Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 14: Menyembunyikan


Jika takdir sudah berkehendak, mustahil manusia menolak.

Sekilas, kematian terasa berjarak.

Kau tak pernah tahu, jika pijar lilinmu lama-kelamaan tak lagi tampak.

Dan segalanya, berhenti berdetak.

***

"Konjungtivitis, infeksi mata. Bisa karena terlalu lama terpapar asap kebakaran tadi atau masuknya bakteri lain." Dokter Arhan menghela napas sejenak sebelum menjelaskan lebih detail. "Kondisinya masih seperti tadi. Tapi, kami sudah membalut matanya agar tidak terkena radiasi atau terinfeksi bakteri lainnya. Dia butuh dirawat sampai penglihatannya kembali normal. Saya yakin, dengan rutin memberi vitamin dan obat-obat lainnya, dia akan berangsur membaik."

"Radang mata biasa, kan? Bukan keratitis?" Heksa menyebutkan istilah yang membuat Andre dan Willy bertatapan bingung.

Meski nilai-nilai rapornya tidak lebih bagus dari kedua kawannya, tapi Heksa yang besar di keluarga dokter cukup mengenal beberapa istilah medis yang terdengar asing di telinga orang biasa. Keratitis adalah peradangan atau inflamasi yang terjadi pada kornea mata, efek dari konjungtivitis yang tidak ditangani dengan baik.

"Bukan, bukan. Ini hanya radang biasa. Bukan radang yang menyerang kornea matanya. Seharusnya nggak sefatal ini dampaknya. Tapi, memang setiap orang, punya sensitivitas masing-masing. Dalam kasus Pijar, matanya," jawab Dokter Arhan berusaha menenangkan.

Heksa celingak-celinguk. Kalah cepat. Andre sudah memelesat masuk ke kamar Pijar, tentu seizin Dokter Arhan.

"Sial!" umpat Heksa. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu Andre ke luar dari sana karena ada petugas yang menjaga di depan pintu IGD.

Ditemani Willy, Heksa menunggu beberapa saat sampai akhirnya Pijar dipindahkan ke ruang rawat kelas VVIP. Tentu berkat kesultanan Heksa, gadis itu bisa mendapat fasilitas terbaik dari rumah sakit.

Andre duduk di sofa. Tatapannya tak lepas memandangi gadis yang terbaring di ranjang itu. Sementara Heksa baru saja keluar kamar begitu mendapat notifikasi pesan dari sang mama. Willy pamit ke kantin sebentar karena sejak siang tadi perutnya belum diisi.

"Jar? Lo dah bangun?" tanya Andre lembut. Senyumnya mengembang ketika melihat Pijar mengangguk.

Andre yang melihat Pijar meneguk ludah berulang kali, mengira gadis itu haus. Tanpa perlu menawarinya dulu, ia segera mengambil segelas air di atas nakas. Membawanya mendekati Pijar sebelum tiba-tiba gadis itu bertanya dengan suara lemah.

"Cath? Dia selamat, kan?"

Bahu Andre melemas. Ia mundur selangkah, meletakkan kembali gelasnya, lalu menggeser kursi mendekati ranjang Pijar.

"Jar ...."

Sembari mengulur waktu, Andre mencari cara terbaik untuk menjelaskan keadaan Cath dan Jose pasca-kebakaran. "Lo percaya nggak, kalau pasti akan ada seseorang yang jadi malaikat pelindung kita dan selalu jagain kita dari bahaya di dunia ini. Entah siapa pun itu ...."

Pijar meremas seprai ranjangnya, mulai ketakutan mendengar kalimat pembuka Andre.

"Cath selamat, tapi Jose sekarat."

Deg!

Tangan Pijar yang mencengkeram seprai terlepas. Harapannya musnah.

Bagaimana bisa malah Jose yang celaka?

"Itu berarti penglihatan lo salah, Ndre?" tanya Pijar setelah rasa sesaknya perlahan hilang. "Lo bilang yang celaka Cath, kan?"

"Penglihatan gue nggak pernah salah, Jar." Andre memberi jawaban ambigu. Ia bersandar ke kursi sembari menatap Pijar dengan tangan terlipat.

"Kalau lo bilang penglihatan gue salah, berarti penglihatan lo di rumah sakit juga salah, dong?" tanyanya diiringi senyum penuh arti.

Meski Pijar hanya diam dengan tubuh kaku, Andre menangkap perubahan ekspresi gadis itu.

"Penglihatan gue nggak pernah salah, Ndre." Tanpa sadar, Pijar merespons dengan jawaban yang sama.

Andre yang dianugerahi otak encer, mencoba menerka-nerka. "Atau, karena mata ajaib kita bekerja di waktu yang sama hingga menimbulkan reaksi di luar kendali kita?"

Sementara Pijar semakin pucat memikirkan kondisi Jose, di sampingnya, Andre terlihat lebih tenang. Tak tebersit sedikit pun perasaan bersalah di hatinya. Mungkin ini kali pertama baginya mencampuri hubungan asmara orang lain.

"Apa pun yang ada di dunia ini cenderung sulit untuk berubah, Jar. Misal, kebiasaan seseorang, perilakunya, matahari dan bulan yang datangnya selalu bergantian, juga perasaan sepi setelah mendatangi tempat yang ramai. Semua selalu tepat pada tempatnya, kecuali satu, perasaan seseorang." Tiba-tiba Andre berfilosofi.

Andre menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan. "Penglihatan kita nggak pernah salah, tapi perasaan seseorang yang cenderung berubah. Kalau lo mau tahu kenapa penglihatan kita kali ini meleset, karena Jose mulai benar-benar mencintai Cath."

Di dalam kegelapan, Pijar merasa dadanya semakin sesak. Ia seperti tersesat dalam labirin panjang yang tak berujung.

"Waktu pertama gue ketemu mereka, gue lihat sikap dingin Jose ke Cath. Denger-denger, sih, mereka dijodohin. Posisinya si Jose ini udah punya cewek, kayaknya. Dan, di saat gue melihat gimana hubungan mereka ke depannya, muncul potongan adegan dalam imajinasi gue, di mana terjadi kebakaran di gedung pernikahan mereka. Di penglihatan gue, Cath nggak tertolong."

Pijar menyimak dengan saksama cerita Andre melalui indra pendengarannya.

"Mungkin pas lo liat Cath di Rumah Sakit Medika dan kebetulan dia ultah, Jose belum punya perasaan apa-apa ke dia. Jadi, waktu kematian Cath yang lo lihat, cocok dengan hari di mana gue lihat mereka akhirnya terpisah oleh maut. Ya, di hari resepsi mereka," jelas Andre.

"Tapi siapa sangka, menjelang pernikahan, Jose mulai sayang dan jatuh cinta sama Cath." Andre mengangkat bahu. "Gue udah pernah bilang, kan? Penglihatan gue cuma bekerja saat gue pertama kali ketemu dengan orang yang bersangkutan. Makin sering gue ketemu orangnya, penglihatan tentang hubungan mereka akan makin mengabur. Ternyata, menjelang pernikahan mereka, perasaan sayang Jose ke Cath mulai tumbuh."

Andre menghela napas, lalu melanjutkan, "Gini, gini. Bisa aja lo abis berantem sama seseorang. Tapi, tiba-tiba selang beberapa menit, ada bahaya yang menghampiri lo. Eh, ternyata di antara banyaknya orang yang ada di sekitar lo, malah dia yang nolongin lo. Yaaa, dia yang nolongin lo, malah sebenernya orang yang terang-terangan nunjukin rasa bencinya ke lo. Secepat itu emang perasaan seseorang berubah."

Pijar mencermati dalam-dalam. Ia teringat awal pertemuannya di Ruang Guru bersama Heksa. Saat Bu Sherly meminta keduanya untuk berkolaborasi di acara PENSI, Heksa yang parno abis dengan Pijar langsung menolak mentah-mentah tawaran itu.

Eh, siapa sangka. Belum ada semalam, Heksa mengiyakan penawaran dari Bu Sherly meski dengan beberapa syarat yang ia ajukan kepada Pijar. Tentunya, agar gadis itu tidak mengadu pada murid-murid SMA Rising Dream bahwa Heksa pingsan di rumah hantu dan membuat nama baik Heksa tercemar.

"Hmmm, pantesan. Waktu itu Heksa tiba-tiba berubah pikiran," gumam Pijar dengan suara lirih. "Ternyata emang perasaan manusia gampang berubah, ya." Ia menyimpulkan sendiri setelah menelaah ceramah Andre yang sebenarnya tidak seratus persen berdasar pada fakta.

"Berarti ya, nggak ada jaminan perasaan Heksa ke lo nggak bakal berubah," celetuk Andre. Karena awalnya memang berniat menggoda Pijar, ia terkekeh kecil begitu menyadari wajah Pijar berubah kencang.

"Yaelah, Jar. Tanpa gue lihat gimana sorot mata lo, gue tahu kalau sekarang lo lagi panik. Tenang aja, Jar. Kalau Heksa macem-macem, gue langsung pasang badan buat gantiin posisi dia."

Ucapan Andre membuat bahu Pijar menegang lagi. Lelaki itu mendengkus geli sembari menatap Pijar yang tidak bisa berbalik menatapnya. Tanpa sadar, tangannya mengelus lembut puncak kepala gadis itu.

Keduanya tidak menyadari bahwa di luar kamar Pijar, ada cowok yang nyaris mendobrak pintu. Heksa kesal setengah mati. Meski kini ia berada di luar ruang rawat Pijar, tapi seharusnya Andre tak bertindak sejauh itu.

"Kalau nggak lagi di rumah sakit, udah gue patahin tangan lo, Ndre. Percuma aja, gitu. Udah susah-susah gue patahin, lo langsung ke ruang dokter spesialis kandungan. Minta diobatin. eh, parah banget gue! Ngapain ke dokter kandungan? Kan, tangannya yang sakit! Seharusnya ke dokter saraf nggak, sih?"

Heksa menggaruk-garuk kepala. Kini pikirannya semakin kacau. Kalut begitu selesai berbincang dengan mamanya melalui sambungan telepon. Anita baru saja memberi tahu putranya bahwa suaminya, Anthony, baru saja menjalani pemeriksaan di Laboratorium Rumah Sakit Medika. Dan hasilnya, Anthony didiagnosis mengalami penurunan fungsi ginjal.

Sesuai pesan yang disampaikan mamanya tadi, Heksa diminta segera pulang. Besok pagi papanya akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut, untuk mendeteksi seberapa berat penurunan fungsi ginjal yang dialami pria itu. Karena terdeteksi lebih awal, banyak pihak yang meyakini Anthony akan benar-benar pulih asal ditangani dengan metode terbaik.

"Sa!" panggil Andre saat melihat siluet Heksa dari balik pintu. "Kenapa lo ngejogrok di situ? Aaah, gue tahu. Lo pasti sengaja ngasih kesempatan gue sama Pijar berduaan, kan?"

"In your dream!" Heksa mendengkus, lalu menarik kerah belakang baju Andre. Memaksa lelaki itu menyingkir dari kursinya. "Ini singgasana gue, paham?"

Seperti biasanya, Andre tidak membalas. Ia hanya menipiskan bibir, mundur ke sofa yang ada di sudut ruangan. Sesekali mengamati interaksi Pijar dan Heksa yang tak sedetik pun kehabisan obrolan. Walau tak pernah tebersit niat untuk merebut gadis itu, tapi sesekali rasa sesak masih membelenggu dada Andre tiap kali melihat kebersamaan keduanya.

"Sa, tolong ambilin notes di tas yang gue pakai ke acara resepsi Jose sama Cath."

Pijar tiba-tiba mengalihkan topik obrolannya. Membuat Heksa celingak-celinguk kebingungan sampai akhirnya ia menoleh ke belakang dan mendapati Andre menggoyang-goyangkan tas itu di depannya. Heksa langsung menyambarnya tanpa berkata-kata atau bahkan mengucap terima kasih.

"Tolong cek. Apa di bulan ini, ada catatan lagi selain punya Cath?" tanya Pijar dengan suara serak. Ia sadar tak bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan orang lain untuk menjadi pengganti matanya. "Gimana?"

Di tempat duduk berbeda, Andre membatin dengan kesal. Gue dari tadi di sini, kenapa nggak minta tolong ke gue sekalian? Harus nunggu Heksa dateng, gitu? Sebagai cogan yang tak dianggap, jujur gue sakit ati ....

Telunjuk Heksa berpindah dari satu baris ke baris lainnya. Lama ia terdiam sampai akhirnya menemukan nama seorang gadis dengan angka berjejer di sampingnya.

"Aaah, tulisan lo kayak cakar ayam! Nggak kebaca semua," decak Heksa, berdusta.

"Ya udah, kalau lo nggak bisa baca, biar An—"

"Eitsss!" Heksa menjauhkan notesnya dari tangan Pijar yang berusaha menggapai-gapainya dengan asal. Ia tidak ingin Pijar terlalu sering meminta bantuan Andre. Nanti jadi ketergantungan. "Padahal, pacarnya kan gue, kenapa larinya ke Andre?"

"Eheeem ...." Pura-pura berubah serius, Heksa berdeham. "Nggak ada. Bulan ini cuma Cath doang, sih. Lo bisa santuy dulu kayak di pantuy. Leha-leha, rebahan, lesehan sekalian."

"Dasar geblek," sahut suara yang baru datang. Willy duduk menyebelahi Andre sembari menyodorkan kantong plastik berisi gorengan yang baru ditiriskan. "Ngoceh mulu lo, Sa."

Heksa sudah berbalik dan nyaris menjitak Willy yang tiba-tiba menyumpal mulutnya dengan gorengan. Ia segera menyadari makanan yang ada di dalam mulutnya adalah jenis gorengan yang paling ia suka, mendoan!

Andre dan Willy terkikik bersamaan begitu melihat Heksa dengan gesit menyambar plastik gorengan, memeluknya erat-erat, lalu membawa plastik itu menjauh dari kedua temannya. Sementara cogan-cogan itu sibuk saling ejek, di atas ranjang, Pijar termenung dalam kegelapan. Ada yang mengganjal di hatinya.

Ya, ia benar-benar ingat ada satu nama lagi di bulan ini.

"Apa Heksa bohong? Apa dia sengaja jawab gitu, biar gue nggak nekat nolongin siapa pun itu? Ah, siapa, ya? Gue harus inget nama siapa yang tertulis di memo itu." Pijar bertekad mencari tahu dengan cara lain.

Gadis itu berpikir Heksa sedang asyik menikmati camilan bersama Andre dan Willy. Namun, rupanya di balik tawanya, diam-diam Heksa juga memutar otak. Ia tidak ingin Pijar mengetahui kenyataan yang sebenarnya.

Bahwa memang benar, masih ada satu nama yang tertulis di bulan dan tahun ini. Padahal, hanya tersisa beberapa hari lagi sebelum memasuki pergantian bulan.

Jadi, gue harus gimana? batin Heksa sembari mengingat nama seorang gadis yang tertulis di sana. Lengkap beserta angka-angka yang membentuk bulan dan tahun kematiannya.

Tangan Heksa terkepal di samping badan. Gemas. Kenapa harus dia? Sungguh, Heksa malas sekali berurusan dengan gadis yang namanya tertulis di memo Pijar itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro