Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[lima--a]

Pijar seperti bermimpi. Namun, lelaki itu tahu kalau dirinya sedang tidak bermimpi. Pandangannya bertemu dengan sepasang netra yang dulu sering ia tatap. Tubuhnya mendadak kaku. Pijar tak ingat lagi pada ikan-ikan nila yang sedang ia tangkap. Dunianya seolah sedang berhenti untuk memberikan jeda. Wanita yang berada di sebelah Arini adalah sosok yang sudah begitu lama tak dijumpainya.

Praya ...

Batin Pijar menyebut nama yang selama ini bersembunyi di sudut pikirannya, tapi kini ia bisa melihat langsung rupa wanita si pembawa rindu itu. Pijar tak bisa menyangkal isi hatinya ataupun mengelak dari rasa rindu yang sudah sekian lama terpendam pada Praya.

"Om Pijar?" Suara Tara menarik pikiran Pijar kembali. Tara mengikuti arah pandang lelaki berusia tiga puluh delapan tahun itu, dan menemukan kedua orang tuanya di sana.

"Om mau menyapa orang tua kamu dulu," kata Pijar lalu menyerahkan serok ikan yang dipegangnya pada Tara.

Pijar mencuci tangan dan kakinya terlebih dahulu pada keran air yang ada di dekat kolam. Minimal agar mengurangi bau dari air kolam yang cukup amis.

"Apa kabar?" Kata itu yang terucap pertama kali begitu Pijar sudah berhadapan dengan Praya. Senyum yang ia perlihatkan sebisa mungkin menutupi debar jantungnya.

"Baik, Mas," ujar Praya yang kemudian menyambut uluran tangan Pijar.

Pijar dibuat makin tak karuan saat untuk pertama kalinya setelah rentang waktu yang panjang, akhirnya ia bisa melakukan kontak fisik dengan wanita pujaannya. Beberapa saat ia terpaku dan belum melepaskan tangannya. Praya tetaplah cantik, meski ada yang berbeda. Entah itu apa, ia tidak tahu. Namun, sorot mata Praya seperti menyimpan kisah yang tak terkatakan.

"Bagus kalau kabar kamu baik, aku ikut senang mendengarnya." Pijar menarik tangannya, lalu beralih pada lelaki yang duduk di sebelah Praya.

Celana yang dibiarkan tetap tergulung sebatas lutut dan juga kaos oblong yang sudah basah oleh air bercampur keringat, bukanlah tampilan yang bisa disandingkan dengan laki-laki sempurna di hadapannya ini. Pijar bisa melihat kesempurnaan dalam diri Bagas yang telah membuat Praya jatuh hati.

Bagas secara terang-terangan menunjukkan keraguan saat Pijar mengulurkan tangan untuk berjabatan. Pijar maklum kalau Bagas merasa jijik dengan kondisinya yang kotor dan masih berbau amis. Walaupun ia agak jengah dengan sikap Bagas itu, tapi senyumnya tetap ia kembangkan. Menjadi kamuflase ketegangan antara dirinya dengan lelaki itu.

"Mau ikut menangkap ikan?" Pijar bertanya pada Bagas sebenarnya hanya sekadar berbasa-basi saja.

"Tiga orang sudah cukup, jadi saya nggak perlu ikut-ikutan, bukan?" Bagas mengatakannya sambil membetulkan letak jam tangan di pergelangan. Seakan ingin memberitahu kalau jam tangan Patek Phlilipe-nya tidak cocok membaur dengan Pijar. Harga puluhan juta tak sebanding dengan nilai ikan yang ada di kolam.

"Ah iya, lagian kami juga sudah mau selesai." Pijar tersenyum maklum. Ia lalu memberi tanda pada Praya kalau ia akan kembali ke kolam ikan.

Pijar diam-diam mengembuskan napas ketika kakinya melangkah. Perasaannya mengatakan kalau pertemuan kembali dengan Praya, akan menjadi situasi yang cukup berat baginya.

•••

"Ikan sebanyak ini mau diapain, Om? tanya Tara saat membantu memasukkan ikan nila ke kantong plastik transparan yang sudah diisi air. Total ada dua puluh lima kantong yang sudah mereka isi.


"Ya buat dimasak," kata Pijar.

"Sebanyak ini mau dimasak?" Tara jelas heran, karena membayangkan banyaknya ikan yang akan dimasak dan dikonsumsi keluarganya.

Pijar tertawa. "Nggak semua buat kita. Eyang kamu mau bagiin ke orang-orang yang butuh," terang lelaki dengan rambut ikal yang tampak pas membingkai wajah tampannya.

Kemudian Pijar bertanya, "Kamu suka ikan?"

"Suka. Semua jenis ikan aku suka. Asal yang masak Bunda pasti enak," cetus Tara sambil mengangkat kantong ikan terakhir dan menyerahkannya pada laki-laki lain yang tadi juga turut membantu mereka berdua menangkap ikan.

Pijar tersenyum mendengar kata-kata Tara tentang ibunya. Dirinya tahu kalau masakan Praya selalu enak dan sudah lama ia tidak pernah lagi mencicipi hasil tangan wanita itu.

"Om Pijar kenapa baru sekarang aku lihat, ya?" Tiba-tiba saja Tara melontarkan pertanyaan itu. "Kenapa Om nggak pernah ketemu sama Bunda?"

"Pernah. Kamunya aja yang nggak ingat."

"Kapan?"

"Waktu kakek kamu meninggal, kan, Om datang. Masa kamu nggak ingat?"

"Itu aku masih kecil. Wajar jadinya kalau aku nggak ingat pernah bertemu Om Pijar."

Mereka berdua tertawa bersama.

Pijar menyadari kalau Tara tengah mengkritisi kejanggalan tentang dirinya. Ia pun maklum kalau Tara merasa aneh dengan jati diri Pijar yang tidak pernah dilihatnya. Padahal ia memiliki hubungan yang dekat dengan keluarga Praya.

Pijar setiap tahun selalu menyempatkan diri untuk pulang ke rumah ini. Ia tidak mungkin melupakan begitu saja jasa orang tua Praya yang sudah begitu besar dalam hidupnya. Arini sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Wanita yang akan ia hormati selama hidupnya, sama seperti ayah Praya. Berkat mereka berdualah Pijar bisa memijak masa depannya.

Namun, setiap kepulangannya tidak akan ia sempatkan untuk bertemu Praya. Ia sebisa mungkin menghindari Praya. Bagian dirinya berusaha membentengi pertahanan dalam hatinya agar tidak menuntaskan rindu yang sebenarnya membuncah. Pijar bukan siapa-siapa bagi Praya. Ia hanya laki-laki kalah, yang tak bisa memiliki hati wanita tercintanya.

Harapan yang dulu Pijar tambatkan pada diri Praya sudah musnah setelah pengakuan wanita itu padanya belasan tahun yang lalu. Praya tidak mencintai Pijar, melainkan Bagas.

"Om sibuk banget, ya, di Belanda?" tanya Tara lagi, padahal pertanyaan sebelumnya belum dijawab oleh Pijar.

Pijar mengedikkan pundak. "Dibilang sibuk juga nggak, tapi Om betah aja di Belanda." Pijar menjawab sekenanya, meski sepertinya ia memang lebih nyaman hidup di negara kincir angin itu. Setidaknya kenangan akan Praya sudah ia tinggalkan dalam jarak ribuan kilometer.

"Aku juga berharap bisa pergi jauh. Tapi ...." Tara tak melanjutkan ucapannya. Membiarkan kalimatnya menggantung.

Pijar memperhatikan remaja yang parasnya begitu mirip dengan Praya itu. Kata-kata Tara agak aneh baginya.

"Tapi kenapa? Kamu mau pergi jauh ke mana?" Pijar jadi penasaran.

"Maksudnya aku juga ingin seperti Om Pijar. Suatu hari nanti bisa lanjut kuliah di tempat yang jauh. Tapi aku takut ninggalin Bunda."

Pijar mengernyit, tak paham dengan maksud Tara. Ingin pergi, tapi takut meninggalkan Praya?

"Apa yang kamu takutin? Anak lelaki harus berani." Pijar mengira Tara mungkin takut kalau hidup terpisah dari ibunya. Akan tetapi perkiraannya ternyata salah ketika ia mendengar penjelasan remaja itu.

"Aku bukannya takut jauh dari Bunda karena nggak bisa mandiri. Asal Om Pijar tahu, aku bukan anak yang manja," tegas Tara lalu menenggak sebotol air mineral dingin yang sudah disediakan Ratmi.

"Lalu apa yang bikin kamu takut?" kejar Pijar.

"Aku hanya khawatir kalau Bunda sendirian."

Jawaban Tara semakin menambah bingung Pijar. Bukannya ada ayah dan adiknya? Jadi kenapa Tara harus mengkhawatirkan hal tersebut?

"Om Pijar pasti punya prioritas dalam hidup. Aku juga punya. Tapi cita-cita aku jadi nggak terlalu penting kalau malah nggak bisa menjaga orang yang aku sayang."

Pijar merasa seperti sedang berhadapan dengan orang yang jauh lebih dewasa usianya, dibanding remaja berusia enam belas tahun. Tara sudah berpikir lebih jauh tentang hidupnya. Dan anehnya, Pijar merasa ada kemiripan dirinya dulu dengan Tara.

Ia pun pernah berada dalam situasi dilematis yang mengharuskannya memilih antara mengejar impian atau terus dekat dengan orang yang ia cintai.

Perbincangan mereka tak berlanjut lagi. Tara kembali ke dalam rumah. Sedangkan Pijar masih duduk di pinggir kolam untuk beberapa saat. Tara membuatnya merenungi kembali perjalanan hidupnya yang tidak sempurna.

••☆••

••☆••

Hmmm ... Pijar tuh siapanya Praya ya?

Mau double update hari ini? Tapi jangan lupa di-VOTE dulu ya. Kalau banyak VOTE double update hehehe... ❤

Terima kasih ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro