[satu--b]
Mobil yang dikendarai Praya baru saja keluar dari keruwetan perempatan jalan raya yang sudah biasa terjadi. Yang memakan waktu hampir lima belas menit lamanya hanya untuk melewati jarak kurang dari seratus meter.
Mengantar jemput Salwa ke sekolah sudah menjadi rutinitas Praya sehari-hari. Sedangkan Tara lebih sering menggunakan angkutan umum. Padahal Praya berharap lebih baik Tara ikut dengan mobilnya. Mengingat kebiasaan membolos Tara yang mulai akut sejak remaja itu masuk SMA.
Berkebalikan dengan Salwa yang tidak pernah mau membiasakan diri untuk lebih mandiri seperti kakaknya. Gadis itu tidak suka berdesak-desakan dengan orang lain dan memilih kenyamanan di dalam mobil yang tidak akan membuatnya kegerahan.
Salwa duduk manis di sebelah Praya. Telinganya disumbat oleh earphone, yang memperdengarkan lagu-lagu kesukaannya sepanjang perjalanan. Gadis itu sesekali mengikuti lagu dengan menggumamkan beberapa bait lirik.
... Eomeo eomeo eomeo hwaljjak unneun neol bwa
Neomu neomu neomu kkamjjak nollajin ma
Geuge baro neoya
Jumuneul weneun sungan nugudeun haengbokaejeo ...
Praya tak mengerti makna lagu yang dinyanyikan Salwa. Bahasa korea terlalu rumit bagi telinganya. Ia juga bukan penonton setia drama korea, tapi ada beberapa aktor dan aktris korea yang bisa ia ingat. Seperti Song Hye Kyo dan Won Bin yang bermain di drama lawas Endless Love. Drama yang pernah ditontonnya saat ia masih SMA. Namun ia tidak tahu nama pemeran tokoh utama laki-lakinya, karena mungkin agak susah baginya untuk mengingat nama Song Seung Heon.
Salwa pernah mengeluh padanya, karena tidak bisa menjadi ibu yang up to date dengan perkembangan zaman. Salwa lalu mengambil contoh ibu dari Kiara. Teman akrab anaknya itu mempunyai ibu yang selalu modis dan bisa diajak berbincang tentang hal apa pun, bahkan sama-sama menggandrungi K-Pop.
Hal itu membuat Praya merasa kerdil, karena tidak bisa seasyik dan semenarik ibunya Kiara. Ungkapan kekecewaan Salwa menunjukkan dengan jelas ketidakmampuan Praya pada beberapa hal yang menurut anaknya itu adalah sesuatu yang penting.
Terkadang Praya berpikir tidak bisa berperan sebagai ibu yang baik bagi anak-anaknya. Tidak bisa menjadi sosok sempurna seperti ibu lainnya. Namun, ia sebenarnya selalu berusaha melakukan yang terbaik bagi anak-anaknya. Meski itu dalam bentuk yang berbeda, karena Praya tidak mau kegagalannya terdahulu terulang kembali.
Bangunan sekolah Salwa sudah terlihat, yang merupakan salah satu sekolah swasta ternama di Jakarta. Mobil Praya kemudian berbelok memotong jalan pada sebuah tikungan dan berhenti tepat di depan gerbang sekolah yang cukup tinggi. Dari gerbangnya saja sudah menunjukan tingkatan strata sosial siswa yang bisa menuntut ilmu di sekolah itu.
Terlihat beberapa orang siswa juga keluar dari mobil dan sebagian siswa lain mengendarai sendiri sepeda motornya. Namun, Salwa yang baru saja akan membuka pintu mobil langsung ditahan oleh Praya.
"Keluarin itu dari tas kamu," perintah Praya.
"Keluarin apa?" Salwa tampak bingung dengan kata-kata ibunya.
Praya lalu menunjuk ke arah bagian kantong tas terdepan yang terlihat menggembung. Resletingnya terbuka sebagian, sehingga menampakkan benda yang disimpan Salwa di sana. Salwa memutar kedua bola matanya begitu tahu yang dimaksud.
Dengan malas Salwa mengeluarkannya. Sebuah eyeshadow pallete bermerek yang harganya tidaklah murah.
"Bunda mau kamu keluarin semuanya."
Lagi-lagi kedua bola mata Salwa berputar. Praya sebenarnya tidak terlalu suka kalau Salwa selalu bersikap seperti itu dengan matanya. Ia merasa seolah Salwa sedang meremehkan dirinya.
"Keluarin sekarang juga." Kali ini suara Praya jauh lebih tegas. Menuntut Salwa menuruti perintahnya.
Selanjutnya ada lip tint, liquid lipstick, eye liner, maskara, foundation, sampai beauty blender. Praya memperhatikan hasil tangkap tangannya itu dengan pandangan tak percaya. Remaja kelas delapan bisa membawa benda ini ke sekolah.
"Kamu mau apa dengan membawa semua ini ke sekolah, Sal?"
"Biasa aja kali, Bun. Teman-teman aku yang lain juga pada bawa, kok." Salwa sedikit mengibaskan helaian rambut panjangnya, lalu melipat kedua tangan di depan dada tanpa mau melihat ke arah Praya.
"Tugas kamu di sekolah itu belajar. Yang dibawa peralatan sekolah. Bukan peralatan makeup. Ini Bunda sita semuanya. Kamu nggak boleh bawa ini lagi ke sekolah."
"Bunda nggak bisa gitu sama aku. Itu punya aku, kan, Bun ...."
"Tapi ini bukan benda yang pantas kamu bawa ke sekolah Salwa. Ini terlalu berlebihan. Sekarang Bunda tanya, untuk apa kamu bawa alat-alat makeup segala ke sekolah? Pasti buat dandan, kan? Salwa kamu itu masih belum waktunya dandan berlebihan."
"Tapi Kiara aja boleh, tuh, bawa makeup ke sekolah sama mamanya. Malah mamanya sendiri yang beliin Kiara." Salwa menatap langsung mata Praya. "Kenapa, sih, Bunda nggak bisa seperti mamanya Kiara?"
Hati Praya seperti dicubit kalau Salwa sudah membandingkannya dengan orang lain. Salwa sepertinya sudah menjadikan ibunya Kiara panutan. Ia berpikir sebentar sebelum memberikan penjelasan yang sekiranya bisa dimengerti Salwa.
"Bunda nggak mau kamu membandingkan sesuatu yang sebenarnya kurang tepat. Sebaik apa pun mamanya Kiara, tapi membawa alat-alat makeup ke sekolah pasti nggak termasuk dalam kegiatan yang udah ditentukan sekolah bukan?"
Salwa terdiam. Tak mau melihatnya.
Praya kemudian melanjutkan lagi ucapannya, "Bunda yakin kalau sekolah kamu juga pasti nggak memperbolehkan siswanya untuk membawa makeup seperti ini. Kalau perlu Bunda tanya langsung aja sekarang sama pihak sekolah, apa boleh kamu membawa makeup ke sekolah. Kalau boleh, Bunda akan kembalikan ini semua ke kamu."
Tepat setelah Praya mengakhiri kalimatnya, Salwa langsung membuka pintu mobil seraya berkata cepat, "Terserah Bunda aja."
Salwa berjalan menjauhi mobil dan membaur bersama siswa lainnya memasuki gerbang sekolah. Sampai kemudian menghilang dari pandangan Praya.
Praya melepas kacamata, lalu mengusap lensa dengan ujung kaosnya. Ia selalu berpikir kalau ada bagian Bagas selain kemiripan wajah, yang juga diturunkan pada Salwa. Perfeksionis, angkuh, dan bisa dibilang egois. Putrinya itu seperti versi lain dari Bagas.
Meski begitu, Salwa adalah anak yang pandai. Prestasinya di sekolah tak perlu diragukan. Selalu menjadi langganan tiga besar sejak masih di sekolah dasar. Mungkin itu juga yang menyebabkan Bagas menjadi terlalu memanjakan Salwa. Putrinya itu hampir tidak pernah mendapat penolakan.
Dengan uang saku berlimpah yang diberikan Bagas, membuat Salwa mudah membeli sesuatu yang diinginkannya. Termasuk membeli pernak pernik makeup bermerek terkenal yang harganya tidak bisa dibilang murah.
Mobilnya lalu bergerak menuju sekolah Tara. Jaraknya tak seberapa jauh dengan sekolah Salwa. Sekolah mereka berdua memang berbeda. Di sekolah Salwa, selain biaya yang relatif mahal, pun hanya siswa yang memiliki nilai akademis terbaik saja yang bisa mendaftar ke sana.
Lain halnya dengan Tara yang tidak memiliki nilai-nilai pelajaran sebagus adiknya. Bahkan kadang terdapat warna merah yang menghiasi rapornya. Sehingga tak memungkinkan bagi Tara untuk bisa seperti Salwa. Bagas sangat menyesalkan hal itu. Bahkan sempat beberapa kali menyalahkan Tara yang tidak mau berusaha seperti sang adik.
Selain kerap membolos sekolah, Tara sering mangkir dari jam tambahan yang sudah dijadwalkan oleh guru les privat-nya. Yang mengikis habis kesabaran Bagas menghadapi Tara.
Puncaknya waktu Bagas mendapat surat panggilan dari sekolah tentang kelakuan Tara yang berkelahi dengan kakak kelasnya. Setelah ditelusuri ternyata kakak kelasnya yang terlebih dulu memancing Tara untuk berkelahi.
Gara-gara ada temannya yang sedang dirundung oleh mereka, membuat Tara tidak bisa tinggal diam. Kesalahannya adalah karena Tara membuat wajah kakak kelasnya itu babak belur. Sedangkan Tara tidak terluka sama sekali.
Praya bisa mengerti, meskipun ia juga tidak membenarkan tindakan Tara memukul kakak kelasnya. Namun, tidak dengan Bagas yang begitu marah. Suaminya itu sudah melabeli Tara bukan kategori anak yang bisa dibanggakan.
Praya segera menelepon, begitu mobilnya sudah sampai di sekolah Tara.
"Kamu di mana?" Praya langsung bertanya.
"Di sekolah," jawab Tara yang terdengar meyakinkan. Praya butuh kepastian. Ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri.
"Kalau kamu memang di sekolah, Bunda mau lihat kamu sekarang."
"Bunda di sekolah?"
"Iya, mobil Bunda ada di dekat lapak buah."
"Bunda nggak percaya aku sekolah?"
"Nggak. Makanya kamu jangan pernah lagi keluar rumah lewat jendela, kalau nggak mau Bunda berpikir kamu sedang ada niat untuk bolos sekolah."
Kekhawatiran Praya cukup beralasan. Mengingat terakhir kali Tara keluar rumah lewat jendela kamar, Bagas memergokinya sedang nongkrong di jalanan bersama orang-orang yang bukan dari sekolahnya. Membuat Bagas begitu marah dengan kelakuan Tara.
Tak berapa lama sosok remaja bertubuh tinggi muncul dari balik gerbang sekolahnya yang sudah ditutup. Tara melambaikan tangan, membuktikan kehadirannya di sekolah. Ternyata memang benar anaknya masuk sekolah.
"Bunda salah waktu, kalau mau periksa aku di sekolah jangan sekarang. Padahal aku baru mau niat bolosnya itu besok," canda Tara yang membuat senyum Praya otomatis mengembang.
"Jangan aneh-aneh, ya. Belajar yang rajin," ujar Praya sebelum mengakhiri sambungan telepon dan disambut acungan jempol Tara dari balik teralis gerbang sekolah.
Bagas selalu berkata kalau Tara adalah anak yang sulit diatur. Namun Praya tahu kalau putranya itu tidaklah seburuk perkiraan suaminya.
Baru saja Praya bersiap melajukan mobil, tiba-tiba ada yang menarik perhatiannya. Tepat di depannya ada seorang wanita keluar dari dalam mobil, yang kemudian diikuti juga oleh dua orang anak usia balita. Wanita itu tampak kerepotan, karena selain harus mengatur dua anak yang tak bisa diam, dia juga sedang menggendong bayinya.
Raut wajah wanita itu kelelahan. Sama seperti dirinya dulu.
Dada Praya menjadi sesak. Ia seperti dilempar kembali pada sebuah peristiwa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Di mana ada satu kejadian tragis yang telah mengubah dirinya.
••☆••
Kira-kira apa yang terjadi pada Praya sepuluh tahun yang lalu?
Jangan lupa untuk beri VOTE dan komentarnya ya ⭐
Terima kasih ❤
Bagi yang mau tahu ceritanya Tara, bisa dibaca di Listen to Your Heart.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro