Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 11: Dipertaruhkan



"Kenangan buruk tak bisa dihapus. Hanya penerimaan yang bisa mengobati luka pahit di masa lalu."

***

Biasanya Minggu pagi begini, Andre sudah bersiap joging. Atau bersepeda, nge-gym, apa pun itu yang bertujuan menyempurnakan roti sobeknya, otot-otot di dada dan perutnya. Ia berambisi ingin menandingi Heksa yang memiliki tubuh bugar dengan otot-otot terbentuk. Sementara ini, tubuh Andre sudah lumayan, meski belum terlalu tampak.

Akan tetapi, karena semalaman ia tidak bisa tidur, kini Andre masih membungkus tubuhnya di balik selimut. Padahal, sinar matahari yang cukup terik sudah menerobos jendela kamarnya.

Jam sembilan pagi.

Untung subuh tadi mamanya sudah berangkat bekerja. Weekend banyak acara penting yang membutuhkan katering mamanya. Kalau tidak, Andre pasti kena omel karena bermalas-malasan di kamar.

"Mas Andre ... Mas ...."

Suara ketukan disertai panggilan dari asisten rumah tangannya itu membuat Andre menekan bantal ke telinga.

"Dicari temennya tuh, Mas." Mbok Giyem Bi Sul mengetuk-ngetuk pintu kamar Andre dengan sabar. "Mas, kasihan temennya nunggu di luar."

Andre membuka selimut. Ia beranjak malas-malasan dari ranjang, menyambar kaus yang tersampir di kursinya sebelum ke luar kamar. Maklum, kalau tidur ia lebih suka bertelanjang dada.

Akan tetapi, biasanya pakaiannya terlipat rapi di lemari atau digantung di pintu kamar. Gara-gara kejadian semalam, sepulang dari ulang tahun Ginny, mood-nya hancur. Setelah melepas pakaian sembarangan, Andre langsung mengempaskan tubuh ke ranjang.

"Nggak cuci muka dulu, Mas?" Mbok Giyem menyodorkan nampan yang dibawanya dan menawarkan lelaki itu segelas susu hangat.

Andre menyeruput susunya sambil berjalan. "Alah, paling juga si sableng, kalau nggak Willy, kan? Ngapain dan— Astaga!" Baru saja Andre sampai ruang tamu, ia memelesat kembali ke ruang TV. Ia menatap Mbok Giyem yang baru menerima gelas susu Andre. "Gue masih tidur, ya, ini? Kok gue ngimpi lihat bidadari ada di ruang tamu?"

Mbok Giyem terkekeh kecil. "Mas Andre mau saya cubit biar percaya?"

Napas Andre ngos-ngosan. Ia segera berlari ke cermin yang tergantung di dinding ruang TV. Menatap pantulan dirinya yang tampak mengerikan dengan rambut tidak tertata dan wajah mengilat seperti perasan minyak dari gorengan kaki lima.

"Astaga, kayak gembel gini. Mana tadi Pijar udah sempet nengok dan lihat gue," desah Andre meratapi wajahnya sendiri. "Ah, gara-gara Mbok Giyem, nih! Tadi nggak ngasih tahu saya dulu kalau tamunya cewek." Ia kembali mengomel. Memang paling enak melimpahkan kekesalan kepada orang lain.

"Lah, kan, tadi saya sudah ngingetin Mas Andre buat cuci muka dulu. Eeeh, Mas Andre bilang nggak usah," tanggap Mbok Giyem tak ingin disalahkan. "Pacarnya Mas Andre, ya? Kok panik gitu kelihatannya. Eh, Mas, kalau sama pacar, mah, harus apa adanya. Biar kita tahu—"

"Bukan pacar saya, Bi, pacarnya Heksa!" Andre menyahut sebelum Mbok Giyem selesai berpetuah.

Bukannya merasa tak enak, Mbok Giyem malah semakin menggoda. "Nggak ada niatan buat nikung, Mas? Eh, tapi, tadi Mbok Giyem agak merinding awalnya. Kirain kuntilanak, Mas, soalnya serbaputih gitu pakaiannya. Tapi, setelah saya pikir-pikir, masa kuntilanak ngapel pagi-pagi gini?"

Bahu Andre melemas. Ia melengos tak peduli, lalu cepat-cepat membasuh wajahnya di wastafel dan membasahi sedikit rambutnya dengan air. Paling tidak, sudah memunculkan efek glowing.

"Hai, Jar!" sapa Andre. Ia langsung tersenyum semringah saat Pijar membalas sapaannya. "Duduk, gih. Kok, lo tahu rumah gue?"

"Ya, cari tahulah, hihi," Pijar menjawab dengan nada bicara yang tak biasa.

"By the way, lo ngapain pagi-pagi ke rumah gue? Sendirian? Nggak sama Heksa?" tanya Andre panjang lebar. "Udah izin sama dia?"

Kali ini Andre benar-benar merasa tak enak. Ia hanya mengantisipasi terjadinya kesalahpahaman jika sampai Heksa mengetahui keberadaan Pijar di rumahnya dari orang lain.

Semenjak Ginny datang ke kehidupannya, Andre jadi lebih waspada. Bukan tidak mungkin jika Ginny juga mencari masalah dengan teman-teman terdekatnya.

Pijar menyodorkan undangan berpita emas yang tergeletak di meja ruang tamu Andre. Sebenarnya, ada beberapa undangan di sana. Namun, gadis itu hanya mengambil salah satu di antaranya, lalu memisahkannya dengan undangan yang lain.

Raut wajah Andre berubah. Ia yang semula tampak bersemangat dan ceria, mendadak kaku. Ternyata ini alasannya. Rupanya Pijar ingin meminta kejelasan penyebab kematian dari salah satu pasangan pengantin itu. Meski hanya tinggal menghitung jam, tapi bagi Pijar berapa pun waktu yang tersisa akan sangat berarti.

Suasana mendadak hening. Andre menatap meja ruang tamunya yang berserakan. Undangan-undangan itu berasal dari para calon pengantin yang memakai jasa katering milik mamanya. Agar para pegawai katering bisa mencatat lokasi acaranya, waktu dan hal-hal penting lainnya supaya resepsinya nanti berjalan lancar.

Sialnya, Pijar lebih dulu melihat undangan milik Jose dan Cath, bahkan sebelum Andre sempat membereskannya dan menyimpannya ke dalam rak khusus.

"Ndre, jadi si mempelai wanita ...."

"Hmmm, ada kecelakaan di tempat resepsi itu berlangsung. Dan, Cath nggak tertolong." Andre mencoba mengingat-ingat kejadian yang dilihatnya saat kali pertama bertemu Jose dan Cath. Ia mengetahui bagaimana kelanjutan hubungan pasangan kekasih itu.

Ya, mereka terpisah.

Terpisah karena maut.

"Gue nggak tahu detailnya, tapi sepenglihatan gue, mereka terpisah di hari pernikahan itu."

Hopeless.

Pijar merasa kali ini ia mungkin gagal. Clue yang diberikan Andre tidak banyak membantu. Ia harus memastikan dulu kecelakaan seperti apa yang menimpa pasangan calon pengantin itu, baru kemudian bisa mencari cara untuk menyelamatkan Cath.

"Jar," panggil Andre, memecah keheningan di antara keduanya, "lo nggak tahu gimana pastinya, jadi jangan bahayain diri lo sendiri."

Meski tahu Pijar tidak akan menggubris omongannya, Andre tetap mencoba membujuk gadis itu. "Selama ini lo udah sering ngorbanin diri lo buat orang lain. Kejadian di aula waktu lo mau nolong si Mia, kematian Bu Ghina, dan yang terakhir ...." Andre terdiam sesaat untuk mengambil jeda. "Heksa bahkan juga nyaris mati demi bantu lo nyelametin bokap lo sama Nina."

Melihat Pijar yang tak bereaksi, Andre mendekati gadis itu sambil berkata, "Apa itu belum cukup? Bisa, nggak, lo pura-pura aja nggak tahu gitu, kayak reaksi gue selama ini setiap kali lihat hubungan asmara orang lain?"

Sorot mata Pijar berubah sendu. Ia tidak pernah mengira jika Andre akan memintanya bersikap masa bodoh dengan kematian orang lain. Konteksnya jelas berbeda. Jika sepasang manusia ternyata tidak berjodoh, mereka tetap bisa melanjutkan hidup mencari cinta yang baru.

Akan tetapi, kalau nyawa seseorang melayang? Putus sudah semua urusannya di dunia. Tak ada lagi kesempatan.

Kalau beruntung, ada sebagian orang yang mendapat kesempatan kedua.

Hanya, untuk orang sebaik Andre, kenapa setega itu?

Setelah lama diselimuti keheningan, Pijar kembali menatap cowok itu. Walau raut wajahnya masih datar, tapi tatapannya kepada Andre lebih intens. Seolah menyiratkan banyak hal. "Heksa nggak pernah minta gue buat berhenti."

Ucapan Pijar membuat Andre tertohok. Ia mendadak kesulitan bernapas. Sungguh, dia tidak pernah menyangka. Sekali-sekalinya Pijar membandingkannya dengan Heksa, rasanya sungguh sakit sekali. Andre kecewa pada dirinya sendiri.

"Undangannya buat gue, ya?" tanya Pijar. Ekspresinya tetap sama. Mau kecewa, sedih, atau bahagia, gadis itu masih terlihat lugu juga polos. "Boleh, kan?" Ia mengulang pertanyaannya karena Andre tidak juga merespons.

Andre mengangguk sekali. Ia mematung sesaat melihat Pijar yang beranjak dari ruang tamunya. Perlahan gadis itu melangkah pergi sembari memasukkan undangan milik Jose dan Cath ke tas yang tersampir di pundak.

"Jar!" panggil Andre. "Gue temenin lo."

***

Yuhu, gimana sampai part ini?

Next, nggak? Next, nggak?

Next lah ya...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro