[sembilan--a]
Pijar terduduk lemas pada kursi tunggu di luar ruang operasi. Kepalanya tertunduk dengan jemari yang meremas kuat rambutnya. Seakan hal itu dapat menekan rasa frustasi, karena baru saja menghadapi peristiwa yang sangat memilukan hatinya.
Penampilannya sudah tidak karuan. Kemejanya telah kotor dengan bercak darah yang menempel. Pijar merasa tidak tahu lagi harus berbuat apa, selain menunggu kabar dari dokter dan paramedis yang menangani Praya di dalam ruang operasi.
Bukan hanya patah tulang di tangan dan kaki saja, Praya juga mengalami patah tulang rusuk yang mengenai livernya. Menyebabkan terjadinya pendarahan organ bagian dalam. Alhasil, satu-satunya jalan adalah dengan segera membawa Praya ke meja operasi, karena telat sedikit saja bisa berakibat fatal bagi nyawanya.
Masih membekas dalam ingatan Pijar, kala memeluk tubuh Praya, dengan kepala bersimbah darah akibat terbentur aspal jalan raya. Beruntung, Praya terhindar dari risiko terlindas kendaraan lain yang melintas. Meski begitu, wanita itu sudah tak bergerak sama sekali. Membuat Pijar terkurung dalam rasa takut kehilangan yang luar biasa.
Menit demi menit yang terlewati begitu membebani Pijar dengan rasa bersalah. Seharusnya ia bisa mencegah Praya mengikuti Bagas. Sehingga tidak akan ada kejadian malang seperti ini. Pijar benar-benar menyesal sekaligus marah dengan ketidakmampuannya melindungi Praya.
Pijar tidak sanggup lagi melihat Bagas yang duduk berseberangan dengannya, tanpa ada keinginan untuk menghajar habis-habisan lelaki berengsek itu. Pijar ingin sekali melayangkan pukulan bertubi-tubi pada orang yang telah membuat hidup Praya menderita.
Namun, Pijar sudah terlalu lelah membuang tenaganya hanya untuk memukul Bagas. Pikirannya sekarang hanya tertuju pada keselamatan Praya. Di dalam hati, Pijar tak putus memohon pada Tuhan agar menolong wanita yang dicintainya. Meminta kuasa Tuhan memberi kesempataan pada Praya untuk hidup dalam kebahagiaan.
Pijar langsung beranjak dari duduknya saat pintu ruang operasi terbuka, begitupun dengan Bagas. Dua orang paramedis mendorong keluar brankar, di mana tubuh Praya tergolek tak sadarkan diri. Praya selanjutnya akan dibawa ke ruang ICU untuk menjalani perawatan secara intensif.
Dokter spesialis yang menangani Praya memberitahu kalau operasi berjalan lancar tanpa kendala. Dokter belum bisa menjamin mengenai waktu Praya bisa sadar kembali. Dikarenakan cidera pada kepala yang dialaminya, menyebabkan risiko Praya harus melewati kedaan koma menjadi lebih besar.
Pijar mendesah keras. Mencoba membuang kegelisahannya, tapi ia sendiri tahu kalau terlalu sulit untuk bersikap tenang saat ini. Ia melihat Bagas berjalan menuju ruang ICU. Tanpa pikir panjang lagi, ia mengejar Bagas dan menarik dengan kasar pundaknya.
"Jangan pernah kamu menemui Praya lagi," tandas Pijar yang bertekad untuk tidak membiarkan Bagas bisa berdekatan dengan Praya.
Tidak ada tanggapan dari Bagas. Keangkuhan telah menguap dari raut wajahnya yang tetap datar saat menatap balik Pijar.
"Sudah puas kamu membuat Praya menderita? Dan sekarang untuk kedua kalinya, dia hampir mati gara-gara kamu." Kalimat Pijar penuh penekanan. Gejolak emosi di dalam dirinya sedang ia tahan dengan mengepal kedua tangannya sekuat mungkin.
Karena Bagas tidak juga berkomentar, Pijar pun memberi lelaki itu sebuah peringatan keras.
"Lebih baik sekarang kamu pergi dari sini. Jauh-jauh dari hidup Praya. Jangan sampai saya melihat kamu mendekati Praya lagi," tegas Pijar lalu melanjutkan, "Saya nggak sedang main-main, Gas. Saya yang akan melindungi Praya dari kamu."
Selesai mengatakan itu, Pijar berjalan menjauhi Bagas menuju ruang ICU. Sedangkan Bagas sudah merasa tak memiliki nyali untuk sekadar bersuara.
•••
Remaja lelaki itu memandang dengan sedih tubuh sang ibu yang terbaring di hadapannya. Matanya terpejam, layaknya orang yang tengah tertidur pulas. Namun, siapapun tahu kalau ibunya tidak sedang tertidur.
Tara tak kuasa menahan air mata, yang tiba-tiba mengalir tanpa aba-aba. Belum pernah ia merasa sesedih ini. Kondisi ibunya sungguh memprihatinkan. Wajah Praya lebam dan bengkak. Pada mulutnya terpasang ventilator yang membantu untuk bernapas, juga cervical collar agar lehernya bisa tersangga dengan baik.
Ia berharap ini hanya bagian dari mimpi buruk. Sayangnya, kenyataan terlalu meyakinkan untuk tidak membuat semua ini berbentuk ilusi semata.
Tara mengusap punggung tangan Praya, lalu berkata pelan, "Bunda harus cepat bangun dan sehat lagi."
Tara menarik napasnya yang terasa berat. Air matanya malah keluar lagi.
"Aku tahu selama ini Bunda banyak menderita. Tapi aku nggak bisa berbuat apa-apa untuk menolong Bunda," tutur Tara sambil menyeka air matanya yang sudah semakin banyak. "Maafin aku, Bun ... aku nggak bisa melindungi Bunda dengan baik .... aku ...."
Suara Tara mendadak tercekat oleh isak tangis yang tidak bisa dibendungnya. Tara terlalu sedih, sekaligus kecewa dengan banyak hal yang harus dialami Praya sendirian. Tara merasa tidak berguna sebagai anak.
Tara tidak akan pernah memaafkan ayahnya atas kemalangan yang menimpa ibunya. Bagas bertanggung jawab dengan segala hal sedih yang selalu mewarnai hari-hari Praya. Sudah sejak lama remaja itu tahu kalau hubungan kedua orang tuanya tidak dalam keadaan baik. Apalagi ia pernah memergoki Bagas bersama wanita lain.
Hal tersebut sudah cukup menjadi alasan bagi Tara untuk tidak menyukai Bagas. Ia juga yakin kalau ibunya pasti sudah lebih dulu mengetahui perselingkuhan ayahnya. Tara takjub dengan sikap Praya yang masih bisa bertahan menghadapi kecurangan itu.
"Aku janji sama Bunda, aku akan membahagiakan Bunda apa pun caranya. Aku nggak akan lagi membiarkan Bunda merasa sedih atau sakit. Bunda harus hidup dengan bahagia."
Segala ucapannya hanya ditemani suara dari layar monitor yang menunjukkan grafik detak jantung. Penanda kalau Praya masih hidup.
"Jangan tinggalkan kami, Bunda," pungkas Tara sebelum mengakhiri waktu berkunjungnya.
Tara keluar dari ruang ICU dengan langkah gontai. Ia melepas masker, tapi belum melepas pakaian protektif berwarna hijau yang wajib digunakan para pembesuk saat memasuki ruang ICU.
Ia duduk di sebelah Salwa. Adik perempuannya itu menunduk. Dalam genggaman Salwa ada gumpalan tisu yang diremasnya sejak tadi.
"Gimana keadaan Bunda?" tanya Salwa yang belum mau mengangkat kepalanya.
"Kamu bisa lihat sendiri di dalam sana, Sal," jawab Tara. Ia menyandarkan punggungnya ke kursi dan memejamkan mata untuk beberapa saat.
Namun, isakan yang terdengar membuat Tara kembali membuka mata. Ia menoleh, mendapati Salwa sedang mengusap air matanya.
"Aku merasa bersalah sama Bunda, Kak," isak Salwa yang perlahan membuka beban kesalahannya. "Aku nggak tahu kalau Tante Raisa itu pacarnya Ayah ... aku kira dia cuma temannya Ayah aja. Aku benar-benar nggak tahu ...."
Nilai Bagas di mata Tara semakin merosot tajam. Ia merasa ini bukan salah adiknya. Ayahnya adalah sosok yang berperan besar mengakibatkan masalah ini terjadi.
"Bunda pasti nggak akan mau maafin aku, Kak .... Gara-gara aku, Bunda jadi begini ...."
Rasa bersalah yang diungkap Salwa membuat Tara iba. Polemik pribadi kedua orang tuanya sampai harus menyeret juga peran adiknya. Ia lantas meraih bahu Salwa. Merangkulnya dengan sayang.
"Ini bukan salah kamu. Bunda juga nggak mungkin marah sama kamu, Sal. Sebelum kamu meminta maaf, pasti Bunda udah maafin kamu."
Tangis Salwa pecah. Dia hanya bisa bersandar pada Tara yang dengan sabar mencoba memberinya ketenangan.
•••☆•••
Maafin Salwa ya .... ❤
Jangan lupa like setiap part-nya dan follow akun ini
Jangan lupa VOTE dan komentarnya ya ❤❤
Terima kasih sudah membaca cerita ini ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro