Heksa tidak datang, jadi Hansamu yang dianggap paling jago di antara kandidat lainnya.
"Ginny! Giliran kamu, tuh."
Ginny yang sibuk tebar pesona ke sana kemari, sampai tidak menyadari Pak Dendy memanggil-manggil namanya. Ia berdiri di pinggir kolam, menarik napas sejenak, lalu melompat ke kolam tanpa ragu.
"Oke. Will ...!" Pak Dendy menaikkan dagu memintanya segera bersiap karena setelahnya adalah giliran Willy.
***
Masih di area sekolah, Andre sibuk memotret sisa-sisa runtuhan kelas Ginny. Kebetulan, ia juga sedang ekstrakurikuler fotografi. Dan, karena tema hari ini membebaskan sang fotografer mengabadikan situasi di sekitarnya, Andre memutuskan berjalan keliling sekolah.
"Eh, Andre. Lagi ekskul fotografi, ya?"
Andre mengangguk sambil tersenyum. Untung yang ditanya Andre. Coba kalau Heksa. Pasti dia bakal jawab, "Yaiyalah. Masa lagi ngaduk semen? Jelas-jelas gue bawa kamera."
Akan tetapi, mungkin para murid SMA Rising Dream tahu Andre sosok yang ramah. Maka, murid-murid kelas X yang masih berada di sekolah pun, ikut menyapa.
"Kak Andre, mau difoto, dong!"
Mendengar itu, Andre langsung mengarahkan kameranya ke dua gadis yang berada di sampingnya.
Murid-murid perempuan kelas X mulai berdatangan mengerumuni Andre. Bahkan, mereka membentuk baris memanjang ke belakang. Seolah sedang mengantre membeli sesuatu.
"Sorry. Besok lagi, ya. Gue ada urusan," kata Andre dengan sopan dan lembut.
Sebelum berlalu, cowok itu melempar senyuman termanisnya yang langsung membius murid-murid perempuan di sana.
Andre menyimpan kameranya ke tas. Lalu, melangkah menuju Ruang Fotografi. Ia melewati koridor dan taman sekolah. Ketika hendak berbelok, ia berhenti sesaat di depan salah satu gerbang.
Swimming pool area.
Penasaran dengan situasi seleksi peserta lomba renang, terutama Ginny, Andre membuka gerbang dengan perlahan agar orang-orang di sana tidak menyadari kedatangannya. Bukannya takut ketahuan, Andre hanya takut mengganggu konsentrasi para peserta.
"Lho, kok udah sepi?" gumamnya, kemudian mengecek jam tangan. "Oh, udah sore ternyata. Gue nggak sadar gara-gara kelamaan ngeladenin anak-anak kelas X yang minta foto. Kira-kira Ginny juga udah pulang kali, ya."
Andre hendak berbalik. Namun, ia kembali menahan pintunya usai melihat sahabatnya masih berada di sudut kolam renang. Sedang mengobrol bersama Pak Dendy dan Hansamu.
"Nggak sopan dong, kalau gue manggil Willy pas lagi ngobrol sama Pak Dendy gitu." Andre melangkah mundur.
Sebelum menutup gerbang, tatapannya kembali mengitari seluruh penjuru kolam renang. Lalu, pemandangan aneh menahannya di sana. Ada buih-buih yang muncul di permukaan air.
Deg!
Ginny?
Seketika, tangan Andre terasa kaku. Sekujur tubuhnya mendadak beku tak bisa ke mana-mana. Inikah waktunya? Waktu kematian Ginny?
Tatapan Andre bergeser ke sudut lain. Ke arah Pak Dendy, Willy, serta Hansamu yang masih tidak menyadari Ginny sedang bertaruh nyawa di dalam kolam.
Kakinya kram? Atau kenapa? Tapi, gue juga nggak jago renang. Jadi, diam di sini adalah pilihan yang terbaik. Gue nggak mau ambil risiko nolongin dia. Tapi, masa sih gue nggak nolongin dia? Dia kan so called pacar gue? Tapi, bagaimana dengan takdir? Apakah kalau menolong dia, gue jadi campur tangan pada takdir?
Tangan Ginny yang terangkat semakin terlihat pucat. Lambaiannya melemah.
Hati kecil Andre semakin tidak tega melihatnya. Kakinya mulai bergerak.
"To ... to ... long."
Ginny tak bisa berteriak. Mulutnya penuh air. Dadanya pun sesak. Ketika ia benar-benar tak berdaya dan memasrahkan segalanya pada takdir, pertolongan tiba-tiba datang. Bersamaan dengan suara "byuuur" yang terdengar ketika seseorang melompat ke kolam untuk menyelamatkannya.
bersambung...
***
Sampai sini gimana guys?
Masih seru dan bikin deg-degan kan?
Biar makin semangat up. Yuk, gass 200 komen!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro