Dinner Talk
"Kek, mengapa Mansion Gingercrumbs bermasalah?"
Waktu itu matahari telah terbenam. Saat menyiapkan makan malam, Valerie terus kepikiran kejadian tadi sore. Ethan tak bisa melewati pintu keluar bangunan manapun, tak peduli betapa kuat Valerie menariknya. Tidak mungkin itu sihir. Valerie tak memercayainya, meski ia kerap diusili monster-monster kecil tak kasat mata di kolong tidur dahulu. Ia dan Lucas juga sering dilempari buah-buahan keras dan mungil saat memanjat pohon. Entah siapa pelemparnya.
"Jauh sebelum mansion itu dibeli keluarga Hansell, orang-orang sering melihat penampakan."
"Kakek juga melihatnya?"
"Oh!" Kakek menggebrak meja dengan bersemangat. Kedua mata mungilnya berkilat-kilat. "Dahulu, regu pramuka kami sering jurit malam di sana! Namun, setelah beberapa kejadian, kami memutuskan untuk memindah lokasinya."
Valerie menegakkan punggung. "Ada apa?"
Kakek mengunyah kentang panggang sesaat. "Banyak anak yang hilang." Ketika kedua mata Valerie membulat ngeri, Kakek menambahkan. "Kami kira mereka sudah pulang. Tidak. Mereka tak pernah kembali lagi ...."
+ + +
"Itu yang dikatakan Kakek."
Keesokan harinya, Valerie bersembunyi di antara tumpukan buku tinggi bersama Ethan. Sang pemuda mendengarkan dengan saksama. Wajahnya memucat ... tunggu, kalau dipikir-pikir, dia memang pucat sejak awal. Valerie duga karena ia kekurangan sinar matahari selama terperangkap di sini.
Saat Ethan hanya menghela napas, Valerie mendesak. "Bagaimana bisa kau berakhir di sini?"
"Ceritanya panjang." Ethan tampak enggan. Ia sesekali menengok ke arah pintu keluar, yang akhirnya menjadi kebiasaan baru Valerie juga. Olga tak terlihat. Di saat yang sama, aroma jahe dan kayu manis melapis pekat pada udara. "Intinya ... ayahku membeli mansion ini untuk vila musim panas kami."
Valerie ingat Kakek pernah menyinggung soal Tuan Hansell. "Dan tak ada yang memperingatkan ayahmu?"
"Nah. Ayah juga tidak bertanya-tanya mengapa harganya sedikit terlalu murah." Ekspresi Ethan mengeruh. "Dia tidak terlalu peduli. Maksudku, yang penting aku dan saudara-saudaraku punya tempat berlibur ... maka itu cukup baginya."
Valerie mengawasi sang pemuda mengalihkan pandangan pada tumpukan judul di sisinya. Kegetiran mewarnai kedua bola matanya yang gelap.
"Dan mengapa kau sendirian? Di mana saudara-saudaramu?"
Valerie tampaknya telah menanyakan hal yang tepat—atau bahkan tidak sama sekali—saat pandangan Ethan mengosong. "Kakakku lebih suka berlibur ke Amerika. Dia kuliah di sana. Di Johns Hopkins. Adikku ...."
"Adikmu?"
Ethan menatapnya dengan tajam. "Dia mati."
"Oh, maafkan aku—"
"Dia mati di sini, Val."
Valerie mengatupkan bibir. Sekental kegetiran yang merayap di wajah Ethan, gadis berkuncir kuda itu merasa bulu kuduknya meremang. Sedangkan Ethan beranjak, mulai mengangkat tumpukan buku yang mengelilingi mereka, dan menaiki tangga.
+ + +
Valerie pulang pukul lima sore seperti biasa. Kali ini Ethan mengantarnya sampai ke pintu depan. Itu pun karena Valerie masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, dan ingin menguji lagi. Lalu, saat mereka melintasi ruang makan, tampak Olga sedang mengacungkan sapu ke arah langit-langit. Ia melompat-lompat.
Valerie bengong, sementara itu Ethan menegang di belakangnya. "Apa yang engkau lakukan?"
Olga buru-buru menurunkan sapu. "Saya hanya mencoba membersihkan debu di atas sana, Nona," katanya dengan seringai lebar. Ia pun berlalu dengan langkah cepat. "Saya permisi."
"Langit-langitnya terlalu tinggi untuk sapu sependek itu," gumam Valerie. Ia mendongak dan menyadari bahwa balok-balok kayu yang melintang di langit-langit cukup bersih. Tak nampak ada sarang laba-laba atau sejenisnya, kecuali ....
"Apa itu?" Valerie menunjuk sebuah gelang yang tersangkut, tepat di atas posisi Olga tadi mengayunkan sapu.
"Ada yang tersangkut."
"Biarkan saja," jawab Ethan ketus. Ia mendorong Valerie agar bergegas ke pintu keluar. Selaiknya, sang gadis tidak kesulitan saat melewati ambang pintu. Namun, saat ia menarik tangan Ethan agar ikut bersamanya, jari Ethan terbentur sesuatu kasat mata hingga tak bisa melewati lebih dari batas ambang. Valerie benar-benar tak habis pikir. Ia menarik-narik tangan Ethan tetapi tak ada hasil. Mereka berupaya cukup lama, hingga Valerie sadar bahwa Olga berada jauh di seberang lobi, mengawasi dengan alis terangkat.
"Sudahlah." Ethan menyimpan kedua tangannya di saku dengan gugup. "Tak apa."
Sebuah gagasan terlintas di benak Valerie. "Apakah Luke tahu soal ini?"
Ethan mengangguk samar.
"Dan dari tangga mana ia jatuh?"
Ethan bergeming.
"Ethan." Valerie berbisik. "Luke mengigau—tidak, dia kerasukan, aku yakin, dan kau pun tidak bisa keluar dari sini. Ditambah cerita kakekku, apa kau yakin mau menyembunyikan sesuatu dariku?"
Valerie sebenarnya tak percaya telah mengatakan ini. Belum genap satu minggu ia mengenal Ethan, dan hanya tahu sedikit sekali kisah pemuda itu, tetapi rasanya ada ikatan yang lebih dalam daripada yang diduganya.
Ikatan yang tercipta karena misteri mansion ini.
Ethan bersandar pada ambang pintu. Wajahnya begitu melas. Tentu saja. Ia tak pernah berharap ada di posisi ini. Meski Valerie belum tahu alasan mengapa Ethan datang kemari, dan apa kaitan semua hal yang terjadi di sekitar mereka, tetapi ada satu hal yang pasti.
Ethan kemudian menjawab, tanpa suara tetapi gerakan mulut yang sangat jelas, seolah-olah khawatir seseorang memiliki pendengaran yang amat sensitif.
"Abangmu tidak jatuh dari tangga."
"Apa?"
"Ia hanya ingin menolongku."
Valerie terkesiap. Ia baru saja akan bertanya lagi, tetapi Olga berjalan menghampiri, dan Ethan melangkah mundur. Sang pemuda mendorong pintu. Sebelum celahnya benar-benar menutup, Ethan berseru.
"Sampai jumpa besok, Val!"
Itu pertama kalinya ia tersenyum.
+ + +
Valerie memutuskan untuk menjenguk Lucas sebelum pulang. Abangnya masih mengigau seperti biasa, meski tidak sesering sebelumnya, dan suaranya lemas. Selain itu, kondisi fisiknya prima: ia makan teratur, mampu ke toilet tanpa bantuan, dan hal-hal lainnya. Satu-satunya yang mempertahankan Lucas di klinik adalah igauan itu.
Kenyataan bahwa dokter tidak menyuruhnya pulang, dan menumpuk lebih banyak alkitab di nakas Lucas telah menguatkan dugaan Valerie.
"Hei, Luke."
"Tapi, Ethan."
"Ya, aku tahu. Aku mendengar banyak hal dari Ethan hari ini. Hal-hal yang kau tahu juga."
Valerie tidak menyangka Lucas tiba-tiba menoleh. Kedua matanya melotot. Bibirnya bergetar, seolah mencoba memaksakan kata-kata lain keluar, tetapi selalu dua kata yang sama: "Tapi ... Ethan ...."
Valerie menelan ludah. "Kau tidak jatuh dari tangga," bisiknya. "Kau mencoba menolongnya. Apa sih yang kaulakukan sampai kau begini?"
Napas Lucas memburu. Air mata menggenang di pelupuknya, dan Valerie berani bersumpah tak pernah melihat Lucas menangis sejak Ibu membuang konsol yang disembunyikan di rumah pohonnya. Ia membanting-banting kepalanya pada bantal. "Tapi, Ethan. Tapi, Ethan!"
"Luke." Valerie ingin menangis. "Aku tak bisa melihatmu begini. Kau harus sembuh, dan Ethan harus keluar dari mansion itu. Kakek juga bilang mansionnya mengerikan. Apa yang mesti kulakukan?"
Lucas kembali menatap, kali ini dengan napas tertahan seakan telah menemukan jawaban yang tepat. Ia meraih lutut Valerie dan meremasnya kuat-kuat. Sang gadis terkejut. Lucas adalah orang yang paling berhati-hati akan cederanya, dan melarang semua orang untuk menyuruh Valerie bekerja keras. Kenapa ia tiba-tiba ....
"Luke! Kenapa—"
"Kue jahenya enak."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro