CHAPTER 1: PERMULAAN
Diamnya seseorang, menyimpan banyak rahasia.
Di sudut sebuah kafe berhiaskan lampu-lampu kecil, dua lelaki tampan duduk sembari berbincang-bincang. Tepatnya, menggosip. Membicarakan orang-orang yang lewat walau tak kenal. Sejak tadi Willy sibuk nyinyir, sementara Andre tetap fokus melihat-lihat isi kameranya.
"Kak Andre?"
Yang menyahut malah Willy, "Wih, ada cewek cakep. Boleh ke—"
Akan tetapi, sedetik kemudian, Willy menutup mulut karena seorang cowok keren dengan style kekinian datang menyebelahi gadis itu.
"Ini Kak Andre yang kemarin kamu ceritain?" tanya cowok itu kepada sang pacar.
Gadis itu mengangguk sembari tersenyum. "Iya. Aku jadi model iklan di majalah sama medsos katering mamanya. Yang motoin Kak Andre. Dia jago banget, lho. Hasil fotonya bagus."
"Gue Bram, Kak. Cowoknya Dona." Lelaki itu mengulurkan tangan untuk berkenalan.
"Andre."
Hanya beberapa detik keduanya bersalaman, Andre langsung menurunkan tangannya.
Setelahnya, Bram dan Dona bersalaman dengan Willy.
Dona memberi kode kepada pacarnya untuk memilih kursi dulu, sementara gadis itu masih membahas soal pekerjaan sesaat dengan Andre. Andre berniat memotret produk baru katering mamanya, yaitu kue-kue petit fours yang cocok untuk pesta kelas atas. Dan, dia butuh model yang sesuai untuk semua platform, baik itu majalah untuk ibu-ibu kelas atas, maupun Instagram dan Tik-Tok untuk followers yang usianya lebih muda. Selain itu, mereka harus mencocokkan waktu pemotretan karena, baik Andre maupun Dona sama-sama masih sekolah.
Akhirnya, obrolan soal pekerjaan beralih karena rasa penasaran Andre. "Lo ganti cowok lagi? Yang kemarin ke mana?"
Dona tersenyum malu. "Yang kemarin tukang selingkuh, Kak. Banyak ceweknya. Yang ini kece juga kan, Kak?" tanya gadis itu meminta pertimbangan.
Andre hanya memiringkan kepala sambil tersenyum canggung. Sebenarnya, dia sudah punya firasat. Namun, mereka kembali membahas soal sesi foto, lalu Dona pamit untuk duduk bareng cowoknya.
Setelah Dona beranjak dari sana, Willy mulai bisik-bisik, "Kenapa Tuhan nggak adil banget, sih? Yang cantik dapet yang cakep. Lantas, bagaimana nasib hamba yang punya wajah pas-pasan gini?"
Andre tidak berkomentar. Namun, bibirnya mengulum senyum penuh arti. Belum terjawab rasa penasaran Willy dengan senyum penuh arti sahabatnya itu, tiba-tiba muncul kegaduhan di dalam kafe.
"Oh, jadi gara-gara dia kamu ninggalin aku?"
Drama terjadi. Seorang cowok yang baru masuk mendatangi meja Bram dan Dona. Cowok itu tampan nan kekar dan penampilannya sangat rapi seperti seorang eksekutif muda. Terjadi perebutan.
"Astaga! Berantem, Ndre, berantem!" Willy mengguncang-guncang bahu Andre. Mereka berdua menyaksikan dari meja mereka. Willy dengan antusias, Andre dengan tetap tenang.
Keributan yang terjadi di dalam kafe itu, membuat Dona sontak menjadi pusat perhatian pengunjung. Gadis itu berlari keluar sembari terisak. Kepalanya tertunduk malu.
"Mantannya Dona punya banyak cewek, tapi yang udah lepas masih terus dikejar! Haduuuh ...." Willy bergidik merinding.
Andre diam tak bereaksi, jadi Willy menyikut lengannya. "Jahat lo, Ndre. Kalau dah tahu bakal gini kejadiannya, kenapa lo nggak ngasih tahu Dona dari awal?"
"Gue nggak pernah mencampuri takdir orang lain, sekalipun gue melihat apa yang bakal terjadi ke depannya, saat gue salaman sama mereka." Andre menyeruput teh hangatnya. "Inget, ya. Gue bukan Pijar."
"Kasihan, anjir. Mereka jadi tontonan. Pasti tadi ada yang rekam terus jadi viral dah di sosmed."
"Oh, lo belain si cowok? Jangan-jangan lo berharap cowok-cowok itu berantem beneran, terus lo bisa ngegaet Dona, Wil?" tanya Andre menggoda Willy.
"Sembarangan lo kalau ngomong! Gue, kan, pilih-pilih!" sembur Willy.
Andre terkekeh. "Abisnya lo awet banget jomlo tiga tahun."
"Nggak ngaca, Bro?" Willy bertanya balik.
"Kalau gue mah, jelas cuma Pijar doang di hati gue," jawab Andre dengan sorot mata dalam. Sedetik kemudian, ia tertawa geli melihat wajah serius Willy.
"Sans ae, Will. Gue nggak bakal ganggu hubungan mereka. Biarkan takdir itu bekerja sendiri. Gue nggak pernah mau ikut campur sama takdir seseorang, ya udah, gue cuma bisa nunggu doang." Andre tercenung sesaat, sebelum melanjutkan, "Gue dan Pijar sama-sama punya mata ajaib, dan gue juga udah selalu bilang kan, karena hal itu, keistimewaan kami ini nggak bisa berfungsi. Jadi, Pijar nggak bisa lihat kematian gue. Sebaliknya, gue nggak bisa tahu gimana hubungan Pijar dan Heksa selanjutnya. Mereka berjodoh atau nggak, gue nggak bisa tahu. Jadi, gue bakal nunggu sampai waktu yang menjawab semuanya," tambah Andre dengan tegas.
Willy menepuk-nepuk bahu Andre. "Wah, lo ni ya, Ndre. Udah sabar, ganteng, perhatian pula. Nambah seporsi nasgor seafood boleh lah, ya?" puji Willy yang ternyata ada maunya.
"Terserah mau nambah berapa piring, mah. Sok aja, Will ...." Andre yang paling sering mentraktir sahabat-sahabatnya, tak pernah mempermasalahkan itu.
"Emang lo sahabat ter-the best. Nggak kayak Heksarap, tuh. Tajir, tapi pelit. Ganteng, tapi narsis, suka diumbar-umbar."
***
Di tempat lain, Heksa tiba-tiba bersin. Hatchim! Meskipun tidak lagi flu atau pilek, mendadak hidungnya terasa gatal. "Hmmm, pasti ada yang ngomongin gue, nih."
Lelaki itu sedang menunggui Pijar bekerja. Setelah mengusap-usap hidung, ia kembali memperhatikan kegiatan Pijar. Dan langsung tersentak kaget.
"Dasar payah!" teriak Heksa.
Umpatannya terdengar sesaat setelah seseorang berteriak, "CUT." Seolah tak puas dengan hanya mengumpat, Heksa melangkah lebar-lebar menghampiri lelaki yang menjadi sasaran amukannya.
"Lo kalau nggak bisa syuting, balik aja, dah," sembur cowok berwajah tengil itu dengan gusar. "Di mana-mana hantu itu tembus pandang. Nggak bisa dipegang apalagi ditabrak. Lo pikir kita lagi syuting FTV, apa? Ada adegan tabrak-tabrakannya?"
Si mulut petasan itu sudah bersiap memakinya lagi, sebelum tiba-tiba sesosok pria berkumis datang menengahi keduanya.
"Kamu ini siapa? Dari tadi kamu mengganggu jalannya syuting. Di sini sutradaranya saya. Kalau kamu memang mau nonton jalannya syuting program saya, duduk tenang di pinggir sana. Jangan tiba-tiba masuk lokasi set." Zulfiandi, sutradara bertangan dingin yang sering menggarap sinema horor, mulai frustrasi menghadapi tingkah cowok itu.
"Jar! Tolong bawa temenmu ke luar lokasi syuting. Kalau dia terus-terusan ganggu, kita bisa take sampai subuh!" Zulfiandi memijit-mijit keningnya, lantas berderap kembali bergabung dengan para kru.
Sementara lelaki bernama Maulana yang menjadi peran utama di acara itu, tampak tak enak saat melihat lawan mainnya jatuh tersungkur di depannya. Ia yang terlalu gugup dan gemetaran sampai tak menyadari bahwa arah larinya menuju gadis yang berperan sebagai hantu itu.
Maulana merasa bersalah, dan mengulurkan tangannya untuk membantu Pijar berdiri. Namun, belum sempat Pijar menyambut ulurannya, tiba-tiba seseorang menepis tangan lelaki itu.
"Dia bisa berdiri sendiri. Lo pikir Pijar itu batita yang lagi latihan jalan?" sembur cowok bermata sipit itu dengan nada sengak. Walau sebenarnya di dalam hati, ia tidak rela jika tangan Pijar disentuh orang lain.
"Sa, lo mending nunggu di mobil aja, deh." Pijar bingung harus membujuk Heksa dengan cara apa lagi. Dia bangkit dengan agak susah payah.
Sejak Pijar mendapat tawaran pekerjaan ini, Heksa memaksa untuk mengantar-jemputnya ke lokasi syuting. Namun, yang menyebalkan, selama di lokasi syuting cowok itu tak berhenti berulah. Seolah Heksa sengaja membuat kekacauan di sana agar Pijar dikeluarkan dari tempat kerja barunya.
Awalnya Heksa senang karena Pijar tidak lagi bekerja di rumah hantu milik keluarga Wisnu dan Yudha. Namun, masalahnya, Pijar butuh pekerjaan yang bisa dikerjakan anak SMA untuk membantu ekonomi keluarganya. Selain itu, ternyata pekerjaan Pijar yang baru ini serupa dengan pekerjaan yang lama. Tujuannya menakut-nakuti orang. Pulangnya juga lewat tengah malam.
Meski sering merinding dan merasa tak nyaman saat di lokasi syuting, Heksa tetap bersikeras menemani Pijar selama syuting berlangsung sampai selesai.
"Cepetan selesain syutingnya. Gue udah ngantuk, woy," kata Heksa sengit.
Sudut bibir Pijar tertarik naik. Membentuk seringai khas yang di mata orang-orang tampak mengerikan. Ia tersenyum, ingin mengucap terima kasih kepada Heksa. Seolah tahu jika kalimat-kalimat pedas yang dilontarkan Heksa kepadanya, menyiratkan hal berbeda.
"Syuting kita tunda besok malam!" Salah seorang kru berteriak. Mungkin Zulfiandi, sang sutradara, mulai bad mood. Seluruh kru jadi kena imbasnya. Kena amukan. Yang bikin kesalahan cuma Maulana, tapi yang jadi pelampiasan semua anak buahnya.
Siapa pun yang turut ambil andil dalam proyek itu tampak muram. Wajah orang-orang di sana terlihat kusut sekaligus lelah, kecuali sosok cowok bertubuh tegap yang berdiri di samping Pijar. Ia terus cengengesan. Pijar sampai bingung ke mana hilangnya mata Heksa karena cowok itu tak berhenti tersenyum.
"Ada yang lucu, Sa?" tanya Pijar bingung. Kepolosannya membuat Pijar tidak menyadari bahwa Heksa sengaja berbuat onar di lokasi kerjanya.
"Gue, kan, emang murah senyum. Hahaha." Heksa tertawa garing sambil bertepuk tangan. Setiap kali bibirnya tertarik, matanya seperti sedang memejam. "Makanya banyak yang nge-fans sama gue. Ya, lo tahu sendirilah, sekalinya gue senyum, cewek-cewek langsung pada kelepek-kelepek," tukasnya bangga.
Saat matanya terbuka, Heksa langsung kebingungan mencari Pijar yang sudah tidak ada di sampingnya. "Lah, ngilang ke mana dia? Kapan perginya? Sialan, masih aja bikin gue merinding.
Heksa celingak-celinguk mencari keberadaan gadis itu. Ternyata Pijar sedang berdiskusi bersama sutradara dan kru lainnya sebelum syuting hari itu diakhiri. Entah sejak kapan Pijar ada di sana. Namun, yang jelas, sedikit demi sedikit Heksa mulai bisa beradaptasi dengan keistimewaan gadis itu.
"Gimana jadinya? Lo dipecat?" tanya Heksa antusias begitu Pijar menghampirinya lagi. Dia memang tidak suka Pijar bekerja, meskipun gadis itu membutuhkan uang gajinya.
Pijar menggeleng lemah. Wajahnya yang putih tampak semakin pucat karena kedinginan. "Ditunda, nggak tahu sampai kapan."
Heksa mencebik. Ia hendak mengeluarkan kunci mobilnya sebelum tatapannya tanpa sengaja tertuju ke wajah gadis itu. Mendadak ia tak tenang saat melihat bibir Pijar menggigil. Seketika Heksa mencari alibi yang masuk akal.
"Haish, panas banget, sih, di sini. Gue nggak biasa main-main ke tempat terbuka kayak gini," gerutu Heksa sembari melepas hoodie yang dikenakannya. "Gue kalau nongkrong, ya, di tempat mewah yang ber-AC. Sekalinya ke luar gini langsung keringetan, dah."
Tanpa menoleh ke belakang, ia melempar hoodie-nya begitu saja ke Pijar. "Kalau lo mau, pakai aja," ucapnya sembari melenggang ke tempat mobilnya terparkir.
Langkah Heksa berhenti. Setelah ditunggu beberapa saat, Pijar belum juga merespons.
"Astagfirullah!" Heksa terlompat begitu berbalik untuk menatap Pijar.
Hoodie yang dilempar Heksa tadi rupanya jatuh tepat di kepala gadis itu. Wajah Pijar jadi terhalangi hoodie milik Heksa yang sialnya berwarna putih.
Bayangkan saja bagaimana rupa Pijar dari ujung rambut sampai kaki; serbaputih. Apalagi kini wajah Pijar tak terlihat karena tenggelam di balik hoodie yang dilempar Heksa. Semakin seramlah gadis itu di mata Heksa.
"Kenapa belum dipakai, ha?" sembur Heksa sembari mengelus-elus dadanya sendiri. Malah dibuat nutupin muka. Dikira nggak serem apa, yak? umpatnya di dalam hati.
Pijar menarik turun hoodie Heksa hingga wajahnya kembali tampak. Gadis itu menunjukkan deretan giginya yang putih. "Heee, maaf bikin kaget."
Heksa berdecak sekali. Ia memberi kode pada Pijar agar segera mengikutinya masuk mobil. Walau tahu Pijar akan selalu menurutinya, tapi terlihat sedikit keraguan di wajah gadis itu saat keduanya sudah duduk berdampingan di dalam mobil.
"Lo takut dipecat?" tanya Heksa, mencoba menebak. "Udahlah santuy kayak di pantuy aja."
Pijar tidak menjawab. Matanya masih tertuju ke lokasi syuting meski roda-roda mobil yang dikemudikan Heksa mulai menjauh. Ia merasa jika mungkin saja syuting tetap berlangsung meski tanpa dirinya.
"Lagian nih, ya. Sutradara lo tu yang peak. Momen-momen kayak gini seharusnya bikin film religi, bukannya malah horor." Heksa yang tak biasa diam mulai mengoceh. "Nah, ntar jadi pemainnya gue. Gue ini kan kalem, saleh, juga religius. Pas banget, kan jadi pemeran utama film religi?"
Sudah jadi hal biasa bagi Pijar mendengar Heksa yang terus membangga-banggakan diri sendiri. Lumayan, jadi hiburan. Terkadang Pijar juga tidak paham dengan lawakan Heksa, tapi gadis itu masih tetap tersenyum. Sungguh pasangan yang unik.
***
Andre sedang berada di kamarnya yang besar, sibuk merakit action figure, ketika ada panggilan telepon dari Heksa."Kenapa, Sa? PR Matematika?" tebak Andre, jitu.
Bahkan, sebelum Heksa menjelaskan, lelaki itu sudah tahu. Andre sudah hafal dengan kelakuan sahabatnya.
"Wah, Ndre. Lo emang sahabat ter-ter-ter-the best! Peka banget, dah!" Heksa beringsut ke meja belajarnya, bersiap menyalin PR Andre.
"Lagian, lo dari tadi ke mana aja? Tadi diajak Willy video call-an ngerjain tugas nggak lo angkat-angkat."
Meski sambil menggerutu, Andre yang sedang merakit action figure tokoh-tokoh film X-Men akhirnya menunda aktivitasnya. Padahal nanggung, udah setengah jalan. Namun, ia sendiri tidak tega membayangkan Heksa dihukum Bu Mel lari keliling lapangan dan dijemur di bawah teriknya sinar matahari.
"Lagi ngebucin, laaa. Jomlo mana paham?" Mulut Heksa memang minta disentil.
Andre menanggapi santai. "Sekali lagi lo pamer, gue matiin teleponnya. Kompor melulu!"
Heksa meringis, lalu terkikik sendiri. "Cepet fotoin PR lo! Keburu subuh ini, Ndre!"
"Berisik lo kayak cewek lagi PMS," sembur Andre, akhirnya bisa ngegas juga. Ia tak tahan mendengar ocehan Heksa yang tak berjeda.
Lelaki itu beranjak dari meja belajarnya yang penuh dengan potongan action figure yang belum terpasang. Kemudian, melangkah menuju sofa mewah di sudut kamarnya untuk mengambil tas sekolah. Buku-buku pelajarannya besok pagi sudah tertata rapi di dalam tas. Berbeda dengan Heksa yang masih kelimpungan mencari sontekan PR, dan bahkan tak tahu apa jadwal mata pelajaran besok pagi selain Matematika.
"Ndre, lama amat, sih? Emang kamar lo seluas apa?" gerutu Heksa tak sabar. "Orang masih mewahan kamar gue."
Baru saja Andre hendak kembali ke meja belajarnya sebelum tanpa sengaja ia melihat secercah sinar dari tirai jendela kamarnya.
"Ndre! Woy!"
Suara Heksa terdengar tak jelas karena ponsel Andre yang dijepit di telinga posisinya sedikit bergeser.
Ragu-ragu Andre menyingkap tirai jendela bermotif tokoh-tokoh The Avengers yang menghalangi pandangannya. Sepasang mata bening cowok itu seketika membulat begitu mendapati mamanya ada di depan gerbang bersama seorang pria yang dikenalnya.
Kemarin Mama udah gue kasih tahu kalau dia bukan lelaki baik-baik, masih aja ngeyel jalan sama dia.
Tak tahan melihat pemandangan itu, Andre melempar ponselnya begitu saja ke atas ranjang dengan posisi telepon yang masih tersambung. Ia cepat-cepat berlari ke luar kamar. Lupa jika hidup dan mati Heksa di sekolah besok, sangat bergantung pada pertolongannya.
"Ndre! Ndre! Woy! Sialan ni bocah, malah ditinggal ngebo, ya? Woy! Dasar PHP lo!"
Ocehan Heksa menggema di kamar Andre yang lengang.
bersambung....
***
Yuk yuk gimana permulaan HBD 2?
Siapa yang gak sabar buat next part cung!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro