ten; something in between
[warning: roller coaster-plot]
[]
"Sekarang aku ingat... saat pertama kali aku bertemu kalian. Kumpulan orang paling aneh yang pernah kulihat."
Hagrid berjalan di belakang Hermione dan Ron, menyusuri hutan yang mulai menggelap diselimuti kabut. Suara beratnya terdengar menggema.
"Dan disinilah kita sekarang, empat tahun kemudian."
"Hagrid, kita masih kumpulan orang aneh." Ron menimpali seraya tertawa kecil, Hermione ikut memasang senyum di sampingnya. "Ya, mungkin. Setidaknya kita memiliki satu sama lain."
Di sisi lain, Harry berjalan sendiri. Agak jauh, membawa selimut bekas menghangatkan diri setelah menyelami sungai selama satu jam tadi. Pemuda itu terlihat gusar, banyak pikiran membuat konsentrasinya buyar.
"... dan Harry, sebentar lagi jadi pemenang Turnamen Triwizard termuda!"
Netra yang tertutup kacamata menyusuri ranting yang mengering, perlahan-lahan mengerling sampai pada sebuah objek yang terlihat asing. Harry mengerutkan dahi, pikirannya langsung menerka kemana-mana.
Bukannya sebuah topi memang terlihat asing jika tegeletak di tengah hutan seperti ini?
Lalu saat Hermione dan Ron menyanyikan Mars Hogwarts, Harry berjalan agak cepat. Berhenti seketika saat dahinya terasa sakit, meringis seraya menelisik apa yang ada di hadapannya.
Pemuda itu membatu, lidahnya terasa kelu. Nafas ditarik kuat kemudian kepala menanggah pelan, "[name]...?"
[name] Brookheimer. Berlutut di samping mayat Perdana Menteri Barty. Rambut kusut, nafas berat.
Gadis itu menengok, tatapan bingung yang dilayangkan tampak sangat kentara. Kedua tangannya berlumur darah, tongkat sihir tergeletak begitu saja. "H-harry... tolong."
Mata Harry membulat sempurna, gadis itu baru saja memanggil namanya...
menggunakan parseltongue.
Fokus terbagi banyak. Pandangan Potter juga menangkap figur seekor serigala hitam, dari kejauhan, pun makhluk itu langsung berlari saat pemuda itu maju selangkah.
Harry buru-buru menghampiri saat [name] semakin ambruk, badannya terduduk dengan kedua tangan membekap mulut.
"Hey, apa yang terjadi?"
Netra coklatnya tertutup rapat, tangis [name] ditahan kuat-kuat. Harry memeluk erat, berusaha menenangkan dengan kepala yang dihantui ribuan pertanyaan.
✿ೃ
"Seorang manusia telah mati, Fudge. Dan dia bukan korban terakhir. Kau harus bertindak!"
Suara berat Albus menyapa telinga Harry saat laki-laki itu baru sampai di pertemuan dadakan ini. Well, sebenarnya pemuda itu tak diundang juga. Kebetulan terdengar saja, sekalian mau bertanya sesuatu pada sang kepala sekolah.
Saat ketahuan menguping, Albus langsung pergi ke luar. Dengan satu tujuan: menemui [name]. Mad-Eye dan Fudge ikutan pergi, meninggalkan Harry seorang diri.
Di sisi lain— ruang perawatan. Gadis itu tampaknya masih shock. Diam memeluk lutut, dikemuli sehelai selimut. Matanya sudah lama berhenti menangis, sayangnya iris coklat terus menatap miris. Tak seperti [name] yang biasanya sulit dipengaruh emosi, jauh dari pribadi putri Slytherin yang selalu berdiri tegak apapun yang terjadi.
"Nona Brookheimer?"
Selimut disingkap, Albus dan Mad-Eye berdiri seraya menatap.
[name] balas melirik Mad-Eye dingin.
"Aku tahu seharusnya kami bertanya di lain waktu, mengingat kau baru saja bertengkar hebat dengan Draco, lalu—"
"Aku tak tahu apa-apa."
[name] menenggelamkan wajah pada lipatan tangan, "Barty Crouch dibunuh menggunakan mantra pembunuh. Yang itu sudah pasti, sisanya aku hanya menolong seekor serigala yang ada disana."
"Serigala?"
"Iya. Kakinya terluka, aku bersihkan dulu lukanya baru menggunakan mantra penyembuh. Saat berniat pulang, mataku melihat sebuah topi yang tidak asing. Setelahnya— kau tahu sendiri."
Albus Dumbledore mengerjap, berdeham dua kali kemudian pamit undur diri. Sebelumnya sempat basa-basi agar [name] bisa segera pulih. "Jangan lupa berbaikan dengan Draco, ya. Dan aku tak akan memberitahu Cedric, tenang saja."
[name] menghela nafas lega. Setidaknya Albus selalu mengerti. Mendengarkan saat dibutuhkan, memberi saran tanpa menggurui.
"Kau percaya begitu saja?" Mad-Eye menyindir saat keduanya telah keluar dari ruang perawatan. "Jelas-jelas gadis itu berbohong."
"Bohong?" Albus mendelik, "Aku mengenal [name] selama lima tahun, Alastor. Dia mungkin seorang Slytherin paling murni —terlepas dari garis keturunannya— gadis itu tak akan berbohong pada situasi seperti ini."
Mad-Eye menggeram kesal.
Sementara [name] merasakan sakit kepala berat, jelas ada ratusan pikiran yang akan menjaganya dari tidur lelap. Buru-buru kaki jenjang menuruni ranjang, berjalan cepat menuju asrama yang mulai sepi karena larutnya malam.
Tepat saat akan memasuki pintu kamar, seseorang membukanya dari dalam. Figur tinggi menutup pintu pelan, mematung saat sadar berhadapan dengan pemilik kamar.
[name] menatap lurus.
Badan mungkin tak setegak biasanya, dagu tak sepenuhnya diangkat seperti hari-hari kemarin. Namun tatapan itu lebih menusuk dari benda tajam manapun yang pernah Draco lihat di dunia ini.
[name] Brookheimer dan Draco Malfoy berdiri hadap-hadapan. Tak saling menyapa apalagi bertukar untaian kata, namun hawa berat tetap terasa kentara.
Jujur saja ya, sebenarnya [name] ingin menyerah saat ini juga. Menyudahi pertengkaran tadi sore yang sempat terasa akan mengakhiri dunia, karena kini muncul masalah yang jauh lebih buruk dari itu semua.
Gadis itu ingin ambruk, menghambur peluk sampai lepas segala pelik. [name] berharap bisa menumpahkan air mata pada dada bidang yang setelahnya selalu membawa tenang. Merasakan dekapan hangat serta usapan pelan pada punggung yang terlampau lelah menanggung beban.
Draco Malfoy adalah redam di tengah riuhnya emosi yang tak bisa gadis itu tahan lagi.
Namun harga diri yang terlampau tinggi menjadi pembatas hebat di antara keduanya. Yang benar saja?!
Setelah pertengkaran sehebat tadi, masalah mereka tak bisa berakhir semudah itu 'kan?
Pun Draco memikirkan hal yang sama, kali ini ia berhasil menguatkan diri untuk melangkah pergi. Tak seperti sore tadi, tak akan terjadi lagi.
Gadis itu mendecih setelah si pemuda hilang dari pandangan. Membuka pintu kamar, masuk lalu menguncinya dari dalam.
Di atas nakas, sepiring makanan tampak mengeluarkan uap. Masih panas, juga tak terlihat seperti jamuan yang biasanya disediakan Hogwarts. Secarik kertas terletak di samping piring, menarik perhatian [name] meskipun sudah tau pesan itu datangnya dari siapa.
❝ Lekas sembuh. Lekas utuh.
[name] mengusap wajahnya kasar, "Draco bajingan."
Draco Lucius Malfoy. Tahun keempat. Memasak makan malam untuk seorang perempuan. Mengantarkannya langsung ke kamar [name] seorang.
❀˚̣̣̣͙
"Potter, bisa bicara sebentar?"
Laki-laki tak terlalu tinggi itu menautkan alis, "Loh? Sudah baikan?"
[name] terdiam. Tak mau basa-basi karena terkesan menghabiskan waktu. Mata sayu melirik Ron dan Hermione yang masih berada di tempat yang sama. Beberapa saat berlalu, keempat kepala masih sama-sama terdiam.
"Ron, Hermione, bisa tolong tinggalkan kami dulu?" Harry berkata singkat setelah menyadari arti pandangan [name], diikuti langkah kaki jengkel dari kedua teman baiknya.
"Jadi?"
Ekspresi gadis itu melemas, air mukanya tampak khawatir. "Potter, apa kau pernah bermimpi aneh?"
Harry mengerjap, bagaimana gadis ini bisa tahu?
"Mimpi seperti apa?"
"Seperti— berada di ruangan yang sama dengan Voldemort, tapi makhluk itu tidak dalam bentuk aslinya."
"Kau berani menyebut namanya?"
"... kenapa harus takut?"
"Kebanyakan begitu."
[name] mengibaskan tangan di udara, "Aku punya firasat buruk."
"Aku baik-baik saja." Seru Harry.
"Ih, bukan kepadamu!" [name] berdecak, "Geer."
Harry gelagapan, "A-ah? Memangnya kepada siapa?"
Diam. Netra coklat menolak ditatap, melirik kesana kemari asal bukan mengarah pada Harry.
"Cedric?"
Hm. Gadis itu mengiyakan dalam hati, mengangguk sebagai jawaban pasti.
Harry berdeham. "Aku yakin dia akan baik-baik saja."
Lalu pemuda itu masih merasakan hal ganjal. Mungkin [name] ingin mengatakan sesuatu, tapi kelihatannya ada yang menahan.
"Kenapa lagi?" Harry mendengus. "Katakan saja."
[name] mendekat. "Aku akan mengatakannya sekali saja. Tidak ada pengulangan. Mengerti?"
Harry mengangguk.
Pagi itu, [name] Brookheimer membagi segala cemas serta perasaan takutnya selama beberapa hari ke belakang dengan Harry Potter. The Boy Who Lived, mungkin sebentar lagi [name] akan memiliki julukan The Half-Dead Bitch.
.⸙͎
"Sudah baikan dengan Draco?"
[name] melirik singkat, setelahnya berdeham pelam. Cedric Diggory sebentar lagi akan mengikuti rangkaian terakhir dari Turnamen Triwizard tahun ini; menemukan piala kebanggan di tengah-tengah labirin yang sangat luas.
"Ced, boleh aku minta satu hal?"
Pemuda itu bergeming, kepalanya menerka-nerka apa yang akan gadis itu minta.
Apakah [name] akan menyatakan perasaannya?
Tidak mungkin.
"Ced? Kok melamun?"
"Hm? Oh, maaf." Pipinya memerah, "Apa tadi?"
"Hati-hati."
Cedric mengerutkan dahi, "Kau tampak khawatir sekali? Ada apa?"
Tatapan tajam tak meninggalkan Netra coklat. "Pokoknya kalau terjadi sesuatu yang berbahaya, panggil namaku."
Cedric menautkan alis, lalu tersenyum geli seraya mengacak pelan rambut perempuan di sampingnya.
"Kau menggemaskan juga ya."
[name] mencebik, "Serius!"
Si pemuda hanya mengangguk kecil, "Iya. Akan kulakukan."
Tawa Cedric tak berlangsung lama, telapak besarnya menarik dagu [name], mengusap beberapa bagian wajah yang terlihat berbeda.
"Omong-omong, kenapa kantung matamu bertambah besar? Kurang tidur?"
[name] menghindar, "Tidak juga."
Benar. Cedric tidak tahu soal kejadian kemarin.
Albus Dumbledore juga tak banyak bicara soal kematian Barty Crouch. Keadannya sangat menyulitkan, orang-orang di kementrian pun sulit diajak bekerja sama.
"Semalam, asrama Hufflepuff mengadakan pesta. Kau seharusnya datang." Pemuda itu melayangkan sorot melas, "Aku menunggumu padahal."
[name] tersenyum tipis, "Semalam aku sibuk."
"Sibuk berbaikan dengan Draco?"
Putri Brookheimer mengerutkan dahi, "Kau bertanya soal Draco terus. Kenapa? Suka sama dia?"
"Dia yang menyukaimu."
"Hah? Jangan bodoh."
Cedric tersenyum simpul, "Aku serius, [name]. Dari cara Draco memandangmu, terlihat sangat jelas."
"Masa sih?!" Gadis itu mengerutkan dahi.
Draco menyukaiku? Sejak kapan?
"Mhm." Dengusan geli terdengar dari mulut Putra Diggory, "Makannya aku langsung mendekatimu saat itu. Kalau menuggu agak lama, kalian pasti berakhir bersama. Dan aku akan melewatkan cinta pertamaku begitu saja."
"H-hah?!"
"Sudah mau mulai. Sampai jumpa."
Cedric maju selangkah saat didengarnya suara meriam yang terlalu cepat dibunyikan oleh Tuan Flinch. Namun senelum berjalan terlalu jauh, pemuda itu malah berbalik kembali, memegang bahu [name] seraya membisikan sesuatu tepat pada telinga.
"[name]. Setelah acara ini selesai, kenalan dengan Ayahku ya?"
Seutas senyum kembali dilemparkan, Cedric berjalan menuju pintu masuk labirin ditemani sang Ayah yang baru saja datang.
Harry bertukar pandang dengan Cedric —dan [name]— sesaat sebelum turnamen dimulai.
Mari berharap semuanya akan baik-baik saja....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro