[tujuh--b]
Selepas acara, Bagas tidak langsung pulang ke rumah. Ia memilih menghabiskan waktu intimnya bersama Raisa. Ia langsung menciumi leher jenjang Raisa, sesaat setelah pintu apartemen kekasihnya itu tertutup. Satu sama lain saling melucuti pakaian dengan terburu-buru. Membiarkan pakaian mereka terjatuh ke lantai sambil berjalan ke arah kamar dengan bibir yang saling bertaut. Melumat dan menyecapi setiap rasa yang membangkitkan birahinya.
Pikiran Bagas berhasil terditraksi oleh keindahan yang tersaji di depan mata. Jejak berwarna kemerahan tercetak jelas pada leher dan tubuh Raisa. Bukti kalau Bagas terlalu bernafsu melahap kemolekan tubuh sang wanita.
Sambil tetap berpelukan, Raisa membuka laci nakas. Hendak mengambil alat kontrasepsi yang biasa Bagas pakai sebelum melakukan penetrasi. Namun, jemari wanita itu tidak mendapatkan apa yang dicarinya.
"Kamu bawa kondom?" tanya Raisa di sela napasnya yang memburu.
Bagas menggeleng dan meminta Raisa untuk tidak perlu repot memikirkan alat kontrasepsi itu lagi. Ia lalu menggiring Raisa untuk ikut duduk di tepi tempat tidur.
Kepala Bagas menengadah ke atas. Sedangkan Raisa bergerak perlahan di atas pangkuannya. Pinggul Raisa bermanuver sehingga lelaki tercintanya bisa merasakan kenikmatan yang melenakan. Wanita berkulit putih itu memegangi kepala Bagas agar pandangan mereka berdua terus terjaga. Kelekatan dari sebuah hubungan intim yang dipercaya oleh Raisa harus dilakukan dengan penuh perasaan.
Desahan halus yang dikeluarkan Raisa menambah gairah Bagas. Tangan lelaki itu mencengkram tubuh Raisa. Meraba bagian punggungnya yang telanjang. Hasratnya tinggal menunggu waktu untuk mencapai klimaks. Dan Raisa begitu pandai mengatur ritme gerakannya. Sehingga Bagas semakin terhanyut dalam buaian nikmat birahi.
Bagas menghirup dalam-dalam aroma tubuh Raisa yang mendekap kepalanya. Melesakkan hidungnya di antara kedua buah dada indah Raisa. Tubuh Bagas lalu bergetar, bersamaan dengan pelepasan yang sudah dicapainya.
"Terima kasih, Sayang," ucap Bagas tepat di depan wajah Raisa dan menciumnya.
Raisa kemudian beringsut turun dari pangkuan Bagas. Berjalan gontai ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Bagas merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Mengatur tempo napasnya yang tadi sempat berkejaran. Jarum jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam. Namun Bagas enggan untuk pulang ke rumah.
"Kapan kamu akan menceraikan dia?" tanya Raisa yang kini berbaring di sebelah Bagas. Dia menarik selimut hingga sebatas dada, untuk menutupi tubuh polosnya.
Bagas mengecup puncak kepala kekasihnya. "Sabar dulu, ya, Sayang."
"Tapi sampai kapan aku harus menunggu kamu?" Raisa memainkan jemari lentiknya di atas dada bidang Bagas. "Aku juga ingin punya kehidupan yang wajar bersama kamu, Mas."
Pada awalnya Raisa memang tidak terlalu menuntut suatu hubungan yang legal, tapi lambat laun keinginan untuk bisa memiliki secara utuh membuat wanita itu berharap Bagas segera menceraikan Praya. Namun, entah kenapa Bagas seperti masih mengulur waktu.
Bagas terdiam. Menceraikan Praya sebenarnya tidak semudah yang ia kira. Meskipun ia merasa tidak lagi mencintai Praya, tapi hati kecilnya selalu bimbang saat dihadapkan pada pilihan untuk bercerai.
Ia memang tidak menyukai Praya yang tidak sesempurna wanita lain. Namun, sebenarnya ia masih merindukan sosok Praya yang dulu. Bukan Praya yang seperti benda mati, kosong, dan tidak berjiwa.
Bagas marah, kecewa, serta muak dengan Praya yang tidak memiliki kesadaran pada orang-orang di sekelilingnya. Istrinya tidak memiliki kualitas yang bisa mengimbangi hidupnya. Maka Bagas pun mencari bagiannya yang hilang itu pada wanita lain.
Jujur, ia terkadang masih membutuhkan Praya. Tubuh Praya masih didambanya. Namun, kala tubuh mereka bersatu pun hanya rutukan dan makian yang bisa ia keluarkan. Ia membenci sekaligus merindukan Praya yang dulu.
"Jangan-jangan, kamu masih ada rasa sama dia?"
Pertanyaan Raisa tidak dijawab oleh Bagas. Lelaki itu langsung mengecup bibir ranum Raisa untuk membungkamnya. Gairahnya mulai bangkit lagi. Setidaknya bahasa tubuh bisa menutup pertanyaan itu.
•••
Praya menatap nanar pada apa yang baru saja dilakukannya. Pisau yang ia pegang menjadi alat untuk melampiaskan emosi yang bergejolak dalam dirinya. Tempat tidur yang terbiasa rapi, sekarang sudah tak memiliki bentuk yang bagus lagi. Sudah rusak oleh banyaknya torehan pisau, berbentuk garis-garis sobekan panjang yang ia buat dengan penuh amarah. Ia sengaja merusak tempat tidur itu. Benda yang membangkitkan rasa jijiknya, karena di tempat tidur itulah suaminya bercinta dengan wanita lain.
Praya jatuh terduduk dengan pisau yang masih dalam genggaman. Semua ini cukup menguras tenaganya. Ia merasa lelah secara fisik dan juga batin. Bagas sudah melewati batas dengan mengajak wanita lain masuk ke dalam rumah ini. Rumah yang seharusnya aman untuk keluarganya.
Ia baru menyadari jejak wanita lain ada di kamar, setelah ia bertanya tentang lipstick yang ditemukannya pada Salwa. Dan itu bukan milik Salwa. Selain bercak lipstick di cermin, Praya menemukan jejak pewarna bibir itu pada seprai yang sudah Bagas taruh di mesin cuci. Bahkan ia juga menemukan helaian rambut yang berbeda dengan miliknya di sana.
Membayangkan suaminya dengan wanita lain di kamar ini, telah memercik rasa muak dalam diri Praya. Namun, ia tidak akan tinggal diam saat batasan itu dilanggar oleh Bagas. Apalagi wanita itu sudah berani memasuki kehidupan anaknya.
Salwa sudah berterus terang tentang identitas 'tante' yang disebutnya. Praya kemudian menahan ponsel Salwa untuk mendapat petunjuk lainnya. Dan benar saja, pada ponsel Salwa ia menemukan beberapa foto kebersamaan remaja itu dengan orang yang menjadi duri dalam rumah tangganya. Yang tak lain adalah teman sekantor Bagas. Wanita yang beberapa waktu lalu juga pernah berjumpa dengannya di restoran.
Raisa.
Sakit rasanya melihat buah hatinya sendiri begitu akrab dan gembira bersama orang lain. Foto-foto di galeri ponsel Salwa menunjukkan dengan jelas senyum mereka. Praya iri pada Raisa yang bisa mengambil hati Salwa. Sedangkan ia harus berusaha keras menjadi ibu yang baik.
Ia sadar kalau memang tidak bisa menjadi ibu yang diharapkan. Banyak kekurangan dalam dirinya yang ternyata menjadi momok besar bagi Salwa. Namun, tetap saja hatinya merasa hancur sebagai seorang ibu ketika anaknya sendiri memilih orang lain, karena merasa malu menunjukkannya sebagai ibu.
Hanya untuk malam ini saja, Praya sengaja menitipkan Tara dan Salwa di rumah Aneta. Meski temannya itu bingung karena ia tidak mengungkapkan secara detail tentang masalahnya. Ia melakukannya karena sedang butuh privasi untuk berbicara dengan Bagas. Ia tidak mau Tara dan Salwa sampai bisa mendengar permasalahan orang tuanya.
Dalam diam dan keheningan di sekelilingnya, ia menunggu Bagas pulang. Pisau di tangannya masih digenggam erat. Ia berniat mengakhiri semuanya. Sungguh, ia tidak akan berpikir dua kali lagi.
•••♡•••
Mas Bagas cepat pulang, dong. Ditungguin sama Mbak Praya 😁
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Jangan lupa VOTE dan komentarnya, ya. Biar update lagi ❤❤
Terima kasih sudah membaca cerita ini ❤❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro