[When You Say You Love Me]
•Oktober 2003
Praya basah kuyup. Pakaian yang ia kenakan terasa lengket di kulit. Handuk yang tadi dipakainya untuk mengeringkan rambut, ia sampirkan di pundak. Sebenarnya ia canggung, karena hanya ada dirinya dan seorang lelaki di dalam apartemen ini.
"Kenapa kamu duduknya di bawah?"
Praya menoleh dan melihat Bagas sudah bersalin pakaian. Kekasihnya itu berjalan mendekat. Keningnya mengernyit melihat Praya yang duduk di lantai, bukannya di sofa.
"Aku takut bikin basah sofa kamu, Mas."
Bagas tersenyum, lalu ikut duduk di samping Praya. "Biarin aja basah. Lebih penting kamu daripada sofa ini."
Kata-kata Bagas itu membuat hati Praya menghangat.
"Makanya sekarang kamu lebih baik ganti baju," saran Bagas.
"Pakai baju kamu?"
"Mau nggak mau. Daripada kamu masuk angin." Bagas merapikan rambut yang menempel di dahi Praya. Tangan Bagas terasa hangat saat menyentuh pipi Praya yang dingin.
Beberapa saat mereka berdua hanya diam dan saling menatap. Sampai Bagas menarik tangan Praya agar bangkit berdiri dan mengikutinya ke kamar mandi.
"Sekalian mandi pakai air hangat, ya," tukas Bagas yang kemudian membiarkan Praya menikmati waktunya di kamar mandi. Pakaian ganti dan handuk sudah ada di atas kabinet wastafel.
Diam-diam Praya tersenyum mengingat kejadian beberapa saat lalu yang menimpa mereka berdua. Setelah melewati malam Minggu bersama Bagas, semestinya ia diantar pulang ke tempat kos. Namun hujan deras yang tiba-tiba turun di perjalanan membuat Bagas berinisiatif mengajak Praya ke apartemennya. Selain jarak yang lebih dekat, juga tidak memungkinkan bagi Bagas mengendarai sepeda motor lebih jauh lagi di tengah guyuran hujan.
Selesai mandi, Praya mematut diri di cermin. Sweater Bagas tampak kebesaran sekali di badannya. Celana training Bagas pun begitu longgar di pinggang Praya yang ramping. Mau bagaimana lagi, mengenakan pakaian Bagas terdengar lebih baik daripada ia harus kebasahan.
Sebelum keluar dari kamar mandi, ia menyempatkan diri untuk meneliti wajahnya. Ia merasa perlu memulas bibir dengan lipstick. Walau tanpa lipstick pun bibirnya itu sudah memerah alami. Praya selalu cantik tanpa makeup sekali pun. Kecantikan yang bahkan bisa sampai menarik laki-laki tampan seperti Bagas mendekat. Dan dua bulan lalu mereka berdua resmi menjalin hubungan.
Bagas membuatkannya segelas cokelat yang masih terasa cukup panas. Praya harus menyesapnya sedikit demi sedikit, sambil memperhatikan uap yang mengepul dari dalam gelas bergerak di udara. Membaur dan lenyap begitu saja.
Ia masih memegang gelas berisi cairan manis itu dengan erat. Permukaan gelas berbahan melamin yang hangat membuat ia betah berlama-lama untuk menyentuhnya. Mereka berdua duduk di atas sofa yang menghadap langsung ke arah pintu balkon. Melihat hujan yang masih betah turun dengan derasnya.
Praya melirik jam yang ada di dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Waktu yang cukup larut bagi Praya.
"Kenapa?" tanya Bagas yang sepertinya membaca kebingungan Praya.
"Kayaknya aku harus pulang sekarang, Mas," kata Praya.
Jam malam di tempat kosnya hanya sampai jam dua belas dan gerbang akan dikunci. Ia tidak mau harus membuat gaduh dengan memencet bel dan membangunkan ibu kosnya yang lumayan galak.
"Tapi masih hujan, Sayang."
"Aku bisa naik taksi."
Bagas menggeleng. "Aku nggak mau kamu sendirian pulang ke kosan. Nanti aku yang antar kamu pulang. Naik mobil aku aja. Tapi kita harus tunggu Adit balikin mobilnya dulu."
Praya akhirnya setuju saat Bagas menjanjikan kalau temannya itu akan datang mengembalikan mobilnya pukul sebelas.
"Kamu tinggal sendiri di sini?" tanya Praya sambil mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan apartemen Bagas yang terbilang rapi. Praya tidak menemukan letak benda yang salah atau pun sedikit ketidakrapian. Semua pas pada tempatnya. Bahkan terlalu sempurna untuk ukuran seorang laki-laki lajang.
"Tadinya berdua sama sepupu. Tapi setahun lalu dia sudah menikah. Jadinya aku sendirian sekarang," jelas Bagas lalu berkata lagi, "Baru kamu perempuan yang aku ajak masuk ke sini."
"Oh ya?" Praya tidak yakin.
"Kamu nggak percaya?"
"Mantan pacar kamu pasti pernah ke sini, kan, Mas? Nggak mungkin nggak." Praya terkekeh walau dalam hati ada rasa cemburu membayangkan wanita lain pernah hadir di sini. Namun jawaban Bagas cukup mengejutkan.
"Aku benar-benar nggak pernah ajak perempuan ke sini. Baru kamu aja."
"Terus kenapa aku boleh ke sini?"
"Karena menurut aku, kamu itu beda dari mereka. Baru kamu yang bisa bikin aku jatuh cinta setengah mati."
Kata-kata Bagas melambungkan hati Praya. Ia merasa tersanjung sekaligus gugup. Sehingga langsung meminum lagi cokelatnya dengan agak terburu-buru.
Tapi Bagas malah tertawa. Praya mengangkat alis, karena heran pada Bagas yang mendadak menertawainya.
"Memangnya ada yang lucu?" tanya Praya bingung.
"Di bibir kamu ada cokelatnya, Sayang," ujar Bagas sambil menunjuk bagian atas bibirnya sendiri.
Oh ...
Praya baru saja terpikir untuk mengelapnya dengan tisu. Namun tanpa aba-aba sama sekali, Bagas sudah mendaratkan bibirnya di bibir Praya.
Praya terpaku. Tak sempat lagi memprotes tindakan Bagas itu, karena ia sendiri menyukainya. Pipinya terasa panas. Perasaannya bercampur aduk. Malu, gugup, canggung, tapi juga terasa menyenangkan.
"Sudah bersih sekarang." Bagas tersenyum. Terlihat biasa saja. Namun mereka berdua sama-sama tahu kalau ada sesuatu yang kemudian menyelinap.
Praya teringat pada adegan romantis di film yang pernah ia tonton. Bukankah momen seperti ini yang kerap diimpikannya? Bersama lelaki yang ia cintai.
Tak ada yang berkata apa pun, hingga Bagas menarik tubuh Praya mendekat. Tangannya mengusap lembut pipi Praya yang sekarang bersemu merah. Tatapannya lekat pada sepasang mata indah yang balik menatap dalam diam di antara debaran jantung.
Bagas tidak tahan untuk membiarkan begitu saja bibir ranum milik Praya yang sempat disapanya tadi. Bagas ingin mencoba sekali lagi, atau bahkan berkali-kali mencecap bibir indah itu.
Praya tak berkutik saat Bagas mulai melumat kelopak bibirnya. Tanpa sadar tangannya pun merangkul leher Bagas. Menikmati luapan hasrat yang mereka berdua tumpahkan dalam ciuman panjang.
Napas mereka sedikit tersengal ketika melepaskan ciuman itu. Praya bisa merasakan deru napas Bagas yang sangat dekat.
"Aku cinta sama kamu, Praya," bisik Bagas yang kemudian menjelajah leher jenjang Praya.
Praya tak akan berbohong, ia juga menikmati itu. Namun begitu tangan Bagas menyelinap masuk ke dalam celananya, otak Praya seperti mengirim sinyal. Tanda kalau yang dilakukan Bagas sudah di luar batas.
"Berhenti, Mas," cegah Praya sambil menahan tangan Bagas.
"Kenapa?" Suara Bagas terdengar kecewa karena hasratnya harus tertahan.
"Aku takut," ucap Praya lirih.
"Kamu nggak perlu takut selama aku yang melakukannya, Sayang."
"Tapi aku belum pernah sejauh ini, Mas."
Bagas lantas mengangkat dagu Praya agar bisa menatap matanya secara langsung.
"Apa kamu nggak percaya sama aku?" tanya Bagas.
Praya kesulitan menjawab, karena dilanda bingung menyikapi situasi yang asing baginya.
"Aku hanya takut kalau nanti kamu ninggalin aku, Mas." Alasan Praya cukup masuk akal. Ia sudah banyak mendengar berita maupun cerita tentang wanita yang ditinggalkan pacarnya setelah berhubungan intim.
"Aku nggak akan ninggalin kamu. Kamu bisa pegang janji aku."
"Benar?" tanya Praya.
Bagas meraih jemari Praya dan mengecupnya. "Mana mungkin aku tega ninggalin kamu, Sayang?"
Kesungguhan Bagas berhasil mencairkan keraguan Praya.
"Aku cinta kamu, Praya."
Sekali lagi, kata-kata itu mampu membawa Praya terbang tinggi. Malam ini ia merasa bak ratu bagi Bagas. Melupakan segala aturan hidup. Melewati batasan yang pernah ia junjung. Dimentahkan oleh sebuah nafsu berselimut cinta.
Nyatanya cinta bisa begitu membutakan Praya.
Seseorang menekan bel apartemen Bagas berkali-kali. Cukup lama suara bel itu terdengar. Namun tidak mengganggu keduanya yang sudah telanjur berkubang dalam hasrat.
••♡••
Ingat ya kalau hujan bawa jas hujan atau payung 😁
Jangan gampang terbuai mulut laki-laki ya guys! Jaga diri kalian baik-baik ❤❤
Jangan lupa VOTE biar update cepat hehehe....
Terima kasih ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro