Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[dua--b]

Sebelum membaca, VOTE cerita dan FOLLOW dulu akun ini ya kakak-kakak yang baik hati dan cantik ❤❤

•••☆•••

"Mas ... sakit ...," ucapnya lirih. Gesekan yang ditimbulkan dari pergerakan Bagas di dalam dirinya membuat Praya kesakitan.

Bagas tak peduli dengan keluhan Praya. Dia tetap bergerak mengikuti nafsu. Selayaknya seorang pria yang sedang menunjukkan kehebatan kejantanannya. Padahal Praya sama sekali tidak merasa nyaman, karena yang dilakukan Bagas seperti merudapaksa dirinya.

Bagas terus bergerak di atas tubuhnya. Bahkan makin cepat dan menggila. Sedangkan Praya menahan sakit itu sendiri. Lenguhan Bagas yang kemudian mengakhiri aktivitas seksual mereka. Praya beringsut ke tepi tempat tidur. Menarik selimut menutupi bagian bawah tubuh. Sedangkan Bagas beranjak ke kamar mandi.

Rasa perih pada area intimnya membuat Praya meringis. Ia sudah tak ingat kapan terakhir kali merasakan nikmat bersetubuh dengan Bagas. Tidak pernah ia mendapatkan kepuasan batin itu lagi. Hubungan intim yang mereka berdua lakukan hanya menguntungkan satu pihak. Sedangkan dirinya hanya seperti tempat pembuangan saja. Tak ada lagi kecupan lembut, pelukan hangat, apalagi kata-kata mesra untuknya.

Banyak hal telah berubah dalam pernikahannya. Bagas bukan lagi laki-laki yang sama seperti dulu lagi. Manisnya pernikahan hanya Praya rasakan sebentar saja. Padahal dulu ia mengira akan mereguk banyak kebahagiaan bila menikah dengan Bagas.

Bukankah menikah karena cinta pasti akan bahagia selamanya?

Tapi pernikahannya tidaklah seperti apa yang ia bayangkan. Cinta Praya pada Bagas tidak cukup untuk bisa menggerakkan rumah tangganya ke arah yang diidamkan. Dulu saat mereka berdua masih berpacaran, Praya begitu yakin kalau Bagas akan selalu mencintainya. Bagas akan selalu menjadi laki-laki yang baik menjaganya. Ia terbuai oleh setiap kata penuh cinta yang diucapkan Bagas.

Praya pun percaya, kalau Bagas adalah pasangan hidup yang Tuhan kirimkan untuknya. Sehingga ia rela melepas sesuatu yang amat penting itu sebelum waktunya. Yang berujung membuat kedua orang tuanya kecewa dengan kehamilan mendadak itu.

Usia Praya belum genap dua puluh tahun waktu menikah dengan Bagas. Pernikahan yang dilakukan terburu-buru itu tak menyisakan kesempatan bagi Praya untuk melangsungkan pernikahan impian, karena yang terpenting pada saat itu jangan sampai orang-orang mengetahui perutnya membesar tanpa ada suami.

Satu per satu impian Praya pupus seiring berjalannya waktu. Menjadi seorang istri sekaligus ibu sudah melahap habis tiap detik hidupnya untuk didedikasikan pada keluarga. Praya tak bisa melanjutkan kuliah karena harus mengurus Tara yang masih butuh perhatian besar darinya. Sehingga cita-citanya menjadi seorang wanita karir harus kandas.

Sama halnya dengan keinginan untuk bisa menjelajahi banyak tempat di dalam maupun luar negeri, yang hanya menjadi sekadar angan saja. Tanpa tahu kapan ia bisa menghirup sedikit kebebasan dari segala penat yang mengungkung.

Mungkin dari kesalahan yang pernah terjadi membuat Praya tidak ingin menampakkan cela sedikit pun pada kedua orang tuanya. Ia berusaha untuk bertanggung jawab dengan pilihan dan menerima konsekuensi dari kesalahan yang sudah dilakukan. Ia ingin membuktikan kalau pernikahannya baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh kedua orang tuanya dari anak semata wayang mereka ini.

"Praya." Suara Bagas memanggilnya dari dalam kamar mandi.

"Ada apa, Mas?" sahut Praya.

"Kemari cepat."

Praya beranjak dari tempat tidur, lalu mencari celana yang sebelumnya dilepas oleh Bagas, memakainya kembali, dan melangkah masuk ke kamar mandi. Ia melihat Bagas masih dalam keadaan tanpa pakaian. Namun, tali yang dipegang suaminya, menjadi tanda kalau malam ini ia belum selesai untuk dipakai.

Praya paham apa yang akan dilakukan Bagas dengan tali. Mereka berdua kerap melakukan sesuatu dengan tali itu. Namun, Praya tak menyangka Bagas akan melakukannya lagi sekarang, di tengah kondisinya yang terasa begitu lelah.

Praya menggeleng. "Jangan sekarang, Mas. Aku benar-benar capek."

"Capek kamu akan hilang kalau sudah merasakan lagi punyaku."

Tapi nyatanya Praya tidak merasa lelahnya hilang setelah tadi bercinta dengan Bagas.

"Kita, kan, sudah melakukannya barusan. Apa masih belum cukup?" elak Praya. "Besok saja, ya, Mas."

Raut wajah Bagas tampak tidak suka mendengar penolakan Praya. Dia lalu mendekati Praya dan mengangkat dagu wanita itu, lalu menatap mata Praya dengan sorot menuntut.

"Aku mau kamu nggak usah banyak bicara. Lagipula bukannya dosa menolak keinginan suami? Kamu nggak mau jadi dosa, kan? Jadi lebih baik kamu menurut dan jangan membantah keinginan aku. Aku mau kamu puasin aku sekarang."

Tangan Bagas segera menarik ke atas kaos yang dipakai Praya, melemparnya ke lantai, lalu diikuti juga dengan menarik turun celana istrinya hingga tak lagi tertutup sehelai benang pun.

"Masuk." Bagas memberi perintah pada Praya untuk melangkah ke dalam shower stall.

Kedua tangan Praya kemudian terangkat tanpa menunggu lagi perintah dari Bagas. Ia sudah hapal yang diinginkan Bagas. Hubungan seks dengan tangan yang terikat. Salah satu cara Bagas menikmati kebutuhan batinnya.

Setelah kedua tangan Praya terikat pada puncak kepala shower, Bagas memutar keran. Sehingga air meluncur turun tepat di atas kepala Praya, yang membuat basah kuyup tubuh wanita itu. Bagas mulai beraksi menikmati tubuh Praya. Sama sekali tak memedulikan sang istri yang menggigil kedinginan. Yang terpenting bagi Bagas hasratnya terpenuhi.

Bagas melakukan lebih lama dari hubungan badan mereka sebelumnya. Praya tidak menghitung waktu, tapi ia merasa remuk dari dalam. Kekuatan Bagas terlalu besar untuk diterima tubuhnya. Sedangkan Praya hanya bisa menahan segala rasa sakitnya itu sendiri.

•••

Menjelang subuh, Praya terbangun dalam keadaan yang kurang sehat. Kepalanya agak berat dan terasa pusing. Untuk bangun dari tempat tidur saja ia butuh waktu lebih lama dari biasanya. Tangannya menggapai ke arah nakas. Tempat di mana ia selalu meletakkan kacamatanya sebelum tidur. Akan tetapi, kacamatanya tidak ada di sana.

Belum sempat ia mencari kacamatanya, suara tangis Lavi terdengar. Membuat Praya segera mengangkat bayi itu dari dalam boks dan menggendongnya. Praya lalu membawa Lavi ke tempat tidur dan menyusuinya.

Lavi begitu kuat menguras air susunya. Semalam saja, hampir setiap jam Praya bolak-balik menyusuinya. Ia mengelus pipi Lavi. Bayi perempuan ini sebenarnya tidak direncanakan kelahirannya. Namun, ia tetap bersyukur dengan kehadiran Lavi sekarang.

Setelah Lavi tertidur kembali, Praya mengembalikannya ke boks. Menyelimuti bayi mungilnya yang tampak kekenyangan. Praya kembali merebahkan dirinya di tempat tidur, karena pusing di kepalanya belum juga hilang. Ia sempat tertidur sebentar, sampai mendengar suara Bagas membangunkannya.

"Kamu kenapa belum bangun juga? Sarapan belum kamu siapin. Tara sama Salwa sudah bangun. Mereka juga mau makan." Kata-kata Bagas mengembalikan dengan cepat kesadaran Praya. Jam di dinding kamar sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

"Kepala aku pusing, Mas," kata Praya sambil memijit pelipisnya.

"Kalau pusing, kamu cepat minum obat. Nanti juga sembuh. Anak-anak butuh makan. Aku beli sarapan di luar saja sekalian berangkat ke kantor."

Sebenarnya Praya ingin meminta Bagas untuk tidak bekerja hari ini. Namun, melihat Bagas yang sudah rapi, ia jadi tidak enak untuk mengatakannya.

Krek!

Tiba-tiba ada suara benda terinjak. Bagas mengangkat kakinya dan menemukan kacamata Praya di bawah sana.

"Kamu kalau taruh kacamata yang benar. Jangan sembarangan seperti ini," keluh Bagas sambil meletakkan kacamata itu di atas nakas. Tanpa ada rasa bersalah telah menginjaknya.

"Aku berangkat." Hanya itu yang diucapkan Bagas dan bergegas keluar dari kamar. Meninggalkan Praya dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk menjaga anak-anak sendirian. Bagas sepertinya memang tidak mengkhawatirkan keadaan Praya yang sedang sakit.

Praya meraih kacamata yang tangkainya sudah patah itu. Ia lalu mencari lakban untuk menyambung patahannya. Supaya bisa dipakai kembali untuk sementara. Daripada membiarkan matanya yang sudah minus lima ini melihat tanpa bantuan lensa sama sekali.

Hari ini berjalan lebih berat bagi Praya. Mengurus ketiga anaknya dalam kondisi tak sehat membuatnya beberapa kali harus berdiam diri terlebih dulu sebelum melakukan sesuatu. Obat yang diminumnya tak serta merta melenyapkan pusing dari kepalanya. Tara sengaja ia liburkan hari ini.

Menjelang siang rumahnya sudah mirip kapal karam. Mainan berserakan di mana-mana. Salwa membuka semua bungkus diapers dan melemparnya dari atas tangga. Tara menumpahkan seluruh isi botol sabun mandi ke dalam gelas, membuat lantai licin karena cecerannya yang lebih banyak tumpah ke lantai. Susu yang ditumpahkan Salwa. Lavi menangis. Salwa mengeluarkan isi lemari pakaian dan mengacak-acakmya. Tara heboh berlarian ke sana ke mari. Lavi menangis lagi.

Semua kericuhan itu harus dilalui Praya seorang diri. Kepalanya malah bertambah pusing sekarang. Ia sudah tak sanggup untuk mengurus semuanya. Ia butuh beristirahat. Namun, tangisan lapar Salwa menggugahnya. Tak tega kalau berdiam diri di saat anaknya sedang butuh makan.

Praya kemudian mengajak ketiganya membeli makan di luar. Lebih praktis dan juga tak perlu waktu lama. Suhu di luar sedang panas-panasnya. Lebih panas dari hari biasanya. Matahari begitu terasa menyengat. Kalau tidak karena demi anak-anaknya, Praya juga enggan untuk keluar di tengah cuaca ekstrim ini.

Praya tak sempat menyisir rambutnya, bahkan ia masih memakai kaos yang terkena tumpahan susu Salwa. Meninggalkan jejak berwarna cokelat tepat di depan dadanya, yang mirip sebuah pulau. Ditambah lakban hitam yang menghiasi tangkai kacamatanya. Melengkapi penampilan lusuhnya.

Sehingga ia tidak heran ketika pegawai gerai makanan cepat saji itu melihatnya dengan iba. Mungkin penampilannya lebih mirip gelandangan. Jauh dari kesan istri seorang bankir.

Tara ingin sekali makan di tempat, tapi Praya memaksa anak itu untuk mengikuti langkahnya keluar. Butuh waktu lebih sampai akhirnya Tara menurut dan mau masuk ke dalam mobil.

Praya mengehela napas lega ketika berhasil membujuk Tara. Ia kemudian mengendarai mobilnya dengan isi kepala yang terasa penuh. Semuanya menumpuk di dalam pikirannya. Dan semakin menjadi-jadi ketika Tara ribut ingin buang air besar. Menambah tekanan pada Praya untuk secepatnya sampai di rumah.

Praya membiarkan mobilnya terparkir di luar, karena butuh waktu lebih lama untuk memasukkannya ke dalam garasi. Sedangkan Tara sudah tak tahan lagi menahan mulasnya.

Anak itu langsung menghambur keluar. Berteriak tak sabar di depan pintu rumah yang masih terkunci. Praya yang menggendong Salwa buru-buru memutar kunci hingga pintu terbuka.

Setelah makan siang, Praya tak sanggup lagi menjaga kelopak matanya tetap terbuka. Ia ikut tertidur saat menemani waktu tidur siang Tara dan Salwa.

Tidur kali ini terasa damai tanpa gangguan. Tak ada suara tangis Lavi yang biasa didengarnya. Mungkin tidur Lavi terlalu pulas.

Tapi ....

Praya terbangun. Ia melihat Tara dan Salwa masih tidur pulas. Tara tidur dengan memeluk guling kesayangannya dan Salwa masih memegang botol susunya. Tampak normal. Namun, Praya merasa ada yang salah. Ada yang kurang. Ada sesuatu yang luput dari ingatannya.

Payudara Praya terasa ngilu, karena membengkak. Rembesan air susu membasahi kaosnya. Sudah waktunya Lavi menyusu.

Lavi?

Kontan hal itu mengingatkannya pada Lavi. Praya berlari ke kamarnya dan melihat boks bayi yang kosong.

Berarti Lavi ...

Praya segera berlari ke luar rumah, menuju mobilnya yang masih terparkir di luar. Jantung Praya berdetak lebih kencang begitu tangannya sudah bergerak untuk membuka pintu mobil. Hawa panas keluar begitu pintu terbuka. Dan napasnya seperti tercekat melihat bayi mungilnya di dalam sana.

Tangan Praya bergetar saat akan menyentuh Lavi. Matanya terpejam. Mungkin sedang tidur. Namun, Praya tahu kalau sesuatu yang buruk telah terjadi pada bayinya. Ia lalu menggendong Lavi. Mendekatkannya dalam dekapan.

Lavi tak bergerak meski ia sudah menepuk pipinya. Matanya tetap tak mau terbuka. Ia mencoba membangunkan Lavi berkali-kali, tapi sama saja. Lavi seakan berada dalam tidur yang panjang.

Praya tak tahu lagi harus melakukan apa. Yang bisa dilakukannya hanya menangis histeris sambil memeluk Lavi yang sudah tak bernyawa.

••☆••

Maaf ya kemarin meleset dari jadwal, karena ada hal lain yang mendadak harus dikerjakan.

Semangat buat para ibu yang sedang berjuang di luar sana. Jangan lupa untuk bahagia. Membuat bahagia orang di sekeliling kalian bukan berarti membuat kalian lupa untuk membahagiakan diri sendiri ❤❤

Jangan lupa beri VOTE dan komentarnya ya. Agar saya semakin semangat melanjutkan cerita ini ❤❤

Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro