[enam--b]
Praya memejamkan mata. Rasanya begitu nyaman bersandar pada dada bidang Pijar. Sudah lama ia tidak merasakan bentuk kenyamanan seperti ini. Usapan tangan Pijar di punggungnya, semakin membuat rasa aman itu seketika muncul. Ia seperti sedang kembali ke masa-masa mereka berdua masih belum berjarak. Di mana akan selalu ada Pijar untuknya.
"Jangan khawatir. Ada aku di sini."
Itu juga yang dikatakan Pijar saat Praya menangis kebingungan, karena berbadan dua. Ditambah dengan kekalutannya yang memuncak ketika Bagas malah sulit ditemui. Praya seakan ditinggal sendirian. Ia takut Bagas pada akhirnya sama saja dengan lelaki lain.
Pijar yang kemudian merangkulnya. Lelaki bermata teduh itu meminta Praya untuk berterus terang pada kedua orang tuanya. Dan menata hati untuk tidak takut dengan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi. Bahkan Pijar sempat berkata kalau dia rela menjadi ayah dari anak yang dikandungnya, bila nanti Bagas tidak mau bertanggung jawab.
Namun, lelaki yang diinginkan Praya ada di sampingnya adalah Bagas. Bukan Pijar. Meskipun Pijar mencintainya, tapi pada saat itu Praya hanya bisa berbagi cinta dengan Bagas. Ia memilih menolak ketulusan serta segala rasa cinta yang coba diberikan Pijar untuknya.
"Kamu duduk dulu. Biar aku yang beresin pecahannya," kata Pijar yang dengan sigap membersihkan serpihan beling di lantai. Sedangkan Praya hanya duduk diam mengamati.
Dalam hati, Praya merasa malu terlihat lemah di hadapan Pijar. Padahal baru kemarin ia bilang dirinya baik-baik saja. Bisa jadi sekaramg Pijar pun akan berpikir kalau hidupnya memang bermasalah.
"Diminum dulu tehnya." Pijar meletakkan secangkir teh hangat di atas meja, lalu menarik kursi dan duduk.
Praya menunduk dan masih tampak ragu. Belum sepenuhnya pulih dari kesedihan yang mendadak tersebut. Namun, usapan lembut Pijar di punggung tangannya yang terangkum membuat ia mengangkat kepala. Ia melihat Pijar sedang menatapnya. Jenis tatapan yang Praya tahu kalau itu adalah semacam bentuk perhatian untuknya.
"Aku nggak akan bertanya apa-apa. Tapi aku hanya mau kamu merasa tenang sekarang," jelas Pijar.
Praya menurut. Ia menyesap teh perlahan. Menikmati aliran hangat cairan keemasan itu di dalam tubuhnya.
"Maaf." Itu kata yang keluar dari Praya setelah cangkir tehnya diletakkan kembali.
"Maaf untuk apa?" Pijar bertanya dengan lembut.
"Karena sudah merepotkan kamu, Mas."
"Kalau kamu kira membersihkan beling bikin aku repot, kamu berarti sudah ngeremehin aku," gurau Pijar.
Praya tersenyum samar menanggapi perkataan Pijar, lalu kembali menyesap tehnya hingga tandas.
"Mau aku buatin lagi tehnya?" tanya Pijar yang langsung disambut gelengan kepala oleh Praya.
Ada jeda beberapa saat sebelum akhirnya Pijar berkata lagi. "Waktu pertama kali aku datang ke rumah ini, aku merasa menjadi orang yang paling beruntung."
Pijar mulai menarik kembali kisahnya sekarang. Menceritakan kembali kepingan hidupnya itu pada Praya.
"Bertahun-tahun hidup di panti asuhan dan tanpa pernah tahu rasanya memiliki orang tua yang utuh, membuat aku berpikir kalau barangkali Tuhan nggak mau membagi kasih sayangnya buatku."
Praya menyimak setiap patah kata yang diucapkan Pijar.
"Waktu Bapak datang ke panti dan memilih aku untuk diadopsi, aku hampir nggak bisa percaya. Rasanya aneh, karena tiba-tiba akan menjadi anak dari orang yang aku belum pernah kenal sebelumnya," tutur Pijar dengan sebelah tangan menyangga dagunya di atas meja.
"Bapak pada saat itu bilang, kalau beliau ingin anak perempuannya punya seorang kakak. Bisa kamu bayangin, betapa makin anehnya buatku mengetahui sebentar lagi akan mendapatkan nggak hanya orang tua, tapi juga adik."
Pijar tersenyum saat pandangannya bertemu dengan sepasang netra milik Praya. "Dan ternyata aku sudah salah menilai Tuhan. Bapak, Ibu, dan kamu ternyata hadiah dari Tuhan yang paling berharga buat aku."
Praya teringat saat pertama kali dirinya dikenalkan pada Pijar. Ibunya berkata kalau sekarang ia punya seorang kakak. Memiliki seorang kakak mungkin hal yang biasa bagi orang lain, tapi hal itu begitu membahagiakan untuk Praya. Pada awalnya, Pijar masih kaku untuk diajak berbicara. Namun, lambat laun dinding penghalang di antara mereka seolah runtuh. Praya menjadi sangat dekat dengan Pijar.
Ia selalu bercerita pada Pijar tentang apa pun. Termasuk ketika ia jatuh cinta pada Bagas. Pijar adalah orang pertama yang ia beritahu. Tepatnya setelah ia menolak perasaan berlebih Pijar padanya. Ia tidak memiliki perasaan apa pun selain rasa sayang kepada kakak. Baginya, hubungan mereka berdua tidak akan bisa beralih ke arah yang berbeda.
"Jadi di saat merasa sedih, aku pasti akan selalu ingat kalau aku masih punya keluarga." Pijar kemudian menyudahi ceritanya. Dia lalu membuatkan Praya secangkir teh lagi, sebelum kembali ke ruang keluarga.
Akan tetapi, langkah Pijar terhenti di muka pintu dapur. Lelaki itu lalu menoleh dan berkata, "Kalau kamu butuh bantuan, aku akan selalu ada buat kamu."
Pijar menunggu Praya mengatakan sesuatu, tapi tak ada tanggapan dari wanita itu selain kebisuan.
•••
Sudah menjelang sore saat mobil berwarna hitam berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua. Praya serta kedua anaknya keluar dari mobil yang difungsikan sebagai taksi online itu.
Pintu pagar tidak terkunci. Tanda kalau rumah sedang tidak dalam keadaan kosong, ditambah keberadaan mobil suaminya yang terparkir di luar garasi. Hal itu sebenarnya di luar kebiasaan Bagas, yang selalu langsung memasukkan mobil ke garasi.
Tara dan Salwa sudah lebih dulu menaiki tangga menuju kamar masing-masing. Praya belum melihat Bagas, mungkin dia ada di kamar. Tangan Praya baru saja akan memutar kenop pintu kamar, saat ia melihat sebuah benda kecil yang tergeletak tepat di depannya. Sebuah lipstick.
Praya memungutnya dan menduga kalau itu milik Salwa, karena merek lipstick-nya sama dengan yang pernah ditemukannya di dalam tas putrinya itu. Ia kemudian masuk ke kamar.
Suaminya sedang berada di kamar mandi. Praya meletakkan tasnya di nakas, lalu berjalan ke arah jendela untuk menutup gorden. Ia melihat permukaan tempat tidurnya tidak terlapisi dengan seprai. Mungkin Bagas ingin menggantinya dengan yang baru.
Ia lantas segera mengambil seprai baru dan memasangnya, bersamaan dengan Bagas keluar dari kamar mandi. Pandangan mereka sempat bertemu, tapi tak ada sepatah pun kata yang terucap. Bagas tak acuh dan berlalu untuk bersalin pakaian.
"Mau aku buatin kopi, Mas?" tanya Praya setelah dirinya selesai dengan urusan tempat tidur.
"Nggak usah," jawab Bagas pendek tanpa melihat ke arah Praya dan berjalan melewatinya begitu saja keluar kamar.
Praya menghela napas pelan, lebih baik ia mandi sekarang. Baru saja ia akan melepas pakaiannya saat ia menyadari sesuatu. Ia diam terpaku menatap cermin. Namun, bukan bayangan dirinya yang menjadi fokus utama. Melainkan sebuah bercak lipstick yang ada di cermin itu.
•••♡•••
400 vote-nya tercapai 😁 Terima kasih ya ❤
Menurut kalian, lipstick itu benar punya Salwa atau punya sesembak kesukaannya Bagas?
Jangan lupa untuk VOTE dan komentarnya ya 😊 kalau banyak pasti update hehehe.... ❤
Terima kasih sudah membaca cerita ini ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro