Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

42 The Man Who Can't Be Moved

🌟

HANGOVER #1 - THE HAZARDOUS NIGHT

Chapter 42 The Man Who Can't Be Moved

🌟

Pulang dari Matos, kalimat berengsek untuk dokter McFord masih bergaung di tempurung kepala. Aku berusaha, sungguh, untuk senantiasa ceria di hadapan Bumi setiap sesi MPASI. Namun realita tidak seindah rencana.

Mendung gelap semakin pekat menyelubungi hatiku. Akhirnya kunyalakan TV agar setidaknya bukan bisu yang menemani Bumbum makan. Puree wortel itu, alhamdulillah, habis dalam 15 menit. Sayang sekali menunggu dokter McFord pulang juga tidak cukup hanya 15 menit.

Sekali.

Dua kali.

Banyak kali, adalah jumlah kakiku mendekati jendela, dan mengintip pemandangan dari celah tirai. Hitam berbintang sudah menyelambu langit, tetapi belum juga ada tanda kepulangan tetangga seberang rumah. Kukembalikan punggungku yang melengkung gontai di atas sofa.

Saat ponsel putih melintasi jangkauan pandang, spontan tanganku menyambar benda itu.

Mel
Dok, pulang jam brp?

Send.

Kemudian, retract. Berhasil.

Kulempar lagi gawai itu ke sembarang sisi sofa. Apa-apaan? Mengirim pesan saja gemetar, bahkan ditarik kembali. Pengecut!

Bumi yang intim mengulum tangan sambil berguling di karpet, berpindah posisi kini dalam pangkuanku. Aku memeluknya, erat. Aku perlu menjaga kewarasanku, sebab sejak tadi, dunia menunjukkan tanda kiamat.

Telingaku tidak lagi mendengar banyak suara. Semua hening.

Mataku tidak lagi melihat banyak warna. Semua monokrom.

Lidah dan hidungku tidak lagi merasa banyak makanan. Semua hambar.

Kecuali kulitku, justru semakin sensitif dengan bulu meremang dan pori-pori mencuat. Udara terlalu dingin hari ini. Aku mencari ponsel lagi, mengintip suhu yang tertera pada widget weather. Malang, Jawa Timur, 25°C.

Tidak ada yang salah dengan suhunya. Itu adalah suhu rata-rata Malang.

"Sedikit pun Dokter nggak akan paham, karena Dokter nggak pernah tau gimana rasanya punya ayah yang sayang sama Dokter!"

Dokter, pulanglah.

Aku ingin minta maaf. Aku menangisimu sebanyak itu hingga kepalaku seakan mau meledak. Terlalu sakit sampai aku harus meremas-jambak rambut berulang kali, berharap kulit kepala tercabut lepas dari tempurung agar berhenti merasa.

Aku tak mampu berhenti karena sekali saja berhenti, sorot kecewa Dokter menggelapkan mataku, memperkeras sakit yang harus kutanggung. Maka ribuan rambut membelit jari-jariku, sekian air mata menumpahi wajahku, erangan tersendat lolos sesekali dari bibirku, semua hanyalah pengalihan sementara. Upaya menimbun lelah batin menggunakan luka fisik yang sudah biasa kuterima.

Sampai seseorang menghentikan paksa gerak menjambakku. Dunia tetap hitam dan putih tanpa warna.

"Mel... Mel, sudah cukup. Mas Luke nggak mau lihat kamu begini. Dia masih di klinik sebentar lagi ke sini. Nanti dibicarakan, ya?"

Elia membenamkan air mataku dalam dekapnya.

Papa, Mama, maaf...

Dokter, maaf...

***

Dari garis perbatasan wajah dan kulit kepala di dekat telinga, menyisir utuh ke belakang. Gerak lembut itu berulang dan menyalurkan rasa nyaman ke segala penjuru tubuhku.

Aroma segar campuran citrus dan sabun antiseptik memanjakan hidungku. Aku menghirupnya, dalam, tenggelam dalam paru-paru. Aku mengembus pelan, lantas meraup lagi sebanyak mungkin. Wangi khas Dokterku.

Kalau ini hanya mimpi, aku tidak ingin membuka mata. Boleh aku mati, Tuhan? Aku lelah.

Going back to the corner
Where I first saw you
Gonna camp in my sleeping bag
I'm not gonna move
Got some words on cardboard
Got your picture in my hand
Saying, "If you see this girl can you tell her where I am?"

Some try to hand me money
They don't understand
I'm not broke I'm just a broken hearted man
I know it makes no sense
But what else can I do?
How can I move on
When I'm still in love with you?


Aku belum pernah mendengar dokter McFord bernyanyi. Apa suaranya selalu seindah ini? Atau karena ini hanya mimpi?

"Lagi," bisikku, egois. Boleh kalau aku egois, Tuhan? Ini mimpi.

'Cause if one day you wake up
And find that you're missing me
And your heart starts to wonder
Where on this earth I could be?

Thinking maybe you'll come back
Here to the place that we'd meet
And you'll see me waiting for you
On our corner of the street
So I'm not moving
I'm not moving...

Lagunya berhenti, meskipun belai sayangnya masih terasa di kepalaku, dan wanginya masih tercium saraf hidungku. Tetapi telingaku tidak bisa bosan mendengar suaranya.

"Lagi."

"Enough, Mel. Nanti Bumi bangun."

Bumi?

Mendengar Bumi disebut, aku lompat dari kasur. Tergopoh-gopoh menghampiri box putih, lalu tubuhku memelorot lemas di terali. Bumi tidur, lelap, ngiler.

Kepal tanganku memukuli dada. Lega.

Syukurlah... karena hal terakhir yang kuingat adalah aku muak dan melempar anakku dari pangkuan.

Aku menghimpun kekuatan untuk dipusatkan ke sendi kaki, perlahan berdiri, membungkuk ke dalam box untuk mengusap keningnya. Jemariku melakukan palpasi acak di area kepalanya, dan tidak menemukan kejanggalan. Ubun-ubunnya masih berdenyut, napasnya masih berembus.

Bum, maafkan Mama...

Lengan atasku diraih oleh sepasang genggam erat dari belakang.

"It is ok. Bumi sudah minum ASIP, langsung tidur setelah capek nangis."

Aku mengangguk samar. Hati-hati, dokter McFord membimbingku duduk kembali ke atas ranjang. Tanpa banyak bicara, wajahku dibenamkan di dadanya. Rongga telingaku dipenuhi detak jantungnya yang teratur, tetapi sangat berdentum. Lenganku bergerak sendiri, melingkari di dada bidang itu.

Lidahku bergetar saat berkata, "Maafkan saya, Dok."

Masih menikmati wangi tubuhnya, kali ini puncak kepalaku disapu lagi oleh telapak hangat. Melepas pelukan, dokter McFord mengubah posisi. Kami berbaring menyamping, lalu tubuhku dipeluk kembali dari belakang.

"I'm tired. Sorry. I had rush hour at the Eye Center and too tired that I just want to rebahan."

Aku terkekeh tanpa suara. Dia masih, dan selalu, Lucas McFord yang sama.

Jemari panjangnya merangkum sempurna jemariku yang kecil sekali kalau dibandingkan dengan miliknya.

"You are right about one thing," lirihnya, di balik daun telingaku. "My biological father never loved me the way your Papa does to you. But I've been given much substitute affections by people around me, and I'm grateful with that. Aku punya Mom. Aku punya Ezra. Aku punya Dad, and even though we're not sharing the same blood, Dad nggak sedikit pun membedakan aku dan Ezra. Aku punya keluarga besar di NY dan Malang. Dan sekarang, ada tambahan baru..."

Singgungan bibir dingin itu terasa panas di kulit pundakku. Napasku tersangkut.

"... aku punya kamu dan Bumi."

Pelupukku memejam. Aku tersenyum rikuh, memainkan ujung-ujung jemari pria yang mengeratkan peluknya untukku.

"I've been thinking about you, a lot, sejak aku lihat kamu minum berbotol-botol cola ukuran large setiap hari. Lalu di apotek itu, kamu pingsan, later did I know from Mbak-Mbak penjaga apotek itu, katanya kamu mau beli testpack. Aku mulai menebak..." Udara dari hembus tawa pelannya menggelitik tengkuk. "Cola? And testpack? Apa iya anak perempuan sekecil ini hamil?

"Semua terjawab waktu kamu muntah dan pingsan di kampus. Z bilang, kamu positif 3 bulan. Waktu kamu cerita bahwa kamu hamil setelah dari pesta itu, aku menyesal. Aku juga di pesta itu, dan aku lihat kamu. Cantik. Ceria. Kamu pakai dress putih selutut. Malam itu, rambut jetblack ini diurai. Aku hampir lupa kalau kamu mahasiswa, karena anak perempuan yang aku lihat di kampus itu selalu dikuncir ponytail."

Dahiku mengernyit. Jadi...

"Dokter sudah tau saya sebelum kita kenal?"

"Not really," desahnya singkat. "Aku salah satu pengawas PK2 (Pengenalan Kehidupan Kampus), dan aku sering lihat kamu. Salah satu panitia bidang dokumentasi lapangan, anehnya, paling banyak ngambil fotomu dibanding mahasiswa lain. Candid. Mungkin sejak itu aku terbiasa melihat kamu, tanpa pernah tau siapa namamu."

Ooh.

Kehangatan merebak dari jantungku. Aku terkekeh lagi.

"Kenapa waktu itu Dokter nggak ngajak saya kenalan?"

"That's my biggest regret, Mel.... Seandainya aku kenal kamu lebih awal. Seandainya aku menyapa kamu di pesta itu. Seandainya aku lebih peduli, dan nggak membiarkan kamu berdua di taman ballroom dengan orang itu, karena aku pikir yang paling cantik se-FK mustahil belum punya pacar..."

Aku tergelak lagi. Kali ini, menggigiti kuku dokter McFord dengan bibirku karena gemas. Kurasakan dadanya bergidik.

"Justru saya yang heran karena laki-laki macam Dokter ini sukanya sama saya."

"Hmm? Aku macam apa?"

"Yaa, gitu." Aku memajukan bibir.

"Gitu gimana?"

"Yaa ituu..."

"Itu gimana?"

Hish, ngotot amat. "Ya gitu pokoknya... Ah! DOKTER!"

Aku berontak tapi lengan dokter McFord semakin erat mengunciku. Demi apa barusan dia menggigit daun telingaku?!

Dia mendesah sengau. "Gitu pokoknya bagaimana, Melati sayang? Hmm?"

Sial!

"Gitu seperti yang saya bilang ke Papa Mama saya! Bukannya Dokter denger sendiri kemarin, hah?!"

Dokter menghentikan agresi nakalnya di telingaku. Tawanya kembali menyapu bahu.

"Mel."

"Ya?" sontak kubuka mata. Dia masih di belakangku.

Jemarinya memperbaiki genggam kami yang sempat mengendur. Setelah kurasa mantap, tak gentar, dokter McFord meneruskan kalimatnya dengan intonasi dalam.

"Kenalkan aku ke orang tuamu."

Pada akhirnya, topik ini lagi.

Aku meneguk ludah. Berat. Tersekat.

"Kamu benar. I know nothing about them. That's why I need to acknowledge them. Aku ingin belajar bagaimana harus memperlakukan kamu, sebaik mereka menyayangi kamu selama ini."

I love you the way you are, Luke.

Kubawa pelan genggam tangan kami mendekati wajahku. Mengerti maksudku, dia menggerakkan ibu jarinya, menyapu air mata di pelupukku.

"Saya mau pulang, Dok," serakku, basah. Pandangku mengawang pada jam dinding pukul 1 pagi. "Tapi saya belum siap untuk dibuang... Saya belum selesai kuliah. Saya belum kerja. Saya belum punya penghasilan sendiri. Bumi harus saya hidupi pakai apa..."

"Aku punya lebih dari cukup untuk kamu dan Bumi. Aku akan kerja lebih lama lagi kalau itu masih kurang."

Hahaha. Aku tertawa hampa.

"It's not that easy. Dokter nggak punya kewajiban atas saya dan Bumi."

"Then, make me. Jadikan kalian kewajibanku."

"Caranya?"

"Dengan jadi istri dan anakku."

Dengan segera aku bangkit dari tidur. Hangat peluknya lepas. Mataku tak berkedip, meneliti wajahnya lekat. Dokter mengikutiku duduk perlahan.

Senyumnya tampak lelah. Rambut jagungnya berdiri ke utara-selatan. Pelupuknya sayu. Mengantuk. Tapi tak kudapati sedikit pun noda bercanda dari sorot birunya.

Kupaksakan lidah yang beku untuk bertanya, "Dokter mau nikahin saya?"

"Aku nggak berbuat sejauh ini kalau perasaanku cuma playing around for temporary endorphine seperti Yuan, Mel."

Itu benar, tapi...

Tapi menikah? Aku juga belum siap untuk rumah tangga. Aku belum siap menjadi istri. Mengurus anak dan diri sendiri saja tidak becus, sekarang ditambah suami? Apa bekalku? Cinta saja? Mentalku bagaimana?

"Mel," dia menggamit jemariku lagi. Satu tangannya menyisir anak rambutku, diselipkan dibalik telinga. "Don't think too much. We're not getting married now. Or tomorrow. Or next week, next month, or even a couple years later. Aku bisa nunggu sampai kamu siap. Fokusmu sekarang ini bukan menikah, kamu paham 'kan?"

Napasku tertahan. "Maksud Dokter?"

Dia melekatkan manik birunya padaku. "Sekarang, hadapi apa yang di depan mata. Go home. Pulanglah besok..." Sejenak, dia tertawa samar. "I mean, hari ini. Temui Papa Mamamu, ceritakan semuanya. Lakukan sebaik-baiknya karena kamu sangat ingin Bumi bisa diterima. Bumi harus bisa diterima. Berhasil atau gagal, aku tetap di sini. I'm not moving away nor leaving you behind."

Aku terpaku di tempat.

Aku lelah. Sangat.

Aku lelah berbohong, berlari, lalu sembunyi.

Aku lelah menangis meski air mataku tak juga kering.

Aku lelah merindukan Papa dan Mama.

Aku lelah di sini...

Aku mengangguk. Lambat, tetapi sarat niat.

"Jadi...?" Dokter McFord memiringkan kepala, mencari mataku. Aku memejam paham.

"Saya pulang."

Dia menarikku lagi dalam dekapnya. Sisa waktu sebelum subuh, dia habiskan untuk mengistirahatkan mata di sisiku. Aku tidur menyamping, memunggunginya dan menyusui Bumi.

***

Bandar Udara Internasional Juanda, Sidoarjo, pukul 8 pagi waktu setempat.

Tidak setiap hari tersedia penerbangan dari Malang ke kotaku, karena itu, dokter McFord membeli tiket pesawat yang terbang melalui Bandara Juanda, landasan pacu udara pusat terbesar di Jawa Timur. Kami menempuh perjalanan darat dengan mobil lebih kurang selama 2 jam. Yang mengantar adalah Bu Helena, Elia, dan Mas Dadang--sopir Bu Helena. Katanya setelah ini mereka bermaksud jalan-jalan ke TP.

Check-in line sudah dibuka tapi kami belum check-in. Selain antriannya masih ramai, tidak nyaman untuk Bumi, kami juga belum sarapan karena langsung berangkat setelah subuh. Di sebuah restoran cepat saji yang menyediakan mini playground, kami makan bergiliran menyuapi Bumi sarapan. Aku membawa alpukat matang yang mudah dikeruk untuk sesi makan paginya.

Makan sorenya, entahlah.

Bumi akan makan sore di rumah kelahiranku... kalau aku tidak diusir.

Tuhan, tolong jangan buang aku.

Aku janji akan bangun lebih pagi dari subuh. Aku janji akan sujud lebih dalam dari biasa. Aku janji akan belajar lebih giat. Aku janji akan jadi ibu yang lebih baik walau entah bagaimana caranya. Aku janji akan meminjamkan pensil warna merah jambu untuk teman-temanku.

Aku janji akan lebih berhati-hati menjaga diri agar tidak mengecewakan Papa Mama.

Aku janji...

Di mini playground, Bumi dipangkuan Elia, tergelak heboh disuapi alpukat oleh dokter McFord. Tangan gempalnya selalu gatal ingin meremas rambut jagung pria itu. Pun, Dokter terlihat sangat menikmati jejari Bumi yang menjelajah rambut dan mukanya.

"I never knew they're that close," ujaran tiba-tiba Bu Helena mengakhiri lamunanku. "I mean, Luke and Bumi. Kalau L, dari dulu saya tahu dia memang suka anak-anak."

Aku tersenyum simpul. "Baru-baru ini, Mom. Sejak Bumi mulai terbiasa sama orang-orang di sekitarnya. Mom tau banyak tentang Elia, ya?"

"Karena dulu setiap pulang sekolah, Ezra selalu rame 'Mom, today L this,' and 'Mom, today L that,' and 'Mom, I got 100 while L just 98 she was so upset that she threw her lunchbox at my face but I won't give in!' and much more," Bu Helena tertawa mengenang, lantas melipat tangan di meja dan mencondongkan tubuh padaku. "Semoga suatu hari nanti saya juga tahu banyak tentang kamu."

"Okay." Aku mengikuti beliau, melipat tangan dan memajukan tubuh antusias. "Mom mau tau apa tentang saya?"

"How's your feeling now?"

"I'm fine."

Mata birunya memipih sebelah. "Are you?"

"I am..." Aku berusaha terdengar mantap, tetapi gagal. Senyumku semakin pahit. Mataku jatuh ke ujung sepatu sandal. "... not. Saya takut, Mom. Rasanya saya ingin putar kembali ke Malang lagi, tapi..."

Kalimatku menggantung di pangkal lidah. Jari-jariku sudah kaku. Darahku nyaris beku. Tetapi genggam hangat Bu Helena perlahan menenangkanku.

"Seperti yang saya bilang sebelumnya, rasa curiga itu wajar. Artinya, kamu punya sistem proteksi yang bagus. Rasa takut pun wajar juga. Artinya, kamu masih punya semangat untuk bertahan. It is okay to be afraid. Kalau saya di posisi kamu Mel, saya juga pasti takut kok. Even Luke is afraid of darkness, it is also acceptable."

Dinasihati selembut itu, aku tersenyum tegar. Kalimatnya, bahasa tubuhnya, semua dikerahkan demi menyalurkan kekuatan untukku.

"Kalau kamu takut, cari hal yang bisa menenangkan kamu, misalnya..." Manik biru itu menuju ranah playground. "... anak saya, perhaps?" Aku tertawa samar. Sejauh ini, adanya Dokter justru tidak bagus untuk jantung. Tapi aku suka. "Luke juga nyariin kamu di tempat gelap, 'kan?"

Teringat aquarium dan kejadian di bathub rumah Dokter, aku tersipu canggung. "Jadi saya ada gunanya juga buat Dokter?"

"Is that some kind of hyperbole? Of course you are, Mel!" Beliau memukul lenganku. Aku semakin meringis. "Makanya, selama ada Luke, kamu jangan takut. Karena Luke nggak takut apapun selama dia bersama kamu." Lantas ibu cantik ini membingkai kedua pipinya dengan wajah terenyuh. "Gosh, you two are just too sweet to be true! Uh, no. Maksud saya, kalian bertiga. Sama Bumi juga."

Lucu sekali ibu satu ini. "You too, Mom."

"Me?" Beliau terbelalak. "Saya kenapa?" lantas menyesap lemon tea-nya.

Aku bertopang dagu. "Saya yakin Mom pasti asik kalo dijadikan ibu mertua."

Beliau menyembur minumannya.

Aku buru-buru meminta maaf atas kelancanganku, tetapi beliau justru tertawa. Jemawa. Berbunga-bunga. Kami melanjutkan obrolan dengan saling nostalgia masa sekolahku dan dokter McFord.

Catat janjiku ini. Ingatkan kalau lupa:

Kalau Papa Mama menerimaku dan Bumi, aku janji... akan berhenti menahan diri dan jujur kepada dokter McFord tentang perasaanku.

***

"Flight attendant, prepare for landing."

"Ladies and Gentlemen, we shortly will be landing at Sultan Aji Muhammad Sulaiman International Airport in Balikpapan. The local time now is 20 minutes past 11 a.m. The time in Balikpapan is 1 hour ahead of Surabaya. Please fasten your seat belt against your seatback into the outbreak position and locks your table securely. Place your phone back and videomonitor in place also keeps your window safes open during this time. Passenger who are using laptop and other entertainment devices..."

Burung baja raksasa ini akan bersarang. Ya.

Panorama di balik kaca bening masih berupa karpet bulu putih di atas lantai biru cerah. Kasak-kusuk pramugari menjalankan prosedur persiapan landing telah berakhir. Mereka menghilang di balik tirai yang memisahkan ruang kabin penumpang dan ruang awak.

Sebenarnya aku memakai kaus kaki dan sepatu. Tetapi dingin AC menghunus ganas di rantai antar jemariku, kaki dan tangan. Begitu pula lambungku yang perih tak bersahabat. Padahal aku sudah sarapan, dan dapat jatah lunchbox pula dari pesawat.

Aku merapatkan bibir yang detik demi detik mati rasa. Bukan salah pesawatnya. Salahkan sekelebat jelaga pekat yang merantai nyaliku. Menggelapkan mataku. Membakar skleraku hingga air mata harus menitik lagi.

"Ash!"

Kutarik tanganku dari bawah punggung Bumi, dan menyeka mulut. Darah. Karena taring kananku merobek bibir. Lidahku menyecap rasa asin, getir, anyir.

Dengan gerak acak kusapu kasar bibir yang luka, sebelum...

... terlambat.

Pria di kursi sebelah sudah menyadari tingkah anehku dan menahan lenganku bergerak lebih jauh. Sebagai gantinya, dia menyerap darahku dengan tisu makan bersih dari lunchbox pesawat.

Kukira aku akan diomeli, tapi kemudian dia bertanya dengan tatapan tajam nan serius.

"Plane... plane apa yang indah?"

Alisku bertaut. Dia sudah selesai dengan bibirku, tapi masih memandangku lekat.

"Ini teka-teki?" tanyaku.

Dia mengangguk kecil.

"Plane... emm." Otot bola mataku berputar. "Plane-ngi, plane-ngi, alangkah indahmu. Merah, kuning, hijau...?" Terdengar maksa nggak sih?

"No. Salah." Dia menggeleng.

"Apa dong? Saya nyerah, Dok."

"Plane-ing masa depanku berdua sama kamu."

... hah?

Krik. Krik.

Ada jangkrik di pesawat.

Kutahan mati-matian udara yang hendak menyembur. Pipiku menggembung. Kemudian terdengar suara kekeh pelan dari arah bangku depan. Sepasang pria dan wanita yang menurutku suami-istri mendengar percakapan bodong kami. Dokter menangkup wajahnya yang semerah tomat.

"Fine. Forget that." Dia mengibas kaku, malu-malu.

Apa barusan dia berusaha menghiburku? Ya Tuhan, kenapa dia semanis ini?

"Kalau saya naik pesawat, lalu saya laper, siapa yang saya panggil?"

Dia menurunkan tangannya pelan-pelan, lalu menyahut, "The flight attendant?"

Aku menggeleng. "Salah."

"Penjual sempol?"

"Yekali Dok jual sempol di pesawat!"

"Then who?"

Aku tersenyum. "Saya akan manggil seorang dokter."

Dahinya berkerut tidak terima. "Kamu lapar, bukan sakit. Kamu butuh makan, bukan anamnesis."

"Karena cuma dokter (Luke) yang selalu ada buat saya."

Kriuk.

Dia mematung. Dengan wajah sedatar papan gilasan. Terdengar lagi cekikikan dari bangku depanku. Aku membuang muka ke jendela.

Tahiii, kenapa jadi aku yang garing!!!

"Aah!" Dokter berseru tertahan. "Maksudmu itu aku? So, was it a pick-up line? Aku pikir yang kamu maksud dokter in general..."

"Alah mbuh lah, Dok!"

Aku mengembus kasar.

Kampret lah. Kudu stok sabar yang banyak memang kalo ngomong sama Dokter satu ini. Ngomongnya kapan, mudengnya kapan! Lah itu suami-istri di depan langsung ngerti kalau dokter yang kumaksud adalah dia. Kurasa mereka paham dokter McFord adalah seorang dokter karena daritadi aku memanggilnya 'Dok' dan 'Dokter'.

"Papi, kenapa pesawat mendaratnya di bandara?"

Aku dan dokter McFord melempar pandang ke depan. Sang istri bertanya pada suaminya.

"Karena luas?" terka sang suami.

"Salah."

"Karena... ada sinyalnya? Memang diarahin ke bandara 'kan, Mi?"

"Salah. Ayo dong, Pi, mikir. Jangan mau kalah sama yang dibelakang!"

Aku dan dokter McFord berpandangan. Bibir kami terlipat mengeriting. Sang istri menoleh sekilas ke belakang dan mengedipkan satu mata untuk kami.

"Ooh, Papi ngerti." Sang suami manggut-manggut. "Karena kalo mendarat di hati Mami nggak muat, isinya penuh sama Papi... iya nggak?"

Huek!

"Bener, Pi! Ih pinter deh Papi, hihihihii..."

"Hahaha, mesti dong. Mami lupa? Papi ganteng dan pinter sejak masih benih, Mi."

Ya amplang!

Mereka cubit-cubitan mesra. Aku dan dokter McFord mati-matian menyembunyikan tawa di balik tangan yang sudah membekap mulut. Aduh, bibirku masih perih! Kusikut gemas Dokter yang bahunya naik-turun kegelian.

"Dokter sih!" desisku tertahan.

"Aku senang kalau kamu senang, Mel."

Hmm, gitu ya?

Tanganku turun lagi, mengeratkan peluk untuk Bumi. Bibirku melengkung terenyuh, selagi hatiku bertanya. Dokter selalu menyenangkanku, tapi kapan giliranku menyenangkanmu, Dok?

Pesawat bermanuver tajam ke kanan tanpa aba-aba. Aku oleng, hilang keseimbangan karena beban tubuh Bumi. Dokter menangkapku dan Bumi dengan satu lengan kukuhnya. Kami mengunci fokus satu sama lain.

Hening.

Lampu pesawat dimatikan. Hanya terik matahari yang menyeruak dari bening kaca jendela.

Tiada lagi canda tawa mengalir. Keseimbangan udara saluran telingaku terganggu karena perbedaan tekanan. Hanya terdengar dentum dadaku berpacu gila, terhipnotis sorot birunya yang melawan langit.

"Flight attendant, landing position."

Pesawat menukik ke bawah. Peringatan dari kapten mengembalikan Dokter ke posisi tegaknya, begitu pula aku. Kudekap Bumi yang masih pulas dengan mulut terbuka, aksi refleks sebagai penyeimbang tekanan udara.

Roda pesawat perlahan menyentuh mulus aspal landasan pacu. Aku memejam. Jemari bekuku meremas sesuatu di dada. Liontin kalung pemberian pria yang duduk di sebelahku.

Bum, kita pulang ke rumah Mama...

 

-BERSAMBUNG-

.

Author note per 21 November 2019
.

Kalau yang mau lebih dari 10 orang, aku usahakan publish bab selanjutnya nanti malam. Kalau kurang mungkin beberapa hari lagi atau minggu depan 😅




Malang, 2 Juni 2018
Love you to the moon and back, MeLuk 💕

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro