Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[sembilan--d]

Pijar merasakan nyeri yang luar biasa. Baru saja sebuah pukulan kembali dilesakkan ke tubuhnya. Pijar hanya bisa merutuk dalam hati atas keberingasan empat orang laki-laki yang tidak dikenalnya ini. Mereka secara bergantian memberinya pukulan dan juga tendangan bertubi-tubi. Ia bahkan tak mempunyai kesempatan sama sekali untuk melawan.

Rasa asin darah dari kelopak bibirnya yang pecah, membuat Pijar yakin kalau wajahnya pasti sudah tak berbentuk. Ia tidak bisa melakukan apa-apa selain terdiam sambil menahan sakit yang menghunjam. Meringkuk di lantai yang kotor, dengan kedua tangan terikat ke balik punggung.

Ruangan yang menjadi tempatnya disekap, merupakan salah satu bagian dari rumah yang sudah lama tidak dihuni. Langit-langitnya sudah hancur. Kayu-kayu dengan paku berkarat banyak berserakan. Ruangan itu tidak berjendela, dan hanya mengandalkan seberkas cahaya matahari yang keluar dari celah-celah lubang ventilasi.

Dalam pikiran Pijar berkeliaran segala kemungkinan atas maksud dari penculikannya ini. Ia merasa tak punya masalah, apalagi musuh. Hidupnya selalu berjalan sesuai jalur yang benar. Sehingga tidak mungkin membuat orang lain menyimpan dendam ataupun merasa harus repot-repot menyewa jasa preman untuk menyiksanya. Namun, jawaban atas hal yang terjadi padanya ini, Pijar temukan beberapa saat kemudian.

Suara serpihan genting yang terinjak menjadi tanda kalau ada orang lain yang sekarang telah bergabung. Langkah kaki bersepatu pantofel itu berhenti tepat di depan Pijar. Salah satu preman kemudian menarik paksa kerah kemeja Pijar, hingga ia sekarang terduduk dan dapat melihat dengan jelas orang yang baru saja datang.

Emosi Pijar terpercik begitu mengetahui dalang penculikannya. Ia tidak mengira kalau lelaki di hadapannya ini sampai berbuat sesuatu di luar batas perikemanusiaan. Seperti sudah menjadi keharusan, lelaki itu melihatnya dengan tatapan yang angkuh. Senyum lelaki itu menunjukkan kepuasan atas apa yang bisa dilakukannya.

"Masih bisa kamu bersikap kurang ajar sama saya?" tanya Bagas yang kemudian memerintahkan salah satu preman untuk mendongakkan kepala Pijar, agar bisa menatap langsung dirinya.

Dengan rahang dicengkram kuat oleh tangan si preman, Pijar menatap balik Bagas yang dipenuhi kebencian pada dirinya.

"Kamu sudah lancang memukul saya. Dan ini balasannya untuk orang yang nggak bisa sadar akan statusnya," geram Bagas seraya mendekatkan lagi wajahnya pada lelaki tanpa daya di hadapannya. Bagas puas melihat hasil tangan orang suruhannya pada wajah Pijar yang kini lebam.

"Baru tahu rasa kamu sekarang. Kalau berani menantang saya, kamu akan berakhir seperti ini. Seharusnya kamu tahu diri. Dasar anak pungut ka-"

Kalimat Bagas terputus. Pijar meludahkan air liurnya yang bercampur darah pada wajah Bagas. Hal itu langsung membuatnya dihadiahi tonjokan oleh preman yang memeganginya. Pijar merasakan darah kembali mengalir di dalam mulutnya. Mungkin ada giginya yang patah.

Bagas mengambil sapu tangan dari dalam saku celana, lalu membersihkan wajahnya. Meski kaget dengan tindakan spontan Pijar, Bagas tetap berusaha tenang. Lagi pula, dia merasa sudah menang dengan berhasil mengendalikan Pijar. Seperti tikus yang sebentar lagi akan mati tenggelam, Pijar tak bisa berkutik.

Bagas memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, membuang pandangannya ke arah lain dan berkata, "Kamu bisa-bisanya melarang saya mendekati Praya. Sok paling hebat dengan mengancam saya." Bagas terkekeh, lalu pandangannya kembali pada Pijar. "Padahal kamu bukan siapa-siapa. Kamu nggak berhak mengatur hidup Praya. Dia masih istri sah saya. Kamu harus ingat itu."

Kepala Pijar berdenyut hebat, akibat pukulan yang dilayangkan padanya. Namun, Pijar menunjukkan kekuatan yang masih tersisa dalam dirinya dengan mengatakan sesuatu yang menyulut emosi Bagas.

"Kamu nggak pantas berada di samping Praya .... Kamu ... hanya seorang pecundang ...," tukas Pijar dengan napas tersengal menahan sakit.

Perkataan Pijar tersebut memicu tamparan keras yang dilakukan langsung oleh Bagas. Kali ini membuat telinganya sampai berdenging. Pijar bisa melihat kemarahan merayap dalam diri Bagas. Ia lantas menyadari satu hal sekarang, kalau Bagas merasa terlalu sempurna untuk direndahkan. Lelaki itu ternyata tidak menyukai seseorang menghinanya.

Bagas menarik kerah kemeja Pijar mendekat ke arahnya, lalu memberinya peringatan dengan penuh kegeraman. "Kamu adalah keturunan sampah yang suatu saat nanti akan berakhir juga di dalam sampah. Saya jamin setelah ini kamu nggak akan bisa lagi hidup dengan nyaman. Karena saya akan membuat kamu paham apa itu artinya tahu diri!"

Bagas mengetatkan cengkramannya dan berkata lagi, "Kalau nanti Praya sadar dari komanya pun, dia nggak akan pernah lepas dari saya. Karena yang dia cinta hanya saya. Saya yang akan mengendalikan hidup dia, bukan kamu. Jadi jangan pernah kamu bermimpi bisa memiliki dia!"

Hati Pijar tiba-tiba seperti tersengat. Jauh lebih sakit daripada luka-luka yang ada di tubuhnya. Praya yang mencintai Bagas, menjadi ganjalan terbesarnya. Pijar ingin mempunyai kepercayaan diri besar kalau Praya tidak akan mau kembali lagi pada Bagas. Namun, penolakan yang dulu pernah diterimanya, kembali menghampiri ingatannya.

"Aku cinta sama Bagas."

Ketika mendengar kalimat itu keluar dari bibir Praya, Pijar akhirnya tahu kalau cinta yang ia miliki hanya menampar angin.

"Maaf, ya, Mas ...," ucap Praya yang tampak merasa tidak enak, karena telah mengatakan perasaannya pada Pijar.

Meski benaknya diliputi kekecewaan, tapi Pijar tetap berusaha tersenyum. Seolah penolakan Praya bukanlah masalah besar. Akan tetapi, kenyataan membuktikan sendiri kalau bertahun-tahun setelahnya, bayang-bayang Praya tidak pernah mau lepas. Seperti benang kusut yang menjerat setiap sudut pikirannya.

Lalu sekarang, apa dirinya harus memasrahkan Praya untuk tetap bersama Bagas?

Tentu tidak. Pijar tidak akan membiarkan Praya kembali lagi bersama Bagas. Ia akan tetap menjaga tekadnya untuk melindungi Praya, meski harus mengorbankan nyawanya sekalipun. Tiba-tiba Pijar menghantam Bagas dengan kepalanya sendiri dengan keras. Bagas yang tidak siap, langsung jatuh terduduk dan meringis kesakitan sambil memegangi dahinya yang baru saja beradu dengan kepala Pijar.

Dengan segenap kekuatan yang masih tersisa, Pijar menyerang Bagas. Walaupun kedua tangannya terikat, tapi tendangan yang ia lancarkan pada Bagas sudah cukup keras mengenai tubuh lelaki itu.

Sayangnya, serangan balik Pijar itu hanya terjadi beberapa detik saja, dan terhenti oleh sebuah hantaman keras, yang mengenai bagian belakang kepalanya. Salah seorang preman baru saja memukulnya dengan kayu.

Pijar terpaku. Bergeming dalam kesakitan. Darah mengalir melewati kelopak matanya yang terbuka. Hal terakhir yang diingatnya hanya tentang Praya. Setelah itu semuanya menggelap.

•••

Sepasang netra itu membuka setelah kelelapan yang dirinya sendiri tidak tahu berapa lama. Tidak ada suara-suara lagi yang berisik memenuhi pikirannya. Sekelilingnya hanya ada hening tanpa kegaduhan yang menyesakkan. Tidak terasa lagi kesakitan pada batinnya yang sebelumnya sering menjeritkan luka.

Secercah cahaya di depan menarik dirinya untuk mendekat. Cahaya putih yang begitu terang, tapi tidak menyilaukan mata. Cahaya tersebut seakan sebuah tempat berpulang yang hendak mengajaknya untuk beristirahat dalam damai.

Praya menyusuri jalan tak bertepi. Langkahnya tak menjejak apa pun, tapi ia dapat merasakan kelembutan menggelitik telapak kakinya yang tanpa alas. Seolah ada permadani tak kasat mata yang terbentang. Sekelilingnya hanya dilingkupi cahaya. Sampai kemudian ia menemukan sebuah pintu berwarna putih. Ia terlalu penasaran untuk melewatkan pintu itu begitu saja. Namun, sesuatu di balik pintu tersebut ternyata membuatnya kembali merasakan kerinduan mendalam yang sekian lama ia simpan.

Praya melihat seorang anak perempuan di sana. Anak perempuan itu sedang duduk di sebuah kursi berlapis kain putih, yang mengeluarkan pendar cahaya berwarna-warni. Rambutnya tergerai indah sepanjang bahu. Berkilauan, seperti ada kerlip bintang kecil yang sengaja diletakkan di antara helaiannya. Anak perempuan itu menoleh, kemudian tersenyum pada Praya.

Suka cita dalam hati Praya seakan membuncah. Praya tak mungkin salah mengira kalau itu adalah putrinya yang sepuluh tahun lalu tiada. Bayi mungilnya telah bertumbuh menjadi anak perempuan yang sangat cantik.

Lavi ...

Ia mendengar nama itu dibisikkan. Bagai echo yang disebut berulang-ulang.

Tanpa menunggu lagi, Praya segera menghambur memeluk anak perempuan itu. Menuntaskan kerinduannya pada sang putri.

"Bunda jangan menangis," ujar Lavi seraya mengusap air mata yang mengalir di pipi Praya.

Praya kemudian tersenyum, meski air matanya masih terus saja mengalir.

"Bunda bahagia bertemu kamu, Nak." Praya mengusap lembut rambut Lavi. Menatapnya dengan penuh cinta dan kasih sayang.

"Aku juga bahagia bertemu Bunda. Tapi aku akan lebih bahagia kalau Bunda juga berhenti bersedih."

"Maafin Bunda, Nak. Bunda belum bisa menjadi ibu yang baik buat kamu."

Lavi tersenyum. "Bunda adalah ibu yang baik. Aku bersyukur dilahirkan sama Bunda. Aku sudah bahagia di sini bersama Tuhan. Jadi Bunda juga harus hidup dengan penuh kebahagiaan."

Praya menatap Lavi dengan haru serta kekaguman. Malaikat kecilnya serupa orang bijak. Menghantarkan hangat ke dalam relung hatinya.

"Bunda harus pulang. Belum waktunya Bunda ada di sini," ujar Lavi yang kemudian bangkit dan menunjuk ke arah lain. "Bunda lihat di sana, aku juga nggak sendirian."

Praya mengikuti arah telunjuk Lavi dan tak menyangka melihat sosok lelaki yang juga disayanginya tengah berdiri di sana. Melihat ke arahnya dengan senyum bahagia. Lavi kemudian berjalan bergandengan dengan lelaki itu. Menuju cahaya yang tidak bisa dijangkau oleh Praya.

Kemudian semua tertutup kabut. Menghempaskan Praya pada sisi lain dunianya.

Antara hidup dan mati, ada batas tipis yang membuat keduanya berbeda. Hidup dengan penuh rasa syukur akan bahagia atau mati dengan membawa kepercayaan kalau ada sukacita setelah napas terhenti.

Kelopak mata Praya terbuka. Ia telah kembali.

•••☆•••

Jangan lupa like setiap part-nya dan follow akun ini

Bagaimana nasib Pijar?

Apa yang akan terjadi pada Bagas?

Tunggu kelanjutannya ya ....

Jangan lupa VOTE dan komentarnya ❤


Follow Instagram saya @a.w_tyaswuri

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro