Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 16: Pertempuran

Absen dulu yuk!!!

Komen hadirrr yang udh gak sabar!

***

"Tersenyum paling lebar, tetapi ternyata memendam luka yang teramat besar."

***

Malam ini lagi-lagi Andre berusaha menyibukkan diri dengan belajar. Rumahnya semakin sepi. Dan, terasa kosong.

Semenjak mamanya menjalin hubungan dengan papa Ginny, ia merasa kurang diperhatikan.

Sekarang sudah menunjukkan pukul tujuh malam, tapi mamanya belum juga pulang. Padahal, semenjak orang tuanya bercerai dan Andre hanya hidup bersama Mama juga adiknya, dulu mereka tidak pernah melewatkan jam makan malam.

Semua berubah setelah sang mama mengenal Dedi, papa Ginny. Sekali dua kali Andre bisa memberi toleransi. Namun, hari ini tepat seminggu mamanya menghabiskan waktu makan malam di luar.

Andre bosan belajar dan akhirnya memangkas waktu dengan merakit mainan action figure-nya. Berjam-jam menghabiskan waktu sendirian bukan hal baru bagi cowok itu.

"Mas Andre ...."

Mbok Giyem mengetuk pintu dengan sopan. "Sudah jam berapa ini, kok, belum makan?"

Andre melirik jam dindingnya, lalu menatap tanpa minat makanan yang dibawa Mbok Giyem. "Aneh ya, Mbok? Udah jam sebelas, tapi Andre belum laper."

"Jangan-jangan Mas Andre ngerakit itu sambil nyemilin dikit-dikit, ya? Makanya, nih, banyak yang bolong."

Andre sedikit terhibur dengan candaan Mbok Giyem. "Ini memang buat ngerakitnya, harus dilepas-lepasin dulu dari kotaknya, Mbok."

"Owalah. Itu kayak mainan cucu Bibi di kampung. Kalau di depan sekolahnya, kayaknya harganya sepuluh ribuan, Mas. Dari dulu Mas Andre ini emang sederhana, ya. Mainannya sama kayak cucu saya di kampung, lho."

Menanggapi itu Andre hanya tersenyum tipis. Faktanya mainan yang ia beli dengan sistem pre-order itu, harganya mencapai jutaan rupiah. Diimpor langsung dari Jepang.

"Ya udah, Mas. Buruan dimakan, ya. Atau, kalau Mas Andre pengin makan yang lain, bilang aja. Nanti Mbok masakin lagi."

"Makasih, Mbok," ucap Andre sopan sebelum kamarnya kembali terasa sepi.

Benar ternyata. Menunggu jadi tidak terasa menjemukan ketika melakukan hal yang disukai. Andre bahkan tidak menyadari ia sudah duduk di lantai kamarnya yang dilapisi karpet tebal sambil merakit action figure-nya selama hampir empat jam.

Ke mana mamanya? Mana Mama tidak memberi kabar. Sungguh, rasanya Andre kehilangan sosok sang mama yang selama ini menemani hari-harinya.

"Kak Andre!"

Aura mengintip takut-takut dari celah pintu kamar Andre yang terbuka. Adik perempuan Andre itu sepertinya sulit tidur. Dulu Mama selalu menemani anak-anaknya tidur.

"Ini udah jam berapa? Anak SD mau bergadang ngapain?" tanya Andre yang langsung menggendong adiknya ke ranjang. Duduk di sebelahnya.

"Mau telepon Bang Heksa."

Andre seketika melongo. "Ha? Ngapain mau telepon Heksa? Lagian, tu bocah pasti udah molor. Kalau nggak ada PR, dia nggak ngerusuhin gue malem-malem."

Aura merengek. Menarik-narik ujung kaus Andre. "Aaa, bentar doang, Kak. Aura mau tanya soal bola. Kak Andre, kan, nggak suka bola. Jadi, pasti nggak tahu."

Kalau sudah merengek seperti ini, Andre mana tega. Terpaksa, ia menelepon Heksa dan langsung mendapat semprotan dari si pemilik nomor.

"LO TAU INI JAM BERAPA, HA? Gue udah bobok ganteng malah digangguin."

Andre bertanya ragu, "Nggak yakin gue kalau lo udah tidur. Itu ada suara musik sama klakson."

"Heee. Iye, gue otw balik dari RS.'

"Lo ngga diusir satpam?" Andre sengaja memancing Heksa. "Kemarin malem gue di sana, lo bilang bakal diusir satpam?"

Heksa tentu punya banyak trik berkelit. "Lho, gue kan punya jalur orang dalem. Jadinya, gue ini prioritas."

"Hmmmh, ya, ya, ya." Jadi, dari pulang sekolah sampai sekarang ini lo baru balik dari RS?" tanya Andre seolah tak percaya. Kadang, ia heran juga, kenapa Heksa bisa memiliki banyak topik pembicaraan bersama Pijar. Sementara, ketika dirinya hanya berdua dengan Pijar, gadis itu lebih banyak diam. "Betah banget lo, Sa."

"Iyeee, kita ngomongin misi penyelamatan—" Heksa berhenti berbicara. Ia sadar mulutnya yang tanpa filter, lagi-lagi nyaris keceplosan. Cowok itu menepuk-nepuk mulutnya sendiri. Panik karena Andre pasti curiga.

"Misi penyelamatan apa, Sa?" tanya Andre meski ia sudah tahu apa maksud ucapan Heksa.

"Misi penyelamatan harta karun! HAHAHAHA." Suara tawa Heksa menggelegar. "Lo ngapain telepon gue malem-malem gini? Kangen? Huehehe."

Sengaja Heksa cepat-cepat mengalihkan topik pembicaraannya sebelum Andre bertanya lagi.

"Aura nih, nyariin lo dari tadi."

Belum selesai Andre menjelaskan kepada Heksa, ponselnya sudah ditarik gadis cilik itu.

"Kak Heksa bulan depan ada pertandingan bola Timnas lawan Korea Selatan, kan? Mau nonton dong, Ka."

Heksa menyambut dengan ramah. "Wah, ayo-ayo aja aku, mah. Aura yang bayarin, kan?"

Selama beberapa detik, Aura merasa salah dengar. Sebelum suara Heksa Kembali terdengar.

"HAHAHA. KAGAK LAH, GUE BERCANDA. Kan yang bayar pasti Andre."

Aura menatap kakaknya yang langsung menggeleng-geleng.

"Udah gampang, Ra ...." Heksa yang sudah hampir sampai rumah, cepat-cepat memberi salam kepada gadis kecil itu. "Aura buruan tidur. Udah malem. Nih, gue udah mau sampai rumah. Daaah, Aura cantik. Tapi, masih cantikan pacar gue."

Sambungan telepon terputus. Aura terkikik. Suara Heksa yang sengaja di loudspeaker tentu juga membuat Andre mengelus dada menanggapi tingkah laku sahabatnya itu.

Setelah menelepon Heksa, Aura kembali ke kamar. Andre kembali sibuk dengan pikirannya.

"Setahu gue, Pijar cuma bisa lihat bulan dan tahun kematian seseorang. Jadi, dia nggak tahu pasti tanggal juga harinya."

Andre yang pintar dan genius, bisa menyimpulkan sendiri. "Itu sebabnya. akhir-akhir ini Heksa sering ngintilin Ginny. Padahal, kelihatan banget Heksa benci sama tu cewek. Apalagi sebabnya kalau bukan karena mau bantuin Pijar?"

Mainan action figure yang sudah dirakit Andre kini berserakan di lantai. Lelaki itu melempar bola kastinya ke dinding hingga akhirnya memantul menghantam mainan-mainannya yang sudah disusun rapi.

"Kalau cara main lo gitu, gue bisa lebih kejam dari yang lo pikir, Sa."

Andre menekan-nekan ponselnya untuk menelepon seseorang. Tak lama setelah mendengar nada sambung, suara seorang gadis menyapa.

"Halo, Ginny? Gue suka sama lo. Mau jadi cewek gue?"

Ginny yang sedang maraton drakoran sembari menunggu papanya pulang, sontak menegakkan tubuh. Ia mengecek ponselnya untuk memastikan nama si penelepon.

Andre? Kirain Heksa.

Bibirnya mengerucut kecewa. "Lo mabuk, Ndre? Baru balik minum?"

"Penawaran gue nggak datang dua kali, ya." Andre mencoba bernegosiasi. "Lo bisa pikir sendiri apa aja keuntungan yang lo dapet kalau lo jadi pacar gue."

Ginny terdiam sejenak. Alisnya bertaut. Mempertimbangkan tawaran Andre yang sepertinya cukup menguntungkan.

"Oke. Hari ini kita resmi jadian," ucap gadis itu. Senyum liciknya tersimpul. Gue nggak tahu apa rencana lo, Ndre. Tapi yang jelas, gue bakal ikutin permainan lo selama ini menguntungkan bagi gue.

Usai telepon terputus, Ginny mendengar suara mobil papanya datang. Sudah beberapa minggu ini papanya selalu pulang larut. Namun, gadis itu tidak peduli. Toh, selama ini juga ia sering sendiri. Baginya, keberadaan sang papa tidak terlalu berarti karena fasilitas mewah yang ia dapatkan sekarang berkat hasil kerja kerasnya sendiri sebagai selebgram.

Masih di waktu yang sama, situasi berbeda tampak di rumah Andre. Suasana begitu hening ketika Juwita memasuki rumahnya. Namun, itu tidak berlangsung lama sebelum mama Andre melihat kepulan asap dari arah ruang tamu.

"NDRE!" bentak Juwita yang menyadari kepulan asap itu berasal dari rokok yang masih menyala. "Sejak kapan kamu ngerokok? Siapa yang ngajarin? Heksa? Nggak mungkin. Orang tuanya dokter dan mama tahu Heksa anak seperti apa. Willy juga nggak bakal coba-coba ngerokok karena uang sakunya aja nggak cukup buat naik angkot."

"Ini pelepas stres, Ma."

Juwita maju dengan wajah penuh amarah. Ia merampas rokok dari tangan Andre, lalu melemparnya ke lantai. "Mama nggak suka kamu kayak gini!"

"Lho, Mama nggak tahu apa yang bikin aku stres? Nggak tahu apa nggak sadar? Oh, atau pura-pura nggak nyadar, Ma? Atau ... ternyata Mama masih peduli sama aku?"

Tangan Juwita terangkat. Nyaris saja ia memelesatkan tamparan ke pipi Andre. Namun, ketika melihat putranya mendadak sesak napas sembari memegangi dada, hati ibu mana yang tega mengabaikan?

"Ndre ... Ya, Tuhan. Kamu ini punya lemah jantung. Astaga. Bi ... Bibi! Pak! Tolong Pak ...."

Juwita yang panik memanggil seluruh pegawai di rumahnya. Untung saja asisten rumah tangga Andre langsung sigap mengambil obat-obatan milik Andre yang tersimpan di rak kamar cowok itu. Para pegawai di kediaman Juwita pun juga sudah hafal apa saja yang diperlukan Andre ketika penyakitnya kambuh.

"Ayo, istirahat dulu, Ndre."

Juwita hendak memapah putranya menuju kamar. Namun, Andre menepis tangannya. Wanita itu mengedip pada Mbok Giyem dan tukang kebunnya untuk menggantikan posisinya sementara. Walau hatinya sakit karena Andre tidak mau dibantunya, tapi sekarang yang terpenting adalah kesehatan putranya itu.

Juwita menatap putranya yang berjalanan lemas sembari dibantu dua pegawainya. Ada rasa sesal yang menyusup hatinya. Semenjak bercerai dan hidup bersama anak-anaknya, ini kali pertama terjadi perang dingin di antara dirinya dengan sang putra.

Bahkan, baru sekali ini juga Andre melakukan pemberontakan besar.

Anak baik itu, anak yang biasanya diam dan menyimpan semua masalahnya sendiri, kini meluapkan amarahnya yang selama ini hanya dipendam.

Dan, semua itu terjadi karena hubungannya dengan pria bernama Dedi yang ditentang oleh sang putra. Juwita benar-benar bingung. Dia ingin memenangkan perasaan hatinya, tapi juga tidak bisa mengabaikan perasaan anak-anaknya.

"Maafin Mama, Ndre. Tapi, Mama nggak bisa menuruti permintaanmu buat menjauh dari Mas Dedi. Ini perasaan yang tulus. Mungkin nanti kamu juga bisa merasakan ketulusan dari pria pilihan Mama ini."

***


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro