Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[empat--b]

"Bunda, kaos aku yang gambar bintang mana?" Tiba-tiba Salwa sudah muncul di muka pintu ruang laundry. Gadis itu melihat ibunya sedang memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci.

Praya menutup mesin tersebut dan memencet salah satu tombol siklus cuci yang dipilihnya, baru setelah itu ia menanggapi pertanyaan Salwa.

"Yang gambar bintang ada tulisannya itu?" tanya Praya sambil menebak kaos yang dimaksud Salwa. Mengingat kaos bergambar bintang yang dimiliki puterinya itu tidak hanya satu, melainkan cukup banyak. Yang sesuai dengan kegemaran Salwa pada bintang.

"Bukan, tapi yang di bagian belakang kaosnya ada gambar dua bintang warna pink itu, Bun."

"Di lemari kamu nggak ada?"

Salwa memutar kedua bola matanya. "Udah pasti aku nggak akan tanya sama Bunda kalau memang baju aku ada di sana," cetus Salwa dengan ekspresi seperti sebal dengan pertanyaan ibunya.

Praya kemudian mencari kaos itu ditumpukan pakaian yang belum disetrika. Ia yakin, kalau tidak ada di lemari, pasti ada di antara tumpukan pakaian ini. Dan benar saja, kaos itu ada di sana.

"Yang ini, kan?" Praya menunjukkan kaos tersebut pada Salwa.

Remaja itu mengangguk. "Tolong Bunda setrikain. Aku mau bawa yang itu juga buat ke rumah Eyang," ucap Salwa enteng yang kemudian berlalu begitu saja.

Praya meletakkan kaos tersebut di atas meja dan mulai menyetrikanya. Sore ini kedua anaknya akan pergi ke rumah neneknya di Bogor. Kebetulan dua hari lagi, tepatnya di hari Minggu, nenek Tara dan Salwa yang juga adalah ibu kandung Praya akan berulang tahun.

Ibunya sendiri yang meminta kedua cucunya untuk datang lebih dulu. Sehingga sang ibu bisa mempunya waktu lebih banyak bersama mereka berdua. Sementara Praya dan Bagas baru akan datang besok dan menginap di sana sampai hari Minggu.

Pukul empat sore, Tara dan Salwa sudah meninggalkan rumah dengan diantar oleh taksi online. Sedangkan Praya segera mengendarai sepeda motornya untuk berbelanja buah-buahan di supermarket.

Bagas akan kesal kalau tidak menemukan satu pun buah yang tersedia di kulkas. Suaminya itu memang rajin mengonsumsi buah, sehingga Praya harus bisa menyediakannya setiap saat.

Praya memilih menggunakan sepeda motor untuk menuju supermarket, karena mengira kalau hujan tidak akan turun lagi seperti tadi siang. Namun ternyata ia salah. Hujan turun dengan deras saat ia sedang berkendara pulang. Banyak pengendara sepeda motor yang menepi untuk berteduh, tapi Praya memilih tetap melajukan kendaraannya. Bahkan ia menambah kecepatannya supaya bisa lebih cepat sampai di rumah.

Hujan seolah sedang senang mengakrabi dirinya. Dua kali ia harus kehujanan dalam sehari. Praya dalam keadaan basah kuyup begitu sampai di rumah. Ia buru-buru memarkir sepeda motornya. Sekilas ia melihat mobil Bagas sudah berada di dalam garasi, kemudian ia berjalan masuk ke rumah.

Namun, lagi-lagi Praya terlalu tergesa-gesa, ditambah lantai yang menjadi licin akibat tetesan air di setiap jejak langkahnya, membuat ia akhirnya terpeleset.

Bruk!

Praya jatuh terduduk. Ia lalu berusaha bangkit berdiri di tengah lantai yang licin. Tangannya menggapai permukaan dinding, untuk menyeimbangkan tubuhnya. Ia berjalan ke arah sofa yang ada di ruang keluarga dan duduk di sana.

Pinggangnya terasa begitu nyeri. Praya memijit bagian yang terasa sakit itu dan merasa miris dengan kecerobohan dirinya. Dua kali pula ia harus terjatuh dalam sehari.

"Kamu ngapain duduk di sini?" Pertanyaan bernada tajam itu tiba-tiba mengagetkan Praya. Ia kemudian menengok dan melihat suaminya sudah berdiri di tengah ruang keluarga. Memperhatikannya dengan ekspresi yang jelas sekali menunjukkan ketidaksukaan.

"Aku mau istirahat sebentar. Tadi aku habis kehujanan, Mas," terang Praya.

"Tapi lihat gara-gara kamu sofanya jadi basah," kata Bagas. Lelaki itu mempertegas kata-katanya dengan menunjuk ke sofa yang diduduki Praya.

Ah ... iya sofa.

Praya baru menyadari kekesalan Bagas, karena ia telah membuat sofa ini menjadi basah. Sofa yang dibeli Bagas dengan harga mahal. Sofa yang ternyata lebih penting dari istrinya sendiri.

Padahal Praya masih mengingat kata-kata Bagas dulu, saat ia dalam keadaan basah kuyup dan merasa sungkan untuk duduk di atas sofa milik Bagas.

"Biarin aja basah. Lebih penting kamu daripada sofa ini."

Tapi sekarang hal tersebut seolah hanya kejadian yang semu bagi Praya.

"Maaf, Mas, nanti aku akan cepat keringin pakai hair dryer," tukas Praya lalu beranjak dari duduknya. Ia tidak mau memperpanjang masalah dengan Bagas.

"Kenapa, sih, kamu itu nggak bisa pakai sedikit otak kamu? Kalau melakukan sesuatu itu coba kamu pikirkan dulu. Nggak serampangan seperti ini. Kamu pikir aku membeli sofa ini buat kamu pakai seenaknya?"

Praya memandang wajah Bagas dengan sorot mata yang ingin memberi tahu kalau ia lelah. Ia tidak sedang dalam kondisi yang tepat untuk menerima kata-kata seperti itu. Namun Praya masih saja diam.

"Apalagi tadi siang, kamu sudah bikin aku malu. Penampilan kamu itu benar-benar nggak enak dilihat. Bisa-bisanya kamu keluar rumah dengan pakaian kotor seperti itu. Apa kamu nggak merasa malu dengan diri kamu sendiri?"

Praya masih bergeming, tak memberi penjelasan kenapa pakaiannya sampai kotor. Meski benaknya sudah dipenuhi rasa sakit dengan perkataan Bagas yang telah menciderai hatinya.

"Kamu dan Tara sama aja kelakuannya. Nggak bisa bikin sesuatu yang benar," cetus Bagas tajam lalu melanjutkan kalimatnya, "Seandainya aja dulu kamu nggak hamil dan nggak ada Tara, aku pasti bisa punya kehidupan yang lebih baik dibandingkan sama kamu."

Deg!

Dada Praya seperti dihantam mendengar Bagas berkata seperti itu. Ia masih bisa menerima kalau dirinya sendiri yang disalahkan, tapi Bagas malah ikut menyeret Tara di dalam permasalahannya.

"Kamu boleh menyalahkan aku sesuka kamu, tapi aku mohon jangan pernah merasa kalau Tara adalah sebuah kesalahan," tandas Praya sambil menahan emosi yang mulai merambatinya.

"Tapi nyatanya kalian berdua memang sesuatu yang salah. Sesuatu yang seharusnya nggak pernah ada di dalam hidup aku."

Sejatinya, Praya ingin menangis. Namun air matanya seakan tak bisa keluar sekarang. Ia berusaha menahan agar jangan sampai terlihat lebih lemah lagi di hadapan Bagas.

"Jadi kamu menyesal menikah sama aku, Mas?" tanya Praya lirih.

Bagas belum menjawabnya. Dia memandang ke arah lain terlebih dulu sebelum akhirnya menjawab dengan cukup tegas. "Aku nggak pernah merasa bahagia dengan pernikahan kita. Kamu nggak cocok buat aku. Seharusnya kamu sadar itu. Kita sudah beda. Kamu nggak bisa memberikan apa yang aku mau."

Kedua tangan Praya mengepal. Tubuhnya terasa tanpa daya. Mungkin inilah saatnya Bagas untuk menceraikannya.

"Jadi sekarang mau Mas Bagas apa?" Praya sudah bersiap kalau kata cerai itu keluar dari mulut suaminya.

Mungkin yang akan ia lakukan adalah memohon atau meminta kesempatan lagi untuk memperbaiki hubungannya dengan Bagas. Bagaimanapun juga ia tidak bisa membayangkan anak-anaknya harus memiliki keluarga yang tidak utuh.

Namun ternyata Bagas berkata lain.

"Aku hanya mau kamu tahu, kalau selama ini kamu nggak berarti apa-apa buat aku."

Bagas lalu melenggang pergi menuju kamarnya. Meninggalkan Praya sendiri, tanpa peduli kalau wanita itu sekarang tengah terpuruk dalam kesakitan yang luar biasa.

•••☆•••


Kira-kira mereka nantinya akan bercerai atau malah bertahan?

Tunggu part selanjutnya ya...

Jangan lupa untuk memberi VOTE dan juga kasih komentar kalian ❤

Yang belum follow jangan lupa difollow ya ❤

Terima kasih ❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro