46 Awkward
🌟
HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT
Chapter 46 Awkward
🌟
Mulut Papa menyembur kopi ke rambut Bumi.
Kontan anakku lompat menangis lantaran kaget ditembak tiba-tiba. Aku bergerak gesit merebut Bumi dari Dokter dan menepuk pelan ubun-ubun yang berdenyut itu dengan tisu. Kulihat sebagian kopi mengenai kaus putih Dokter, meninggalkan bercak cokelat nyata, dan aku tidak tahu apakah itu bisa hilang atau tidak.
"Iyuh!"
Fikar masuk kamar setelah sebelumnya memutar mata jijik atas kejadian barusan. Mama mencubit lengan Papa keras-keras sampai Papa mengaduh. Dokter menunduk untuk sekadar mengelapi kausnya dengan tisu. Dan aku...
Aku mundur, setengah meter di belakang dokter McFord. Kelimpungan bagaimana harus menenangkan si gendut sedangkan aku di sini hampir gila rasanya. Yang bisa kulakukan cuma membenamkan wajah di perutnya dan mengusap-usap puncak kepalanya.
Kulit wajahku panas, terbakar. Sebaliknya jejariku kaku mati rasa. Kuberanikan mata mengintip dokter McFord dan mendapati pandangannya masih tunduk, sepasang alis pirangnya melengkung ke bawah. Jejak peluh menuruni pelipisnya. Dia begitu bisu saat mengulum bibir dalamnya. Pasti dia jauh lebih grogi dari aku.
Mesti lah dia grogi!
SIAPA SURUH NEMBAK ANAK PEREMPUAN DI DEPAN ORANG TUANYA SEFRONTAL BARUSAN, HAH?
"Cup, Bumi... cup cup Sayang, nggak papa, ini Mama..."
Bibirku berbisik acak di pipi Bumi. Sedikit, seiring waktu, tangis itu perlahan reda. Hanya debar jantung kami yang masih berbaur dan semakin sesak mendesak satu sama lain.
Aku harus apa? Mama dan Papa kenapa diam saja? Kasihan Dokter sudah mengkerut di tempat!
OH TUHAN SEMESTA ALAM JAGAT RAYA MENGAPA KAU JERUMUSKAN HAMBA DI SITUASI AWKWARD SEPERTI INI???
"Dokter Lucas."
Akhirnya Mama bersuara. Pelan, Dokter mengangkat matanya. Aku tetap mengintip dari balik pipi bulat Bumi.
"Iya, Bu?"
Mama tersenyum, selintas melirikku, lalu menatap lurus lagi pada Dokter.
"Saya pribadi belum paham banyak soal Dokter. Pak Dokter Lucas yang saya tahu selama ini cuma dari telepon, dan sebagian juga dari cerita Melati. Tapi setelah musibah yang terjadi sama Melati, dan Dokter bisa menepati semua janji untuk kami, jadi saya rasa..." Mama memejam sesaat, lantas mengangguk. Lambat, tetapi jelas. "Saya percaya Dokter Lucas bisa menjaga anak perempuan saya untuk seterusnya--fisiknya, dan hatinya."
Mataku membulat.
Mama setuju? Mama menerima Dokter?
"Saya usahakan menjaga kepercayaan Ibu. Terima kasih, Bu."
Tu-tunggu.
Aku pusing.
Jadi apa? Sekarang aku ini apa? Mahasiswa? Pacar? Anak bawang penjaga gawang? Apa tidak ada yang ingin tahu pendapatku?
"Nggak."
Itu Papa.
Suara bariton itu memadatkan laju darahku. Semua menoleh kaku pada kepala rumah tangga di sini. Oksigen di sekitarku mendadak lenyap setelah Papa membuka mulut lagi.
"Atas dasar apa Pak Dokter lancang sekali meminta putri saya sebagai pacar? Harus berapa kali lagi saya bilang? Saya dan Mamanya Melati berterima kasih sekali karena Melati dan Bumi sudah diantar selamat sampai rumah. Tapi bukan berarti Pak Dokter punya hak atas anak saya! Saya akan mengganti semua biaya yang Pak Dokter pernah keluarkan untuk Melati dan Bumi."
Pa, jangan...
"Untuk biaya, saya rasa nggak perlu dipermasalahkan, Pak. Semua atas kesadaran saya sendiri tanpa paksaan. Tentang Melati bukan hak saya, saya paham. Karena itu kalau Pak Surya berkenan, saya ingin diizinkan jadi satu-satunya laki-laki yang boleh dekat dengan Melati. Saya yakin berhubungan diam-diam dengan Melati di belakang bukan hal yang diinginkan semua orang di sini."
Aku mendesah pendek. Dokter benar. Aku malu, Dokter apalagi. Namun seperti yang sudah-sudah, dia semata hanya ingin tidak ada rahasia babak dua antara aku dan keluargaku.
Bum, gimana ini, Nak...?
Papa tertawa, sumbang. "Pak Dokter bicara seolah anak saya mau punya hubungan spesial dengan Pak Dokter di luar dosen-mahasiswa."
"Melati mau, Pak."
Halo... Dok? Kuping saya masih di sini.
"Apa maksud Pak Dokter?!"
"Kalau Pak Surya belum tahu, Melati punya perasaan yang sama dengan saya. Seperti saya menyukai Melati lebih dari seorang mahasiswa, Melati menyukai saya lebih dari seorang dosen."
DOK?
SING GENAH KON? YA ALLAH SUMPAH HARUS BANGET?!
Praktis kubenamkan wajah di perut Bumi. Sedalam-dalamnya. Pelupukku mengatup sangat rapat sampai nyeri. Papa melihat ke sini. Mata setajam belati itu! Aku tahu. Aku merasakannya. Udara hangat ruang keluarga drastis menjadi dingin, menggigit pori-pori kulitku.
"Melati, benar itu?"
"NGGAK!" pekikku spontan.
Papa sudah menggunakan suara dalamnya yang tidak wajar. Ini salah. Ini salah!
"Pak Dokter dengar sendiri? Saya kira sudah jelas, Pak Dokter salah tentang anak saya."
Salah? Benarkah? Dokter salah tentang perasaan kami?
Tapi, Pa, dia bilang, "... aku bukan sekadar ingin diterima di hatimu. Aku ingin diterima sama Bumi. Aku ingin diterima adik, Mama, dan Papamu, Mel. Jadi, bisa kamu bantu aku yang payah ini?"
"Melati nggak punya perasaan khusus untuk Pak Dokter, selain sebagai dosen yang dia hormati."
Tapi, Pa, dia bilang, "... Aku ingin diterima adik, Mama, dan Papamu, Mel..."
"Sebagai Papanya, maaf saya menolak permintaan Pak Dokter."
Tapi, Pa, "... Jadi, bisa kamu bantu aku yang payah ini?"
"Saya harap Pak Dokter bisa menerima keputusan sa--"
"IYA PA, IYA!"
Kuangkat kepalaku. Mantap. Menatap Papa. Tepat di situ, di manik mata, tanpa terbersit niatan durhaka. Papa bungkam. Mengatup dalam diam. Sorotnya mengibaku untuk tak meneruskan, namun maaf, Pa.
Maaf. Sungguh.
Seperti Dokter telah menepati janjinya untuk menjagaku dan Bumi, aku juga punya janji yang harus ditepati.
Kalau Papa Mama menerimaku dan Bumi, aku janji... akan berhenti menahan diri dan jujur kepada dokter McFord tentang perasaanku.
Aku meneguk gumpalan ludah.
"Itu benar. Melati suka sama Dokter, Pa, Ma..."
***
Bumi sudah tidur, untungnya. Tidak seperti Mamanya yang bolak-balik berganti posisi tidur tapi tak bisa juga pindah ke alam mimpi. Tanganku menggapai ponsel di meja, lantas kembali tidur menyamping memeluk guling. Ibu jariku mengusap-usap layar.
Setelah natal, group chat Sora Aoi dipenuhi foto-foto lautan pasir dan kawah gunung Bromo. Joko sedang ribut karena sandal gunung barunya dijatuhi tahi fresh from the pantat dari salah satu kuda gunung. Aku ikut membagikan foto-foto di pantai, dan sekilas bisa tersenyum membaca balasan mereka.
Sandra
wiwiwiwiwi maldives <3
Roman
mel ada turisnya gak?
yang bule
Mel
ada nih
<Mel sent a picture>
Danny
bule yg ini elah tiap hari di kampus ketemu
😧
Joko
pamer bener yg lagi hanimun
enak di pantai bebas telek jaran
😭
Roman
yang blonde pake bikini lah mel 😘
dokter bulemu ga bs bikin aku ngaceng
Danny
g bisa bikin ngaceng
bisanya dibikin ngaceng sm melati
Joko
HAHAHA
Roman
HAHAHA (2)
Mel
astagfirullah
*ngelus dada*
Sandra
*dada dr yuyu sp tht-kl*
eh wanda di sebelahku rom
Roman
san plis ojok
Sandra
ojok opo?
Roman
saaaannnnn :((
Sandra
iya romrom? Ini wanwan :)
Roman
asyuu san ojok talah! 😲
Aku mendesah sengau.
Pasti asyik kalau ikut mereka, menyewa satu villa berisi 2 kamar. Satu kamar untuk Sandra dan Wanda, satu lagi untuk cowok-cowok. Meski ujung-ujungnya, cowok-cowok itu memilih tidur di depan TV sambil makan popmi dan kamar hanya jadi tempat penyimpanan barang.
Nanti kalau Bumi sudah agak besar, usia 3 atau 4 tahun, akan kucoba membawanya pendakian. Bareng sama Papa, Mama, Fikar, Elia, atau dokter McFord pasti seru.
Dokter...
Ah, dia pasti sedang kecewa padaku.
Segera kukirim pesan untuknya. Semoga dia belum tidur.
Mel
dok
Dokterku
mel
<Dokterku is typing...>
Ternyata dia belum tidur juga. Sudah pasti ini malam yang panjang bagi kami, setelah Papa membatu. Papa menolak untuk menanggapi pernyataanku. Pernyataan cinta supergoblok.
Dia dan aku, kami memang sama gobloknya.
Dokterku
thanks
Mel
td typing nya agak lama
knp cuma thanks?
thanks for what?
Dokterku
thanks for helping me
you must be suprised
maaf
Mel
bukan Luke kalo nggak full of surprises
😘
Dokterku
dat emo, tho
kamu berani cium aku?
Ngirim emot kiss ke dosen. Mampus. Oh FYI, Dok, kita pernah ciuman tapi untungnya pas Dokter tidur HAHAHA.
Mel
salah emot, hish!
harusny emot ini >> 😅
<Mel sent a picture>
tuh Dokter lihat di keyboard sy posisinya atas-bawah sm emot kiss
Kukirimkan screenshot percakapan kami yang menampilkan list emoticon di keyboardku.
Dokterku
well then
wait
"Dokterku" ?
sejak kapan aku punyamu?
Aku menepuk dahi. Baru lolos dari satu lubang, kepleset lagi di lubang lain. Mak Bumi, Mak Bumi. Itu kebegoan atau wafer Tango, kok ada ratusan lapis?
Mel
sejak Dokter suka sama saya 😛😛😛
Dokterku
since u said u like me too,
artinya kamu juga punyaku? 😘
ARGH!
Tubuhku melengkung, bergulingan di kasur sampai per springbed-nya berdecit. Kueratkan lagi pelukan guling hijau pupusku untuk meredam euforia. Astaga, baru begini saja perutku bisa menggelinjang heboh! Bagaimana kalau kami benar-benar pacaran?
Pacaran itu apa rasanya, ya? Bahagia? Berdebar-debar? Berbunga-bunga? Nana unana? Apa aku harus tanya anak-anak? Atau Elia? Atau dr. Yuan yang tidak bisa bernapas tanpa pacar? Mereka 'kan pernah pacaran.
Belum sempat kubalas pesan itu, pintu kamar dibuka dan Mama masuk, menutup pintu kembali. Kuselipkan gawai putihku di bawah bantal setelah mengunci layar. Mama tidur di sisi lain ranjang, mengapit Bumi di tengah-tengah kami.
"Barusan Mama ngobrol sama Papa," ucap Mama pelan sambil memainkan bola pipi Bumi yang kenyal dengan telunjuk.
"Soal apa?" Soal Dokter?
"Soal Bumi," dan, Mama menatapku di garis lurus. "Kalo Bumi ditinggal aja di sini sama Mama sama Papa, gimana, Mel?"
HAH?
Alisku meruncing. "Nggak! Memangnya kenapa?!" Dua puluh empat jam pun aku tidak sudi dipisahkan dari Bumi!
"Supaya kamu bisa fokus kuliah lagi, Nak..."
"Apa aku kurang fokus, Ma...?" Skleraku mulai panas. "Kalo gitu aku janji nggak remedi lagi, Ma. Melati janji bakal makan yang banyak dan belajar lebih lama!"
"Bukan, Sayang, maksud Mama bukan itu." Mama tersenyum mengusap bahuku. "Melati masih muda, masih kecil, belum 20 tahun. Kamu seharusnya masih senang-senang sama masa remaja, Nak. Masih harus banyak main di luar, kenal dunia. Belum waktunya setiap hari dibebani tanggung jawab ngurus anak dan segudang kerjaan rumah tangga..."
Beban?
"Ma, Bumi bukan beban..."
"Mama tahu, maaf, Nak." Mama menghapus setitik air di ekor mataku. "Maksud Mama bukan beban yang seperti itu. Kamu ngerti 'kan?"
Aku mengangguk samar.
"Bumi pasti Mama jaga sebaik-baiknya, sama Papa. Nanti Mama sama Papa uruskan administrasinya. Melati nggak perlu khawatir, belajar yang baik. Mama sempatkan video call setiap hari kalo pas kamu nggak sibuk..."
Aku menggeleng tegas. Tidak boleh.
"Bumi harus sama aku, Ma." Dengan mataku, aku memohon pada Mama. "Bumi perlu ASI sampai 2 tahun. Bumi sudah lahir nggak punya ayah, aku nggak mau Bumi juga nggak mengenal Mamanya sendiri, Ma..."
"Bumi tetap anak kamu, Sayang." Jemari Mama menyisir anak rambut dekat telingaku. "Mama sama Papa cuma mau bantu supaya kamu nggak kerepotan--"
"Nggak repot, Ma..." lirihku, basah. "Bumi pinter, Ma. Bumi nggak ngerepotin. Aku janji mau belajar lebih lama, Ma. Aku mau makan banyak dan istirahat yang cukup. Aku janji nggak pacaran sama Dokter kalau Papa nggak suka. Aku janji nggak jajan sempol di pinggir jalan lagi kalau menurut Mama itu nggak bersih. Tapi aku mau sama anak aku. Bumi jangan diambil, Ma..."
Bibirku gemetar acak. Air mata, nyatanya masih harus keluar meski aku sudah dimaafkan dan Bumi bisa diterima.
Sungguh. Jangan, Ma. Karena...
"Bumi sudah lebih dari segalanya buat Melati, Ma."
"EH! Ehehee!"
Anakku tertawa dalam tidurnya. Aku tersenyum nanar, beringsut menciumi pipinya, dan menghapus air mataku yang mengenai pelipisnya.
"Ma, Melati nggak harus jadi normal untuk bahagia. Itu yang diajarin sama Dokter, Elia, Sandra, dan temen-temenku, Ma. Aku nggak mau jadi normal kalau harus pisah dari Bumi..."
Kubenamkan wajah di antara bantal dan pipi Bumi. Mama tidak mengatakan apapun lagi kecuali mengusap kepalaku, memberi ruang untuk pikiranku.
Aku sungguh tak paham apa yang diinginkan Papa dan Mama. Jika mereka ingin aku pulang karena rindu dan sayang padaku, tidakkah sedikitnya mereka tahu apa yang kurasakan untuk Bumi? Aku bukan orang tua sebaik Papa Mama, tapi aku juga orang tua. Dekat dengan Bumi salah satu kebutuhan rohaniku.
Jangan ambil Bumi, Ma...
"Mel," Mama berbisik lagi. "Nak, dengerin Mama. Sebenernya, Papa nggak enak hati sama Dokter Lucas. Papa nggak mau Melati sama Bumi ngerepotin Pak Dokter lagi. Mama ngerti kalau Pak Dokter memang sayang sama Melati, dan Pak Dokter ikhlas bantuin Melati, boleh. Melati juga boleh sayang sama Pak Dokter. Mama merestui. Tapi Pak Dokter tetep bukan siapa-siapa kita, Nak. Nggak baik, ndak ilok kata Papa, kalau Melati sama Bumi jadi kebiasaan bergantung ke Pak Dokter..."
Aku mengangkat wajah sembap, menatap Mama.
Mama sama bingungnya denganku. Sepasang sudut mata Mama jatuh sayu. Dan, andai bukan karena ucapan Mama, aku tidak mungkin sadar.
Berapa banyak selama ini aku bersandar pada dokter McFord, tak terpikir bahwa dia bukan siapa-siapaku. Aku bukan tanggung jawabnya. Dokter melakukan semuanya karena dia impulsif; dia jatuh cinta dan seperti hampir semua orang yang merasakannya, dia tidak sadar telah berkorban banyak demi yang dicintainya.
Aku juga, adalah orang yang tidak sadar telah bergantung pada orang yang mencintaiku.
"Ya sudah, Ma." Aku mengusapi kantung mata. "Kasih Melati waktu, Ma. Aku cari rumah kontrakan lain yang agak jauh dari Dokter, tapi tetep deket kampus. Aku janji nggak ngerepotin Dokter lagi. Biarpun Melati jadi pacarnya Dokter, janji Melati sama Bumi nggak nyusahin Dokter lagi...
Tapi Bumi jangan diambil, Ma..."
Jangan.
Jangan, kumohon.
Dadaku remuk hanya dengan bayang-bayang bahwa tanganku tak lagi dapat memeluk Bumi. Aku sudah pernah hampir mati, dan kali ini akan benar-benar mati tanpa Bumi menemani hariku.
"Nggak. Bumi nggak akan diambil, Sayang." Mama tersenyum tipis. "Sudah, Nak. Mama 'kan nggak mau kamu nangis lagi..." Ibu jari itu mengelus pipiku. "Melati istirahat dulu ya, nanti Mama bicara lagi sama Papa gimana baiknya. Yang jelas, Mama Papa sayang sama Melati dan Bumi."
Mama mengecup keningku dan Bumi bergantian, memeluk kami sampai isakanku surut dan aku tertidur.
-BERSAMBUNG-
.
.
.
Bab depan tamat yaa
Malang, 16 Juni 2018
Luv u to the moon and back, MeLuk 💕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro