[tiga--a]
Suara dengung vacuum cleaner yang tadinya mengisi ruangan, mendadak berhenti. Praya menyudahi sesi bersih-bersih, untuk berlanjut mengerjakan tugas yang lain. Ia kemudian mengambil keranjang baju bersih dari ruang laundry dan membawanya ke ruang keluarga. Di sinilah ia biasa menyetrika pakaian, yang tidak akan bisa dilakukan kalau sedang ada Bagas di rumah.
Bagas tidak suka melihat ruang keluarga dipakai untuk kegiatan yang bukan pada tempatnya. Menurut Bagas, melihat Praya menyetrika di ruangan yang sama saat dia ingin bersantai hanya mengganggunya saja.
Sedangkan Praya harus rela bercucuran keringat bila harus menyetrika di ruang laundry. Kalau di ruang keluarga, ia bisa dengan nyaman menyetrika sambil menonton televisi. Pun sekarang ia menghamparkan alas setrika di atas karpet, menyalakan televisi, dan mulai membuat halus satu per satu pakaian.
Praya langsung menyentuh rambutnya begitu melihat iklan salah satu produk shampo. Ia iri melihat rambut si bintang iklan yang menjadi indah karena rajin memakai shampo.
Apa rambutnya juga akan seindah itu kalau ia tak lupa mencuci rambutnya?
Ia teringat keluhan Bagas tentang rambutnya yang bau. Bukannya karena tak ada waktu untuk sekadar berkeramas, tapi ia seolah sudah sengaja membentuk dirinya begitu. Ia sudah lama tak meluangkan waktu untuk diri sendiri.
Karena kehilangan ternyata telah banyak mengubah dirinya.
Kehilangan Lavi menjadi batas akhir di mana Praya sudah tidak lagi memedulikan kebahagiaan dirinya sendiri. Rasa bersalah itu selalu menyergapnya. Menghantui seperti penyakit yang terus mengikis rona suka cita pada dirinya. Menunggu sampai ia perlahan akan mati dalam kubangan rasa bersalah, karena menyebabkan anaknya sendiri meninggal.
Selama lima jam Lavi tertinggal di dalam mobil, dengan cuaca yang saat itu juga sedang panas-panasnya. Bisa dibayangkan, bayi berusia dua bulan tentu tidak bisa bertahan dengan paparan panas. Serangan hipertemia dan kondisi di dalam mobil yang sangat panas menyebabkan Lavi tidak bisa bertahan. Kulit bayi itu bahkan sampai melepuh.
Banyak caci maki serta hujatan yang ditujukan pada Praya. Menyebutnya ibu bodoh, ibu yang tak becus, ibu yang tak punya otak, yang disumpahi terbakar di neraka karena sudah tega membuat anaknya sendiri mati.
Praya ingin menjerit dengan semua cercaan itu. Bahwa bukan keinginannya kalau Lavi sampai meninggal. Ia juga terluka dan merasakan kesakitan yang tidak mereka lihat.
Namun Praya tak sanggup mengungkapkannya. Ia memilih diam karena sudah terlalu hancur untuk melakukan pembelaan. Percuma saja, Lavi tidak akan pernah kembali dalam pelukannya.
Stigma negatif itu menambah keterpurukan Praya. Apalagi tidak ada dukungan dari Bagas sebagai suami yang bisa membuat hati istrinya tenang. Bagas pun malah menyalahkannya. Sehingga label ibu terburuk yang terpatri dalam pikiran Praya terus abadi.
Praya berusaha keras---malah terlalu keras---memberikan yang terbaik bagi keluarganya. Praya sengaja tidak lagi memakai jasa asisten rumah tangga dan mengurus semuanya sendiri. Larut dalam rutinitas yang tiada habisnya. Memangkas waktu yang bisa ia lakukan untuk bersenang-senang. Ia sudah telanjur menikmati peran sebagai pendosa yang pantas dihukum.
Semenjak itu, Bagas semakin terang-terangan menunjukkan ketidaksukaannya pada Praya. Hal sepele saja bisa dibesar-besarkan oleh Bagas. Suaminya itu selalu bisa menemukan celah untuk membuat Praya terlihat salah. Bahkan terbawa sampai ke atas tempat tidur. Kata-kata kotor dan hinaan sering Bagas lontarkan di saat mereka berdua sedang bercinta.
Praya merasa dilecehkan, karena tercabik harga dirinya. Namun ia tak pernah melawan, apalagi memprotes. Pun ketika menemukan perselingkuhan Bagas dengan wanita lain, ia memilih untuk tetap diam. Menganggapnya sebagai bagian dari proses hukuman yang pantas diterimanya. Ia menerima itu semua, meski hatinya sakit.
Belum juga sampai setengah perjalanan Praya menyetrika, ketika suara bel rumahnya berbunyi. Ia lalu meletakkan alat pelicin pakaian itu dalam keadaan berdiri dan segera beranjak ke arah depan untuk mengetahui sosok tamunya. Ternyata tamu itu adalah temannya.
"Aku tadi udah telepon berkali-kali tapi nggak diangkat." Wanita itu langsung menghambur masuk tanpa merasa perlu menunggu dipersilakan lagi. Tangannya menjinjing dua buah kantong plastik. Masing-masing berisi kopi dan sekotak donat.
"Masa?" tanya Praya sambil menutup pintu lalu mengekori temannya itu yang sudah lebih dulu berjalan ke arah ruang keluarga. Praya bahkan lupa meletakkan ponselnya di mana.
"Iya. Aku tadinya mau tanya kamu mau aku bawain apa. Nggak diangkat-angkat ya udah, jadinya aku beliin kopi sama donat yang ada di depan kantor aja." Aneta meletakkannya di atas meja, kemudian duduk di sofa dan menggeleng-gelengkan kepala melihat keranjang yang terisi banyak pakaian untuk disetrika.
"Libur ngantor?" Praya kembali bertanya. Jam makan siang sudah lewat, tapi Aneta malah mendatangi rumahnya. Kebetulan kantor Aneta dan rumah Praya tidak seberapa jauh.
"Nggak. Sengaja ke sini. Di kantor juga lagi nggak ada yang urgent untuk cepat-cepat dikerjain, kok."
Aneta mengambil satu cup kopi dan menusuk bagian atas penutupnya dengan sedotan. Begitu pula dengan Praya, lalu duduk di sebelah Aneta. Ia bisa mencium aroma parfum yang dipakai temannya itu. Membuat hidungnya seperti sedang dimanjakan oleh wewangian yang menjadi favorit Aneta.
Kalau dibandingkan dirinya yang lusuh dan tak terawat ini, penampilan Aneta sungguh menyegarkan dan enak dipandang mata. Padahal usia mereka berdua sama-sama tiga puluh lima tahun. Namun perbedaan itu terlihat jelas. Antara yang terawat dan tidak terawat. Kadang Praya dilanda rasa rendah diri kalau sedang bersama Aneta yang cantik.
Mungkin kalau dulu ia tidak hamil di luar nikah, ia bisa tetap melanjutkan kuliah. Setelah lulus kemudian bekerja sebagai seorang desainer interior, sama seperti Aneta. Mungkin ia akan tetap cantik dan selalu berpenampilan modis. Mungkin banyak hal yang masih bisa dilakukan di usia mudanya. Mungkin pada akhirnya ia tak akan menikah dengan Bagas karena bertemu dengan pria lain. Mungkin tidak akan perlu ada kematian yang membuatnya tersiksa.
Banyak kemungkinan yang bisa saja terjadi kalau Praya tak melakukan satu kesalahan itu. Namun tentunya pelajaran hidup selalu datang tanpa pernah tahu akan menghampiri siapa.
"Tapi kamu nggak akan tiba-tiba jam segini datang ke sini, kalau nggak ada yang penting, kan, Net?" tebak Praya yang sudah menduga ada sesuatu yang akan disampaikan Aneta.
Aneta tak langsung menjawab. Wanita itu meletakkan kembali kopinya di atas meja, lalu melihat sahabat baiknya dengan pandangan prihatin, "Tadi waktu lagi makan siang di luar sama klien, aku lihat Bagas sama wanita lain."
Hati Praya tercubit. Bukan karena kecewa mendengar Bagas yang bersama wanita lain. Namun ada rasa malu karena lagi-lagi Aneta menemukan kepingan rusak dari rumah tangganya.
"Mungkin itu teman kantornya aja, Net. Nggak usah berpikir macam-macam."
"Teman kantor mana yang gandengan tangan, yang duduknya dekat-dekatan, terus pakai bisik-bisik segala?"
Praya menelan ludah. Tak bisa menyanggahnya.
"Bagas udah kelewatan, Ya. Bisa-bisanya kamu masih diam terus."
Praya mencoba tersenyum. "Tapi aku baik-baik aja."
Aneta menggeleng. Tak sependapat. "Aku tahu kamu sedang nggak baik-baik aja."
"Itu hanya selingan Mas Bagas aja. Jangan dianggap serius, Net."
"Selingan? Tapi tetap aja itu selingkuh namanya. Kamu seharusnya bisa marah sama dia." Aneta tampak gemas.
"Aku nggak bisa. Kamu tahu itu, Net."
Praya sudah pernah menjelaskan pada Aneta, kalau menjaga keluarganya tetap utuh adalah tujuan hidupnya sekarang. Ia tak peduli dengan perselingkuhan Bagas. Selama Bagas masih tetap berstatus suaminya, itu saja sudah cukup. Yang terpenting anak-anaknya punya keluarga utuh.
"Aku nggak akan tahan kalau jadi kamu."
Praya mengembangkan senyumnya. "Tapi aku bisa bertahan."
•••☆•••
Kalau kalian jadi Praya akan berbuat apa?
Nantikan terus kelanjutan ceritanya ya
Jangan lupa untuk beri Vote dan komentarnya ⭐
Terima kasih ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro