Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 18 - PERASAAN DISA YANG BERANTAKAN

Disa bangun pagi dengan perasaan yang masih aneh di dadanya. Sudah puluhan jam semenjak dia memutuskan untuk mengakhiri persahabatannya dengan Kevin. Rasanya ada yang aneh dan hampa dalam dadanya. Mungkinkah ini keputusan terbaik yang bisa dia ambil? Mungkinkah mengakhiri segalanya adalah pilihan yang benar untuk mereka berdua?

Disa keluar dari selimutnya, kemudian merapikan tempat tidurnya. Sesekali, Disa mengintip dari jendela kamarnya. Cuaca lumayan cerah, tapi dia tidak dapat membohongi bahwa hatinya terasa begitu mendung. Dalam hati, Disa berharap setelah mengakhiri persahabatannya dengan Kevin, maka dia tidak perlu terlibat jauh dengan urusan dan masalah yang selalu Kevin buat. Masalah yang Kevin buat selalu saja macam-macam dan setiap Kevin terjerumus ke dalam masalah, selalu saja sosok Disa ikut terseret ke dalam masalah tersebut.

Seusai mengintip matahari yang mulai menunjukan kehangatannya dari balik jendela, Disa berjalan menuju meja belajarnya. Seperti biasa, setiap melewati meja belajar itu, Disa menatap deretan foto bersama dirinya dan Kevin. Kevin yang selalu menemani Disa dalam momen penting apapun. Kevin yang selalu meninggalkan medan pertempuran tawuran, demi menghibur Disa. Kevin yang dengan sekuat tenaga selalu membuat Disa tersenyum. Tapi, di balik itu semua, Kevin juga yang kerap membuat hati Disa perih dan berdarah.

Laki-laki mungkin diciptakan untuk punya logika, tapi kadang dia tidak menggunakan hati untuk memahami apa yang terjadi. Disa berharap Kevin mengerti, tanpa Disa harus mengungkapkan segalanya. Tapi, harapan itu pun salah, karena Kevin tidak akan mungkin memahami apapun. Mata Kevin sudah terlalu buta untuk mengerti semua yang terjadi. Bahkan, Kevin tidak mengejar Disa, ketika Disa memutuskan untuk mengakhiri persahabatan mereka.

Bagi Disa, Kevin nampak baik-baik saja dan tidak merasa hancur sejadi-jadinya; seperti yang Disa alami pagi ini. Keliatannya Kevin tidak merasakan perih yang Disa rasakan. Dalam anggapan Disa, hidup Kevin akan tetap berjalan biasa saja bahkan tanpa kehadiran Disa.

Disa langsung mengambil setiap foto bersama dirinya dan Kevin yang ada di dekat meja belajar. Disa mengambil foto-foto itu, kemudian memindahkan foto tersebut ke dalam lemari. Disa berharap, dengan cara seperti ini, dia tidak perlu memikirkan Kevin terlalu jauh.

Ketika Disa bersiap untuk mandi, ponsel Disa berdering. Disa melihat layar ponselnya, dan bodohnya dia masih berharap bahwa sosok itu adalah Kevin. Walaupun jelas, bukan Kevin yang meneleponnya, tapi....

"Pagi, Dis." suara Kian dari ujung telepon, "Udah bangun?"

"Udah, dong. Ini mau siap-siap mandi." ucap Disa, "Kenapa, Kian?"

"Yah!" Kian memelas, "Berarti gue kepagian, dong, nyampe rumah lo? Gue udah di depan, nih."

Disa langsung mengintip ke luar jendela kamarnya, Kian memang sudah di sana, di atas sepeda motornya, "Lah, lo ngapain pagi-pagi ke rumah gue? Mau jualan bubur ayam, ya?"

"Ya, kagak!" Kian menegaskan, "Mau jemput lo kali. Supaya kita ke sekolah bareng. Sekolah kita, kan, satu arah."

"Ye. Nggak usah. Nanti gue repotin. Kalau nungguin gue, bisa telat lo." Disa memohon, "Duluan aja, Kian. Gue nggak enak ngerepotin lo terus."

"Nggak apa-apa. Gue tungguin. Lo cepetan mandi makanya" ucap Kian.

"Oke, Kian!" Disa memutus sambungan telepon.

Detik berikutnya, Disa segera mandi dan membersihkan tubuhnya. Selesai mandi, Disa mengenakan seragam dan menyiapkan peralatan untuk ke sekolah. Setelah semuanya beres, Disa keluar dari kamar dan menuruni tangga dari kamar menuju lantai bawah rumahnya.

Di lantai bawah, Disa tercengang melihat pecahan piring dan bekas lemparan barang pecah belah. Melihat itu semua di lantai bawah rumahnya, Disa langsung menghela napas. Dalam batinnya mengeluh, "Baru aja dibersihin. Udah kotor lagi!"

Melihat apa yang terjadi di lantai bawah, Disa mudah menebak bahwa tentu ada pertengkaran lagi antara kedua orangtuanya. Disa khawatir sembari mencari sosok Mamanya. Disa berjalan dari ruang makan, kemudian menuju dapur. Namun, Disa tidak menemukan Mamanya. Lalu, Disa memutuskan untuk berjalan ke ruang tamu. Bukan Mama yang Disa temui, tapi Papa sedang asyik membaca koran pagi bersama dengan secangkir kopi yang asapnya masih mengebul di atas cangkir kopi.

Disa tidak ingin menggubris kehadiran Papanya, Disa buru-buru berjalan melewati ruang tamu menuju pintu keluar rumah, sambil menundukan kepala. Gadis itu tak ingin menatap papanya. Tapi, Papa tentu menyadari bahwa ada seseorang yang berjalan melewati ruang tamu.

Papa berusaha menyapa Disa, namun dengan kalimat yang merendahkan, "Kamu nggak perlu sekolah rajin-rajinlah. Di rumah saja. Bersihkan seluruh pecahan piring itu. Nggak mungkin, kan, laki-laki yang bersih-bersih. Karena tugas bersih-bersih, kan, tugasnya perempuan."

"Papa rajin baca koran, tapi nggak tau kalau laki-laki yang baik itu juga membantu pekerjaan istrinya. Laki-laki nggak akan keliatan rendah kalau membantu perempuan untuk membersihkan rumah, nyapu, ngepel, bahkan melakukan pekerjaan domestik lain," ucap Disa mencoba menjelaskan, "Sekarang, perempuan juga berhak punya pendidikan yang tinggi, Pa. Tugas perempuan nggak cuma bersih-bersih. Banyak, kok, perempuan yang punya prestasi dan justru perempuan itu hebat-hebat, lho, Pa. Bisa ngerjain pekerjaan rumah sekaligus punya prestasi di luar rumah. Kayak Mama, jago ngurusin rumah, dan hebat juga di pekerjaan beliau."

Papa hanya tertawa sinis, "Anak bodoh kayak kamu tidak pantas menasehati Papa."

"Oh. Iya. Disa emang bodoh. Saking bodohnya bisa dapet penghargaan dari Walikota Depok, sebagai Siswa Berprestasi di SMA seluruh kota Depok. Tuh, foto aku terima penghargaan dari Walikota Depok, kan, ada di dinding itu, Pa. Masa nggak liat?" Disa menyindir, "Yaudah. Kalau emang Disa bodoh, Disa mau sekolah dulu, Pa. Disa mau jadi anak yang pinter. Yang bisa dibanggain orangtua."

Papa meletakan koran paginya, kemudian menatap Disa dengan tatapan makin sinis, "Papa nggak pernah bangga punya anak seperti kamu. Kamu nggak akan jadi kebanggaan Papa."

Ucapan Papa sudah membuat mata Disa mulai berair. Mengapa pagi ini menjadi terasa begitu hancur hanya karena sebuah kalimat dari seorang ayah yang merupakan ayah kandung Disa? Tidak bisakah Disa punya kehidupan normal seperti anak-anak lainnya? Yang menemui ayahnya di pagi hari, yang diantar ayahnya ke sekolah, dan mendapat kalimat-kalimat penyemangat dari ayahnya sendiri.

Mengapa hanya bentakan, makian, dan kalimat-kalimat merendahkan yang keluar dari mulut papanya sendiri? Tidak bisakah Papanya, barang semenit saja, menjadi sosok laki-laki yang menjadi kebanggan Disa? Tidak bisakah ayah kandungnya sendiri menjadi pria yang memberi kata motivasi untuk Disa? Bukan malah menghancurkan perasaan Disa dari pagi hari. Karena, tentu ini akan menghancurkan mood Disa seharian.

Disa berusaha untuk tak menggubris kalimat Papa, karena berdebat dengan Papa sama saja melukis di atas air. Sia-sia. Disa tidak akan memenangkan perdebat antara dirinya bersama Papanya. Ketika Disa melangkah sekali lagi, Papa mulai membuka suara lagi. Disa terpaksa menghentikan langkah kakinya lagi.

"Mama kamu berangkat pagi-pagi, apa jalan sama om-om senang supaya bisa membiayai hidup kamu dan sekolah kamu?" Papa masih mengintimidasi Disa, "Kamu jangan ikut-ikutan Mama kamu, ya."

Ucapan Papa perihal penilaian Papa terhadap Mama semakin menyakiti hati Disa. Papa tidak paham segalanya. Papa tidak mengerti bahwa Mama bekerja keras untuk Disa, untuk membiayai Disa, dan untuk mempertahankan agar Disa punya kehidupan yang layak. Bahkan, Disa ikut banting tulang untuk membiayai hidupnya dengan membuka les kecil-kecilan di rumahnya. Karena sejak menikah lagi, Papa sudah berhenti menafkahi Disa dan mamanya.

Meskipun amarah Disa sudah memuncak, Disa berusaha untuk tidak meledakkan amarah tersebut. Karena bagaimanapun, Disa sedang berbicara dengan ayah kandungnya. Bagaimanapun kondisi Papanya, Disa harus tetap menghargai orangtuanya sendiri.

Disa berusaha menjawab dengan santun, "Mama emang berangkat kerja pagi, Pa. Karena sejak Papa nggak tinggal di sini, Mama sibuk kerja."

Lalu, Papa berucap dengan kalimat yang merendahkan Disa, "Kamu ngapain masih sekolah? Kamu nggak akan bisa masuk UI seperti anaknya Papa."

"Anak kandung Papa itu Disa. Kalau dalam ilmu biologi. Sperma Papa ketemu sel telur dari Mama di tuba folopi. Nah, pertemuan itu menyebabkan Disa ada di sini. Jadi, secara biologis, Disa anak Papa. Hidungnya mirip Papa, matanya mirip Papa, untungnya sifatnya sebaik Mama." Disa menyindir Papa lagi, "Kalau anak yang udah masuk UI itu, yang selalu Papa bangga-banggain itu bukan anak Papa. Dia anak tirinya Papa. Dia baru jadi anak Papa setelah Papa menikah siri dengan perempuan lain. Oh, iya, dan satu lagi. Pernikahan Papa dan istri baru Papa itu masih pernikahan secara siri, sah secara agama, tapi belum sah secara negara."

Mendengar ucapan Disa, Papa langsung menatap Disa dengan tajam, "Anak bodoh kayak kamu diam saja!"

Disa mencoba sabar, dia mengembuskan napas sejenak untuk kembali menabung kesabaran, walau sebenarnya matanya sudah mulai panas ingin menangis. Disa berjalan ke arah Papa untuk bersaliman, "Disa pamit sekolah dulu, Pa."

Tapi, tangan Disa langsung tak digubris oleh Papa. Papa tidak mau menyalami Disa. Pria itu kemudian membuang muka dan kembali membaca koran paginya. Disa pun tak terlalu ambil pusing, Disa langsung membuka pintu ruang tamu, lalu menutup pintu tersebut dengan cara dibanting keras.

***

Apa rasanya punya Papa kayak gini, ya? Pasti berat banget punya hidup. Harus pinter-pinter menyeimbangkan antara sahabat, hati, dan keluarga. Kira-kira siapa sosok yang bisa menguatkan Disa di saat-saat sedih kayak gini?

Jangan lupa. Kalau udah baca, langsung VOTE, KOMEN, dan SHARE! Makin banyak apresiasi dari kamu, makin semangat aku melanjutkan karyaku.

Oh, iya, kamu bisa ngobrol langsung sama aku melalui Instagram: DWITASARIDWITA

Ditunggu lanjutannya segera Hari SENIN, 6 JANUARI 2020.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro