Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[satu--a]

"Bunda!" Teriakan dari salah satu kamar di lantai atas memecah kesunyian pagi.

Praya yang sejak beberapa menit lalu hanya terdiam di tempat, seolah dipaksa untuk secepatnya bergerak ke sumber suara. Seperti ada sensor pada tubuhnya yang secara otomatis menggerakkannya, begitu penghuni rumah ini sedang membutuhkan sesuatu.

Sebelum keluar kamar, wanita berkacamata minus itu menarik napas terlebih dulu dan menyingkirkan masalah telepon mesra Bagas dari kepalanya. Ada hal lain yang lebih penting, daripada harus memikirkan sesuatu yang sudah berulang kali dilakukan oleh Bagas.

"Bunda!"

Sekali lagi, teriakan anak keduanya itu terdengar memanggil. Praya segera menaiki tangga dengan cepat dan langsung memasuki kamar, yang pada pintunya tergantung huruf-huruf membentuk sebuah nama berhias boneka teddy bear mungil.

"Seharusnya, kamu nggak perlu sampai berteriak kalau mau panggil Bunda," ujar Praya yang melihat Salwa sedang membongkar isi laci lemari pakaiannya.

Salwa terlihat tak acuh pada anjuran Praya. Remaja perempuan berusia tiga belas tahun itu malah mengacungkan sehelai kaos kaki miliknya.

"Kaos kakiku yang ini, sebelahnya lagi nggak ada," sungut Salwa.

"Sudah kamu teliti lagi di dalam laci?"

"Kalau memang ada di laci, aku nggak mungkin panggil Bunda." Salwa memutar kedua bola matanya sebagai tanda kalau Praya semestinya tak menanyakan sesuatu yang sudah jelas.

"Kalau begitu, kamu bisa pakai kaos kaki yang lain," kata Praya yang sekadar berharap kali ini sarannya didengar. Walau ia tahu kalau Salwa sangat teratur dalam pemakaian kaos kaki, yang sudah ditentukannya sendiri berdasarkan hari.

"Aku nggak mau kalau hari ini nggak pakai kaos kaki itu. Titik."

Praya mengembuskan napas perlahan dan berpikir kalau drama pagi hari ini akan segera dimulai dengan keribetan masalah kaos kaki.

Praya kemudian turun ke ruang laundry, untuk memeriksa keranjang pakaian yang sudah dicuci. Mungkin saja kaos kaki itu terselip di sana. Namun, Praya tak menemukannya. Ia lalu menunda pencarian kaos kaki Salwa, begitu ingat harus membuat kopi untuk Bagas

Bagas baru saja keluar dari kamar mandi ketika Praya masuk ke kamar sambil membawa secangkir kopi. Bagas yang masih bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk yang terbelit di pinggang, langsung menyesap kopi diikuti pandangan mata Praya.

Suaminya tetap terlihat menarik, meski usianya sudah menginjak tiga puluh delapan tahun. Badannya masih seatletis dulu, karena Bagas selalu rajin berolahraga. Ketampanan Bagas telah berhasil memikatnya. Membuat Praya jatuh cinta pada lelaki yang tak pernah disangkanya akan berubah di kemudian hari. Bagas yang sekarang, bukan lagi laki-laki penuh cinta yang memuja Praya.

"Ada apa?" Bagas mengangkat alis. Heran dengan Praya yang memperhatikannya.

"Nggak ada apa-apa." Praya mengedikkan pundak. Bersikap sebiasa mungkin.

Tanpa disangka, Bagas mendekati Praya lalu mengusap rambutnya. Sehingga Praya mengira kalau mungkin Bagas sedang bersikap mesra.

Tapi ia keliru.

"Kapan terakhir kali kamu keramas?" tanya Bagas yang kemudian buru-buru menjauhkan jarinya dari rambut Praya.

"Mungkin tiga ... atau lima hari yang lalu ...." Jawaban Praya terdengar tak meyakinkan. Praya tidak mengingat kapan terakhir kali ia keramas.

Bagas berdecak. "Bisa nggak kamu itu lebih bersih? Aku harus sampai tahan napas waktu kita making love tadi, gara-gara cium bau rambut kamu yang nggak enak itu."

"Oh ya?" Praya otomatis langsung meraba rambutnya. Terasa agak berminyak, tapi ia tidak mencium ada bau di sana.

Masa bau? pikirnya.

"Apa, sih, yang bisa kamu lakukan? Merawat diri kamu sendiri aja kamu nggak becus."

Praya tetap memasang ekspresi datar, seolah perkataan Bagas tadi tidak mempunyai pengaruh apa-apa baginya. Setiap kata-kata tak mengenakkan yang keluar dari mulut Bagas, selalu tak mau ia ambil pusing. Ia kemudian masuk ke dalam kamar mandi untuk mengambil keranjang pakaian kotor.

Di atas kabinet, ia melihat ponsel Bagas tergeletak. Sempat terlintas keinginan untuk memeriksa isi ponsel itu. Namun Praya lebih memilih membiarkan, karena bagian dirinya yang lain tak ingin menemukan satu kecurangan lagi dari Bagas.

•••

Salwa masih saja meributkan masalah kaos kaki yang belum juga ditemukan. Praya tadi sudah mencari ke tempat yang memungkinkan kaos kaki itu berada, tapi nihil. Praya lalu berusaha membujuk Salwa agar mau memakai kaos kakinya yang lain, tapi gadis itu tetap saja pada pendiriannya.

Kalau sudah begitu Salwa biasanya akan merajuk pada ayahnya. Seperti sekarang, ketika ayah dan anak itu sedang menikmati sarapan di meja makan.

"Aku nggak pede, Yah, kalau nggak pakai kaos kaki itu hari ini," ujar Salwa sembari mendorong masuk sesendok nasi goreng ke dalam mulutnya dengan kesal. "Ini hari Kamis, dan aku nggak mau kalau sampai harus pakai kaos kaki yang seharusnya buat hari jumat atau hari lainnya."

Praya tahu trik Salwa kalau sedang ingin mengambil hati ayahnya. Dia berbakat mempermasalahkan sesuatu yang sepele.

"Ya sudah, kamu nggak perlu masuk sekolah hari ini," sahut Praya. Ia sedang menunjukkan ketegasan sebagai orang tua.

Salwa mendentingkan sendok ke piring. "Ayah dengar sendiri, kan? Bunda malah menyuruh aku buat bolos sekolah."

"Bunda bukannya ingin kamu bolos. Tapi hanya mau kasih tahu kamu, kalau masalah kaos kaki aja nggak perlu dibesar-besarin seperti itu. Kamu bukan anak kecil lagi."

Salwa merengut sebal mendengarnya. Dan ujung-ujungnya Bagas selalu berhasil menenangkan Salwa dengan iming-iming tambahan uang jajan.

"Kamu pakai kaos kaki yang lain dulu aja, ya. Nanti Ayah kasih uang buat kamu," bujuk Bagas lalu mengeluarkan dompet dan memberikan lima lembar uang nominal seratus ribu pada anak kesayangannya itu.

"Terima kasih, Ayah!" Salwa tampak senang sekali menerima uang dari Bagas. Wajah yang tadinya merengut, seketika berubah ceria.

Praya merasa yang dilakukan Bagas itu bukanlah sesuatu yang tepat.

"Bukan begitu cara membujuk yang baik, Mas," ucap Praya saat Salwa sudah menyelesaikan sarapannya dan kembali ke kamar.

"Nggak perlu kamu besar-besarin."

"Tapi itu malah membuat Salwa tambah manja, Mas. Kamu seharusnya bisa sedikit lebih tegas sama dia."

"Daripada kamu meributkan masalah ini, bukannya lebih baik kamu segera menemukan kaos kaki itu? Dengan begitu masalah ini bisa beres juga. Padahal ini juga salah kamu yang pasti nggak teliti waktu menaruh kaos kaki Salwa."

Praya mengigit kelopak bibir bawahnya. Lagi-lagi perkataannya tidak didengar. Bagas selalu punya argumen untuk mematahkan pendapatnya.

"Tara mana? Kenapa belum turun juga jam segini?" tanya Bagas. Dia melirik ke arah jam tangannya yang sudah hampir menunjuk ke angka tujuh.

Praya bergegas ke lantai atas. Pintu kamar yang bersebelahan dengan kamar Salwa itu masih tertutup. Praya beberapa kali mengetuk pintu, tapi tak ada tanggapan dari anak sulungnya itu.

Jangan lagi ...

Ia berharap Tara tidak melakukan hal yang memang kerap dilakukannya. Dan benar saja, saat Praya membuka pintu, ia hanya mendapati kamar yang kosong. Tak ada Tara di sana. Anak lelakinya itu pasti sudah keluar rumah lewat jendela. Cukup mudah bagi Tara meluncur turun dengan bantuan dahan pohon mangga yang melintang di depan jendela kamarnya ini.

Praya memijit keningnya. Memeriksa keberadaan Tara di sekolah terpaksa harus ia masukkan ke dalam agenda tugasnya hari ini.

••☆••

Siapa saja di antara teman-teman yang berstatus sebagai ibu rumah tangga? ❤

Bukan hal gampang lho jadi ibu rumah tangga, dari A-Z harus dikerjakan, 24 jam sehari ❤❤

Sehat dan bahagia selalu, ya untuk kalian semua ❤❤❤

Jangan lupa untuk memberi VOTE dan komentarnya, biar aku makin semangat menulisnya hehehe... 😘😘❤❤

Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro