Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Chapter 1

"Maaf Tuan, semua tempat yang anda kehendaki sudah penuh. Hanya tersisa satu tempat saja yang masih memiliki banyak kamar kosong, Tuan." Seorang lelaki berambut mayoritas putih mengatakan laporannya sambil menunduk, tak berani menatap namja di depannya.

"Apa kau bilang? Penuh?" cerca namja berambut merah muda kepada suruhannya. "Jadi aku harus tidur di penginapan berhantu itu?" ujarnya lagi seraya menekankan kata 'berhantu' yang berarti menurutnya, tempat itu tak pantas untuk disinggahinya.

"Maaf Tuan...."

"Kau pikir dengan kata maaf aku bisa tidur dengan nyaman di penginapan horor itu?!" makinya sambil menggebrak meja kayu di depannya. "Aku tak peduli! Sekarang kau cepat suruh salah seorang dari mereka untuk bertukar tempat denganku atau kalau tidak usir saja mereka!"

"Tapi Tuan...."

"Sekarang." katanya sambil menunjuk pintu ruangannya, memaksa suruhannya untuk pergi sekarang juga.

"Tuan, saya...."

"SEKARANG!" teriaknya menggelegar. Suruhan namja itu merinding, merasakan tuli sejenak akibat getaran hebat yang merasuki gendang telinganya.

"Baik, Tuan. Permisi...."

Namja itu menatap tajam suruhannya. Mengamati setiap gerakan orang yang lebih tua darinya itu dari ia berbalik sampai menutup pintu ruangannya.

"Dasar tidak berguna." umpatnya sinis sebelum ia membalikkan badan untuk bertemu pandang dengan rekan kerjanya.

"Wow, bravo Luhan, bravo." seorang namja yang notabene rekan kerja namja yang ia panggil Luhan, berdiri seraya bertepuk tangan, melangkahkan kakinya menuju meja yang Luhan sandari.

"Shut up, Zhang Yixing. Kau tidak sedang dalam posisiku." katanya sambil menghirup aroma teh yang kemudian diseduhnya bersamaan dengan ayunan tangan Yixing yang menghambur ke pundak kiri Luhan.

"Kau tahu dia lebih tua darimu."

"Aku sangat tahu, jadi diamlah." Yixing menggeleng-gelengkan kepalanya. Rekan kerjanya yang satu ini benar-benar keras kepala, tipikal orang yang berzodiak Taurus sepertinya.

***

"Selamat datang di Jjangiya Hotel, Tuan..." seorang yeoja muda menyapa pengunjung hotel yang sangat jarang ditemuinya. Hotel ini memang bisa dikatakan hotel terburuk di kota yang memang bisa disebut terpencil ini. Bukan fasilitas maupun pelayanannya yang buruk. Namun penampilan luar hotel ini memang sangat kurang menarik. Pengelolaan hotel ini terfokus pada segala sesuatu yang ada di dalam bangunan, tak mempedulikan luarnya sedikitpun. Agar memberi kesan "Ku kira dulu ini hotel yang sangat buruk, ternyata justru kebalikannya" kata si Pemilik.

Namun nyatanya penampilan luar sangat berpengaruh bagi pengunjung. Jarang sekali ada pengunjung yang datang apabila hotel lain tak penuh. Pilihan terakhir kata mereka. Orang-orang yang sering berdatangan kemari pasti sudah tahu bagaimana tempat ini dan merasa nyaman walaupun kesan pertama mereka pada hotel ini amat buruk.

Seburuk apa, sih, penampilan luar hotel ini sehingga tak ada orang yang sudi singgah kemari untuk sekedar "mencoba hotel yang lain"? Kalian pernah melihat rumah angker yang dinding bagian luarnya dipenuhi lumut? Ya, seperti itulah keadaan hotel ini, walaupun hanya di luarnya saja. Tanaman-tanaman pengganggu juga dibiarkan melanglang buana begitu saja untuk menambah kesan mistis. Kadang-kadang para pekerja di sini juga tak tahu ke mana arah pemikiran si Pemilik yang begitu terobsesi dengan dunia magis dan surga. Sehingga hotel miliknya pun juga campuran kari keduanya.

Karena pengunjung tak terlalu banyak, kadang satu pekerja bisa ditugasi untuk mengurus satu kamar saja, jadi pelayanan lebih terfokus.

***

"Kau di mana?! Kenapa lama sekali?! Kau tahu ini sudah hampir jam setengah tiga, dan aku tidak mau menghabiskan siangku di sini!" Setelah hampir satu jam menunggu, Luhan tak sabar juga akhirnya. Suruhannya tak kunjung kembali. Sedangkan ia berada di ruangan kerja orang lain yang sangat tak nyaman baginya. Mengapa ia harus ditugasi di kota terpencil seperti ini? Bahkan penginapan yang bagus saja bisa dihitung dengan jari.

Yixing memperhatikan Luhan sejenak, mengamati setiap gerakan kasar yang ia buat karena sebegitu kesalnya namja itu.

"Sudahlah, terima saja." katanya mengganggu Luhan. Luhan menayangkan tatapan tajamnya ke arah Yixing, menyuruhnya untuk tutup mulut.

"Kenapa sampai tidak ada yang mau keluar?!" Luhan kembali berteriak di telefon.

"Tentu saja mereka tidak mau keluar, Babo."

"Diam Zhang Yixing!"

Yixing kembali menutup mulutnya.

"Argh, aku tak peduli!" kali ini Luhan menjambak rambutnya, membiarkannya acak-acakan karena itu.

"Luhan-ah, kau tak kasihan pada suruhanmu?" Yixing mengganggu Luhan lagi, tak peduli namja itu sedang berkomunikasi dengan orang di seberang sana.

"Kau mau bertukar denganku?" Yixing terdiam. "Tidak, bukan? Maka dari itu diamlah...," kata Luhan sembari melangkah menjauhi Yixing tak lupa memaki-maki suruhannya lebih lanjut.

Yixing ditinggalkannya geleng-geleng kepala, lagi.

***

"Kau mau juga akhirnya...," kata Yixing saat ia dan Luhan di dalam mobil bersama suruhan Luhan. Mereka ada di depan gerbang hotel "berhantu" saat ini.

"Oh, please. Tak ada pilihan lain." Luhan mengemasi barang-barangnya, bersiap keluar sambil memutar kedua bola matanya.

"Cukup bagus untuk ukuran hotel "berhantu"." kata Yixing manggut-manggut.

"Tak usah berkomentar, kau sendiri pasti begidik saat kita baru sampai di tempat ini. Dulu saja, saat pertama kali melewati tempat ini dan melihat bagaimana rupa hotel ini, aku lantas pergi." Luhan membuka pintu mobilnya.

Namja itu menginjakkan kakinya ditanah dan membanting pelan pintu mobil di depannya. Beberapa detik kemudian, kaca belakang mobil itu terbuka.

"Ya, memang sangat menakutkan. Untung saja kita tak jadi bertukar tempat." kata Yixing sambil menjulurkan lidahnya.

"Sialan!"

"Tuan, besok saya jemput pukul delapan tepat." kata suruhan Luhan terakhir kali sebelum Yixing sialan menutup kaca jendela dengan sempurna.

Secepat kilat, mobil itu tiba-tiba sudah hilang dari pandangan Luhan. Meninggalkannya yang menghela napas berat nan panjang. Meninggalkannya yang menuntun dirinya ke tempat yang bagaikan neraka sendirian. Melangkah gontai memikirkan nasibnya tinggal di tempat tak layak seperti ini.

"Dasar Yixing sialan. Berpura-pura mendukungku untuk tinggal di rumah hantu namun untuk sekedar menatap rumah hantu itu sendiri ia tak mau." Luhan menggerutu dalam langkahnya menuju bangunan hotel yang semakin dekat terlihat semakin angker. "Hih, siapa juga yang sudi menginap di tempat seperti ini. Lihat saja kau, Yixing, semoga orang yang kau sukai menyukaiku agar kau merasakan betapa hancurnya hatiku saat ini." Luhan mengepalkan tangan kanannya. "Ah, mengapa aku jadi mendramatisir suasana begini...."

Hampir disentuhnya daun pintu bangunan besar itu oleh Luhan, sebelum pintu itu terbuka dengan sendirinya. Jangan kira Luhan tak kaget karenanya. Jantungnya serasa hampir lepas, asal kau tahu saja. Ia menyesali kebodohannya setelah memasuki hotel itu dan melihat dua petugas keamanan yang tadi membukakan pintu untuknya. Ia benar-benar parno.

"Selamat datang di Jjangiya Hotel, Tuan...."

Luhan melayangkan pandangannya ke arah sumber suara, dan dilihatnya sesosok malaikat dengan sinar terang yang mengelilinginya. Yeoja tinggi semampai dengan rambut bergelombang yang dibiarkan tergerai, memakai dress merah yang Luhan tak tahu seberapa panjangnya karena tertutupi oleh meja resepsionis. Senyum manis yang terulas di wajahnya yakin mampu memikat seluruh namja di dunia ini tanpa satupun yang melengos pergi.

Seperti terhipnotis, tanpa mengalihkan tatapannya yang tepat di manik mata yeoja itu, Luhan bergerak menuju meja resepsionis. Sang yeoja terlihat salah tingkah ditatap seperti itu, apalagi saat Luhan tak juga mengalihkan pandangannya seusai check in.

Yeoja itu teringat akan sesuatu.

"Ah, Tuan...," katanya seraya menyodorkan selembar kertas tebal yang telah dilaminating dengan rapi.

Suaranya. Suara yeoja itu begitu lembut mampu menuntun Luhan ke dalam mimpi, jika namja itu saat ini berbaring.

"Kami di sini menyediakan pelayanan one on one. Maksudnya satu kamar hanya ditugaskan kepada salah satu pelayan saja. Apakah Tuan ingin memilih pelayan mana yang Tuan kehendaki untuk mengurus kamar Tuan, atau terserah kami saja?"

Luhan masih berusaha mencerna kalimat yeoja malaikat itu. Pelayanan one on one? Yang benar saja?

Yeoja itu mendapati dirinya terkesiap kaget ketika Luhan menunjuk ke arahnya, masih belum melepaskan tatapan matanya padanya. Semburat merah mulai menutupi sebagian dari wajahnya.

"Tidak bisa, Tuan...," katanya sambil tersenyum kaku. "Saya bertugas sebagai resepsionis di sini."

"Wae?" tanya Luhan datar dengan ekspresi kagum terpancar di wajah tampannya. Sepertinya ia sudah terperangkap dalam cinta pada pandangan pertama. "Mengapa resepsionis tak bisa melayani pengunjungnya?"

"Ah, tugas kami memang berbeda, Tuan."

"Antarkan aku ke atasanmu!" pinta Luhan. "Sekarang."

"Tapi, Tuan...."

"Sekarang." katanya lagi dengan nada datar. Rasa kagumnya terlalu mendominasi sehingga untuk sekedar meneriaki yeoja itu saja Luhan tak sanggup.

Yeoja itu segera beranjak dari tempatnya dan berjalan ke sebuah ruangan dengan Luhan mengikutinya di belakang. Setelah mengetuk pintu dan mendengar persetujuan atasannya apakah ia boleh memasuki ruangan itu atau tidak, si yeoja resepsionis membuka knop pintu dan memasuki ruangan dengan membawa Luhan.

Sang atasan, dengan nama Kim Jongdae tertera di nametag jasnya, sedikit terperanjat mengetahui ada orang asing selain si yeoja yang memasuki tempatnya. Menyadari Luhan adalah tamu hotel miliknya, namja itu langsung memasang muka ramah.

"Ah, silakan duduk, Tuan...," katanya sambil menunjuk sebuah sofa empuk di depan mejanya. Luhan menurut. "Ada perlu apa, Tuan?"

Luhan seketika menatap ke arah si yeoja. Menyadari dirinya ditatap, yeoja itu menatap balik dan mendapati tatapan Luhan yang menginginkan yeoja itu untuk menjelaskan segalanya.

"Ah, begini. Tuan ini menginginkan saya menjadi pelayannya. Sedangkan anda sendiri tahu tugas saya di sini adalah sebagai resepsionis." jelasnya.

"Benar begitu, Tuan?" Luhan mengangguk mantap sambil menatap Kim Jongdae tanpa jeda. Kim Jongdae yang ditatapnya seperti itu benar-benar mati kutu. "Seohyun, ke mari sebentar."

Seohyun menghela napas. Ini bukan reaksi yang ia inginkan.

Ia dan Jongdae berbica sejenak di sudut ruangan. Sementara Luhan tak bersusah payah memperhatikan karena ia tahu keinginannya pasti akan terwujud.

"Tolong, Seohyun. Sekali ini saja." pinta Jongdae kepada Seohyun.

"Tapi, saya tak bekerja di sini untuk ini, Tuan...." rengek Seohyun. "Lagipula namja itu tinggal di sini selama satu minggu. Apakah saya benar-benar harus menjadi pelayan selama satu minggu hanya untuk dirinya?"

"Aish, kau tahu, bukan, tadi tatapan namja itu seperti apa?"

Seohyun menggeleng.

"Ia menatapku seperti predator yang ingin menangkap mangsanya, kau tahu?!"

"Hah? Dia tadi menatap saya dengan pandangan kosong." Seohyun menggaruk kulit kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.

"Aku akan memberi tambahan gaji jika kau mau." Jongdae menghela napas berat.

"Oh, jinja?!" mata Seohyun melebar mengetahui keadaan yang tak ia duga sebelumnya. Ketika Jongdae memberi anggukan kecil, dengan suara tertahan ia menerima tawaran Jongdae. Walaupun dengan berat hati.

"Baiklah, Tuan...." Jongdae menjeda kalimatnya setelah menyadari ia tak mengetahui nama namja di depannya, saat ia dan Seohyun kembali menghadap Luhan seusai berbicara empat mata.

"Luhan." kata Luhan singkat seraya berdiri dari tempatnya duduk semula.

"Baiklah Tuan Luhan, Nona Seohyun akan bekerja di tempat anda selama 1 minggu." Kata Jongdae sambil tersenyum. Diikuti dengan desahan napas panjang dari Seohyun serta senyuman kecil di bibir Luhan.

"Seohyun, ya...," desis Luhan pelan.

***

"Tekan saja tombol ini, jika Anda membutuhkan saya. Permisi."

"Ah, seharusnya aku tak memberitahukannya, tadi." Seohyun sedang berganti pakaian ketika flashback kejadian tadi terputar kembali di otaknya. "Jongdae Ahjussi ini ada-ada saja. Kadang aku benar-benar tak mengerti dengan jalan pikirannya. Kupikir menjadikan penampilan luar hotel ini menjadi seperti nuansa bangunan horor adalah pemikiran terburuknya, namun ternyata apa yang terjadi padaku kali ini lebih buruk lagi rupanya." gerutu yeoja manis berambut hitam kecoklatan itu.

TEET TEET

Seohyun dikagetkan oleh suara alat yang kini berada di sakunya. Alat itu berbunyi, tanda pengunjung yang dipertanggung jawabkan kepadanya membutuhkan sesuatu darinya.

"Ah, bahkan ini belum ada setengah jam dari waktu aku meninggalkannya." katanya sambil menyisir rambutnya dengan cepat dan segera bergegas menuju kamar 236, di mana Luhan menginap.

Seohyun merapikan pakaiannya sekilas ketika ia sudah berada di depan pintu kamar Luhan. Diketuknya pintu kayu itu tiga kali, dan tak lama kemudian terdengarlah suara seseorang yang menyuruhnya masuk.

"Masuk saja...."

Seohyun menurut. Diputarnya daun pintu kamar 236, dan sejurus kemudian yeoja itu masuk ke kamar tersebut disambut oleh Luhan yang sedang menonton salah satu saluran televisi.

"Ya, Tuan?"

"Duduklah." kata Luhan sambil menunjuk salah satu kursi yang terletak tak jauh dari ranjang Luhan.

Seohyun hanya memasang senyuman. "Tidak usah, Tuan, terimakasih. Tuan ada perlu apa?" tanyanya seramah mungkin.

"Aku?" Luhan berganti menatap Seohyun. Seohyun mengangguk. "Aku tidak perlu apa-apa." katanya santai.

"Lalu...," raut wajah Seohyun seketika berubah. "mengapa anda menekan tombol itu, Tuan?" katanya sedikit jengkel. Ia merasa dipermainkan oleh orang yang membuatnya terpaksa beralih profesi.

"Aku hanya ingin mencoba saja. Ternyata belnya tidak rusak, ya?" Luhan manggut-manggut.

Seohyun mendengus kesal dibuatnya. Yeoja itu menekankan dirinya sendiri untuk bertabah menghadapi pengunjung macam ini.

"Ya sudah kalau begitu, permisi Tuan...."

Luhan menyembunyikan seringaian kecilnya ketika yeoja itu berbalik membelakangi dirinya untuk pergi. Setidaknya ia sudah mengobati rasa rindunya yang tiba-tiba muncul setelah belum 30 menit berpisah dengan Seohyun.

***

"Hmm, Luhan. Di sini benar-benar nyaman, kau tahu?" ungkap Yixing yang memamerkan tempat penginapannya di telepon malam itu. Ia tidak tahu di seberang sana, Luhan sedang memutar kedua matanya bekali-kali. "Pasti di sana sarang hantu, ya? Dari luar saja sudah kelihatan seperti Lawang Sewu. Apakah di sana juga ada banyak sumur yang berlumut?" kata Yixing sebelum mengakhiri kalimatnya dengan tawa mengejek.

"Terserah, terserah." kata Luhan seadanya. Lagi pula di sini tak seburuk itu. Mungkin malah bisa dibilang fasilitasnya justru mengarah ke kelas menengah ke atas. Tampak luar hotel ini memang sangat menipu pengunjung. Penampilannya sangat tidak menjual, sedangkan di dalamnya berisi beribu-ribu fasilitas tersembunyi yang masih beberapa orang saja yang dapat menikmatinya.

"Hahaha. Hati-hati ya, kau nanti malam jangan tidur dengan mematikan lampu seperti biasanya. Nanti bisa-bisa paginya kepalamu sudah hilang, lagi. Hahahaha...."

Dari suara Yixing, Luhan mengerti sekali pasti namja itu sedang berguling-guling sendiri akibat leluconnya tentang hotel ini. Dasar orang sarap.

"Sialan kau. Hey, di sini tak seburuk itu, tahu!" kata Luhan berusaha membela.

"Jangan berharap aku bisa terpengaruh oleh ucapanmu, karena aku tidak akan pernah mau bertukar tempat denganmu. Mehrong! Bye!" ucap Yixing untuk yang terakhir kalinya sebelum ia secara tiba-tiba menutup sambungan teleponnya dengan Luhan.

Luhan geleng-geleng kepala. Yixing sendiri yang tadi menelponnya, dan ia juga yang menutupnya secara sepihak. Padahal, tadi kedua namja itu sedang membicarakan tentang pekerjaan mereka. Sampai suatu ketika apa yang mereka bahas sudah terselesaikan dan Yixing tiba-tiba mengubah arah pembicaraan menjadi tentang kenyamanan penginapan mereka.

Sudah hampir pukul enam petang ketika Luhan meletakkan telepon genggam miliknya di sebuah meja kecil di samping ranjangnya. Matanya yang tiba-tiba menangkap sebuah jam dinding mengingatkannya bahwa hari sudah petang dan dirinya belum juga mandi sore.

"Huh, sudah jam segini, rupanya." katanya pada dirinya sendiri. Baru saja ia akan menggerakkan kakinya untuk mengisi bak mandi kamarnya, sebelum tiba-tiba rasa malas menyeruak di dalam lubuk hatinya. Untung saja ia mengingat sesuatu.

***

TEET TEET

"Oh?" tubuh Seohyun hampir terbanting jatuh saat suara mengagetkan itu kembali berbunyi. "Jam 6? Apa ia sedang malas mengambil makan?" ujarnya. Kemudian ia berpamitan kepada semua pekerja yang ada di sana setelah beranjak dari tempatnya duduk.

"Wah, sepertinya kau sibuk, ya?" kata salah satu teman wanitanya.

"Ah, tidak juga. Ini baru panggilan kedua, kok." Seohyun menggaruk-garuk kulit kepalanya.

"Sepertinya ia menyukaimu, Seohyun-ah...," ujar pekerja yang lain.

"Oh! Aku setuju sekali!" sahut yang lainnya.

"Aku juga setuju! Namja itu pasti menyukai Seohyun kita."

"Hmm, ngomong-ngomong dia sangat tampan. Pantas sekali apabila dipasangkan dengan Seohyun kita."

"Hey, hey." Seohyun berusaha menghentikan pembicaraan yang tak masuk akal itu. "Tidak mungkin ia menyukaiku. Kalian ini ada-ada saja."

"Ey, bukankan sangat terlihat bahwa namja itu benar-benar jatuh cinta padamu?" kata seseorang di belakang Seohyun. "Betul tidak?"

"Ya, aku juga dapat melihat itu dari matanya." kali ini seorang pekerja pria membuka mulutnya.

"Aish, apa-apaan kalian ini? Sudah kubilang tid-"

TEET TEET

Seohyun terlonjak kaget. Namja itu menekan bel itu lagi.

"Ah, lihat! Dia pasti menunggu! Dasar, kalian! Dagh, aku pergi dulu...."

Teman-teman Seohyun mengangguk. Mereka kembali membicarakan Seohyun dan Luhan sepeninggal Seohyun dari tempat itu.

***

"Masuk saja...,"

Seohyun menurut. Ia membuka pintu kamar Luhan dan kembali melihat pemandangan Luhan yang sedang melihat televisi. Perasaannya mulai tidak enak. Apa namja ini akan mengerjainya lagi untuk yang kedua kalinya?

"Ya, Seohyun. Kau tak usah mengetuk pintu lagi jika mau masuk. Jika kau ingin masuk, ya masuk saja." kata Luhan.

"Ah, tidak bisa begitu, Tuan...," kata Seohyun sopan.

Luhan tak menjawab. Tatapannya masih terfokus pada layar televisi yang Seohyun lihat sedang menampilkan tanyangan kartun untuk anak kecil. Seohyun mengerutkan dahinya.

"Ah ya, Tuan, ada apa kiranya sampai Tuan memanggil saya? Apa ada sesuatu yang bisa saya bantu?"

"Mmm...," Luhan mengangguk tapi tak memberi tahu sedikitpun apa yang ia butuhkan.

Seohyun menampakkah wajah bingungnya. Luhan tertawa kecil ketika melihatnya.

"Aku malas bergerak. Bisa kau isikan bak mandi untukku?" tanya Luhan.

Seohyun memelototkan matanya. "Ne?"

Luhan hanya mengangguk-angguk menanggapinya.

"Baiklah, Tuan." kata Seohyun terdengar sedikit kesal. "Aku kira aku akan disuruh mengambil makanan, ternyata hanya disuruh mengisi bak mandi. Apa-apaan ini?" Gerutu Seohyun lirih, namun telinga tajam Luhan masih dapat mendengarnya sehingga membuat namja itu tersenyum kecil. "Tak apa, lah. Setidaknya ini lebih baik dari panggilan pertama. Teman-teman pasti tidak akan mengira namja itu menyukaiku jika mereka tahu apa sebenarnya yang kulakukan di sini. Huh, orang yang menyukaimu tidak mungkin mempermainkan dirimu, bukan?" kata Seohyun lagi sebelum akhirnya memasuki kamar mandi kamar itu.

Sepeninggal Seohyun, Luhan menjatuhkan dirinya di tempat tidurnya. Ia benar-benar tak bisa menatap yeoja itu lama apabila mereka hanya berdua. Yang Luhan takutkan, bisa-bisa Luhan tak dapat mengendalikan dirinya dan memakan yeoja itu. Haha, tentu saja bukan begitu. Jika Luhan menatap yeoja itu lama, pasti ia tak akan bisa membiarkannya pergi. Dan itu pasti akan terlihat sangat creepy padahal ini adalah hari pertama mereka bertemu.

Luhan memang tipe namja yang sukar untuk jatuh hati. Namun, ketika ia jatuh pada seseorang, ia benar-benar akan membuat yeoja itu merekat padanya.

Ketika Seohyun menampakkan batang hidungnya untuk pertama kalinya setelah ia memasuki kamar mandi, Luhan sudah menunggunya di depan pintu. Menampakkan senyuman manisnya yang justru membuat Seohyun begitu terperanjat. Kaget sekaligus takut.

"Ya, mengapa kau ketakutan begitu?" tanya Luhan yang hadir dengan handuk tersampir di bahu kirinya. Seohyun hanya menggeleng lemah. "Minggir, aku mau masuk." ujar Luhan sebelum Seohyun mengambil beberapa langkah ke samping.

"Permisi, Tuan...."

"Kau tahu aku belum makan, Seohyun. Kembalilah ke mari dengan membawa makanan!" pinta Luhan sebelum akhirnya menghilang di balik pintu kamar mandi setelah Seohyun mengiyakan permintaannya.

***

"Tuan Luhan malas mengambil makanan, ya?" tanya Daeun kepada Seohyun ketika mereka bertemu di dapur hotel.

"Eh? Tuan siapa?"

"Tuan Luhan...."

"Siapa pula Tuan Luhan yang kau sebut itu?" tanya Seohyun sambil mengambilkan makanan. Rupanya ia tak mengingat nama Luhan yang sudah ia tulis di buku data resepsionis. Bahkan, Luhan juga sudah menyebutkannya kembali di saat mereka menemui Kim Jongdae, namun rupanya Seohyun tak terlalu memperdulikannya.

"Aigoo, kau tak tahu nama orang yang kau layani?!"

"Eh?"

"Seohyunnie babo. Luhan itu nama orang yang kau layani, nama namja yang menginap di kamar 236!" ujar Daeun gemas.

"Oh, Luhan ya...," ujar Seohyun sambil meletakkan piring makan Luhan di atas sebuah nampan bersih. "Aku pergi dulu, ya?" pamit Seohyun.

Daeun mengangguk.

***

Pemandangan pertama yang Seohyun lihat ketika ia memasuki kamar bernomor 236 itulagi ialah sesosok namja berpostur menawan dengan balutan kaus polos berwarna putih dan celana santai yang memiliki warna senada. Ditambah lagi dengan gerakan namja itu yang sedang menggosok-gosok rambut merah mudanya yang masih basah dengan handuk yang dipegangnya di tangan kanan.

Seohyun merasakan mukanya memanas. Tak seharusnya ia datang di saat seperti ini.

"Mengapa kau diam di sana?" tanya namja itu membuyarkan lamunan Seohyun yang kini merasa benar-benar kikuk.

"Ani, tidak ada apa-apa." ucap Seohyun sambil meletakkan nampan yang dibawanya di atas sebuah meja makan yang terletak di sudut ruangan. "Permisi, Tuan. Selamat malam...," katanya lagi sebelum pergi meninggalkan Luhan.

"Malam...."

Ah, hari yang amat melelahkan ini akhirnya berakhir juga.

Atau, tidak.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro