Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Teror 3 . Ajakan Negosiasi Arwah

"Kamu gila!" umpat Loyce sembari berdiri dari posisi jongkok. Di depannya terbaring lemah tubuh Aray. Meskipun demikian, dia memiliki alasan kuat untuk menaikkan volume suara.

"Apa kamu ingin membiarkanku hidup dalam ketakutan terus menerus?" Maksud ucapan Aray lebih ke arah meminta tolong. "Mungkin ini saatnya kamu harus berubah, Ce. Coba kamu bantu mereka!"

Loyce mendecih. "Lantas apa untungnya bagiku?" Kedua tangannya menengadah rendah. Kemudian, tangan kirinya tolak pinggang sementara telunjuk kanan mengarah ke wajah Aray yang masih seputih susu. "Dengar, Ararya Mahatma Pamungkas bin Gunawan Mahatma anak tunggalnya Ibu Lena Mustika! Aku hanya ingin menuruti permintaan Tiar untuk tidak berurusan dengan mereka dan semacamnya."

Aray mendengkus dan memalingkan wajah ke arah kanan. "Toh tetap saja kamu diganggu." Dia seolah-olah bicara pada sandaran sofa yang tepat ada di depan wajahnya.

Loyce menegakkan punggung dan sedekap di depan dada. "Toh hanya itu. Setidaknya, aku tidak repot melakukan ini-itu untuk mewujudkan apa yang mereka minta."

Mereka berdua terus melempar argumen yang berseberangan. Meskipun masih lemas akibat energi yang diserap oleh Hantu Nenek, Aray tidak pantang menyerah. Hingga pada akhirnya, Loyce terdiam lantaran mendengar kalimat sindiran untuk Tiar.

"Pernahkah Tiar bertanya apakah hari ini ada hantu yang muncul dan mengganggumu? Apakah kamu baik-baik saja dengan menghindari mereka seperti yang diminta olehnya?" Aray memberondong Loyce hingga dahinya mengerut. Sorot matanya menantang. Bagi orang yang melihat sekilas saja sudah pasti langsung tahu bahwa dirinya sedang menahan gejolak emosi yang mengepung hati. Tanpa diduganya, percakapan ini membuat suhu tubuhnya kembali ke titik normal dengan cepat.

Loyce menyorot tajam pada Aray. Tubuhnya terasa mendidih, tetapi tidak ada daya untuk melakukan perlawanan. Pertanyaan lelaki itu membekukan perjalanan impuls saraf di sekujur tubuh. Sementara itu, batinnya bersuara dengan simpang siur mencari pembelaan untuk Tiar. Sialnya, tidak ada satu pun kata yang patut dilontarkan.

Tidak kunjung mendapatkan umpan balik, Aray memutar kepala ke sisi kiri. Dia menaikkan alisnya yang selebat ulat bulu saat melihat Loyce bergeming, lalu mengangkat badan untuk duduk dan bersandar pada sofa. Gadis di hadapannya tidak membantu sama sekali meskipun menyaksikan kepayahannya. Dia mendongak dan mengamati wajah flawless Loyce. Dia masih mempertahankan sorot menantang untuk beberapa detik sebelum akhirnya melunak karena menangkap getaran di bibir Loyce.

"Oh, ayolah, Ce!" titahnya dengan kedua kaki menendang udara dan tubuh melorot. Dia membanting kepala ke sandaran sofa sehingga mendongak lebih tinggi. Gelagatnya saat ini menyerupai rajukan anak kecil karena tidak dibelikan mainan yang diinginkan. "Kan masih ada aku. Dia banyak tidak peduli padamu, tetapi aku sebaliknya. Kamu tahu itu. Lagi pula yang mendapat teror adalah aku, bukan dia. Apa kamu tega melihat sahabat baikmu ini menderita?"

Bibir yang siap mengeluarkan isak itu berubah melengkung membentuk senyum saat Aray memberi tatapan puppy eyes. Kekehan pun lolos terdengar. Loyce mengusut kedua sudut mata yang memerah dan sedikit berair.

Melihat raut murung sudah lenyap dari wajah sahabatnya, Aray tersenyum lembut. "Jika kamu tidak ingin Tiar tahu tentang Hantu Nenek, cukup kamu tutup mulut saja. Toh selama ini selalu kamu yang lebih dulu membuka cerita sementara dia tidak pernah menanyakan apa-apa."

Perkataan Aray yang terlampau jujur membuat hati gadis itu terenyak. Detik ini pula Loyce sungguh menyadari apa yang Aray ucapkan adalah hal nyata. Tidak lebih dan tidak kurang. Masih dalam keterpakuan, ingatan tersedot ke masa-masa di saat dirinya bercerita panjang lebar tentang harinya yang tidak jarang diwarnai oleh kehadiran makhluk tidak kasat mata. Dari semua memori yang berputar kembali itu, lelaki bernama Bachtiar Saputra itu tidak menunjukkan antusiasme. Yang nampak hanya wajah datar dan kritikan serta saran untuk mengabaikan mereka. Oh, juga sedikit ancaman tentang "jika kamu tidak mendengarkanku, kita putus"!

Tentu saja Loyce menganggap itu sekadar bualan sang kekasih-awalnya. Namun, akhir-akhir ini kalimat itu terasa makin nyata-sungguh sebuah ancaman. Meskipun demikian, gadis tersebut masih dilema antara menuruti permintaan Tiar untuk tidak berhubungan dengan hantu dan sejenisnya atau mengabaikan permintaan itu demi ketenangan hidup sahabatnya, Aray.

Tidak sabar menunggu tanggapan, Aray menarik tangan kanan Loyce untuk duduk di sebelah kirinya. Dia menatap lemah, tetapi dalam.

"Oke, oke!" seru Loyce dengan nada langsung tinggi. "Akan kupikirkan."

👻👻👻

Loyce menggeleng heran pada seorang perempuan berusia 49 tahun yang sedang menata isi tas ransel berukuran 55 liter dengan sedemikian rupa di kamar. Padahal, baru semalam dirinya bertemu. Penasarannya pada katak yang tidak memiliki paru-paru masih terbawa hingga siang ini.

"Apa mereka tidak memberi Tante waktu libur?" Dibandingkan pertanyaan, ini lebih terdengar sebagai kalimat protes dari Loyce.

Perempuan yang menyandang status sebagai ibu kandung Aray itu menoleh ke arah Loyce tanpa menghentikan gerakan tangannya. Dia melemparkan senyum sekilas. "Ada, tetapi tidak untuk bulan ini. Musim hujan banyak katak yang berkeliaran dan itu menyenangkan, membangkitkan jiwa peneliti Tante untuk terus mengenal mereka lebih jauh dan dalam."

"Waaah! Bukankah seharusnya pekerjaan Tante dan Aray itu ditukar?"

Lena mengerling. "Kamu tidak lupa jika papanya adalah seorang chef kapal pesiar, bukan?"

"Yaa, memang."

Detik ini Loyce membayangkan ada dua sosok bertolak belakang yang berdiri di hadapannya. Satu orang adalah perempuan tomboi, berjiwa petualang, suka tantangan, dan tidak tahan berdiam diri meskipun sejenak. Satu orang lagi adalah lelaki bergaya kalem yang menyukai warna-warna pastel, gemar memasak, dan ... punya bahasa tubuh yang halus meskipun badannya berisi seperti mayoritas lelaki. Hanya saja jika sedang bicara, lebih terlihat seperti seorang ibu. Oh, ya Tuhan! Pikiran macam apa ini?

Loyce menggeleng beberapa kali untuk mengembalikan kesadaran. Sementara itu, lawan bicaranya sudah selesai berkemas. Dia mengamati tas ransel Lena yang penuh. Benar-benar memaksimalkan fungsi dari sebuah tas gunung.

"Semua sudah beres!" Lena menarik punggungnya ke belakang beberapa derajat untuk mengurangi pegal karena lama membungkuk.

"Kita berangkat sekarang?" tanya Loyce.

Lena menyambar bucket hat motif loreng-loreng seraya menyahut, "Let's go!"

Lena memimpin jalan menuju garasi sementara Loyce mengekor. Gadis muda itu ngedumal dalam hati perihal Aray yang tidak dapat mengantarkan ibunya sendiri untuk kembali ke Kalimantan Tengah. Padahal, Lena tidak pasti dapat pulang ke Bandung tiap bulannya.

Selesai meletakkan tas di bagasi mobil jenis city car, Lena berjalan cepat ke pintu kemudi. "Tante yang bawa."

Perjalanan dari rumah hingga sampai ke Bandara Internasional Husein Sastranegara memakan waktu sekitar 40 menit. Sepanjang jalan, Loye berkomunikasi dengan Aray via WhatsApp. Tidak lupa juga Loyce mengirim pesan untuk Tiar, tetapi tidak terkirim. Saat dia berusaha menelepon beberapa kali, tidak satu pun yang tersambung. Kecurigaan sekaligus kekhawatiran menyergapnya perlahan.

Saat sedang bergulat dengan kegundahan ini, tiba-tiba telinga kiri Loyce terasa dingin dan bulu kuduknya berdiri. Matanya bergulir ke arah Lena yang tampak biasa saja. Dia menyimpulkan bahwa hanya dirinya yang merasakan hawa tidak mengenakkan ini. Awalnya, dia ingin tidak peduli. Namun, beberapa menit kemudian, dia merasakan hembusan angin berhawa dingin. Bahkan sekujur tubuhnya sampai menggigil seketika. Hal paling aneh adalah tercium aroma kemenyan. Padahal, di dalam kendaraan ini dipenuhi wangi ocean dari parfum gantung mobil.

Loyce mengerutkan hidung sesaat, lalu memasukkan kedua telapak tangan ke saku hoodie biru pastel milik Aray yang tadi Lena pinjamkan. Kemudian, dia memalingkan wajah ke jendela untuk melihat kanan-kiri jalan dengan barisan pepohonan tinggi dan teduh. Cukup sejuk bagi pengendara roda dua jika melintas di sini. Selain itu, kanan-kiri jalan ini juga terdapat bangunan yang mayoritas difungsikan sebagai tempat usaha kuliner atau oleh-oleh.

"Tan ...?"

"Ya?"

Bersamaan dengan sahutan Lena, telinga Loyce menangkap sebuah suara anak kecil laki-laki. "Kak ..., main yuk!"

Detik itu juga Loyce menjerit kencang. Dengan refleks kedua tangannya menutupi telinga dan matanya memejam. Meskipun demikian, lengkingan tawa dari sosok itu tetap menembus indra pendengarannya.

Wajah Lena yang tadinya santai berubah tengang. Segera dia menepikan mobil. Tidak perlu bertanya, dia dapat menebak apa yang terjadi. Menjadi tetangga sejak Loyce balita membuatnya mengenal gadis tersebut luar-dalam. Terlebih lagi Loyce akrab dengan anak laki-lakinya.

"Hei, hei! Loyce!" Lena menggoyang pelan bahu gadis di sebelahnya usai menepikan mobil.

Perlahan Loyce membuka mata dan menurunkan kedua tangan. Kemudian, matanya beredar ke segala titik yang dapat dijangkau. Setelah beberapa saat mengamati, semua terlihat normal.

Lena menyodorkan air mineral yang segera diteguk oleh Loyce. Sembari menunggu gadis itu menuntaskan dahaga, dia menyempatkan diri untuk mengoperasikan ponsel sejenak.

"Bisa kita lanjut jalan sekarang?" tanyanya setelah melihat air muka Loyce lebih tenang dibandingkan beberapa menit lalu.

Loyce mengangguk, lalu mobil kembali melaju ke tengah jalan raya. Lena membuka dashboard, mengambil bungkusan marshmallow yang sudah terbuka, lalu diberikannya pada Loyce.

Sisa perjalanan menuju bandara, Lena tidak bertanya apa yang terjadi tadi. Loyce pun masih enggan untuk membagi cerita. Masih ada sisa warna putih pucat di bibirnya yang agak mungil itu.

Pukul 13.20 WIB mereka berdua tiba di bandara. Loyce mengantarkan Lena sampai perempuan tersebut check in.

Lena memberi pelukan hangat dan mengucapkan terima kasih. Juga berpesan pada Loyce untuk jaga diri. Sebelum hilang dari pandangan, Lena melambaikan tangan dan melempar senyum.

"Sehat selalu, Tantee!" Loyce melambaikan tangan tinggi-tinggi.

Begitu sosok berbaju serba hitam itu sudah tidak terlihat, Loye mengayunkan kaki menuju pintu keluar. Sedetik kemudian, tubuhnya mematung sekaligus meremang. Aroma yang sama-kemenyan-kembali menyapu saraf di hidung mungil mancungnya. Suara berisik orang yang berlalu lalang dan mengobrol tergantikan oleh sapaan dari sosok bersuara anak kecil. Lagi-lagi kalimat yang sama dengan saat berada di mobil. Parahnya, kali ini berulang-ulang.

Loyce memejamkan mata dan mengatur fungsi otaknya untuk tidak memberi reaksi apa pun pada sosok itu. Berpura-puralah tidak tahu apa pun! batinnya. Kemudian, dia membuka mata dan mengambil oksigen sedalam mungkin. Dia mengeluarkan udara dalam sekali embus, lalu melangkah keluar dengan pasti.

Beberapa meter sebelum melintasi pintu keluar, Loyce merasa ada seseorang yang menarik bagian belakang kemejanya. Sempat terpikir untuk menoleh, tetapi segera diurungkannya karena yakin tahu siapa.

Kaki Loyce berhenti melangkah saat mendengar seorang anak perempuan memunjuk ke arahnya sambil berkata, "Ma, mata adiknya kakak itu hitam banget kayak pocong. Bibirnya juga sobek."

Si ibu langsung paham dengan ucapan anaknya. Dia menurunkan tangan kanan si anak yang mengarah ke Loyce dan memberi isyarat untuk tutup mulut. Tidak ada takut sedikit pun yang dirasakan oleh anaknya. Dia sama seperti Loyce, indigo.

Loyce menyengir kikuk saat si ibu meminta maaf. Kemudian, dia menaikkan kupluk hoodie hingga menutupi rambunya yang berkuncir kuda. Saat menuju mobil, ada tiga anak SD bersama beberapa orang dewasa berpapasan dengannya. Ketiga anak itu merengek sambil meliriknya dengan tubuh merapat ke orang dewasa di samping mereka. Ada suara lain yang menangis dan meracau tentang mengajaknya ke Time Zone. Saat dia perhatikan diam-diam, tidak satu pun di antara tiga anak itu yang bicara.

Oh, astaga! Ini pasti ulah makhluk tidak kasat mata lagi. Gadis itu bersikap tidak peduli dan terus berjalan. Hingga berada di mobil, barulah Loyce mengeluarkan sentakan karena sosok itu sudah duduk manis di kursi penumpang depan. Ubun-ubunnya terasa mendidih karena kehadiran arwah anak ini menarik perhatian orang-orang tadi.

"Apa maumu sih?" Dahi Loyce berkerut. Air mukanya keruh.

Ditanya dengan intonasi tinggi, si arwah anak itu sedikit berjengit. Sepasang matanya yang dikelilingi lingkaran hitam tebal menyorot Loyce dengan sendu. "Tolong temani aku bermain, Kak."

Loyce meringis. "Memangnya aku kakakmu?"

Dengan segala bujuk rayu, si arwah anak itu terus membuat Loyce kerepotan. Hingga pada akhirnya, gadis tersebut menurut dan dia kegirangan.

Loyce termenung sejenak. Dia menyaksikan dengan jelas aura gelap si arwah anak itu lenyap. Tubuh sosok di sampingnya berubah cerah, menjadi putih bersih seperti anak keturunan kulit putih.

"Tetapi jika sekali saja kamu bertingkah, aku pergi!" ancam Loyce saat mobil sudah memasuki lajur jalan raya.

Si arwah anak itu mengangguk patuh. Senyum riang mengembang sempurna di bibir pucat pasinya. Dia menatap jalan di depan dengan penuh antusias, persis seperti anak manusia yang tengah mengagumi perjalanan pikniknya.

Tanpa sadar bibir Loyce juga melengkung ke atas meskipun tipis. Dia penasaran dengan nama asli sosok di sampingnya, tetapi tidak ingin bertanya. Sebab, dia tidak ingin arwah anak lelaki berbaju setelan hijau lumut itu menganggap jika dirinya meminta menjadi teman akrab.

"Kakak boleh memanggilku apa saja," celetuk si arwah anak itu tanpa diminta. Tatapannya masih lurus ke arah jalan raya.

Sontak Loyce menoleh dan melebarkan mata. "Aku tidak penasaran," sahunya secepat kilat.

Si arwah anak itu memberikan sinyal sumpah lewat kedua jarinya. "Aku janji tidak akan melonjak."

Loyce mendesah dan kembali fokus menyetir. Tidak ada percakapan yang terbentuk lagi hingga mobil masuk ke parkiran bawah sebuah pusat perbelanjaan. Sebelum turun, Loyce memperingatkan sosok di sampingnya untuk tidak mengajak bicara, menampakkan diri ke orang lain, maupun berulah dan sampai mengundang curiga. Dia tidak ingin menghadapi kesulitan lagi.

Tiba di depan lokasi permainan yang dituju, Loyce membuka m-banking untuk melakukan top up. Kemudian, dia tersadar atas sesuatu sehingga mengirim pesan pada Aray.


"Astaga! Aku tidak percaya melakukan ini," gumam Loyce sembari menatap sia-sia ke kartu Time Zone yang baru saja diisi ulang olehnya sebesar 500 ribu. Padahal, kartu itu sudah lama tidak dipakainya. Dia ingin menggeram, tetapi masih tahu malu. Di sekitarnya banyak pengunjung dan dia tidak ingin menjadi pusat perhatian karena dianggap sebagai orang aneh.

Pada akhirnya, Loyce merapat ke dinding pembatas berupa kaca yang ada di depan Time Zone. Dia membalas pesan Aray, lalu menggulir-gulir laman media sosial. Sekitar 10 menit kemudian, matanya mulai pegal. Ingin hati meneruskan berselancar di dunia maya, tetapi seperti ada sesuatu yang membuatnya berpaling.

Dia pun mengubah posisi menjadi bersandar pada tiang yang hanya berjarak 2 meter dari posisi berdiri. Kemudian, melihat-lihat sekitar sebelum akhirnya terpaku pada dua orang yang berjarak sekitar 8 meter di depannya. Menurunkan bagian depan topi, Loyce pun menunduk dan memutar badan menghadap dinding kaca pembatas.

Masih dalam mode bertanya-tanya, si arwah anak kecil muncul di sampingnya dengan tiba-tiba. Beruntung Loyce tidak lepas kendali-berteriak.

"Itu kekasih Kakak, kan?" tanyanya dengan wajah polos.

Loyce ternganga.

"Aku akan memata-matai kakak itu, tetapi Kakak harus menemaniku bermain saat kuminta."

Belum sempat mengeluarkan jawaban, sosok itu hilang. Saat mata Loyce menyusuri koridor hingga menemukan Tiar dan seorang perempuan tidak dikenalnya, di sana pula dia melihat si arwah anak itu melayang-layang di belakang Tiar. Kali ini Loyce tidak tahan untuk tidak menggeram kesal.

_________________

Bab ini kayaknya jadi yang terpanjang deh, 2.200-an kata. Semoga kalian puas dan terhibur dengan cerita ini.

Fii lagi kencangkan ikat kepala untuk kejar tayang. Doakan tamat di tanggal 30 ya, wan kawaan dunia oranye.

25 Juli 2023
Thanks a lot
Fiieureka

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro