BAB 6
-Meminta pertolongan-
Ini sudah malam kedua Junghwan tinggal di rumah keluarga Suho. Dan entah sudah berapa kali tatapan sinis dari Winter dan Junkyu.
Kenapa dengan anak dua itu?
Winter selalu merasa marah dan tidak sadar menendang kaki Junghwan saat dia menggodanya dengan mengatakan Eomma. Tidak hanya satu kali, tapi bisa sampai 5 kali dan Winter merasa ingin membuang Junghwan dari kamar Junkyu ke lantai 1.
Lalu kenapa Junkyu juga punya masalah dengannya? Itu simpel, sebenarnya Junkyu ini orang yang suka rebahan, kasurnya saja besar dan bisa muat untuk 3 sampai 4 orang. Tapi ia merasa kesal karena Junghwan merenggut kasur kesayangan. Junkyu harus berbagi membuat dia menatap sinis Junghwan.
"Ada apa dengan kalian?" Suho bertanya membuat Winter dan Junkyu menggeleng dan segera melanjutkan makan malamnya yang terhenti.
Suho tahu kedua anaknya melihat Junghwan, entah ada masalah apa tapi Suho yakin bahwa kekesalan mereka masih seperti anak kecil yang berebut mobil-mobilan.
Di meja makan, Jisoo menyediakan samgyetang dan juga Jjimdak. Aroma itu berselera membuat Junghwan melahapnya dengan cepat hingga tak sadar keluarga Suho mulai menatapnya.
"Kau seperti orang kelaparan saja," dengus Winter sambil melahap makanannya. Junghwan hanya diam sambil meneguk air putih itu hingga tandas.
Usai makan, mereka kembali sibuk dengan kegiatan masing-masing. Jisoo dan Suho menyalakan televisi, Winter naik ke lantai dua menuju kamarnya untuk belajar, tak lupa Junkyu yang tentunya ... dia bermain game bersama teman onlinenya.
"Hyeong tidak belajar?"
"Apa urusanmu?" Tatap Junkyu sinis dan kembali bermain game kembali.
Junghwan heran, kenapa di masa depan orang di depannya ini bisa sukses? Padahal hidupnya hanya berleha-leha, makan dan tidur adalah hal yang utama baginya.
"Kakak pengen jadi apa setelah lulus SMA?" Junkyu yang saat itu sedang bermain tidak mempedulikannya membuat Junghwan mendengus dan mulai tidur di kasur.
"Aku 'kan nanya," cemberut Junghwan membuat Junkyu menengok setelah permainannya mati ditengah jalan. "Emang kenapa? Kepo amat!" Junghwan mendengus.
"Aku tuh cuma nanya aja, semoga aja aku doain bisa masuk ke Universitas elit nantinya." Junghwan melihat raut wajah tak biasa dari Junkyu.
"Aku sebenarnya ingin mengambil hukum, tapi entah mengapa aku menyasar mengambil sains." Dia tertawa terkekeh agak mengkhawatirkan.
Ternyata apa yang dibayangkan Junghwan tepat sasaran.
Ia memang masih tidak percaya kalau dia tinggal di masa lalu, tapi saat mengetahui bahwa banyak kebenaran yang akhirnya mulai terbukti, ia percaya akan semua itu.
"Menurutku hyeong punya bakat. Hyeong pasti punya bakat tersendiri di bagian seperti—" Junghwan memberhentikan ucapannya. Ia langsung segera tersenyum dan menjawab, "mungkin menjadi ilmuwan atau pun menjadi ... dokter?" Tanya Junghwan sendiri lalu menidurkan dirinya di kasur empuk Junkyu.
Junkyu terdiam tak menampik segala pemikirannya tentang masa depannya.
Bagaimana bisa anak ini ... dia tahu semua cita-cita yang ia beritahukan kepada guru konselingnya?
Di sisi lain, Junghwan hanya bisa bergumam bodoh karena menceritakan semua itu kepada Junkyu.
Semoga cita-citanya masih sama seperti apa yang dia bicarakan.
***
Jaehyuk berjalan cepat keluar dari kelasnya, bahkan meninggalkan Asahi dan Jeongin yang bertanya-tanya karenanya.
Waktu sudah menunjukan pukul 6 kurang 15 menit, ia terburu-buru menghampiri kelas yang ditempati Winter yang sudah kosong tak ada siapapun.
Dia terlambat ... tadi dia ada jadwal piket sampai lupa ingin mengobrol dengan Winter tentang persoalan itu.
Foto itu telah dihapus, entah siapa yang melakukannya. Tapi semua menuduh Jaehyuk karena semua itu.
"Kau belum pulang?" Ia menatap Jeongin dan Asahi dan segera keluar dari kelas Winter dengan keadaan berjalan duluan dari mereka.
"Kau ingin menyelesaikan masalah ini, bukan?" Tanya Jeongin dan diam-diam Jaehyuk mengangguk.
"Kudengar tadi Winter ada perlu dengan wali kelas. Kau bisa menyusulnya di ruang guru." Jaehyuk mengangguk senang dan segera menepuk bahu Jeongin dan melangkah tergesa-gesa menemui Winter.
"Apa dia tidak apa-apa ditinggal begitu?" Tanya Asahi agak khawatir, takut temannya itu kembali dikerjai oleh beberapa orang tak bertanggung jawab.
Jeongin menepuk bahu Asahi. "Santai saja, kalau kita terus di dekatnya, kapan dia akan bisa membela dirinya sendiri?" Tanya Jeongin sambil bergerak untuk berjalan duluan.
Di lorong yang berbeda, Jaehyuk bergerak cepat di area yang sudah mulai kosong ini. Ia harus menemui Winter di ruang guru secepatnya, sebelum orang tuanya datang tepat dipukul 6 nanti.
Kebetulan bahwa Winter sedang menutup pintu ruang guru sambil memegang kepalanya pusing. Dia tak lama dihadapkan dengan Jaehyuk yang menatapnya teduh.
Tapi Winter tak bersimpatik sama sekali.
"Winter, bisakah kita mengobrol sebentar?" Winter sebenarnya malas, tapi mengingat muka kelelahan Jaehyuk yang pasti berlarian kearahnya membuatnya mengangguk. Lantas mereka berbicara agak jauh dari ruang guru.
"Kau mau apa? Mendukung anak bodoh itu bahwa Raejun pelakunya?" Tanya Winter sengit. Jaehyuk menggeleng tanda tak benar.
"Aku tidak menuduhnya, tapi aku di sini ingin mengatakan bahwa aku ... tak melakukannya. Kumohon percaya padaku." Jaehyuk memegang tangan Winter dan ditepis seketika olehnya.
"Penjahat tak akan mengaku, kau mungkin tampak seperti orang baik. Tapi kau pasti menyimpan sesuatu yang buruk. Aku tahu itu?!" Winter berteriak dan segera pergi menjauhi Jaehyuk, yang memandangnya sendu.
Memang benar ... dia menyimpan sesuatu yang buruk.
Mungkin hidup terlalu baik, bukanlah pilihannya.
Apa dia harus membuka jati dirinya?
Ting!
Pesan masuk membuat Jaehyuk segera membukanya karena takut orang tuanya menunggunya di sana.
Tapi sayangnya ... itu bukan pesan dari ibu maupun ayahnya.
'Jaehyuk, orang yang terobsesi pada Winter mulai membuat ulah yang sama.'
Jaehyuk bisa melihat dirinya dalam foto itu, dia belum beranjak dari tempat ini tapi ia bisa melihat foto yang baru dikirim itu bersama Winter sebelumnya yang ia pegang tangannya.
Brak!
"Sial?!" Jaehyuk menahan amarahnya dan segera keluar dari lorong menuju keluar gedung.
Tanpa tahu ada yang mengintipnya, menatap dia kaget sekaligus kesal.
"Seharusnya aku video dia tadi."
* * *
"Lihat, bukan? Apa kau masih percaya bahwa Jaehyuk pelakunya?" Winter terdiam saat Minju mengomelinya di kursi depan minimarket, di tempat Minju bekerja.
Winter mengerucutkan bibirnya kesal. "Kenapa kau membelanya? Kau mau percaya pada si bodoh—"
"Si bodoh yang kau maksud itu tinggal di rumahmu tahu." Winter terdiam kesal. Dia tidak menerima anak itu berada di rumahnya.
Minju terdiam menatap bosnya yang mengangkat jam tangannya di depan pintu minimarket, tanda bahwa dia harus kembali bekerja. "Winter kau tahu, aku merasa yakin pada anak yang kau bilang bodoh itu, aku juga punya firasat kalau Raejun, pacarmu itu yang melakukannya." Winter terdiam menunduk.
Kenapa sahabatnya ini lebih memilih Jaehyuk daripada Raejun?
"Ohh yasudah ya, aku harus kerja. Kau jangan bolos les lagi!" Winter mengangguk patuh dan segera berjalan pergi masuk ke dalam supermaket.
Minju sering mengatakan padanya kalau Raejun itu berandalan, tidak bisa diatur, bahkan tak punya etika. Memang dia seperti itu, tapi Winter tidak percaya bahwa anak yang mengaku dia ibunya itu berkata jujur. Dia sepertinya pintar berakting, itu pasti benar.
"Apa aku harus bicara dengannya?" Winter segera menggeleng cepat. "Tidak tidak! Dia pasti akan kesenangan dan memanggilku dengan ibu nanti." Winter berjalan pergi sembari menatap jamnya dengan pandangan murung.
Sebentar lagi kelasnya akan dimulai, tapi entah mengapa dia ingin ke cafe untuk menenangkan diri.
* * *
Ayooo kalian harus semangat hari ini😤😤✊✊
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro