[delapan--c]
Napas Bagas terengah saat mencapai puncak birahi. Matanya terpejam, meresapi desir nikmat yang menjalar di bagian bawah tubuhnya. Kedua tangan ia topangkan di atas tempat tidur. Menjaga agar tubuhnya tetap berada di atas tubuh Raisa.
Raisa tampak pasrah dan membiarkan dirinya dijadikan pelampiasan hawa nafsu Bagas. Wanita itu seakan sudah memahami betul apa yang dibutuhkan Bagas saat ini. Memahaminya sebagai wujud ungkapan dari kerisauan yang saat ini sedang berkecamuk dalam diri Bagas.
Kerisauan Bagas yang tidak Raisa ketahui dengan pasti masalahnya. Namun, wanita itu cukup berhati-hati untuk bertanya secara langsung. Dan Bagas pun cukup sadar diri untuk tidak menceritakan apa yang sedang berkecamuk di dalam pikirannya. Masalah yang sedang ia coba lupakan sejenak. Walaupun nanti ia harus kembali menghadapi masalah itu.
Tubuh Bagas beringsut ke kanan. Melepaskan bagian dirinya dari tubuh molek Raisa. Wanita itu mengecup bibir Bagas sekilas, lalu menarik selimut hingga sebatas dada. Memperhatikan Bagas yang duduk di tepi tempat tidur dan menyesap sisa minuman di dalam gelas.
"Kamu ada masalah apa, sih?" tanya Raisa yang sejurus kemudian terduduk dan memeluk tubuh kekar Bagas dari belakang. Namun, Bagas belum menjawabnya.
"Mas ...." Raisa berbisik tepat di telinga Bagas, dan mengetatkan pelukannya. "Kamu cerita aja sama aku."
Bagas menanggapi dengan malas. "Bukan sesuatu yang penting."
"Tapi aku merasa kamu, tuh, beda hari ini."
Bagas lagi-lagi hanya menggeleng, tidak berminat untuk memberi penjelasan. Raisa yang masih diliputi tanda tanya pun, akhirnya memilih menahan rasa penasarannya. Dia kembali merebahkan diri dan bergelung di dalam selimut.
Sedangkan Bagas tetap pada posisi yang sama untuk beberapa saat. Memikirkan kekacauan hubungannya dengan Praya. Wanita yang telah membuat hidupnya menjadi kacau dan bercacat. Ibarat sebuah benda, Praya tidak cocok diletakkan di manapun. Bagas hanya ingin hidupnya sempurna.
Bagas lalu beranjak bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi. Di dalam sana ia hanya terdiam. Menatap pantulan diri di cermin yang mengungkap semua tentangnya. Marah, kecewa, benci, tapi juga ada rasa bersalah yang menjejali benaknya.
Momen semalam begitu meresahkan. Ia benar-benar tidak menyangka Praya akan senekat itu.
•••
Pisau itu dilempar Bagas setelah merenggutnya secara paksa dari tangan Praya. Sayatan di pergelangan tangan istrinya mengeluarkan darah. Bagas segera memeriksanya. Namun, ia bisa sedikit bernapas lega, karena bukan luka yang serius. Tidak sampai mengenai nadinya.
"Apa, sih, yang ada di pikiran kamu? Dasar bodoh!" bentak Bagas pada Praya yang bergeming tanpa ekspresi. Wanita itu bagai tubuh tanpa jiwa. Tatapannya hanya tertuju pada lantai.
Bagas terduduk di lantai. Ia memejamkan mata sebentar. Mengatur ritme napasnya yang bergejolak karena emosi. Ia benar-benar tak habis pikir kalau Praya akan berani mengambil jalan pintas seperti ini. Kekesalan Bagas semakin bertambah berkali-kali lipat melihat keterdiaman Praya. Ingin rasanya ia mengguncang dengan keras tubuh istrinya. Kalau perlu menamparnya agar sadar dari tindakan bodohnya itu.
"Kamu kira semua bisa selesai dengan mati, hah!" Bagas kembali membentak Praya.
Benar-benar sial hidupnya sekarang. Bagas merutukinya sebagai ketidakberuntungan akibat memperistri wanita yang tidak becus berperan menjadi seorang pendamping hidup. Andai dulu ia berani melepas tanggung jawab atas kehamilan Praya, mungkin hidupnya tidak akan bercacat. Mungkin hidupnya jauh lebih bahagia dengan menikahi wanita lain.
"Buat apa aku hidup, kalau orang-orang yang aku sayang pergi juga ninggalin aku ...." Tiba-tiba Praya bersuara. Tatapannya masih belum mau beralih ke arah Bagas. "Kamu bisa setega itu mau ambil Salwa dari aku, Mas ...."
Bagas berdecih. "Memangnya kamu bisa jadi ibu yang baik buat Salwa? Apa kamu nggak sadar kalau selama ini kamu nggak pernah becus mengurus anak-anak?"
"Tapi itu bukan jadi alasan kamu lancang memasukkan wanita lain ke kehidupan Salwa!" Sepasang mata itu menatap Bagas dengan sorot penuh luka dan kekecewaan. "Aku yang melahirkan Salwa, Mas ... bukan selingkuhan kamu!"
"Melahirkan bukan berarti kamu bisa jadi yang terbaik buat Salwa!" seru Bagas yang tak mau kalah sengit menanggapi Praya.
"Terus memangnya selingkuhan kamu itu bisa jadi ibu yang baik?"
"Seenggaknya dia nggak setolol kamu yang lebih memilih mati," ucap Bagas sinis. "Aku benar-benar sudah sangat muak sama kamu, Praya!"
Tangisan Praya kembali pecah dan itu membuat Bagas semakin jengah. Ia tidak tahan berada dalam satu ruangan dengan Praya. Kalau Praya ingin bercerai, dengan senang hati ia akan melakukannya. Ia hanya tinggal membuang rumah tangganya yang rusak itu, lalu segera meniadakan Praya dari kehidupannya.
"Kamu mau kita bercerai, kan. Ya sudah, kita pisah!" serunya tegas.
Bagas langsung bangkit berdiri, mengamankan pisau, dan keluar dari kamar tanpa mau menengok ke belakang lagi.
•••
Bagas baru meninggalkan apartemen Raisa, selepas jam makan siang. Tak perlu terburu-buru untuk berhadapan kembali dengan realita rumah tangganya. Pun fakta bahwa semalam istrinya hendak menghabisi nyawanya sendiri, tidak membuat Bagas menurunkan ego untuk mendapatkam hak asuh Salwa. Putri kesayangannya itu tidak pantas berada di bawah asuhan Praya.
Lagipula, Bagas merasa itu merupakan sebuah kesepakatan yang seharusnya diterima Praya. Toh, dia masih akan memiliki Tara. Bagas tidak memiliki kualitas hubungan yang baik dengan anak lelakinya itu. Tara lebih condong pada ibunya. Sehingga ia yakin kalau Tara pasti akan lebih memilih berada di pihak Praya.
Hanya sepi yang menyambut, sesampainya Bagas di rumah. Tidak ada aktivitas Tara dan Salwa seperti di hari Minggu biasanya. Semua gorden masih tertutup. Lampu masih menyala. Gelas yang dipakainya semalam pun masih belum berpindah tempat dari meja.
Bagas bergegas ke kamar untuk memeriksa Praya. Namun, wanita itu tidak ada lagi di sana. Ia juga mengecek kamar Tara dan Salwa, yang hasilnya pun sama. Ia lantas menerka ke mana mereka pergi. Kemungkinannya hanya ada dua. Mereka sekarang di rumah Aneta atau berada di rumah mertuanya. Praya tidak mungkin pergi ke tempat lain.
Ia sudah mencoba menghubungi ponsel Praya dan Salwa, tapi keduanya sama-sama tidak aktif. Hanya Tara yang mengangkat teleponnya.
"Kalian di mana?" Bagas bertanya tanpa basa-basi.
"Di rumah Tante Aneta." Suara Tara terdengar datar-datar saja.
"Ngapain kalian di sana? Pulang sekarang!"
"Nggak."
Emosi Bagas kembali tersulut mendengar jawaban putra sulungnya.
"Ayah bilang kamu dan Salwa harus pulang, ya, pulang sekarang!"
"Bunda yang minta kami di sini. Jadi aku dan Salwa nggak akan pulang tanpa Bunda."
"Mana bunda kamu. Ayah mau ngomong!"
"Bunda nggak ada di sini. Bunda ada di rumah Eyang," tukas Tara.
Berarti Bagas harus berurusan dengan keluarga Praya sekarang. Membayangkan akan berhadapan dengan Pijar, membuatnya kesal sekaligus muak.
Remaja itu lalu berkata lagi, "Aku nggak akan pernah mau maafin Ayah kalau sesuatu yang buruk sampai terjadi sama Bunda."
Bagas kaget mendengar Tara yang sudah berani mengancamnya. Sambungan telepon langsung diputus Tara begitu saja. Tanpa menyisakan waktu untuk ayahnya berbicara. Bagas memutuskan menyusul Praya. Ia harus membawanya pulang dan menyelesaikan masalah mereka berdua tanpa campur tangan orang lain.
Orang pertama yang ia jumpai di rumah mertuanya adalah Pijar. Lelaki itu berdiri tanpa berkata apa pun, saat Bagas berjalan menghampiri. Ia melihat sosok Pijar bak orang asing tak tahu diri, yang memaksakan diri menjadi bagian keluarga istrinya.
Bagas bisa menebak kalau Pijar mungkin akan mencecarnya dengan pertanyaan tentang Praya. Namun, Bagas tak mau ambil pusing. Ia hanya perlu membawa Praya kembali, meski harus menghajar orang rendahan itu.
•••♡•••
Kok, masih merasa paling benar aja ya, Mas Bagas?
Minta sarannya, kalau cast untuk Pijar cocoknya siapa ya?
Jangan lupa VOTE dan komentarnya.
Terima kasih sudah membaca cerita ini ❤❤
Yang mau bertanya-tanya silakan dm saja ke Instagram saya @a.w_tyaswuri 😊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro