Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

[delapan--b]

"Bagas di mana?" Pertanyaan itu sudah sewajarnya dilontarkan Pijar, ketika tidak melihat sedikit pun ujung batang hidung suami Praya. Ia sekarang sedang duduk di teras belakang bersama Aneta.

Namun, Aneta tampak malas-malasan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dia berdecak sambil menyilangkan kakinya dan berkata, "Aku nggak tahu Bagas di mana. Pas aku datang ke rumah mereka cuma ada Praya di kamar. Aku ke sana juga karena Praya nggak angkat-angkat telepon aku. Dan aku benar-benar kaget waktu menemukan dia di kamarnya. Keadaan Praya kacau banget."

"Sekacau apa?" Pijar penasaran. Ia mengubah posisi duduk dan melipat kedua tangannya di depan dada.

"Dia berbaring di lantai. Tangannya berdarah. Aku sebenarnya takut kalau ternyata dia sudah nggak bisa diselamatkan lagi," tutur Aneta. Dia menggeleng-gelengkan kepala, seolah sulit membayangkan hal semacam itu bisa terjadi pada temannya. "Tapi ternyata dia masih hidup. Aku langsung bawa dia ke rumah sakit. Dan aku sangat bersyukur percobaan bunuh dirinya itu gagal."

Pijar jengah mendengar kata bunuh diri disebut. Ia ingin tidak percaya kalau Praya akan sependek akal itu. Namun, penuturan Aneta membuka sedikit demi sedikit kepahitan hidup Praya.

"Sejak Lavi meninggal, Praya semakin berubah. Rasa bersalah itu yang masih susah dia lepas sampai sekarang."

Lavi ....

Pijar mengulang nama itu di dalam hati. Mengingat anak ke tiga Praya yang belum pernah dijumpainya. Saat tragedi itu terjadi, Pijar pun menyempatkan untuk pulang ke Indonesia. Bagaimanapun juga, ia harus datang di saat salah satu keluarganya sedang tertimpa kemalangan. Namun, ia tidak yakin apakah pada saat itu Praya sempat melihat kehadirannya.

Alih-alih secara langsung menemui Praya, Pijar memilih berbaur dengan pelayat lainnya. Ia tak tega melihat kesedihan wanita itu. Lagipula ia tidak bisa berkontribusi apa-apa untuk menghibur hati seorang ibu yang sedang hancur, karena kehilangan anaknya. Ia pikir Bagas pasti yang akan selalu memberi dukungan untuk Praya. Akan tetapi ternyata ia telah salah mengira.

"Bagas nggak pernah peduli sama Praya."

Helaan napas Aneta menandakan kalau masalah Praya memang sudah mencapai ambang batas. Pijar bisa membayangkan kehidupan yang dijalani Praya tentu tidak mudah.

"Praya kadang berusaha menyembunyikan apa yang selama ini dirasanya. Terkadang dia juga nggak bisa menutupi masalahnya dari aku. Tapi ... yah ...." Aneta mengedikkan pundak dan tersenyum kecut. "Begitulah Praya. Dia masih aja terus bertahan. Padahal dia sendiri juga kelihatan nggak bahagia dengan pernikahannya."

"Kenapa bisa terus bertahan?" tanya Pijar yang sangat penasaran dengan sikap Praya.

"Mas Pijar pasti tahu, kalau Praya sangat mencintai Bagas."

Dalam hati, Pijar mau tidak mau mengakui hal itu.

"Jadi seberengsek apa pun suaminya, dia tetap aja menutup mata. Padahal jelas-jelas Bagas berselingkuh dengan wanita lain."

Pijar tidak bisa terima dengan pengkhianatan Bagas. Ia meraup wajahnya dan menarik napas dengan pikiran yang terbebani oleh kemalangan Praya.

"Yang diperlukan Praya sekarang adalah pemulihan batin, Mas. Aku rasa dia perlu berkonsultasi dengan psikolog."

"Harus sampai begitu?"

Aneta mengangguk. "Mungkin Mas Pijar agak kaget dengan pendapat aku. Tapi aku juga sudah kenal lama dengan Praya. Aku tahu dia sudah berubah banyak."

Aneta seperti sedang mengatakan kalau Pijar tidak tahu keadaan Praya yang sebenarnya. Menetap begitu lama di negara lain tentu membuat rentang jarak yang jauh denga kehidupan Praya.

Ada sesal yang tiba-tiba terlintas, karena ia sendiri yang menciptakan jarak itu. Namun, hatinya tidak bisa diajak berkompromi. Ia bak pengecut yang menyerah dengan kekalahan. Pada saat Pijar memutuskan pergi, ia hanya berpikir kalau sudah tidak ada lagi tempat baginya di sekitar Praya. Pijar lalu berupaya menjauh, daripada harus menahan diri dengan cinta yang tidak bisa mewujud. Sekarang melihat Praya hancur sendirian, membuat Pijar jauh lebih sedih dibanding saat cintanya hanya menampar angin.

Obrolan mereka berdua masih berlanjut. Aneta berkata kalau dia harus sampai memaksa Praya untuk bercerita soal keadaan pergelangan tangannya yang terluka. Sampai akhirnya Praya mau mengaku kalau dia baru saja bertengkar dengan Bagas. Masalahnya pun tidak disangka Pijar. Yang membuat lelaki tampan itu bertambah geram.

"Aku juga kalau ada di posisi Praya, pasti akan marah, Mas. Membawa selingkuhan ke rumah itu kesalahan yang sudah fatal sekali," tukas Aneta. Dia menahan kata-katanya dulu, saat seorang lelaki yang bekerja di rumah ini lewat dengan membawa gunting rumput dan sekeranjang sampah daun.

Aneta menunggu sampai lelaki tersebut menghilang di balik tembok teras, kemudian berkata lagi, "Praya juga bilang ke aku kalau yang dia khawatirkan adalah Bagas akan membawa Salwa pergi."

Kening Pijar mengernyit. "Kenapa Bagas mau bawa Salwa pergi?"

"Karena mereka berdua akan bercerai."

•••

Sudah lebih dari dua jam sejak Pijar sampai di rumah, tapi Praya masih belum bangun dari tidurnya. Namun, itu mungkin karena faktor lelah yang dirasakan Praya.

"Praya butuh beristirahat."

Begitu kata Aneta sebelum dia beranjak pergi. Praya bukan hanya lelah secara fisik, tapi juga batin. Sehingga bantuan tenaga ahli dalam pemulihan psikis Praya menjadi sangat tepat.

Pijar tertegun sejenak, saat melewati ruang keluarga. Ia memperhatikan senyum seorang laki-laki dalam sebuah lukisan yang terpajang di dinding. Lukisan itu adalah hasil karyanya. Ia sengaja membuatnya sebagai hadiah untuk sang ayah angkat.

Pramudya Wibisana bukan saja seorang ayah, tapi juga penyelamat hidup dan cita-citanya. Pram yang memberi keleluasaan pada Pijar untuk mengejar impiannya. Meskipun bagi kebanyakan orang menjadi pelukis itu tidaklah terlalu menjanjikan dari segi materi. Namun, Pram tetap mendukungnya.

Pijar teringat kata-kata terakhir Pram, beberapa hari sebelum beliau meninggal. Yang tidak pernah diduga Pijar akan menjadi percakapan terakhir.

"Terima kasih sudah menjadi putra kebanggaan Bapak. Jaga Ibu dan Praya."

Saat itu dirinya baru saja turun dari metro dan akan berjalan kaki menuju Stasiun Amstel. Pijar menganggap kalimat itu bukan sebagai pertanda, karena memang sudah biasa diucapkan Pram padanya.

Pijar pun sempat menjanjikan kepulangannya minggu depan, setelah menyelesaikan pamerannya. Namun, dua hari kemudian takdir berkata lain. Pram meninggal karena serangan jantung.

"Jaga Ibu dan Praya."

Ia baru menyadari makna di ujung kalimat Pram itu. Dirinya menyesal karena tidak bisa sepenuhnya mewujudkan amanat ayah angkatnya. Ia tidak bisa menjaga Praya, pun kondisi wanita itu malah memprihatinkan sekarang. Tak ayal membuat benaknya diselimuti rasa bersalah.

Suara langkah seseorang membuyarkan lamunannya. Ada yang baru saja datang dan memasuki rumah, bahkan tanpa mengucapkan salam. Pijar menoleh dan melihat seorang laki-laki yang tadi sempat dipertanyakan kehadirannya.

Sorot mata Pijar tidak bisa menutupi kemarahannya pada Bagas. Tangannya mengepal. Mencoba menetralisir emosi yang sudah berkecamuk. Terlintas di dalam pikiran Pijar, kemungkinan untuk memberi sedikit sentuhan di wajah angkuh itu.

•••

Tebak, Bagas dihajar atau nggak? 😁

Jangan lupa beri VOTE dan komentarnya agar update lagi ❤❤

Terima kasih sudah membaca cerita ini ❤❤

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro