Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

HANSEL, GRETEL, DAN PENYIHIR


Hansel dan Gretel adalah kakak beradik yang hidup dalam keluarga yang kurang berkecukupan. Ayah mereka adalah seorang penebang kayu miskin. Sementara ibu mereka telah lama meninggal dunia. Sang ayah menikah lagi dengan seorang wanita yang dingin dan tegas, meski cukup cantik dengan rambut hitam bergelombang. Warna rambut yang kontras dengan Hansel, Gretel dan ayah mereka yang pirang keemasan.

Suatu hari, krisis pangan terjadi di seantero negeri. Hasil panen rusak dan kematian akibat kelaparan terjadi di mana-mana. Hal yang juga dialami keluarga Hansel dan Gretel.

Akhirnya dengan terpaksa ayah Hansel dan Gretel mengungkapkan rencana untuk membuang anak-anaknya di dalam hutan pada istrinya yang disambut wanita itu dengan suka cita. Namun, rencana tersebut didengar oleh Hansel dan Gretel. Pada malam hari, Hansel diam-diam keluar dari rumah dan mencari kerikil putih sebanyak mungkin.

Di pagi buta Hansel dan Gretel dibangunkan oleh ibu tiri mereka yang mengatakan jika mereka harus menemani sang ayah mencari kayu bakar di hutan. Selama perjalanan menuju bagian dalam hutan, Hansel menjatuhkan kerikil yang ia kumpulkan satu demi satu untuk menjadi petunjuk jalan kembali ke rumah. Ayah mereka mengatakan jika ia akan mencari kayu bakar sementara Hansel dan Gretel duduk diam saja menunggu sampai dirinya kembali.

Malam mulai menjelang dan bulan mulai menampakkan dirinya. Gretel menangis karena hari sudah sedemikian gelap. Mereka kedinginan dan kelaparan. Ayah mereka tidak kunjung muncul. Hansel menghibur Gretel dan mengatakan apa yang sebelumnya ia lakukan terkait kerikil-kerikil yang disebarnya. Benar saja, saat Hansel mengajak Gretel untuk pulang, kerikil-kerikil putih itu terlihat jelas di bawah pantulan cahaya bulan.

Saat Hansel dan Gretel mengetuk pintu rumah, mereka disambut oleh wajah bingung ayah mereka. Tidak lama kemudian mata sang ayah berlinang. Ayah mereka mengatakan jika ia kehilangan jejak kedua anaknya.

"Dari mana saja kalian berdua? Cepat bersihkan diri dan tidur!" seru si ibu tiri yang muncul dari dapur. Wajahnya tampak tidak senang melihat anak-anak tirinya muncul di depan pintu rumah. "Makan malam sudah lewat. Tidak ada makanan untuk kalian berdua!"

Hansel dan Gretel pun melakukan apa yang diperintahkan meski perut mereka terlilit rasa lapar yang luar biasa. Setelah berpura-pura tidur saat ibu tirinya memeriksa kamar mereka, Hansel pun mengendap untuk keluar rumah, mencari batu kerikil lagi. Namun, seluruh pintu telah dikunci. Ia kembali ke kamar dengan kecewa dan khawatir akan apa yang harus dilakukan esok hari jika mereka diajak ke hutan lagi.

Keesokan harinya, Hansel dan Gretel kembali dipaksa ikut ke hutan dan diberi bekal hanya dengan dua buah roti. Hansel yang cerdik memotong-motong roti bagiannya untuk disebar sepanjang jalan menuju hutan. Kejadian yang sama terjadi lagi. Sang ayah meninggalkan mereka hingga malam tiba tanpa pernah kembali.

"Tenanglah, Gretel. Aku sudah menjatuhkan remahan roti sebagai penunjuk jalan pulang," hibur Hansel saat Gretel mulai meneteskan air mata.

Hansel pun mengajak Gretel untuk mencari jejak remahan roti yang disebarnya. Namun, tidak terlihat remahan roti satupun.

"Sepertinya burung sudah habis memakan remahan roti yang kusebar," ungkap Hansel yang menyadari kesalahannya.

Gretel kembali menangis. Hansel berusaha keras menghiburnya. "Kita pasti akan menemukan jalan kembali!"

Hansel dan Gretel pun mendekap diri mereka karena udara semakin dingin sambil mencari-cari arah pulang. Berjam-jam lamanya mereka melangkahkan kaki hingga Gretel terjatuh karena sudah tidak sanggup berjalan lagi.

"Kak, aku ... lapar ...." Kedua anak itu tidak makan apapun selain sarapan terakhir di rumah mereka tadi pagi.

Hansel mengeluarkan satu-satunya roti yang tersisa dan menyodorkannya pada Gretel. "Makanlah."

Gretel pun dengan cepat memakan roti tersebut. Saat tinggal setengah, ia menyodorkannya pada Hansel. "Untuk kakak."

Hansel menggelengkan kepalanya. "Itu untukmu semua."

"Tapi roti kakak kan habis untuk penunjuk jalan."

"Badanmu lebih lemah dari pada aku, roti itu saja tidak cukup. Kakak masih bisa menahan lapar. Besok kita pasti menemukan jalan pulang. Nanti kakak makan di rumah saja."

Dengan ragu dan sedikit paksaan dari sang kakak, Gretel memakan sisa roti tersebut. Mereka pun beristirahat dan saling mendekap untuk mengurangi rasa dingin. Saat fajar menyingsing, kedua kakak beradik itu kembali melanjutkan perjalanan.

Makin siang matahari makin terasa menyengat. Kaki Gretel sudah mulai terasa lemah, pandangannya juga mulai berbayang karena lapar, haus, dan lelah. Tiba-tiba terdengar suara berdebam di sampingnya. Hansel jatuh tidak sadarkan diri.

"Kak! Kakak!" Gretel menggoyang-goyangkan badan Hansel dengan panik. Ia menangis dan terus memanggil sang kakak. Gretel panik, ia takut terjadi hal yang buruk pada kakaknya. Bocah perempuan itu lantas bangkit dan dengan langkah pendeknya ia berlari ke sana kemari berharap ada yang bisa dimintai pertolongan atau ada makanan maupun sumber air di dekat situ.

Saat gretel menaiki bukit kecil, ia melihat dari arah yang berseberangan dengan kedatangannya terdapat sebuah rumah aneh. Rumah yang seperti kue. Ia berlari menuju tempat tersebut.

Betapa terkejutnya Gretel ketika sampai di rumah itu. Rumah yang terdiri dari makanan-makanan manis nan lezat yang tidak pernah seumur hidup dicicipinya. Atap rumah itu terbuat dari kue jahe, dindingnya dari biskuit yang dihiasi kepingan-kepingan coklat, pintunya dari batang coklat berbagai macam rasa, jendelanya dari permen dan kacanya dari gula yang dilelehkan. Rumah yang mungkin dapat membuat air liur anak kecil manapun menetes. Namun, Gretel dengan cepat teringat akan sang kakak.

"Syukurlah, aku bisa membawa sedikit potongan biskuit penuh coklat itu terlebih dulu untuk kakak," batin Gretel yang lebih memilih menolong kakaknya dulu daripada keinginannya untuk langsung melahap makanan di depannya.

Baru saja Gretel hendak mendekat, terdengar teriakan dari arah belakangnya.

"Itu dia! Itu rumah kue yang tadi kulihat!" seru seorang lelaki dewasa. Laki-laki itu mendekat sambil berlari diikuti puluhan orang. Mereka menghancurkan rumah kue itu dan berebut untuk setiap bagian rumah.

Seorang diantara orang-orang yang berebut menabrak Gretel yang paling mungil di sana hingga bocah itu terjatuh. Gretel sempat tertendang dan terinjak di antara orang-orang yang gelap mata melihat makanan gratis disajikan begitu saja. Orang-orang di negeri yang sedang dilanda kelaparan hebat dapat membuat mereka tidak peduli pada seorang gadis kecil yang memohon untuk diberi sedikit bagian.

"Tolong bagi segenggam biskuit saja," pinta Gretel karena ia tidak bisa mendekat. Orang-orang yang berebut itu terlalu brutal. Berulang kali Gretel terhempas ke belakang ketika nekat ikut berebut bagian rumah kue.

"Kue jahe itu milikku!" seru seorang wanita dewasa.

"Hei! Jangan merebut bagianku!" Seorang pemuda mendekap hasil rebutannya.

Kemudian rumah kue itu habis tidak bersisa dan semua orang buru-buru pergi dari sana karena takut bagian rumah yang mereka kumpulkan direbut orang lain.

Gretel mencengkram kaki seorang pria yang terakhir berada di sana. "Tolong, tuan. Bagi saya sedikit makanan. Sepotong kue atau sebatang permen pun tidak apa. Saya dan kakak saya belum makan sejak kemarin," pintanya dengan suara parau.

Laki-laki itu lantas menendang Gretel hingga terhempas dan menginjak-injak tubuh kurus bocah itu. "Enak saja! Kau pikir kau siapa seenaknya minta makananku?! Pergi kau bocah kotor!"

Gretel meringis menahan sakit di sekujur tubuhnya dan menangis tersedu-sedu. Ia ingin memejamkan mata agar rasa sakit itu bisa diabaikan sejenak jika ia tidur. Namun, Gretel kembali teringat kakaknya yang tidak sadarkan diri. Dengan susah payah ia bangun dan mengumpulkan sisa remahan-remahan rumah kue tadi di roknya.

Setelah dirasa lumayan terkumpul, Gretel kembali ke arah kakaknya berada dengan secepat mungkin sambil menjaga agar remahan yang ia kumpulkan tidak terjatuh.

"Kakak! Ini ada makanan!" Gretel membalikkan tubuh Hansel.

Ditepuk-tepuknya pipi dan digoyang-goyangkan tubuh Hansel tapi Hansel tidak bergeming. Lama Gretel melakukan hal tersebut. Ia akhirnya memaksakan masuk beberapa remah biskuit ke mulut Hansel.

"Kak ... makan ...." Gretel mulai ketakutan dan menangis. Ia tahu tubuh Hansel telah dingin tapi Gretel menolak untuk mempercayai logikanya. Bocah perempuan itu menangis kencang tanpa menyadari ada sosok besar yang menutupi sinar senja.

"Hansel sudah meninggal," kata sebuah suara dari belakang Gretel.

Gretel menoleh dan terkejut. Ia mendapati ibu tirinya dalam jubah hitam. Seperti biasa, wanita tersebut tampak cantik dan dingin. Namun, kali itu ekspresi ibu tirinya lebih datar dari biasanya. Sebelumnya ibu tirinya selalu memasang wajah masam setiap melihat Hansel dan Gretel.

"Nggak ... kakak nggak mungkin meninggal." Gretel membantah sambil sesenggukan.

"Ya, dia sudah meninggal." Si ibu tiri tetap bersikukuh.

Gretel diam sejenak. Sedetik kemudian ia menerjang ibu tirinya dan memukul-mukul wanita itu dengan tangan kecilnya. "Ini semua gara-gara ayah dan kamu! Gara-gara kalian membuang kami ke hutan! Apa salah aku dan kakak?!"

Wanita berambut hitam tergerai itu tampak tidak terpengaruh pukulan-pukulan Gretel. Ia membiarkan Gretel melampiaskan emosinya begitu saja hingga Gretel lelah dan terduduk lalu kembali menangis.

Si ibu tiri ikut duduk di samping Gretel. "Ayah kalianlah yang jahat."

Gretel memandang tajam ibu tirinya. "Dan maksudmu kau tidak jahat?"

Ibu tiri Gretel mengacuhkan nada sinis dalam kata-kata anak tirinya. "Ayah kalian sebenarnya tidak hanya meninggalkan kalian di hutan begitu saja, ia juga sudah menjual kalian pada pedagang budak untuk dua keping perak. Pedagang budak itu sudah menunggu di dalam hutan, di tempat kalian ditinggalkan."

"Tapi kami tidak melihat siapapun."

"Karena aku sudah membunuh mereka semua," balas si ibu tiri dengan nada datar. "Karena itu ayahmu terkejut ketika melihat kalian kembali."

Gretel juga terkejut mendengar hal tersebut. "Kau membunuh pedagang budak? Bagaimana dengan kejadian ayah meninggalkan kami untuk kedua kalinya? Apa ada pedagang budak lain?"

"Ayah kalian tetap bertekad membuang kalian. Bagaimanapun, ia sudah mendapatkan uangnya. Kalian hanyalah beban baginya. Ayah kalian mengatakan padaku jika kalian masih bisa kembali lagi untuk kedua kalinya, ia akan membunuh kalian dengan tangannya sendiri. Karena itu aku mengunci semua pintu di malam hari agar Hansel tidak bisa mengumpulkan kerikil seperti sebelumnya."

Kenyataan tersebut menohok Gretel dengan keras. Ia tidak menyadari ayahnya yang selama itu selalu tersenyum ramah dan bersikap lembut pada dirinya dan Hansel ternyata diam-diam merencanakan hal yang kejam. Gretel menggigit bibirnya dengan kencang untuk mengatasi sakit hatinya.

"Dan kau ... apa yang kau lakukan disini? Bukankah seharusnya kau bersenang-senang dengan laki-laki itu karena kami sudah tidak ada? Kau juga membenci kami seperti dia, kan?" Pandangan mata Gretel menajam pada ibu tirinya. Kematian sang kakak dan pengkhianatan ayahnya menumbuhkan benih kegelapan dalam diri Gretel. Ia bahkan enggan mengucap kata 'ayah'.

"Oh ... aku tidak membencimu dan Hansel. Aku harus bertingkah seperti membenci kalian karena ayah kalian orang yang penuh curiga. Aku tidak mungkin membenci anak dari kakakku sendiri."

"Ap – apa?"

"Tidak ada yang tahu perihalku dan ibu kandungmu jika kami sebenarnya adalah kakak beradik. Kami hidup terpisah sejak kecil. Aku baru mengetahui keberadaanmu dan Hansel saat kakakku meninggal dunia. Karenanya aku menikahi ayah kalian agar bisa melindungi kalian diam-diam. Sesungguhnya, sudah sejak lama laki-laki itu ingin menjual kalian tapi aku beralasan bahwa aku memerlukan pesuruh untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, di bencana kelaparan seperti ini, dia tidak lagi bisa menahan diri untuk menjual anak-anaknya."

"Ka – kau adalah ... bibiku?"

"Ya. Aku mungkin tidak terlihat menyayangi kamu dan Hansel tapi aku peduli pada kalian."

"Jadi itu benar? Ayah membuang kami? Mengapa ayah membenci kami? Darah dagingnya sendiri!" Suara Gretel meninggi karena frustasi.

Si ibu tiri memandang jauh ke cakrawala. "Karena ayah kalian menemukan rahasia kakakku. Aku dan kakakku adalah keturunan penyihir meski kekuatan kami tidak begitu kuat. Semua orang membenci penyihir, termasuk ayah kalian. Dan dia akhirnya membunuh istrinya sendiri untuk menutupi hal tersebut."

Seolah kenyataan sebelumnya tidak cukup menyerang Gretel, ia kembali diserang dengan kenyataan-kenyataan pahit lainnya hingga dada Gretel terasa sesak karena sulit mencerna. Penyihir? Ibu? Bunuh?

"Ayah yang membunuh ibu?" Suara Gretel bergetar.

Sang ibu tiri hanya diam.

"Ibu ... aku bahkan hanya sebentar merasakan kehangatannya. Tapi ayah membunuhnya?" Gretel menekan dadanya. Napasnya tersengal-sengal menahan amarah dan sakit hati yang membuncah. "Apa ayah membenci kami karena itu?"

"Apa sudah waktunya?" batin si ibu tiri sambil mengamati Gretel lekat-lekat.

"Ayah ... bukan! Laki-laki sialan itu! Berani-beraninya dia membunuh dua orang yang kucintai!" Suara Gretel berubah menjadi geraman.

"Gretel, tenanglah."

"Kak Hansel mati karena laki-laki sialan itu? Dan kau menyuruhku tenang?!" Gretel berteriak nyaring. Suaranya menggetarkan tanah bersamaan dengan sinar keemasan yang keluar dari tubuhnya. Badannya melayang beberapa meter di atas tanah.

Si ibu tiri tersenyum melihat kejadian tersebut. Ia membatin senang, "ini dia! Kelahiran seorang penyihir besar! Penyihir yang lahir dari kebencian adalah yang terkuat. Semakin muda maka semakin murni kebenciannya dan semakin besar kekuatannya. Memang, membuat rumah kue tadi adalah ide cemerlang untuk menambah amarah Gretel. Kakak, kematianmu tidak sia-sia. Sudah kuduga anakmu juga seorang penyihir."

Sinar keemasan yang melingkupi Gretel mulai menyusut. Sinar itu berkumpul dan terserap dalam tubuhnya. Perlahan-lahan Gretel melayang turun dan menapak tanah. Wajahnya menjadi pucat dan matanya semakin kelam.

"Gretel ...." Si ibu tiri mencoba mendekat.

"Aku bukan lagi Gretel. Gretel sudah mati bersama Kak Hansel. Panggil aku Grimhilde."




-Tamat-

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro